Keteraturan Sosial dalam Masyarakat Multikultural

1 day ago 6

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)

INIPASTI.COM,  Berbicara tentang keteraturan sosial atau tertib kehidupan manusia dalam masyarakat, tidak bisa terlepas dari pemikiran tentang tertib alam semesta secara keseluruhan, di mana manusia berada di dalamnya. Dalam kaitan ini Wignjosoebroto (2003) mengatakan bahwa ada dua paradigma yang menjadi landasan pemikiran tentang tertib kehidupan manusia ini, yaitu paradigma Aristotelian atau Aristoteles (384-322 SM) dan paradigma Galilean atau Galileo Galilei (1564-1642 M). Paradigma Aristotelian–yang sering pula disebut paradigma yang teologik–finalistik–bertolak dari anggapan aksiomatik bahwa seluruh kenyataan alam semesta ini pada hakikatnya adalah suatu totalitas kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang sempurna sejak awal mulanya. 

Dengan demikian menurut paradigma Aristotelian ini, ketertiban tidak dapat direkayasa dan diproduksi karena ia telah terbentuk sejak semula pre-established harmony. Sebagai gambaran, Scott Gordon (1991) mencontohkan keselarasan suatu orkestra sebagai suatu pre-established harmony. Sekian banyak pemusik telah memainkan bagian masing-masing yang sekalipun secara mandiri namun secara totalitas lalu menjadi suatu keselarasan. Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M), seorang representasi paham Aristotelian yang hidup pada masa maraknya paham Galilean. Sementara itu paradigma Galilean bertolak dari anggapan aksiomatik bahwa seluruh alam semesta ini pada hakikatnya adalah suatu himpunan fragmen yang berhubung-hubungan secara interaktif dalam suatu jaringan kausalitas yang berlangsung tanpa henti dan tanpa mengenal titik akhir di tengah alam objektif. Di samping objektif, hubungan antar fragmen itu berlangsung pada ranah indrawi yang selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual dan aktual (Wignjosoebroto, 2003).

Masyarakat Multikulrural

Masyarakat multikulrural (majemuk, plural) merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik (Furnivall dalam Hisyam, 2020). Majemuk atau plural bukan sekadar heterogen. Seperti dinyatakan Cliford Geertz bahwa pluralitas ditunjukkan oleh terbagi-baginya masyarakat ke dalam subsistem-subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan terikat oleh hal-hal yang bersifat primordial. Dengan cara yang lebih rinci, Pierre van den Berghe (Harruma, 2023) menyebutkan beberapa sifat dasar masyarakat majemuk, yaitu: terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok dengan subkultur saling berbeda satu dari lainnya; struktur sosial terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer; kurang dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai yang bersifat dasar; relatif sering mengalami konflik antar-kelompok; integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan ketergantungan ekonomi; atau dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.

Mengingat karakteristik masyarakat plural seperti diuraikan di atas, proses integrasi sosial atau pembentukan keteraturan sosialnya akan memerlukan energi yang lebih besar, dan sangat tergantung pada bentuk dan konfigurasi struktur sosialnya serta proses-proses sosial yang ada.

Struktur sosial dalam masyarakat multikultural dapat dibedakan antara intersected dan consolidated. Dalam struktur yang intersected, integrasi atau keteraturan sosial lebih mudah terbentuk karena adanya silang-menyilang keanggotaan dan loyalitas. Sedangkan pada struktur yang consolidated, proses integrasi atau keteraturan sosialnya akan terhambat karena terjadi penguatan identitas dan sentimen kelompok yang diakibatkan oleh terjadinya tumpang tindih parameter dalam pemilahan struktur sosialnya (Jihan, 2022).

Konfigurasi etnis dalam masyarakat multikultural, apakah : (1) kompetesi seimbang, (2) minoritas dominan, (3) minoritas dominan, atau (4) fragmentasi, menentukan juga proses integrasi sosialnya. Pada konfigurasi (1) dan (4) memerlukan komunikasi dan adanya koalisi lintas-etnis, sedang pada konfigurasi (2) dan (3) integrasi sosial dapat terbentuk karena adanya dominasi suatu kelompok terhadap lainnya (Quway, 2020).

Ethnosentrisme, primordialisme, dan berkembangnya politik aliran merupakan faktor yang menghambat integrasi dan keteraturan sosial dalam masyarakat multikultural. Pendidikan multikulturalsme diharapkan dapat menumbuhkan faham relativisme kebudayaan, universalisme, dan berkembangnya kehidupan politik nasional yang non-aliran dan berbasis program dan ideologi nasional.

Ada beberapa bentuk masyarakat multikultural, yaitu: interseksi; konsolidasi; primordialisme; etnosentrisme; dan politik aliran (Octaviana, 2021).  

Pertama, interseksi. Interseksi merupakan suatu titik potong atau pertemuan. Dalam sosiologi, interseksi dikenal sebagai suatu golongan etnik yang majemuk.

Dalam Sosiologi, interseksi adalah persilangan atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok sosial dari berbagai seksi. Baik berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain dalam suatu masyarakat majemuk.

Suatu interseksi terbentuk melalui interaksi sosial atau pergaulan yang intensif dari anggota-anggotanya melalui sarana pergaulan dalam kebudayaan manusia, antara lain bahasa, kesenian, sarana transportasi, pasar, sekolah. Dalam memanfaatkan sarana-sarana interseksi sosial itu, anggota masyarakat dari latar belakang ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkat ekonomi, pendidikan, atau keturunan berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu atau menjadi penganut agama tertentu.

Interseksi adalah suatu masyarakat yang terdiri dari banyak suku, budaya, agama, dan lain-lain yang berbaur menjadi satu kesatuan di dalam komunitas tertentu.

Kedua, konsolidasi. Suatu proses penguatan pemikiran atas kepercayaan yang telah diyakini agar kepercayaan akan sesuatu yang diyakini semakin kuat. Yang mana hal ini dilakukan oleh orang yang lebih mengerti akan kepercayaan yang dianut.

Konsolidasi adalah suatu proses penguatan yang dilakukan untuk memberikan tambahan keimanan atas apa yang telah seseorang yakini, yang biasanya dilakukan oleh orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu. Konsolidasi adalah suatu penguatan atas apa yang telah melekat pada dirinya.

Ketiga, primordialisme. Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Primordialisme berasal dari kata bahasa latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.

Suatu primordialisme adalah suatu kepercayaan yang sudah mendarah daging. Maka setiap orang yang memiliki primordial pasti dia akan sulit menerima paham lain selain paham yang telah mendarah daging dalam dirinya.

Keempat, etnosentrisme. Etnosentris sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut in group feeling (keikut sertaan dalam kelompok) tinggi. Biasanya dalam suatu kelompok sosial sering kita melihat perang antar desa, perang antar suku ataupun perang dalam agama dan sebagainya. Tapi entosentris lebih kepada anggapan suatu kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul.

Etnosentris adalah suatu anggapan dari kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul. Dalam suatu masyarakat majemuk terdapat suatu kelompok yang beranggapan bahwa kelompoknyalah yang paling unggul dari kelompok-kelompok sosial lain.

Kelima, politik aliran. Politik aliran adalah suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam ormas-ormas yang memiliki suatu pemersatu berupa partai politik dalam suatu negara, sehingga ormas tersebut dikatakan penganut partai yang memang dijadikan pemersatu dalam negara.

Politik aliran adalah suatu organisasi masyarakat yang memiliki dekengan (jawa) untuk memelihara dan menyejahterakan anggotanya. Contoh: Hahdhotul Ulama’ memiliki dekengan berupa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammadiyyah memiliki dekengan berupa Partai Amanat Nasional (PAN), dan lain-lain.

Politik aliran adalah suatu partai politik yang memiliki suatu dukungan dari suatu organisasi masyarakat sebagai pembangun kekuatan dalam pemilihan umum.

TerjadinyaKeteraturan Sosial

Keteraturan sosial adalah suatu kondisi yang menunjukkan hubungan sosial berjalan secara tertib dan teratur menurut nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Keteraturan sosial akan terwujud apabila interaksi dalam masyarakat berjalan sesuai nilai dan norma yang berlaku.

Keteraturan sosial artinya menaati nilai dan norma yang berlaku. Contoh: sebuah jalan raya yang dilalui oleh berbagai jenis dan ukuran kendaraan, serta bermuatan orang dalam jumlah besar dan arah tujuan.

Keteraturan sosial pada hakikatnya merupakan hubungan yang selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai, dan norma sosial. Artinya, hak dan kewajiban dalam suatu interaksi sosial diwujudkan dan diselaraskan dengan nilai dan norma serta tata aturan yang berlaku dalam masyarakat.

Keteraturansosial (socialorder) berawaldariproses sosialdengan memahaminilai-nilaidannorma-normayang berlaku dalamlingkunganindividu atau  masyarakat tersebut. Kemudian terjadi penyesuaian dalam lingkungan tersebut sehinggamembentuk keseimbangan dalam kehidupan sosial.

Keteraturan sosial adalah suatu keadaan di mana hubungan sosial berlangsung dengan selaras, serasi, dan harmonis menurut nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Bentuk nyata dari keteraturan sosial adalah adanya keselarasan atau kerja sama dalam interaksi sosial. Secara konseptual, lingkungan kehidupan sosial masyarakat meliputi 3 unsur, yaitu proses sosial, struktur sosial, dan perubahan sosial. Proses sosial adalah segi dinamis dari sutau struktur sosial. Struktur sosial adalah rangkaian aspek-aspek sosial pokok dalam masyarakat. Perubahan sosial adalah pergeseran formasi masyarakat yang terjadi dalam struktur sosial yang disebabkan oleh adanya perkembangan kebutuhan hidup (bersifat dinamis).

Proses terbentuknya suatu keteraturan sosial bisa dilihat pada skema berikut ini (Adlani, 2023).

Ordinasi ——> Keajegan ——->Tertib Sosial ——>Keteraturan Sosial

tahap I                    tahap II                   tahap III                      Hasil

Tahap di atas menunjukkan bahwa patokan-patokan berperilaku di dalam masyarakat akan melahirkan ordinasi atau ketentuan-ketentuan dalam masyarakat, sehingga lahirlah keajegan dalam pola perilaku. Keajegan dalam pola perilaku akan melahirkan tertib sosial, dan pada akhirnya akan menciptakan keteraturan sosial di dalam kehidupan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa betapa pun sederhananya suatu kelompok masyarakat memerlukan adanya suatu sistem pengendalian sosial untuk menciptakan keteraturan sosial.

Keteraturan sosial berjalan menurut tahapan-tahapan berikut (Adlani, 2023).

Pertama, tertib sosial (social order). Suatu masyarakat dinyatakan telah mencapai kondisi tertib sosial apabila dalam masyarakat telah terjadi keselarasan antara tindakan masyarakat dengan nilai dan norma yang berlaku. Tertib  sosial  menurut  Aletheia Rabbani  (2020)bahwa salah satukeadaan masyarakatdengankehidupantertib dan teratur sebagai hasil dari interaksi sosial yang berjalan harmonis.Tertib sosial ini terjadi bila terdapat keselarasan antraa tindakan anggota masyarakat dengan nilai norma yang berlaku di dalam masyarakat tersebut. Ciri-ciri tertib sosial: (a) ada sistem nilai dan norma yang jelas; (b) seluruh masyarakat mengetahui dan memahami dengan benar norma dan nilai sosial yang berlaku; dan (c) seluruh masyarakat menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Contoh: tertib di jalan raya, setiap pengendara memahami dan menyesuaikan tindakannya dengan norma dan nilai yang berlaku di jalan raya.

Kedua, order (social order). Order sering disebut perintah atau pesanan. Order merupakan suatu sistem norma dan nilai yang diakui dan dipatuhi oleh masyarakat. Misalnya peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah; peraturan tentang disiplin, masa belajar dan tahapan kegiatan belajar; adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tertentu. Menurut Aletheia Rabbani (2020) menjelaskan bahwa sebuah sistem nilaidan norma yang berlaku, diakui dan dipatuhi seluruh angota masyarakat. Contoh lain order: perintah untuk melaksanakan kerja bakti membersihkan selokan, membersihkan halaman dan bersih desa/kelurahan; perintah untuk bergotong royong seperti membangun jembatan, mendirikan bangunan sekolah dan memperbaiki jalan.

Ketiga, keajegan. Suatu keadaan yang memperlihatkan kondisi keteraturan sosial yang tetap dan berlangsung terus-menerus. Kejaegan adalah kondisiyang berkaitan erat dengan keteraturan sosial, di mana kondisi ini berlangsung tetap serta berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu. Keajegan ini juga adalah hasil hubungan yang terjadi dalam  rutinitas kehidupan manusia. Misalnya fenomena kehidupan sehari-hari, seperti setiap pagi siswa pergi ke sekolah mengenakan pakaian seragam, mengikuti pelajaran dan mengikuti kegiatan lain di sekolah, ayah berangkat kerja, pedagang ke pasar, orang berkendaraan mengenakan helm, dan sebagainya.

Keempat, pola (patrum). Bentuk umum dari interaksi sosial yang menunjukkan adanya keteraturan yang lebih baku apabila dibandingkan dengan tertib sosial maupun keajegan. Dapat dicapai bila keajegan dapat terpelihara dalam berbagai situasi dan kondisi. Pola merupakan suatu bentuk interaksi sosial yang mencerminkan kondisi status sosial seseorang. Misalnya kelompok remaja anak orang kaya sering menghabiskan waktu luang di kafe, sedangkan remaja di kalangan tidak mampu cukup nongkrong di pos ronda atau di warung kaki lima. Orang-orang kaya menghabiskan waktu olahraga dengan bermain golf, orang biasa cukup berolahraga yang tidak mengeluarkan biaya seperti: jalan-jalan, sepeda santai, dan sebagainya.

Khususnya social order atau tatanan sosial, kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat-prasyarat inilah yang disebut tatanan sosial (social order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi. Karena konsep tatanan sosial ini terkait erat dengan konsep-konsep dasar lainnya. Apabila Anda memahami dengan baik konsep-konsep dasar ini, maka Anda akan dapat menganalisis fenomena sosial dengan baik. Prinsip yang bisa kita ambil adalah adanya pengaturan dan ketertataan dari suatu lingkungan sosial. Atas dasar pemenuhan kebutuhan, individu-individu membentuk lingkungan sosial tertentu, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosialnya yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai. Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial (social order). Demikian juga dengan tatanan sosial. Semua persyaratan, antara lain adanya sejumlah individu, interaksi, status dan peranan, nilai dan norma serta proses harus terpenuhi sehingga tatanan sosial tersebut bisa tetap berlangsung dan terpelihara.

Antara interaksi sosial dan keteratuan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan yang erat tersebut dapat dipahami dari asumsi sebagai berikut: (1) dalam interaksi sosial selalu terdapat kontak dan komunikasi, tujuan kontak dan komunikasi adalah untuk mewujudkan keteraturan sosial (ketertiban hidup); (2) keteraturan sosial (ketertiban hidup) akan terwujud apabila proses interaksi berdasarkan pada nilai dan norma sosial yang berlaku; (3) nilai, norma sosial adalah sebagai alat kontrol sosial (pengendalian sosial) terhadap perilaku individu-kelompok untuk terwujudnya keteraturan sosial. Jadi, keteraturan sosial itu mempunyai hubungan yang selaras dan serasi antara interaksi sosial, nilai sosial dan norma sosial (Baharuddin, 2021).

Atau dengan kata lain, hubungan antara keteraturan sosial dan interaksi sosial, digambarkan sebagai berikut: hubungan antara keteraturan sosial dan interaksi sosial adalah keteraturan sosial tidak akan tercipta tanpa adanya interaksi sosial yang selaras dan serasi adengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada; dan dalam status masyarakat yang mengalami ketidakteraturan sosial (konflik), maka interaksi sosial akan sulit dilakukan ataupun akan muncul interaksi sosial yang bersifat negatif.

Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pola keteraturan sosial.
Faktor pendorong, di antaranya: kerja sama (cooperation); dan akomodasi. Sedangkan faktor penghambat, di antaranya: persaingan; kontravensi; dan konflik.

Hal yang harus diperhatikan juga serta tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan terjadinya konflik sosial dalam kehidupan kita. Konflik sosial ini merupakan pertentangan atau perbedaan antara dua kekuatan disertai tindakan ancaman maupun kekerasan.

Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik sosial antara lain: perbedaan antar individu, yaitu perbedaan pendirian atau pendapat dan perasaan yang akan melahirkan konflik; perbedaan kebudayaan, yaitu perbedaan kepribadian dan yang berlatar belakang pola kebudayaan yang berbeda dan secara sadar maupun tidak sadar akan menyebabkan timbulnya konflik; dan perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok, yaitu perbedaan ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Terciptanya Keteraturan Sosial

Keteraturan sosial terbentuk karena ada proses sosial yang dinamakan konformitas.Yaitu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya seseorang berperilaku terhadap yang lain sesuai dengan harapan kelompok.

Konformitas merupakan hasil interaksi sosial dan proses sosial dalam kehidupan manusia bermasyarakat akan memunculkan perilaku-perilaku kesepakatan (conformitas) sebagai bentuk aturan bermain bersama (Sugiyarta, 2002). Menurut Jhon W. Santrock (2003), konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka. Robert A. Baron dan Don Byrne (2003) mengungkapkan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

Keteraturan sosial akan tercipta apabila: (1) dalam struktur sosial terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas sebagai salah satu unsurnya; jika tidak demikian akan menimbulkan anomie, (2) individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (peran sosialisasi), (3) individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku (internalisasi dan enkulturasi), dan (4) berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control) (Halikin, 2014).

Perilaku individu-individu yang merupkan bagian dari masyarakat menentukan bagaimana keadaan masyarakat secara keseluruhan. Misalnya kebiasaan warga masyarakat menjaga kebersihan lingkungannya akan membentuk situasi lingkungan masyarakat yang bersih, sehat, rapi, dan indah. Sebaliknya, jika masing-masing warga masyarakat tidak peduli dengan keadaan lingkungannya, maka situasi lingkungan masyarakat tersebut diwarnai dengan egoisme dan ketidakteraturan, kehidupan masyarakat terdapat sejumlah nilai dan norma yang membatasi perilaku seseorang demi terciptanya keteraturan sosial.

Keteraturan sosial akan tercipta dalam masyarakat apabila : pertama, terdapat sistem nilai dan norma sosial yang jelas. Jika nilai dan norma dalam masyarakat tidak jelas akan menimbulkan keadaan yang dinamakan anomie (kekacauan norma). Kedua, individu atau kelompok dalam masyarakat mengetahui dan memahami nilai nilai dan norma-norma yang berlaku. Ketiga, individu atau kelompok menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Keempat, berfungsinya sistem pengendalian sosial (social control) (Gischa, 2023).

Terdapat tiga persyaratan yang mendasari terciptanya keteraturan sosial dalam masyarakat, yaitu : adanya kesadaran warga masyarakat tentang pentingnya menciptakan keteraturan; adanya norma sosial yang sesuai dengan kebutuhan serta peradaban manusia; dan adanya aparat penegak hukum yang konsisten dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya (Halikin, 2014).

Ciri-ciri terjadinya ketertiban : terjadi suatu sistem dan norma yang jelas; masing-masing individu mengetahui dan memahami norma dan nilai yang berlaku; dan masing-masing individu dapat menyesuaikan tindakannya dengan norma dan nilai sosial yang berlaku.

Interaksi dapat menciptakan keteraturan sosial berdasarkan : kebutuhan nyata (lahir batin); efisiensi pengaturan pergaulan manusia; keefektifan (tujuan hidup); penyesuaian diri pada kebenaran; penyesuaian diri pada kaidah-kaidah yang berlaku (norma-norma); dan  sikap tidak memaksakan kehendak secara mental dan fisik.

Semoga bermanfaat !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|