Menuju Kota Bima “BISA” ( I )

3 days ago 8

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)

INIPASTI.COM,  Pemerintah Kota Bima Nusa Tenggara Barat meluncurkan Gerakan BISA yang merupakan akronim dari “Bersih, Indah, Sehat dan Asri”. Peluncuran gerakan ini sebagai wujud ikhtiar nyata Wali Kota Bima H. A. Rahman H. Abidin, SE dan Feri Sofiyan, SH untuk menciptakan Kota Bima bermartabat, salah satunya menciptakan lingkungan yang sehat dan asri.

Peluncuran gerakan BISA tersebut dilakukan pada puncak perayaan Hari Ulang Tahun Kota Bima Ke-23 (10 April 2025) yang ditandai dengan penekanan tombol sirine oleh Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Hj. Indah Dhamayanti Putri, SE, M.IP.

Gerakan BISA merupakan bentuk nyata kontribusi pemerintah dan masyarakat dalam membangun daerah, terutama kaitan persoalan kebersihan, keindahan lingkungan, dan kesehatan masyarakat. Kota Bima memproduksi sampah sekitar 150 meter kubik sampah setiap hari, namun kapasitas pelayanan hanya mampu melayani 65 persen setiap hari dari total sampah yang ada. Artinya, masih ada tumpukan-tumpukan sampah di lingkungan sekitar kita yang belum tertangani dengan maksimal. Belum lagi, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang sudah over kapasitas, armada yang terbatas, personil kebersihan masih kurang dari ideal.

Gerakan BISA adalah gerakan moral, sosial, edukatif dan strategis untuk membangun budaya bersih dan sehat.

Guna mendalami gerakan BISA ini, penulis membaginya dalam empat tulisan, mulai dari gerakan bersih, indah, sehat dan terakhir gerakan asri.

Seorang bijak mengatakan “biasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.” Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk membiasakan (baca: membudayakan) hal yang baik dan benar tidaklah mudah, karena sebagian masyarakat terpolarisasi membenarkan yang biasa (baca: budaya), atau dalam bahasa para motivator adalah berada dalam comfort zone. Individu yang selalu merasa nyaman dalam wilayahnya akan mengalami “kejut sosial” ketika zaman berubah dengan cepat dan “mengusik” masa kejayaan yang telah lama dinikmati.

            Kata bersih dari akronim BISA, dapat ditafsirkan bermacam-macam, mulai dari bersih diri, bersih keluarga, bersih ligkungan dan hidup bersih, dan lain-lain.

            Dalam artikel ini, bersih penulis terjemahkan sebagai keadaan terbebas dari kotoran, termasuk di antaranya debu sampah dan bau. Kebersihan adalah salah satu tanda hygiene yang baik. Manusia perlu menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar tidak malu, menyebarkan kotoran dan bau juga menularkan kuman penyakit bagi orang lain. Tingkat kesejahteraan individu secara umum terukur dari penampilan bersih, harum dan rapi.

Kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena berpengaruh pada kesehatan tubuh dan psikis seseorang. Kebersihan dipengaruhi antara lain : kebudayaan, lingkungan sosial, keluarga, pendidikan dan persepsi individu terhadap kesehatan. Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani, yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene yang berarti sehat. Kebersihan diri/perorangan adalah suatu tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik.

Sampah dan Persoalannya

Sudrajat (Kahfi, 2017) mengungkapkan bahwa sampah adalah suatu persoalan yang sangat penting terutama pada masyarakat yang tinggal di perkotaan, dan ini bisa terjadi diakibatkan oleh beberapa faktor. (i) Daya dampung TPS dan TPA yang terbatas dikarenakan jumlah sampah yang sangat banyak. (ii) lahan TPA yang lumayan kecil dan mengarah pada lain tujuan. (iii) teknologi penanganan pengelolaan sampah yang tidak ideal, dapat mengakibatkan meningkatnya kapasitas sampah yang membusuk. (iv) sampah yang lama berada di TPA ataupun kompos tidak diangkat keluar dari TPA. (v) tidak efektifnya manajemen penanganan pengelolaan sampah. (vi) lemah atau kurangnya peranan dan dukungan atas kebijakan pemerintah.

Penanganan sampah yang tidak baik dan tempat pembuangan yang tidak terkontrol, merupakan tempat bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang, seperti; lalat dan anjing. Dampak ini memberikan potensi penyakit yang dapat ditimbulkan dapat diuraikan berikut ini: penyakit diare, kolera dan tifus. Penyakit ini dapat menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. Penyakit demam berdarah (haemorhagic fever) dapat juga meningkat dengan cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai. Penyakit jamur. Penyakitini dapat juga menyebar, seperti: jamur kulit. Penyakit cacingan. Penyakit ini dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini sebelumnya masuk kedalam pencernakan binatang ternak melalui makanannya yang berupa sisa makanan dan sampah (Abduh, 2018)

Tidak dapat dibenarkan, tingginya kapastitas sampah menjadi permasalahan besar yang ditemui oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan sekaligus menjadi persoalan lingkungan hidup. Yang merupakan faktor-faktor penyebab menumpuknya sampah yakni sebagai berikut: (i) daya tampung TPA yang kurang dalam kapasitasnya dan diiringi dengan jumlah sampah yang sangat banyak. (ii) Waktu untuk mengangkut sampah yang kurang efektif dikarenakan interval atau jarak TPA dengan pusat sampah yang relatif jauh. (iii) Fasilitas atau peralatan pemindahan sampah yang sedikit hingga terbatas maka tidak mampu mengangkat semua sampah. (iv) Sisa sampah yang ada di TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yang berkapasitas atau berpotensi menjadi gunungan sampah. (v) Teknologi penanganan pengelolaan sampah yang tidak ideal, dapat mengakibatkan meningkatnya kapasitas sampah yang membusuk. (vi) Adanya lingkungan yang tidak mempunyai lokasi pembuangan atau penampungan sampah, hingga kerap membuang sampah sembarangan. (vii) Kurangnya pemasyarakatan atau sosialissi dan support pemerintah terkait penanganan pengelolaan sampah. (viii) Sedikitnya kesadaran memanajemen diri dan edukasi tentang penanganan pengelolaan sampah dengan baik. Dan (ix) pemanajemenan sampah yang kurang tepat (Kahfi, 2017).

Perilaku Membuang Sampah

Perilaku individu dapat dipengaruhi oleh adanya norma sosial, lingkungan dan kebiasaan yang akan membentuk suatu perilaku manusia. Dalam hal ini keberadaan sampah di kehidupan seharihari tidak pernah lepas dari perilaku manusia yang membuang sampah sembarangan, perilaku ini tidak mengenal tingkat pendidikan maupun status sosial, perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap sampah akan berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan (Marojahan, 2015).

Perilaku membuang sampah sembarangan (littering behavior) seolah telah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia. Padahal, kerugian yang ditelan akibat perilaku ini tidak main-main.

Kerusakan lingkungan yang berasal dari perilaku manusia terutama yang beralasan demi meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup, kerusakan daya dukung sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan seperti industrialisasi, penggunaan bahan bakar fosil dan limbah rumah tangga yang dibuang di sungai sungai (Susilo, 2014). Limbah sisa yang dihasilkan manusia sudah sepatutnya harus dibuang. Akan tetapi, limbah tersebut juga harus dibuang pada tempatnya.

Pembuangan limbah secara sembarangan dapat menyebabkan rusaknya lingkungan. Kerusakan lingkungan oleh sampah dapat mencemari tanah, laut bahkan udara. Hal ini dikarenakan sampah terutama plastik terbuat dari penyulingan minyak dan gas, kedua jenis sumber daya alam ini merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbarui. Maka dari itu sampah plastik sangat sulit terurai oleh alam dan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Penanganan sampah berhubungan dengan perilaku masyarakat yang memproduksi sampah. Menangani sampah mulai dari hulu akan membuat permasalahan sampah menjadi sederhana. Meyadarkan masyarakat, sebagai produsen sampah, untuk tidak memproduksi sampah dalam jumlah banyak dan juga dengan tidak membuang secara sembarangan, akan dapat mengurangi permasalahan sampah (Pramono dalam Ashidiqy, 2009).

Kondisi sosial dan budaya menjadi faktor yang sangat penting untuk mengetahui kebiasaan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah. Selain itu, pola konsumtif masyarakat dan gaya hidup masyarakat juga akan mempengaruhi besarnya timbunan sampah dan komposisi sampah yang dimiliki (Pramono dalam Ashidiqy, 2009).

Kebiasaan dan perilaku masyarakat juga tebawa dalam aktivitas membuang sampah. Sampah yang drespondenang dibiarkan tercampur dan tidak ada usaha apapun untuk memisahkan antara sampah organik dan anorganik. Kondisi sampah yang tercampur tersebut sangat menyulitkan bagi pemerintah dan pihak yang berkepentingan untuk memisahkan sampah dan melakukan proses didaur ulang.

Perilaku membuang sampah sembarangan termasuk hidup tidak selaras dengan alam.  Karena adanya ketidakharmonisan hubungan antara manusia dengan alam. Dalam buku Karakter Pancasila (Uchrowi, 2012), jika hidup selaras dengan alam berarti memiliki kehidupan dan hubungan yang harmonis dengan alam. Artinya manusia dapat hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. Berbeda dengan hidup tidak selaras dengan alam. Manusia sering melakukan kegiatan atau aktivitas yang sifatnya merusak alam. Sehingga hubungannya tidak harmonis dengan alam. Perilaku tidak selaras dengan alam Seperti yang dijelaskan di atas, perilaku membuang sampah sembarangan termasuk hidup tidak selaras dengan alam. Manusia melakukan kegiatan, yakni membuang sampah sembarangan, yang disadari atau tidak, kegiatan tersebut dapat merusak alam. Menurut Jayendra dan Ida Bagus Arya Lawa Manuaba (2020), hidup tidak selaras dengan alam akan menimbulkan kekacauan serta kerugian bagi umat manusia. Dalam hal ini, perilaku membuang sampah sembarangan sangat merugikan manusia. Contohnya bencana banjir, selokan dan air sungai meluap karena tumpukan sampah, lingkungan menjadi kotor dan tidak sehat, serta munculnya sarang penyakit.

Apakah perilaku membuang sampah di sungai dapat dikatakan hidup tidak selaras dengan alam? Ya tentu saja. Perilaku membuang sampah di sungai juga termasuk hidup tidak selaras dengan alam. Pertama, karena manusia hanya mementingkan dirinya sendiri. Membuang sampah di sungai menjadi pilihan utama karena tidak perlu mengolah limbah dan sangat mudah dilakukan. Kedua, perilaku ini juga mencerminkan sikap manusia yang tidak menghormati dan menghargai alam beserta makhluk hidup lain di dalam maupun sekitar sungai (Putri dan Serafica Gischa, 2021).           

Penyebab utama bagaimana perilaku membuang sampah sembarangan ini bisa terbentuk dan bertahan kuat di dalam perilaku. Pertama, sistem kepercayaan masyarakat terhadap perilaku membuang sampah. Sangatlah mungkin masyarakat merasa bahwa perilaku membuang sampah sembarangan ini bukan suatu hal yang salah dan tidak berdosa. Kedua, norma dari lingkungan sekitar seperti keluarga, tetangga, sekolah, lingkungan kampus, atau bahkan di tempat-tempat pekerjaan. Pengaruh lingkungan merupakan suatu faktor besar di dalam munculnya suatu perilaku. Perilaku membuang sampah sembarangan ini tentu tidak akan pernah lepas dari pengaruh lingkungan sekitar.

            Ketiga, kontrol perilaku yang dirasakan seseorang akan melakukan suatu tindakan yang dirasa lebih mudah untuk dilakukannya karena tersedianya sumber daya. Jadi, orang tidak akan membuang sampah sembarangan bila tersedia banyak tempat sampah di pinggir jalan.

Pembuangan Sampah Sembarangan

Hansmann dan Scholzt (Chintya, 2022) littering ialah pembuangan sampah yang tidak benar, dan ceroboh dari jumlah yang kecil. Sampah seperti bungkus permen, sedotan, batang lolipop, putung rokok walaupun kecil, apabila dibuang tidak pada wadahnya akan menyumbangkan efek buruk bagi lingkungan. Item dibuang baik secara aktif maupun pasif (Sibley dan Liu dalam Lathifah, 2020)), mengotori tempat seperti taman, jalan, jalan setapak, tempat berkemah, kafe, toko atau bangunan umum lainnya. Merupakan contoh praktik yang tidak dapat diterima secara lingkungan dan sosial (Furusa, 2015).

Littering juga dipahami sebagai perilaku orang-orang yang melempar limbah atau sampah di sekitar area yang sedang mereka tempati secara tidak benar di dalam atau luar ruangan (Moqbel, et al., 2019). Littering, dalam penelitian yang dilakukanoleh Sibley dan Liu (Chintya, 2022) merupakan kegiatan yang meliputi membuang sampah ketika melewati suatu area (littering active), serta sampah ditempatkan di area yang ditempati, ketika meninggalkan area tersebut, sampahnya tertinggal (littering passive). Littering active salah satu contohnya ialah ketika seseorang berjalan di taman, lalu melemparkan sampahnya di sembarang tempat, tidak diambil dan dibuang dengan benar.

Sedangkan littering passive seperti ketika seseorang makan atau minum di kursi taman pada saat ia duduk, kemudian ketika ia mengosongkan kursi, sampahnya tertinggal dan gagal dibuang dengan baik. Littering juga diartikan sebagai menjatuhkan dan meninggalkan benda-benda seperti botol, kaleng, kemasan makanan atau minuman, atau putung rokok di jalanan, atau area rekreasi umum seperti taman dan pantai yang tidak dibuang dengan benar (Partin, et al., 2020). Hal ini dapat tentu dapat memperburuk sumber daya alam dan sekitarnya yang tidak hanya berdampak pada lingkungan saja, tetapi akan berdampak pula pada manusia itu sendiri. Selain itu, Ojedokun (Chintya, 2022) turut memberikan definisi tentang littering yang merupakan kegiatan menjatuhkan sampah di atas tanah.

Perilaku membuang sampah sembarangan adalah kegiatan membuang, melempar, meletakan atau meninggalkan sampah, tidak pada tempat yang seharusnya pada saat melewati atau meninggalkan suatu area, dengan ukuran sampah yang relatif kecil (Sibley & Liu dalam Chintya, 2022).

Terdapat dua dimensi terkait dengan perilaku membuang sampah sembarangan, yaitu: pertama, active littering. Meliputi kegiatan ketika seseorang sedang memegang sampah sambil melewati suatu area, kemudian ia sengaja meninggalkan atau melemparkan sampah pada area tersebut. Contohnya ialah, seperti seseorang yang membuang sampah di jalan, kemudian ia melanjutkan perjalanannya tanpa mengambil dan membuang sampah tersebut pada tempat seharusnya. Kedua, passive littering. Meliputi kegiatan pada saat seseorang meletakan sampah pada area yang sedang ditempati, namun ketika meninggalkan area tersebut sampahnya tertinggal dan tidak terbuang pada tempatnya. Contohnya seperti seseorang yang meletakan sampah kemasan ketika duduk di bangku taman, namun, ketika mengosongkan bangku, sampahnya tertinggal (Sibley & Liu dalam Chintya, 2022),.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, mayoritas atau sebanyak 70,50% desa atau kelurahan di Indonesia membuang sampah ke dalam lubang atau dibakar.  Hanya 19,40% desa atau kelurahan yang sebagian besar keluarga membuang sampah di tempat sampah. Lalu, sebanyak 5,82% desa atau kelurahan yang sebagian besar keluarga membuang sampah ke saluran irigasi, danau, dan laut. Selain itu, sebanyak 3,90% desa atau kelurahan membuang sampah sebagian besar keluarga ke tempat lainnya. Sebanyak 0,38% desa atau kelurahan membuang sampah sebagian besar keluarga ke drainase.

Rendahnya kesadaran masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan dikarenakan minimnya ketersediaan tempat pembuangan sampah.  Hal ini juga disertai dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat disertai dengan perubahan pola perilaku belanja konsumtif masyarakat yang semakin tinggi.

Hal tersebut, akan menimbulkan peningkatan jumlah sampah plastik yang melonjak tajam dan tidak disertai dengan keselarasan pengetahuan tentang persampahan dan juga partisipasi masyarakat yang kurang untuk memelihara kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya.

Perilaku membuang sampah yang dilakukan oleh masyarakat terbentuk secara spontan karena warga meyakini bahwa sampah yang dibuang akan dibersihkan oleh petugas kebersihan.

Faktor lain yang membentuk perilaku masyarakat adalah banyaknya timbulan sampah yang telah telanjur tersebar di beberapa tempat. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, tentunya sangat berimplikasi signifikan untuk mengubah perilaku masyarakat yang dianggap sebagai budaya.

Belajar dari Denmark

Berbeda halnya dengan Denmark, menurut Index Kinerja Lingkungan yang dikutip dari World Population Review pada tahun 2022, menempatkan Denmark sebagai negara terbersih di dunia dengan skor sebesar 82,5.

Keunggulan Denmark sebagai negara terbersih ditunjukkan dengan sistem pengolahan limbah dan sampah yang baik. Tidak hanya itu, Denmark juga memiliki kebijakan yang komprehensif dan efektif dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga mencegah perubahan iklim.

Selain Denmark, melansir dari Sustainability mag, Jerman juga menjadi negara dengan sistem pengolahan sampah terbaik dengan persentase mencapai 56,1%.

Sistem pengolahan sampah yang dilakukan Jerman sederhana tapi mendetail. Di samping itu, Jerman juga menerapkan green dot policy di mana seluruh kemasan daur ulang harus diberi tanda khusus.

Membuang sampah sudah menjadi budaya bagi masyarakat. Namun, perlu diketahui membuang sampah sembarangan akan merusak pemandangan, mendatangkan bau yang tidak sedap, mendatangkan bencana seperti banjir, wabah penyakit yang dapat mencemari lingkungan, polusi udara, polusi tanah serta polusi air.

Faktor Pemicu

Terdapat sejumlah model yang dapat menjelaskan terjadinya perilaku membuang sampah sembarangan baik melalui pengaruh langsung maupun tidak langsung. Di antaranya : terdapat enam variabel endogenus (environmental knowledge, self-control, egoistic value, environmental responsibility, environmental concern, dan sikap) dan tujuh variabel eksogenus (gender, usia, faculty enrolment (fakultas kesehatan dan kedokteran, fakultas sains, dan fakultas agama), merokok, dan peer-littering) (Chintya, 2022).

Penelitian yang dilakukan oleh Dutch organization VROM (2010), bahwa 80 % manusia meninggalkan selembar kertas, benda yang terbuat dari timah atau benda lain, di belakangnya saat berjalan (Ezzarrouki, 2015). Ketika seseorang memilih untuk peduli terhadap kebersihan lingkungan, maka menurut Licy (2013), kepedulian (awreness) terhadap pengelolaan sampah dapat meningkatkan praktek pengelolaan sampah yang baik. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Hassan (2010) memberikan gambaran bahwa tingkat pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness) dan sikap (attitude) terhadap lingkungan pada siswa (mahasiswa UKM) adalah tinggi namun kenyataannya praktek di lapangan masih berada pada level menengah. Oleh karenanya, disarankan agar diadakannya pendidikan terhadap lingkungan yang komprehensif bagi semua mahasiswa, khususnya yang berada di institusi pendidikan tinggi agar kesadaran (awareness) terhadap lingkungan meningkat.

Ada sejumlah faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam membuang sampah rumah tangga, di antaranya tingkat pendidikan, pendapatan, pengetahuan, pekerjaan, pola pikir, sikap masyarakat, tempat pembuangan sampah yang relatif jauh, sarana dan prasarana pengangkutan sampah yang tidak lengkap.

Menurut penelitian Rangkuti & Safitri (2022), terdapat korelasi antara tingkat pendidikan masyarakat dengan perilaku pengolahan sampah. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki perilaku yang lebih baik dalam mengolah sampah. Sebaliknya, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung memiliki pengetahuan yang kurang mengenai pengolahan sampah, yang pada akhirnya berdampak pada perilaku membuang sampah sembarangan. Dengan demikian, tingkat pendidikan masyarakat sangat mempengaruhi perilaku pengolahan sampah, termasuk perilaku buang sampah sembarangan (Marpaung, et al., 2022).

. Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat partisipasinya dalam sebuah kegiatan (Pangestu dalam Putra, dkk., 2013). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah memberi informasi dan pembinaan. Tingkat pendapatan keluarga dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap kegiatan penanganan sampah. Orang yang memiliki pendapatan tinggi cenderung melakukan penanganan lebih baik, misalnya, mereka akan menyediakan tempat sampah di dalam maupun di luar rumah serta membayar orang lain untuk menangani sampah yang mereka hasilkan.

. Tingkat pendapatan keluarga dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap kegiatan penanganan sampah. Orang yang memiliki pendapatan tinggi cenderung melakukan penanganan lebih baik, misalnya, mereka akan menyediakan tempat sampah di dalam maupun di luar rumah serta membayar orang lain untuk menangani sampah yang mereka hasilkan (Pangestu dalam Putra, dkk., 2013).

Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Sementara masyarakat yang mempunyai pengetahuan kurang baik tentang pengelolaan sampah, disebabkan karena kurangnya kemampuan mereka merespon tentang pernyataan melalui kuesioner yang diberikan oleh peneliti, dan kurangnya informasi yang mereka dapatkan tentang pengelolaan sampah (Akbar, et al., n.d. 2021)

Pola pikir individu terhadap sampah merupakan peran yang penting dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan demi menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan. Pola pikir yang positif terhadap sampah dapat mendorong masyarakat untuk mengambil tindakan yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungannya, seperti membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah dan mendaur ulang dan lain-lain. Pola pikir dapat berpengaruh pada persepsi, pengetahuan dan pengalaman individu atau kelompok dalam berbagai aspek (Reza, dkk, 2024).

Faktor lain adalah kurang tegas pemerintah. Dengan adanya perilaku sebagian warga yang membuang sampah sembarangan merupakan pelanggaran terhadap norma sosial. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak ada sanksi atau denda terhadap masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Reynhard (2019) menyebutkan bahwa perilaku buang sampah sembarangan di masyarakat disebabkan oleh kurangnya tindakan pemerintah setempat seperti membuat peraturan tentang pemberian sanksi membuang sampah sembarangan.

Kesadaran Lingkungan dan Sikap Terhadap Sampah

Istilah kesadaran lingkungan memiliki konotasi yang luas. Ini tidak hanya menyiratkan pengetahuan tentang lingkungan tetapi juga sikap, nilai dan keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah terkait lingkungan. Apalagi, kesadaran lingkungan merupakan langkah awal yang akhirnya mengarah pada kemampuan untuk melakukan perilaku sebagai warga negara yang bertanggung jawab (Sengupta dan Maji, 2010).

Kesadaran lingkungan adalah sebuah konsep yang sangat abstrak dan pengukuran yang dilakukan juga belum bisa sampai pada tahap sempurna (Harju Autti, 2013). Meskipun konsep kesadaran lingkungan lumayan akrab dan dikenal oleh kebanyakan orang, namun belum ada defenisi yang benar-benar diterima secara umum, bahkan di literatur berbahasa Inggris terdapat banyak sekali istilah yang berbeda dengan konsep yang sama (Ham, Mrcela, dan Horvat, 2015).

Kesadaran lingkungan didefinisikan sebagai keadaan sadar, memiliki pengetahuan, dan sadar akan lingkungan eksternal tempat orang tinggal dan bekerja, dan yang cenderung mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang lain (Harju-Autti, 2013). Kesadaran lingkungan juga merupakan kombinasi antara: motivasi, pengetahuan dan keterampilan (Partanen-Hertell, Harju-Autti, Kreft-Burman, dan Pemberbon, 1999). Kokkinen (2013) menyatakan bahwa kesadaran lingkungan memiliki beberapa elemen yaitu : (a) motivasi, nilai, dan sikap; (b) pengetahuan lingkungan; (c) skill dan kemampuan untuk bertindak. Nilai adalah tujuan trans-situasional, sangat penting, yang berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan seseorang atau kelompok (Schwartz dalam Lathifah, 2020).

Kesadaran lingkungan adalah keadaan dimana individu memiliki pengetahuan mengenai lingkungan dan permasalahannya, motivasi untuk menjaga lingkungan, serta keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah terkait lingkungan.

Ezzarrouki (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa awareness memiliki efek yang signifikan untuk mengubah perilaku membuang sampah sembarangan secara sementara dan segera. Kesadaran (awareness) ungkap Kamalia (2010) merupakan salah satu ciri-ciri tingkah laku alturistic dan berlawanan dengan egoistic, di mana kedua nilai ini merupakan nilai-nilai personal (personal value) yang dimiliki oleh individu.

Kesadaran lingkungan adalah hal yang penting untuk dikembangkan untuk membentuk sikap positif manusia terhadap lingkungannya. Seseorang dengan kesadaran lingkungan yang tinggi akan bertindak untuk mencicptakan serta mengelola lingkungan yang bersih (Indarwati dan Untarini, 2017).

Menurut Cosby (Safitri and Iriani, 2016), kesadaran lingkungan sebagai sikap umum dengan efek yang tidak langsung pada perilaku yaitu melalui niat perilaku. Sikap ini mengarah pada tingkat emosionalitas, jumlah pengetahuan secara faktual, serta tingkat kemauan perilaku aktual terhadap isu-isu pencemaran lingkungan. Schlegelmich, et.al. (Indarwati dan Untarini 2017) menyatakan bahwa dalam kesadaran lingkungan terdapat dimensi pengetahuan, komponen sikap dan tindakan seseorang dalam melindungi dan melestarikan lingkungan.

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmodjo, 2010). Boedjo (Prawidya, 2015) mengemukakan bahwa sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa: 1) individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya, 2) individu menerima lingkungannya, yaitu bila keadaan lingkungan cocok dengan keadaan individu, 3) individu bersikap netral, apabila individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut, yaitu bagaimana sebaiknya bersikap.

Large (Tayeb dan Firdaus Daud, 2021) menggunakan istilah sikap dalam bidang eksperimen mengenai respon untuk menggambarkan kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba, jadi sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan mencakup pula aspek respon fisik (Azwar, 2003). Newcome (Tayeb dan Firdaus Daud, 2021), salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain fungsi sikap merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan), atau reaksi tertutup (Widayati, 2017).

Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang menurut Azwar (2003). Pertama, komponen kognitif. Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotype yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Persepsi dan kepercayaan seseorang berhubungan dengan pengelolaan sampah. Kepercayaan dating dari apa yang telah dilihat atau apa yang telah diketahui. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tertentu. Kedua, komponen afektif. Komponen afektif melibatkan perasaan atau emosi. Reaksi emosional kita terhadap suatu objek akan membentuk sikap positif atau negatif terhadap objek tersebut. Reaksi ini banyak ditentukan oleh kepercayaan, yakni kepercayaan baik atau tidak baik, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Komponen ini juga berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap pengelolaan sampah. Ketiga, komponen Perilaku (komponen konatif). Komponen konatif atau kecendrungan bertindak (berperilaku) terhadap pengelolaan sampah. Komponen ini banyak ditentukan oleh kepercayaan dan perasaan, dengan kecenderungan berperilaku atau bertindak terhadap pengelolaan sampah.

Pentingnya Personal Hygiene

Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal yang sangat berpengaruh itu diantaranya kebudayaan, sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Kebersihan diri (personal hygiene) merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologi (Hidayat, 2009). Personal hygiene merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus senantiasa terpenuhi. Personal hygiene termasuk kedalam tindakan pencegahan primer yang spesifik. Personal hygiene menjadi sangat penting karena personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit (Saryono, 2011).

Kebersihan diri (personal hygiene) merupakan salah satu upaya peningkatan kesehatan. Kebersihan diri sangat penting dan harus diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan fisik dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh di antaranya kebudayaan, sosial, keluarga, pendidikan, dan persepsi seseorang terhadap kesehatan. Kebersihan badan, tempat tidur, kebersihan rambut, kuku, gigi dan mulut perlu mendapat perhatian, agar terjaga kesehatan. Kebersihan diri harus ditanamkan sejak dini pada anak-anak, agar mereka terbiasa melakukan kebersihan diri baik di sekolah maupun di rumah (Kusmiyati, dkk., 2019).

Data yang menyangkut dengan personal hygiene terhadap insiden penyakit menurut Kemenkes RI publikasi 2018, bahwa Pada tahun 2016 penderita diare di Indonesia yang ditangani sebanyak 46,4% dari jumlah penderita diare keseluruhan yang tercatat berjumlah 6.897.463 orang. Dalam Kemenkes RI (Sulandari, dkk. 2020), juga menyebutkan kejadian prevalensi kasus kecacingan pada anak SD di Indonesia sebanyak 24,1%. Sedangkan penyakit infeksi kulit di tahun 2011 mencapai 65% penduduk pedesaan, hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan dan perilaku hidup masyarakat yang tidak sehat.

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) (2013), terjadi peningkatan prevalensi karies gigi pada kelompok umur 10-12 tahun di seluruh dunia, yakni sebesar 13,7% dari 28,9% pada tahun 2007 naik menjadi 42,6% pada tahun 2013. Di Indonesia, terjadi peningkatan prevalensi terjadinya karies aktif pada penduduk Indonesia dibandingkan tahun (2010) lalu, yaitu dari 43,4 % (2007) menjadi 53,2 % atau 93 juta jiwa pada Tahun 2017, dan banyak terjadi pada usia sekolah dasar (Kemenkes RI, 2017).

Stern dan Diez (Lathifah, 2020) menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap lingkungan dipengaruhi oleh nilai personal (personal value). Nilai personal (personal value) merupakan faktor paling penting untuk membedakan individu yang memperhatikan kelestarian lingkungan (environmentalist) dan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan (non environtmentalist) (Ezzarrouki, 2015).

Hasil penelitian Kamalia, dkk (2015) menujukkan bahwa terdapat peranan nilai personal (personal value) terhadap perilaku pro-lingkungan, yaitu pada nilai universalisme dan power. Schultz (2001) menunjukkan bahwa nilai egoistic berhubungan positif dengan self transcendence (universalisme), dasar nilai alturistic sama dengan basis nilai biospheric (lingkungan), alturistic berhubungan negatif dengan self enhanchement (power) dan berhubungan positif dengan self transcendence (universalisme). Begitu juga nilai biospheric berhubungan negatif dengan self enhanchement (power) dan berhubungan positif dengan self transcendence (universalisme).

Perilaku Pro-Lingkungan

Perilaku pro lingkungan merupakan perilaku yang hadir dari kesadaran seseorang dalam meminimalkan dampak negatif dari tindakan seseorang terhadap alam dan juga pembangunan, seperti meminimalkan penggunaan sumber daya, penghematan konsumsi energi, penggunaan bahan-bahan yang tidak beracun dan pengurangan produksi sampah (Kollmuss and Agyeman dalam Aulia, 2019). Ramus dan Kilmer (Palupi dan Sawitri, 2017) berpendapat bahwa perilaku pro lingkungan merupakan tipe khusus dari perilaku pro sosial di mana yang berarti sebuah perilaku yang diarahkan dan dilakukan untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok atau organisasi. Dalam jurnal (Paramita and Yasa 2015) perilaku konsumsi sadar ekologis bahwa Akehurst, et al. (2012) menyatakan peningkatan kesadaran lingkungan memiliki dampak terhadap perilaku pembelian masyarakat, khususnya terhadap niat pembelian hijau. Junaedi (Aulia, 2019) menjelaskan kesadaran sosial masyarakat terlihat pada seseorang ketika mereka berusaha untuk memikirkan perilaku pembeliannya yang berhubungan dengan pencemaran dan pengaruh sosial lingkungannya.

Hines dan Tomera melakukan meta-analisis dari 128 studi penelitian perilaku pro-lingkungan menemukan variabel-variabel yang terkait dengan perilaku pro-lingkungan yang bertanggung jawab (Kollmuss and Agyeman, 2002). Pertama, pengetahuan tentang masalah.  Indivindu harus memahami dengan masalah lingkungan disekitarnya beserta penyebabnya. Kedua, pengetahuan tentang strategi tindakan. Individu harus memahami bagaimana harus bertindak menyikapi dan mengurangi dampak dari masalah lingkungan tersebut.individu tertakit kemampuan yang dimilikinya untuk melakukan perubahan melalui perilakunya sendiri. Orang-orang dengan locus of control internal yang kuat meyakini bahwa tindakan mereka nantinya akan membawa perubahan. Orang dengan lokus of control eksternal, merasa bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak penting dan merasa jika yang dapat melakukan perubahan adalah orang lain yang lebih kuat. Ketiga, sikap. Orang dengan sikap pro-lingkungan yang kuat cenderung terlibat dalam perilaku pro-lingkungan, akan tetapi hubungan antara sikap dan tindakan terbukti lemah. Keempat, komitmen verbal. Kesediaan individu yang dikomunikasikan untuk mengambil tindakan juga memberikan beberapa indikasi terkait kesediaan orang tersebut untuk terlibat dalam perilaku pro-lingkungan. Kelima, rasa tanggung jawab individu. Seseorang dengan rasa tanggung jawab personal yang tinggi akan cenderung terlibat dalam perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Seuntai Harapan

Itulah sejumlah untaian harapan menuju Kota Bima “BISA”. Satriadharma (Sudaryanto, 2008), mengelola sampah bukan sekadar teknis namun diperlukan knowledge dan attitude, memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang sampah. Berdasarkan hal tersebut, maka penyuluhan kepada masyarakat menjadi sangat penting agar masyarakat dapat mempunyai pengetahuan tentang pengelolaan sampah secara benar, sikap terhadap pengelolaan sampah yang semakin positif untuk mendukung terciptanya lingkungan yang seimbang.

Persoalan lingkungan hidup adalah masalah yang harus dicarikan solusi. Tiap periode peradaban manusia selalu ada masalah lingkungan. Ada kecenderungan, saat ini manusia tidak bijak mengelola lingkungan. Banyak masalah lingkungan yang perlu ditangani pada tingkat indivudi, membutuhkan individu untuk mengembangkan sikap yang akan membimbing pada perilaku yang mendukung lingkungan (Hamad Al-Rabaani and Al-Mekhlafi, 2009).

Usaha yang dapat dilakukan yaitu mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan. Masyarakat perlu digugah kesadaran dan kepeduliannya agar mencegah atau mengurangi pencemaran lingkunganPemanfaatan barang bekas, tidak membuang sampah semabarangan, dan menunjukkan gaya hidup hemat adalah sikap yang perlu ditanamkan pada masyarakat mulai dari anak-anak (Haryanto, 2018).

“Lingkungan hijau dan bersih bukan hanya sebuah aspirasi tetapi sebuah tindakan” (Christine Pelosi).

Semoga bermanfaat !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|