Oleh : Ahmad Usman
Dosen Unkiversitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Teori triple helix, yang dipopulerkan oleh Etzkowitz dan Leydersdorff (Kholis, dkk., 2021), adalah suatu pendekatan dalam menciptakan sinergi kerjasama dari tiga aktor yaitu akademik (A), bisnis (B), dan pemerintah (G) untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Dari sinergi yang terbangun diharapkan dapat muncul sirkulasi pengetahuan antar aktor yang terlibat untuk melahirkan berbagai inovasi pengetahuan yang memiliki potensi untuk dikapitalisasi atau ditransformasi menjadi produk maupun jasa yang memiliki nilai ekonomis.
Sinergi sendiri mengandung makna sebagai kombinasi atau paduan unsur atau bagian yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar. Sinergitas dalam pembangunan berarti keterpaduan berbagai unsur pembangunan yang dapat menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar (Covey, 1993). Sinergi adalah sebuah proses dimana interaksi dari dua atau lebih agen atau kekuatan akan menghasilkan pengaruh gabungan yang lebih besar dibandingkan jumlah dari pengaruh mereka secara individual. Dengan demikian, terdapat 2 suatu sinergi apabila hasil dari gabungan misalnya dua kekuatan akan menghasilkan persamaan matematik sebagai berikut: 1 + 1 > 2 (Deardorff dan Williams, 2006). Sinergitas adalah menggabungkan dua atau lebih kekuatan dengan tujuan hasil atau output yang dihasilkan bisa menjadi lebih baik dan maksimal dengan mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Menurut Covey (2011), sinergitas akan mudah terjadi bila komponen-komponen yang ada mampu berpikir sinergi, terjadi kesamaan pandang, dan saling menghargai. Sinergitas = 1+1=4, 5, 6, 7, dst, dst….
Dalam perkembangan empirisnya di berbagai belahan dunia muncul berbagai aktor-aktor di luar unsur ABG yang disebutkan tadi yang ikut memberi pengaruh signifikan bagi dinamika interaksi ketiganya. Dengan adanya aktor-aktor yang muncul kemudian ini diperlukan suatu model yang merupakan pengembangan dari model triple helix, sebagai pisau analisis dalam mengembangkan berbagai model kebijakan kerjasama knowledge-based economy. Leydersdorff (2012) berpandangan bahwa model triple helix secara teoretis dapat diekspansi menjadi model-model quadruple-helix, dan seterusnya hingga n-tuple helix tanpa ada batasan. Meski demikian juga Leydersdorff (2012) memberi catatan bahwa atas alasan metodologis hendaknya pengembangan model triple helix dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan agar memberikan daya penjelas.
Kerja Sama Lembaga Riset
Triple helix adalah kerja sama lembaga riset dari perguruan tinggi, swasta, dan pemerintah.Pengertian triple helix adalah konsep sinergi antara aktor-aktor yang mempengaruhi keberhasilan inovasi Iptek, yaitu dari kalangan Academicians-Business-Governments (ABG). Untuk implementasi di Indonesia, diharapkan Society – masyarakat dapat turut dilibatkan dalam proses harmonisasi ABG-S untuk menghasilkan inovasi. Sinergitas ABG-s, yakni Academician, Bussines, dan Government dan society.
Sebagai konsep, gagasan utama triple helix adalah sinergi kekuatan antara akademisi, bisnis, dan pemerintah. Kalangan akademisi dengan sumber daya, ilmu pengetahuan, dan teknologinya memfokuskan diri untuk menghasilkan berbagai temuan dan inovasi yang aplikatif. Kalangan bisnis melakukan kapitalisasi yang memberikan keuntungan ekonomi dan kemanfaatan bagi masyarakat. Sedang pemerintah menjamin dan menjaga stabilitas hubungan keduanya dengan regulasi kondusif (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).
Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk membangun triple helix dengan peran masing-masing. Pemerintah berperan sebagai pembuat regulasi dan melaksanakan sosialisasi. Akademisi bertugas membuat penelitian dan mengeluarkan produk inovasi terbarunya. Adapun industri atau pebisnis berperan untuk menyokong dana.
Pelaku manajemen perkotaan terdiri dari pemerintah, swasta, masyarakat (community), serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perencanaan kota sering kali menjadi tidak efektif ketika setiap rencana yang telah dibuat tidak terlaksana dengan baik dikarenakan kurang manajemen perkotaan terutama dalam melibatkan berbagai pelaku pembangunan dalam mengembangkan perkotaan. Hal ini tentu perlu untuk dilakukan suatu kemitraan antar pelaku manajemen kota agar tercapainya perencanaan kota yang baik dengan menggunakan sumber daya yang ada. Kemitraan yang terjadi dapat mengefisienkan pembangunan yang ada karena dengan melibatkan semua pihak dalam bekerjasama mampu mengefisienkan sumberdaya yang digunakan, adanya partisipasi semua pihak dan tentunya kerjasama yang dilakukan harus memberi keuntungan bagi semua pihak.
Semua yang terlibat dalam memanajemen kota memiliki peranan masing-masing. Pemerintah berperan sebagai pihak perancang dalam pembangunan dan dapat melakukan intervensi terhadap pembangunan yang dilakukan serta sebagai pihak yang mengatur dan melandaskan hukum dalam setiap pembangunan. Di sini pemerintah juga dapat menjadi penyedia pelayanan dasar berupa penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Pihak swasta memiliki peran sebagai pemilik modal sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembangunan perkotaan sehingga perannya sangat diperlukan karena pihak swasta lebih berani dalam mengambil resiko demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dibandingkan dengan pemerintah dalam hal pembangunan.
Masyarakat merupakan bagian dari manajemen pembangunan perkotaan yang tidak hanya dipandang sebagai objek, tapi juga menjadi pelaku dan tokoh kunci dalam perencanaan dan implementasi suatu program pembangunan perkotaan. Secara definisi, masyarakat adalah komunitas atau sekelompok orang yang dikaitkan dengan batasan geografis tertentu yang memiliki ikatan tertentu baik secara sosial maupun emosional. Partisipasi masyarakat dalam manajemen kota sangat diperlukan karena rencana yang dibuat juga ditujukan kepada masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat juga dapat meningkatkan efisiensi sumber daya, pemerataan, pengembangan SDM, dan mengefektifkan biaya pembangunan perkotaan.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berperan sebagai lembaga non pemerintah yang membantu masyarakat dalam mendapatkan pelayanan perkotaan berupa pelayanan infrastruktur, kesehatan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Di sini LSM dapat menjadi fasilitator dalam penyediaan infrastruktur bagi masyarakat dan juga melakukan pengembangan masyarakat.
Keuntungan yang didapat dari kerjasama antar stakeholder sangatlah besar seperti efisiensi biaya pembangunan, kerjasama antar stakeholder dalam manajemen kota dapat saling melengkapi kebutuhan untuk memenuhi target, investasi dan menyelesaikan masalah sosial. Sehingga nantinya, dapat meningkatkan perekonomian dari kota itu sendiri.
Contoh kemitraan antar pelaku manajemen pembangunan kota bisa dilihat dari pembangunan kota baru Bumi Serpong Damai City (BSD City). BSD City merupakan kota yang muncul secara buatan sebagai akibat pemekaran daerah perkotaan dengan orientasi bisnis. BSD City mewujudkan kota mandiri dengan pelibatan peran stakeholder yaitu pemerintah sebagai pusat pembangunan, swasta sebagai pengembang, dan masyarakat sebagai konsumen atau respon pasar.
Strategi peningkatan partisipasi dalam pembangunan, dilakukan dengan membangun kapasitas dan membangkitkan ketertarikan masing-masing stakeholder. Peningkatan partisipasi pemerintah daerah, lebih ditujukan kepada pengembangan kapasitas dalam 3 (tiga) dimensi: sistem, entitas, dan individu (Hutagalung, 2022).
Peningkatan partisipasi swasta, dilakukan melalui beberapa pra-kondisi yang menyangkut aspek ekonomi, sebagai kompensasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam kontribusinya. Peningkatan partisipasi masyarakat dilakukan melalui prosedur yang sistematis dan menerus, mengikuti pentahapan pembangunan, didampingi pihak kredibel sebagai katalisator pembangunan, yang membantu memberdayakan masyarakat agar tidak kehilangan momentum pembangunannya. Peningkatan partisipasi stakeholder harus dilakukan dalam suatu proses koordinasi bersama-sama, karena satu dengan lainnya saling berhubungan dan saling ketergantungan (interdependence) (Nusantara, 2018).
Peranan Triple Helix
Harsz Al-Kafka (Usman, 2024), memaparkan bahwa triple helix sebagai aktor utama harus selalu bergerak melakukan sirkulasi untuk membentuk knowledge spaces, ruang pengetahuan di mana ketiga aktor sudah memiliki pemahaman dan pengetahuan yang setara, yang akan mengarahkan ketiga aktor ini untuk membuat consensus space, ruang kesepakatan di mana ketiga aktor ini mulai membuat kesepakatan dan komitmen atas suatu hal yang akhirnya akan mengarahkan kepada terbentuknya innovation spaces, ruang inovasi yang dapat dikemas menjadi produk kreatif bernilai ekonomis. Sirkulasi ini selalu berusaha menciptakan kebaruan (inovasi) dan inovasi sering mengubah struktur yang telah ada, atau destruksi kreatif (Joseph Schumpeter dalam Arguby dan Usman, 2024) yang berarti, munculnya inovasi baru di dalam industri akan menggusur industri-industri lama yang tidak kreatif dan tergantikan dengan industri yang lebih kreatif.
Ruang interaksi yang terjadi antar aktor utama triple helix dapat dianalisa sebagai berikut. Pertama, ruang ilmu pengetahuan. Di sini individu-individu dari berbagai disiplin ilmu mulai terkonsentrasi dan berpartisipasi dalam pertukaran informasi, ide-ide dan gagasan-gagasan. Wacana-wacana dan konsepsi tumbuh subur dan senantiasa dimantapkan. Kedua, ruang consensus. Di sini mulai terjadi bentukan-bentukan komitmen yang mengarah pada inisiatif tertentu dan proyek-proyek, pembentukan perusahaan-perusahaan baru. Diperkuat pula oleh sirkulasi informasi yang kredibel dan netral sehingga menumbuhkan rasa kepercayaan individu-individu yang bersangkutan hingga menjadi dukungan-dukungan terhadap konsensus. Ketiga, ruang inovasi. Di sini inovasi yang tercipta telah terformalisasi dan bertransformasi menjadi knowledge capital, berupa munculnya realisasi bisnis, realisasi produk baru, partisipasi dari institusi finansial (misalnya, Seed Capital, Angel Capital, Venture Capital) dan dukungan pemerintah berupa insentif, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran HKI dan sebagainya (Sucipta, 2019).
Peran tripel helix sebagai berikut. Pertama, intelektual (intellectuals). Intelektual disini memiliki peran sebagai sebagai agen yang menyebarkan dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, serta sebagai agen yang membentuk nilai‐nilai yang konstruktif bagi pengembangan industri kreatif dalam masyarakat. Intelektual sebagai bagian dari komunitas cendekiawan di dalam lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian, memiliki peranan yang besar dalam mengembangkan ekonomi kreatif (Al Hakim, dkk, 2019).
Kontribusi akademisi tersebut dapat dijabarkan dalam tiga bentuk peranan, seperti juga yang termuat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: (1) peran pendidikan ditujukan untuk mendorong lahirnya generasi kreatif Indonesia dengan pola pikir yang mendukung tumbuhnya karsa dan karya dalam industri kreatif; (2) peran penelitian dilakukan untuk memberi masukan tentang model kebijakan pengembangan industri kreatif dan instrumen yang dibutuhkan, serta menghasilkan teknologi yang mendukung cara kerja dan penggunaan sumber daya yang efisien dan menjadikan industri kreatif nasional yang kompetitif; dan (3) peran pengabdian masyarakat dilakukan untuk membentuk masyarakat dengan institusi/tatanan sosial yang mendukung tumbuh suburnya industri kreatif nasional. Dalam menjalankan perannya secara aktif, cendekiawan dituntut untuk memiliki semangat disipliner dan eksperimental tinggi, menghargai pendapat yang berseberangan (empati dan etika), mampu memecahkan masalah secara kreatif, menjalankan observasi yang bersifat lintas sektoral, menggunakan teknologi ICT dengan fasih, menjadi anggota forum pengkayaan ilmu pengetahuan dan seni baik secara nasional maupun internasional, formal maupun non-formal (Astutik, 2018).
Kedua, bisnis (business). Aktor bisnis merupakan pelaku usaha, investor dan pencipta teknologi-teknologi baru, serta juga merupakan konsumen industri kreatif. Aktor bisnis juga perlu mempertimbangkan dan mendukung keberlangsungan industri kreatif dalam setiap peran yang dilakoninya. Misalnya melalui prioritas penggunaan input antara industri kreatif domestik, seperti jasa-jasa industri kreatif dalam riset, iklan dan lain-lain.
Peran bisnis dalam pengembangan industri kreatif ini adalah: (1) pencipta, yaitu sebagai center of excellence dari kreator produk dan jasa kreatif, pasar baru yang dapat menyerap produk dan jasa yang dihasilkan, serta pencipta lapangan pekerjaan bagi individu-individu kreatif ataupun individu pendukung lainnya; (2) pembentuk komunitas dan entrepreneur kreatif, yaitu sebagai motor yang membentuk ruang publik tempat terjadinya sharing pemikiran, mentoring yang dapat mengasah kreativitas dalam melakukan bisnis di industri kreatif, business coaching atau pelatihan manajemen pengelolaan usaha di industri kreatif. Dalam menjalankan perannya, bisnis dituntut untuk menggunakan kemampuan konseptual yang tinggi, mampu menciptakan variasi baru berupa produk dan jasa, mahir berorganisasi, bekerjasama, berdiplomasi (semangat kolaborasi dan orkestrasi), tabah menghadapi kegagalan yang dialami, menguasai konteks teknikal dan kemampuan perencanaan finansial (Astutik, 2018).
Ketiga, pemerintah (government). Keterlibatan pemerintah dalam pembangunan industri kreatif sangatlah dibutuhkan terutama melalui pengelolaan otonomi daerah yang baik, penegakan demokrasi, dengan prinsip-prinsip good governance. Ketiganya bukan merupakan hal yang baru, memang sudah menjadi agenda utama reformasi. Jika berhasil dengan baik, ketiganya merupakan kondisi positif bagi pembangunan industri kreatif. Para ahli percaya, kemajuan pembangunan ekonomi kreatif sangat dipengaruhi oleh lokasi/place (identik dengan otonomi daerah), dan toleransi/pola pikir kreatif (identik dengan demokrasi).
Sementara prinsip-prinsip good governance; partisipasi, penegakan hukum, transparansi, responsiveness, equity (keadilan), visi strategis, efektivitas dan efisiensi, profesionalisme, akuntabilitas, dan supervisi (arahan), adalah prinsip-prinsip pengelolaan di mana industri kreatif bisa tumbuh agresif. Pemerintah haruslah memiliki kepekaan dan apresiasi terhadap aspirasi rakyat (Astutik, 2018).
Memahami bahwa di dalam membangun insan Indonesia yang cerdas tidak dapat dijalankan hanya dalam jangka pendek, karena pembangunan kecerdasan berarti ada proses permbelajaran, pemuliaan dan pengkayaan. Mengejar hasil akhir dalam jangka pendek tanpa dilandasi pembangunan pilar yang kuat akan membuat struktur ekonomi yang lemah dan tidak berkelanjutan. Untuk itu aktor pemerintah harus dapat menempatkan birokrasi secara proporsional, transparan dengan semangat mencapai interaksi yang sejajar.
Peran utama pemerintah dalam pengembangan industri kreatif : pertama, katalisator, fasilitator dan advokasi yang memberi rangsangan, tantangan, dorongan, agar ide-ide bisnis bergerak ke tingkat kompetensi yang lebih tinggi. Tidak selamanya dukungan itu haruslah berupa bantuan finansial, insentif ataupun proteksi, tetapi dapat juga berupa komitmen pemerintah untuk menggunakan kekuatan politiknya dengan proporsional dan dengan memberikan pelayanan administrasi publik dengan baik. Kedua, regulator yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan people, industri, insititusi, intermediasi, sumber daya dan teknologi. Pemerintah dapat mempercepat perkembangan industri kreatif jika pemerintah mampu membuat kebijakan-kebijakan yang menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industri kreatif. Ketiga, konsumen, investor bahkan entrepreneur. Pemerintah sebagai investor harus dapat memberdayakan asset negara untuk menjadi produktif dalam lingkup industri kreatif dan bertanggung jawab terhadap investasi infrastruktur industri. Keempat, urban planner. Kreativitas akan tumbuh dengan subur di kota-kota yang memiliki iklim kreatif. Agar pengembangan ekonomi kreatif ini berjalan dengan baik, maka perlu diciptakan kota-kota kreatif di Indonesia. Pemerintah memiliki peran sentral dalam penciptaan kota kreatif (creative city), yang mampu mengakumulasi dan mengkonsentrasikan energi dari individu-individu kreatif menjadi magnet yang menarik minat individu/perusahaan untuk membuka usaha di Indonesia. Ini bisa terjadi karena inidividu/perusahaan tersebut merasa yakin bisa berinvestasi secara serius (jangka panjang) di kota-kota itu, karena melihat adanya potensi suplai SDM yang berpengetahuan tinggi yang bersirkulasi aktif di dalam daerah itu (Rahman, 2020).
Industri Kreatif Tangguh dan Berkelanjutan
Pembinaan dan pengembangan industri kreatif selama ini disinyalir belum optimal dari instansi terkait dan mereka membutuhkan bantuan agar mampu tumbuh dan bersaing. Pihak yang dianggap mampu memberikan bantuan untuk pengembangan industri kreatif yaitu intellectuals, government dan business (triple helix). Kolaborasi dari tiga aktor triple helix dianggap mampu meningkatkan kreativitas, ide dan skill (Etzkowitz, 2008). Kolaborasi yang baik ketiga aktor triple helix diharapkan tercipta sinergi yang menguntungkan dan seimbang dan masing-masing dapat memainkan perannya secara optimal demi mewujudkan industri kreatif yang tangguh dan berkelanjutan.
Penting bagi setiap industri untuk memiliki keunggulan bersaing yang tepat agar dapat bertahan. Keunggulan kompetitif menurut Cegliński (2017), adalah strategi keuntungan perusahaan yang berkolaborasi untuk bersaing lebih efektif di pasar. Strategi harus dirancang untuk mewujudkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, sehingga perusahaan dapat mendominasi pasar lama dan pasar baru.
Salah satu cara untuk mencapai keunggulan kompetitif tersebut, menurut hasil penelitian Naguib Elsaid & Elsaid (2017), hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kapabilitas dinamis perusahaan. Intelektual perusahaan seringkali tidak cukup untuk mendukung kinerja yang signifikan dalam lingkungan yang berubah dengan cepat. Oleh karena itu, dalam suatu lingkungan, kinerja yang unggul bergantung pada kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi ulang sumber daya ini, suatu proses yang disebut kemampuan dinamis (Aminu & Mahmood, 2015).
Konsep kapabilitas dinamis menurut Ferreira, et al. (2020) merupakan bagian dari kompetensi yang memungkinkan perusahaan untuk menciptakan produk atau proses baru dan merespon perubahan kondisi pasar. Tresna & Raharja (2019) mengatakan bahwa wirausahawan tidak hanya sekadar menyesuaikan strategi internal untuk merespon perubahan lingkungan, tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan unik yang tidak dimiliki oleh kompetitor.
Sirkulasi triple helix merupakan penggerak lahirnya kreativitas, ide, dan keterampilan (Etzkowitz, 2008).
Kinerja industi kreatif saat ini masih lemah karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia terutama lemahnya kapabilitas inovasi para pelaku usaha. Peran triple helix bagi pengembangan industri kreatif sangat penting, dan diharapkan mampu mendorong kapabilitas inovasi pelaku usaha dan berdampak pada keunggulan bersaing dan kinerja (Asyhari dan Wasitowati, 2015).
Salah satu kunci keberhasilan pengembangan ekonomi kreatif adalah edukasi industri rumahan dan pembuatan produk kreatif yang ramah lingkungan. Produk kreatif ramah lingkungan kini semakin diminati oleh konsumen yang peduli terhadap keberlanjutan. Tak heran, para pelaku industri rumahan mulai beralih ke praktik ramah lingkungan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan menggunakan bahan baku dari sumber daya alam terbarukan, mengurangi emisi karbon, dan mengelola limbah dengan baik, produk kreatif menjadi lebih ramah lingkungan dan menarik bagi pasar yang lebih luas.
Selain mengurangi dampak lingkungan, pembuatan produk kreatif ramah lingkungan juga memberikan manfaat ekonomi. Pelaku industri rumahan dapat menghemat biaya produksi karena penggunaan bahan baku yang lebih ramah lingkungan, sehingga meningkatkan keuntungan mereka. Produk ramah lingkungan juga memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar global, yang semakin sadar akan isu-isu keberlanjutan (Panda, 2024).
Bagi konsumen, produk kreatif ramah lingkungan menawarkan pilihan yang lebih sehat dan aman. Produk-produk ini bebas dari bahan kimia berbahaya, sehingga aman digunakan dan tidak merusak kesehatan. Memilih produk ramah lingkungan juga merupakan bentuk dukungan terhadap pelaku industri rumahan yang berkontribusi pada pelestarian lingkungan.
Untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berkelanjutan, edukasi memainkan peran penting. Pelaku industri rumahan perlu mendapatkan pelatihan tentang praktik ramah lingkungan, baik dalam hal bahan baku, proses produksi, hingga pengemasan. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, mereka dapat menghasilkan produk kreatif yang tetap berkualitas tinggi namun berdampak rendah pada lingkungan (Panda, 2024).
Dengan menggabungkan industri rumahan dan pembuatan produk kreatif ramah lingkungan, kita dapat menciptakan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga ramah lingkungan. Mari bersama-sama mendukung perkembangan ekonomi kreatif berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik.
Kendala Membangun Triple Helix
Tri Widodo Wutomo(Usman, 2024) menjelaskan bahwatriple helix adalah sebuah konstruksi sinergis antara pemerintah, industri, dan lembaga penelitian/pendidikan (terutama perguruan tinggi) yang diyakini menjadi faktor kunci untuk berkembangnya inovasi. Dalam sistem konfigurasi ini, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan perangkat kebijakan yang kondusif untuk tumbuhnya iklim usaha yang sehat dan budaya penelitian di kalangan masyarakat terpelajar, termasuk penyediaan anggaran dan berbagai skema insentif untuk mendorong knowledge production dan knowledge transfer di berbagai bidang. Sementara itu, lembaga riset dan perguruan tinggi selain bertugas mendidik tenaga terampil, juga wajib melakukan penelitian untuk melahirkan ide-ide, teori-teori dan model-model ilmu dan pengetahuan baru untuk mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan di berbagai sektor. Adapun industri berperan untuk menyerap produk-produk kreatif perguruan tinggi, menyerap tenaga kerja, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Bukankah itu adalah hubungan yang sangat indah?
Sayangnya, jangankan integrasi dan kohesi antar tiga pilar tadi, interaksi dan komunikasi antar sesana lembaga pemerintah, antar sesama perguruan tinggi, dan antar sesana pelaku industri pun masih sangat lemah. Alokasi anggaran untuk riset dan inovasi masih teramat kecil, sementara lembaga penelitian pemerintahan masih berjalan sendiri-sendiri. Meskipun sudah ada ARN (Agenda Riset Nasional) dan FKK (Forum Komunikasi Kelitbangan), namun keduanya belum mampu memecahkan persoalan klasik tidak sistematisnya kelembagaan dan program litbang pemerintah. Akibatnya, overlap kegiatan dan penganggaran masih menjadi pemandangan biasa bukan hanya antar instansi, bahkan dalam instansi yang sama (Jaelani, 2019).
Kondisi serupa terjadi pula di kalangan perguruan tinggi. Antar universitas terbentuk persaingan bukan dalam banyaknya karya ilmiah dan hak cipta yang dihasilknan, namun lebih pada persaingan menggaet dan meluluskan mahasiswa sebanyak-banyaknya. Yang terjadi kemudian adalah fenomena mass production yang mengabaikan kualitas. Perguruan tinggi juga terjebak pada “bisnis intelektual” dengan menjadi konsultan di berbagai tempat dan menjadikan konsentrasinya mengembangkan ilmu semakin meredup. Inilah yang dimaksud oleh Heru Nugroho sebagai banalitas intelektual (Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi UGM, Februari 2012).
Dunia industri tampaknya juga terjangkit “penyakit” yang serupa karena terjebak pada nafsu profit maximization dan melupakan kepentingan bangsa yang lebih besar. Konsep “bapak asuh” dari perusahaan besar kepada perusahaan kecil tinggal cerita, sementara banyak pengusaha merasa sudah selesai menjalankan tugas sosialnya setelah mengeluarkan dana CSR (corporate social responsibility). Pengangguran masih saja menjadi masalah besar bangsa ini karena dunia usaha tidak sanggup menampungnya. Bahkan sarjana-sarjana menganggur juga semakin biasa kita saksikan. Banyak perusahaan juga membentuk unit R & D-nya masing-masing dan tidak memanfaatkan hasil riset dari perguruan tinggi. Lembaga riset perusahaan dan litbang perguruan tinggi seolah-olah adalah dua dunia yang berbeda dan dipisahkan oleh jarak yang amat jauh.
Deskripsi di atas mengilustrasikan tidak bekerjanya mekanisme triple helix di negeri kita. Dan ini menjadi faktor yang memperumit upaya menumbuhkan inovasi. Oleh karena itu, revitalisasi triple helix hanya bisa dilakukan jika ada proses untuk melakukan revitalisasi peran masing-masing pilar. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk menunjukkan komitmen melalui perumusan kebijakan yang berpihak pada pengembangan ilmu dan teknologi. Anggaran riptek dan litbang sudah saatnya dinaikkan secara signifikan, paling sedikit 2 persen dari total APBN dan APBD. ARN perlu disempurnakan dengan memperluas area litbang yang secara riil dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah, sementara mekanisme koordinasi antar lembaga litbang pemerintah perlu ditata ulang agar dapat menghasilkan efek mainstreaming dalam pengusulan program dan anggaran litbang. Pemerintah juga harus segera menyusun rancang bangun pengembangan teknologi dan inovasi dalam jangka menengah dan panjang, yang antara lain berisi tentang skema pembiayaan program-program strategis litbang/riptek nasional, skema pengembangan SDM litbang/riptek, dan seterusnya (Kholis, dkk., 2021).
Selanjutnya, perguruan tinggi juga tidak boleh tinggal diam dan bertahta dalam comfort-zone. Para pendekar dari kawah Candradimuka harus turun gunung dan membantu menyelesaikan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan membantu sebuah lembaga secara personal. Perguruan tinggi harus memiliki peta permasalahan yang jelas dan menetapkan agenda litbang yang jitu untuk mengatasi masalah tersebut. pada saat bersamaan, kalangan industri dituntut semakin membuka diri terhadap dunia luar. Mereka perlu menjalin kerjasama yang lebih intens dengan perguruan tinggi, misalnya untuk mengadopsi hasil risetnya, atau untuk menampung para alumninya, untuk turut membiayai sebagian proyek litbangnya, dan seterusnya. Sebaliknya, perguruan tinggi juga harus komit untuk memenuhi sebagian kebutuhan pelaku industri, untuk memobilisasi SDM riset, untuk melakukan inkubasi inovasi, dan seterusnya (Arguby dan Usman, 2019).
Secara konseptual, semua upaya itu cukup mudah dilaksanakan, namun yang sulit adalah komitmen untuk memulainya. Yang pasti, jika negeri ini tidak segera merekonstruksi triple helix dalam kerangka Sistem Inovasi Nasional (SIN), jika anggaran litbang/riptek tidak juga mengalami perbaikan, jika setiap pilar masih saja berpikir egosentris, maka Indonesia akan semakin tertinggal dengan negara lain dan inovasi hanya tinggal sebagai mimpi.
Semoga bermanfaat !