Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Unjuk rasa merupakan salah satu kontribusi kampus sebagai manifiestasi dari ”cogito ergo sum” atau “saya berpikir karena itu saya ada”-nya filosof Descartes. Karenanya, kampus dengan sivitasnya tidak boleh dianggap “musuh”, tetapi mitra. Sikap anarkis pihak keamanan dalam penanganan unjuk rasa mahasiswa tidak boleh terjadi. Mahasiswa adalah manusia juga yang harus diperlakukan secara manusiawi. Tidak boleh diperlakukan secara tidak manusiawi.
Aksi demonstrasi atau unjuk rasa tidak begitu saja terjadi tanpa sebab, ada banyak faktor yang melatarbelakanginya dari kebebasan berpendapat yang dilindungi undang-undang, mengkritik pemerintah, hingga perlawanan atas ketidakadilan.
Menurut Abdul Jalil (Putra, 2022), ada banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya aksi unjuk rasa. Pertama, kekecewaan ataupun ketidakpuasan terhadap kesenjangan maupun ketidakadilan dalam lingkup sosial, politik, maupun ekonomi. Demonstrasi karena hal ini adalah yang paling sering terjadi dan dalam skala massa yang cukup besar. Kedua, ketidakpedulian pemerintah atas masalah yang terjadi di kalangan rakyat, seperti ekonomi, agama, sosial, dsb. Ketiga, terjadinya ketimpangan hukum yang dinilai tumpul ke atas, tajam ke bawah. Penguasa dinilai punya kendali penuh akan hukum, sehingga merusak tatanan politik dalam negara yang menganut sistem Trias Politica (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif). Keempat, kebanyakan demonstrasi atau unjuk rasa dilakukan oleh organisasi maupun perkumpulan mahasiswa untuk menjalankan perannya sebagai agent of change dalam masyarakat, maupun para buruh yang menuntut kebijakan perusahaan.
Terinspirasi Albert Camus
Judul artikel ini terinspirasi dengan sengaja mengutip utuh ungkapan filosof Albert Camus “Saya memberontak karena itu saya ada ! Menurut Camus “I rebel: therefor I exist” (aku memberontak, maka aku ada).
Aku memberontak, maka kita ada, kata Albert Camus. Apa maksudnya? Dalam artikelnya berjudul “Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus” (A. Setyo Wibowo dalam Nani Efendi, 2023) menjelaskan bagaimana sikap Albert Camus terhadap kebathilan. Camus tidak hanya berontak (secara individual), pada absurditas (semisal nilai-nilai ciptaan orang lain, yang digambarkan dalam tokoh Mersault dalam novel L’etranger), tapi juga ia berontak (secara kolektif), terhadap kebathilan (seperti bencana maupun kejahatan dari tindakan bathil manusia).
Terhadap kebathilan, Camus tidak tinggal diam. Menurut Camus, manusia harus bertindak melawan segala bentuk kebathilan. Tapi perlawanan itu bukan bentuk mengharapkan sesuatu manfaat atau ganjaran (semisal pahala) di masa depan. Bukan. Perlawanan terhadap kebathilan itu dilakukan hanya semata-mata dalam rangka melaksanakan “tugas kemanusian” demi hidup ini, hari ini, dan di sini. Dalam melakukan tugas kemanusiaan itulah manusia benar-benar menunjukkan bahwa ia ada (bereksistensi) di hadapan absurditas (Nani Efendi, 2023).
Dalam konteks politik, Camus memberontak terhadap kebathilan. Albert Camus adalah sastrawan, moralis, dan filsuf—walaupun ia lebih suka menyebut dirinya seniman—Prancis kelahiran Aljazair yang aktif secara politik dan termasuk seorang sayap kiri yang menentang totalitarianisme Uni Soviet. Lahir pada 1913. Mendapat Hadiah Nobel Sastra pada 1957.
Camus melawan kebathilan (pendudukan Nazi Jerman atas Prancis dan kolonialisme Prancis atas Aljazair). “Aku memberontak, maka kita ada,” kata Camus, sebagaimana dikutip Setyo Wibowo (Nani Efendi, 2023), dari karya Camus L’homme revolte. Manusia tak boleh menghindar terhadap kebathilan. Manusia harus terlibat. “Moral keterlibatan Camusian adalah bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut,” tulis Setyo Wibowo. “Yang bisa kita buat adalah ‘mencegah supaya korban tidak jatuh lebih banyak lagi’.”
Jadi, yang penting, menurut Camus, adalah: melawan kebathilan, bertindak kongkret membela manusia. Itu yang penting. Bukan kemenangan. Terhadap kebathilan (Nani Efendi, 2023).
Selalu Datang Dari Kampus
Adakah korelasi ungkapan itu dengan unjuk rasa—demo, mahasiswa misal. Greget gugat-menggugat di sepanjang dekade terakhir ini melalui unjuk rasa yang “dipiloti” mahasiswa dan komponen lainnya begitu gencar.
Mengapa unjuk rasa selalu datang dari kampus? Mungkin, karena kampus bukan sekadar gedung megah pencakar langit—menjulang tinggi, dengan seni arsitektur yang: “wah” ! Bukan pula sebuah “menara gading” yang sombong lagi angkuh. Kampus, juga bukan sekadar, kumpulan manusia “silent”—vakum.
Mahasiswa selaku warga kampus diidentikkan sebagai kelompok penekan atau perpanjangan tangan dari rakyat untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah atas kondisi mayarakat yang jauh dari konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang siapa dan dari kalangan mana, pergerakan demonstrasi yang dimotori oleh aktivis mahasiswa, LSM, ormas, organtaktis, khususnya mahasiswa yaitu sebagai kaum intelektual, agent of change atau penggerak perubahan, dan agent of control yang bertanggung jawab mengontrol pemerintah, mengimbangi kebijakannya atas nama rakyat yang berdaulat (Ahdar, 2017).
Kampus adalah “kampung”-nya sivitas akademika. Wadah manusia yang memiliki sifat: sadar diri; berkehendak bebas; berpikir dan berpikir tanpa hulu. Filosof Descartes tentang manusia dan berpikir ini, membuat sebuah formula dalam filsafat : “Saya berpikir karena itu saya ada—cogito ergo sum.” “Saya merasa karena itu saya ada” kata Fisolof Andre Gide. Atau, ungkapan bernuansa filosofi dari filosof Hillel : “Kalau saya bukan untuk diriku, mengharapkan siapa lagi ?” (if i am no myself then what am i for) ? Atau, yang lebih ekstrim lagi ungkapan filosof Albert Camus : “Saya memberontak, maka saya ada !”
Unjuk rasa, demonstrasi, unjuk keprihatinan, atau apapun istilah yang seidentik dengannya, ia menjadi sebuah fenomena trendy beberapa tahun terakhir ini dan terbukti sangat efektif mempengaruhi policy pemerintah.Dan juga, unjuk rasa dianggap strategi ampuh, efektif, dan efisien untuk menghentikan kesewenang-wenangan, kedholiman dan ‘kelaliman’ rezim.
Unjuk rasa lumrah dan sah-sah saja, asal “jangan ada dusta di antara kita !”. Artinya, yang unjuk rasa adalah pihak yang fitrah, yang steril dari cacat, noda dan dosa. Tidak ada yang menunggangi. Tidak ada manipulasi. Tidak ada tendensi khusus, kecuali untuk kemashlahatan rakyat, yang sering diatasnamakan dalam tema-tema unjuk rasa. Berangkat dari nawaitu. Demi dan atas nama rakyat. Bukan untuk kepentingan kelompok (interest group). Tidak ada dendam-kesumat. Bukan lantaran sakit hati. Apatah lagi, bernuansa dan bertendensi politis.
Unjuk rasa, mestinya dilakonkan dengan damai, sejuk, nyaman, dan santun. Bukan anarkis, brutal, barbar. Demo mubah dan sah-sah saja, bukan barang haram. Tidak jentelmen, kalau menjadi provokator.
Setumpuk penyebab terjadinya demonstrasi, di antaranya: ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah atau lembaga tertentu; ketidakadilan hukum; kenaikan harga sembilan bahan pokok. Unjuk rasa bisa terjadi karena digerakan oleh kelompok atau kepentingan. Atau, adanya curahan hati dan masukan rakyat yang belum terpenuhi yang bermula dari inkonsistensi para pengelola negara dalam merealisasikan kebijakannya.
Sebuah Gelaran Moral
Menurut Hussain Muhammad (1986) gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang digolongkan kepada gerakan sosial. Beliau menyifatkan kedudukan dan peranan gerakan mahasiswa mempunyai konotasi dengan gerakan kolektif dalam mewujudkan perubahan dalam suatu masyarakat. Jeffrey Haynes (Touraine, 1985) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan pelaku yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial atau politik, bertujuan dengan strateginya memiliki hubungan sosial dan rasionalitas. Fungsi mereka tidak bisa ditafsirkan dalam logika tatanan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang seimbang benar-benar merupakan tantangan bagi logika dalam mentransformasikan hubungan sosial. Karena itu, gerakan sosial selalu menentang status quo, mereka anti sistem, menyerukan dan memadukan tuntutan akan perubahan tatanan sosial, politik dan ekonomi. Dengan demikian, gerakan sosial berusaha untuk mencapai perubahan tingkat tinggi.
Said (Usman, 2024) dalam bukunya Representation of The Intellectual merumuskan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan pesan, pandangan, sikap kepada publik yang tujuan dari aktualisasi tersebut melahirkan kebebasan untuk memotivasi dan menggugah rasa kritis orang lain agar berani menghadapi ortodoksi, dogma, serta tidak mudah dikooptasi kuasa tertentu, sehingga intelektual harus selalu aktif bergerak dan berbuat dengan ketajaman nalarnya.
Dalam konteks ini, mahasiswa sebagai representasi dari kaum intelektual berdasar pada pertimbangan-pertimbangan ilmiahnya sudah seharusnya mampu mengelaborasi antara teori dan praktik.
Demonstrasi sebagai sebuah gelaran demokrasi hanya akan menjadi ‘garang’ dan ‘menyeramkan’ manakala mahasiswa sebagai kaum intelektual belum mampu memfungsikan intelektualitas yang dimilikinya secara maksimal, karena intelektualisme yang hampa dari agenda humanisasi adalah sebuah pengkhianatan terhadap nurani kemanusiaan (Jamal, 2008).
Kekuasaan yang menghegemoni rakyat terimplementasi dalam bentuk-bentuk ketidakadilan, penindasan serta bergulirnya kebijakan-kebijakan tidak populis adalah sangat wajar jika membuat mahasiswa ‘marah’, kooptasi yang dilakukan pemerintah sama halnya menabuh ‘genderang perang’ kepada mahasiswa.
Namun perlu diingat, demonstrasi sebagai salah satu saluran dialog antara rakyat dan pemerintah tidak harus diselesaikan secara anarki sebagai konsekuensi logis dari pemilik ‘nurani intelektual’ yang dimiliki mahasiswa terkandung nilai-nilai ideologis keutuhan kemanusiaan dan keadilan universal yang selama ini disuarakan oleh mahasiswa. Paradoks jika mahasiswa sebagai kaum intelektual melakukan demonstrasi anarkis atau ‘tidak bernurani intelektual’ yang berarti tidak ramah terhadap tatanan sosial.
Penguatan Nilai Civil Society
Demontrasi atau unjuk rasa selalu mempunyai landasan yang baik, yakni mewujudkan penguatan nilai civil society yang harusnya menjadi lembaga yuridis terkuat, juga sebuah proses menjauhkan pemerintahan dari tindak abusement of power (penyalahgunaan kekuasaan) demi terciptanya good governance (pemerintahan yang baik).
Salah satu missi suci unjuk rasa dan yang dominan yaitu terciptanya “strong and clean goverment”—pemerintah yang kuat dan bersih. Ini terbukti dengan maraknya tuntutan penghapusan KKNF (Kolusi Korupsi Nepotisme dan Familiisme), dan telah mengarah ke “menggugat” eksistensi pejabat, termasuk kekayaan pejabat.
Dan harus diamini, tuntutan pengunjuk rasa, selama masih murni dan berjalan di atas rel—koridor yang konstitusional, siapapun akan mendukungnya. Namun, apabila kemurnian tersebut mulai ternoda dan ditunggangi pihak-pihak yang tidak bertangungjawab (kelompok sakit hati, misal), apalagi dengan maksud memecah belah kerukunan bermasyarakat, lalu memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan”—praktek penjarahan, misal oleh sekelompok preman, ini harus dihentikan. Sebab, tindakan penjarahan, kerusuhan, brutal, sporadis, anarkis, yang merupakan praktek “pemboncengan” dari gerakan mahasiswa, membawa kerugian yang tidak kecil dari rakyat. Karenanya, “reformasi dan apapun namanya yes !”, “penghapusan KKNF, yes !”, “penurunan harga sembako, BBM, listrik yes !”, tapi “praktek pemboncengan, no !”, “praktek penjarahan, brutal, sporadis, anarkis, semuanya, no !”. No Way !
Sekali lagi, unjuk rasa tidak diharamkan. Ia “mubah” dan sah-sah saja. Hanya saja, apakah unjuk rasa satu-satunya alternatif atau “the best”-nya alternatif ? Mengapa tidak dikembangkan budaya dialog ? Atau, adakah pengunjuk rasa “bosan” dengan sikapnya yang euphemistis—terlalu halus dan santun ? Atau, apakah tidak lebih bijak, arif, dan demokratif, bila pengunjuk rasa “mengiterupsi” lewat media massa, seminar, diskusi ilmiah, sarasehan, debat ilmiah dan semacamnya ? Mestikah, turun jalan ? Lalu, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertangung jawab (preman, misal) untuk bertindak menjarah, merampok, memperkosa, dan tindakan-tindakan brutal lainnya ? Di sisi lain, dengan suasana ‘baru’—budaya dialog, misal, pemerintah harus terbuka, dan tidak boleh bersikap masa bodoh, cuek, ogah, dalam menanggapi setiap “interupsi” pengunjuk rasa.
Tujuan demonstrasi di Indonesia, merupakan perwujudan dari penerapan ideologi Pancasila dengan sila kelima yang berbunyi―keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak sekali tujuan dari adanya pelaksanaan praktik unjuk rasa, namun jika dilihat dari beberapa faktor yang telah disebutkan di atas dapat diketahui tujuan dari pelaksanaan unjuk rasa tersebut yakni di antaranya adalah mengekspresikan wujud dari adanya suatu perasaan kecewa terhadap suatu pemerintah, perusahaan, maupun institusi terkait suatu kebijakan berupa ketidakadilan dan ketimpangan baik dibidang sosial, politik, maupun ekonomi yang merugikan masyarakat, karyawan, maupun mahasiswa.
Demonstrasi merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap pentingnya pengawasan dalam kinerja pemerintah dalam hal menawarkan sebuah kebijakan. Namun dalam setiap kebijakan, tentu saja ada beberapa pihak yang tidak setuju dan ada pula yang mendukung sepenuhnya. Menurut hukum islam, tujuan dari demonstrasi tidak terkodifikasi dalam muṣ afal-Qur‘an secara jelas akan tetapi ada beberapa ayat yang dimana membahas tentang pentingnya pelaksanaan amar ma’rnjf nahī munkar bagi umat Islam (Putra, 2020) .
Istilah muẓ̄harah atau masī rah atau yang lebih dikenal dengan demonstrasi tersebut, muncul dengan adanya beberapa tujuan yang dimana setiap tujuan tersebut, memiliki kepentingan tersendiri baik dalam individu, kelompok, ormas dan sebagainya. Adapun pelaksanaan muẓ̄harah atau masī rah bagi umat Islam yakni mengutamakan aspek tujuan amar ma‟rūf nahī munkar.
Di antara tujuan unjuk rasa yakni demonstrasi sering muncul sebagai langkah untuk merespon kebijakan penguasa yang tidak berpihak pada rakyat maupun perilaku pemimpin yang telah keluar dari aturan atau ajaran Islam. Demonstrasi juga biasa dikatakan sebagai media untuk memberikan nasehat, saran, atau kritik dan sebagai bentuk penyampaian pendapat sekaligus sebagai cerminan kebebasan berfikir dan berekspresi yang dilindungi undang-undang, dan juga sejalan dengan prinsip dalam Islam, bahwa Islam sangat menjamin hak-hak asasi seseorang untuk mengutarakan aspirasi atau pendapatnya siapapun termasuk pemerintah. Adapun kebebasan tersebut bukan hanya untuk warga negara ketika melawan pemerintah yang diktator dan otoriter, namun dapat juga digunakan bagi warga negara untuk menyampaikan pendapat yang berbeda dan mengekspresikannya perihal terkait permasalahan yang terjadi (Aminulloh, 2014).
Unjuk Rasa dan Efeknya
Harus dipahami sepenuhnya bahwa unjuk rasa atau menyampaikan pendapat di muka umum pada hakekatnya adalah manifestasi kebebasan berkumpul, berekspresi dan berpendapat (Susanto, 2019). Unjuk rasa/demonstrasi atau tindakan kritik sosial, yang diperuntukan untuk menimbulkan efek jera atau perhatian bagi obyek yang menjadi sasaran unjuk rasa.
Samuel P. Huntington (1997) mengatakan unjuk rasa menimbulkan efek, utamanya pada negara yang menganut sistem otoriter, yakni: efek unjuk rasa memperhatikan kepada pemimpin dan kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat tentang kemampuan para pemimpin dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat lain dalam mengakhiri sistem otoriter dan memulai suatu sistem demokrasi.
Dampak positif dari unjuk rasa, yakni: meluapkan rasa kekecewaan terhadap kebijakan/keputusan atasan; mampu memberikan sentilan atau teguran kepada atasan agar berusaha untuk lebih baik lagi; mampu menyadarkan atasan atas kebijakan yang telah dibuat; dan menyampaikan aspirasi kepada atasan guna dipenuhi dan diperhatikan.
Semoga Bermanfaat !!!