Meretas Keterisolasian Masyarakat Pesisir

1 week ago 23

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)

INIPASTI.COM,  Keterisolasian (isolation) sebagai salah satu perangkap kemiskinan sebagaimana dikemukakan Chambers (1981), bukan sekadar keterisolasian individu nelayan an sich, akan tetapi diterjemahkan juga sebagai keterisolasian wilayah.

Dimensi keterasingan seperti yang dimaksudkan oleh Chambers (Kamal, 2020) adalah faktor lokasi yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Pada umumnya, masyarakat yang disebut miskin ini berada pada daerah yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan sebagian besar fasilitas kesejahteraan lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti di perkotaan atau kota-kota besar. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif memiliki taraf hidup yang rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab adanya kemiskinan. 

Bentuk ketidakberdayaan masyarakat dalam aepek ekonomi ini, Nurnaningsih (2017) menjelaskan dalam artikelnya “Kemiskinan Semakin Merajalela di Kalangan Masyarakat”, mulai dari sekadar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan. Kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa, kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Atau ada pula yang mengatakan bahwa kemiskinan, merupakan ketidak berdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintahan. Sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereks ploitasi (kemiskinan struktural).

Kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakat pesisir, seperti nelayan, juga dipicu keterisolasian wilayah dengan akses sarana dan prasarana yang jauh dari memadai. Hal ini dapat dicerna dengan paparan pakar. Misalnya, menurut Khatiwada (2017), ciri-ciri masyarakat nelayan yaitu rendahnya tingkat pendidikan dan kondisi sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasarana yang kurang memadai, banyaknya bangunan liar dan kondisi lingkungan yang cenderung kumuh. Mubyarto (1984) bahwa faktor penyebab kemiskinan nelayan di daerah pantai bersifat saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu 1) kurangnya sarana dan prasarana penunjang pembangunan, 2) rendahnya penerapan teknologi perikanan, dan 3) lemahnya sumber daya keluarga nelayan.

Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya (Kartasasmita, 1996). Pendapat hampir senada dikemukakan Koncoro (2006), bahwa di antara penyebab utama kemiskinan, yakni kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat.

Ragam Keterisolasian Wilayah

Keterisolasian wilayah karena keterbatasan akses, baik telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, transportasi, maupun permukiman, terutama di desa-desa di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, pulaupulau kecil terluar, wilayah pesisir menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan di wilayah pesisir. Dimensi aksesibilitas/transportasi, misal terbatasnya sarana transportasi dan aksesibilitas transportasi. Dimensi kondisi infrastruktur, misal terbatasnya infrastruktur ekonomi, infrastruktur energi, infrastruktur kesehatan dan sanitasi serta, infrastruktur komunikasi dan informasi.

Kurangnya infrastruktur menyebabkan banyak masyarakat hidup terkurung di wilayah terisolasi dengan tingkat kemiskinan yang sangat parah. Berbagai persoalan mendera kehidupan masyarakat mulai dari kemiskinan, wabah penyakit menular, gizi buruk, buta huruf dan keterbelakangan. Obat mujarab yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit tersebut adalah dengan membangun infrastruktur dasar seperti jalan raya, irigasi, air bersih, pendidikan, kesehatan dan sebagainya (Hermanto et al., 1995; Dardak, 2009).

Keterisolasian akibat fasilitas, sarana prasarana, mobilitas dan informasi yang terbatas. Masalah keterisolasian. Keterisolasian fisik tercermin dari kantong-kantong kemiskinan yang sulit dijangkau sedang keterisolasian sosial tercermin dari ketertutupan dalam integrasi masyarakat miskin dengan masyarakat yang lebih luas (Prem, 2002).

Keterisolasian geografis menjadi permasalahan yang sudah ada sejak Indonesia merdeka. Pengabaian terhadap masalah ini mempunyai konsekuensi terhadap efektivitas pencapaian kebijakan pendidikan. Mereka juga warga Indonesia yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Di samping berkenaan dengan masalah kemiskinan dan keterpencilan geografis, kebijakan pendidikan juga dihadapkan dengan masalah pengangguran. Pendidikan dianggap bertanggung jawab terhadap pengangguran yang terjadi. Satuan pendidikan pada dasarnya tidak bisa menjamin bahwa setiap lulusannya mendapat pekerjaan. Perdebatan tentang peran pendidikan dalam menghantarkan peserta siswa memasuki dunia kerja adalah ready for train atau ready for use.

Kondisi keterisolasian. Banyaknya penduduk miskin secara tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati oleh masyarakat lainnya.

Kemiskinan merupakan permasalahan dalam pembangunan yang harus dihadapi oleh wilayah-wilayah yang sudah maju maupun yang kurang maju.

Hal tersebut didukung Sumardi & Ever (1990), faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang komplek mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam dan geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain.

Gambaran mengenai kemiskinan dan pembangunan di pedesaan, khususnya di wilayah pesisir, dapat ditelusuri pada banyak kajian seperti Mubyarto dan Dove (1984), Saksono (2005), Salagrama (2006), Hamzah et al. (2008), Ferse et al. (2012), Yuliadi (2013), dan lain-lain.

Berdasarkan kajian tentang kemiskinan di Laos, dan di negara-negara lain, maka dapat dilihat bahwa kemiskinan sebagian besar yang diciptakan oleh proses pembangunan (Rigg. 2006).

Menurut Fedriansyah (2008), masyarakat pesisir identik dengan individu yang hidup di areal sekitar pantai yang terkadang terlupakan oleh pembangunan sebab kebijakan pemerintah yang hanya terfokus pada pembangunan wilayah pesisir.

Budiharsono (2009) mengatakan bahwa pembangunan dikawasan pesisir relatif tertinggal dibandingkan dengan wilayah daratan lainnya, sehingga masyarakat pesisir relatif lebih miskin dibandingkan dengan wilayah lain.

Pada bab ini penulis akan mengupas keterisolasian wilayah masyarakat pesisir yang berdampak pada ketakberdayaan dan kemiskinan nelayan dan menawarkan solusi cerdas melalui pembangunan infrastruktur.

Kemiskinan yang terjadi pada nelayan bukan hanya karena masalah uang dan hasil produksi saja, namun juga ketersediaan infrastuktur.

Pentingnya Pembangunan Infrastruktur

Dalam upaya meretas keterisolasian masyarakat pesisir, di antara sekian alternatif soluituif adalahmembangun infrastruktur.

Dalam hal pembangunan fisik atau infrastruktur, Effendi (2002) menyebutkan bahwa pentingnya pembangunan infrastruktur yang memadai yang berupa ketersediaan fasilitas pelayanan publik baik sarana pendidikan, sarana kesehatan, rumah ibadah, listrik, jalan, jembatan, transportasi, air bersih, drainase, teknologi dan komunikasi bertujuan agar masyarakat dapat bergerak lebih dinamis dan mempermudah kegiatan ekonomi, serta agar para investor mau menanamkan modalnya di daerah, apabila tidak demikian biaya yang dikeluarkan untuk penanaman modal menjadi lebih besar dan berpengaruh pada harga produk yang dihasilkan dan tentunya akan lebih mahal dibandingkan dengan yang lain, sehingga produk yang dihasilkan tidak kompetitif.

Dalam pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik, diperlukan investasi yang cukup besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu, manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan infrastruktur.

Namun kendala keterbatasan pembiayaan dari pemerintah tersebut dapat diselesaikan melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership yang membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut. Pendekatan baru untuk dapat mengurangi masalah ini melibatkan peran-peran stakeholder. Public-private partnership merupakan salah satu cara untuk mengkolaborasikan peran-peran tersebut. Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui Public Private Partnership, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun nantinya swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang merupakan utilitas umum perlu dikendalikan oleh pemerintah, maka rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.

Public-private partnership dapat digambarkan pada sebuah spektrum dan kemungkinan hubungan-hubungan antara public dan private actors untuk bekerjasama dalam pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada hubungan ini adalah inovasi, kemudahan keuangan, kemampuan pada ilmu teknologi, kemampuan pada pengaturan efisiensi, semangat enterpreneurship, yang dikombinasikan dengan tanggung jawab sosial, kepedulian pada lingkungan, dan pengetahuan dan budaya lokal. Kerjasama seperti itu sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara berkembang, terutama di proyek-proyek infrastruktur, antara lain (Zhang, 2001): Tate’s Cairn Tunnel di Hongkong, Jalan Tol di China dan Indonesia, Airport, Railway, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri pola kerjasama seperti ini sudah banyak diterapkan, antara lain Power Plant Paiton dan jalan tol, yang merupakan kerjasama antara PT. Jasa Marga sebagai instansi yang ditunjuk pemerintah sebagai regulator jalan tol di Indonesia dengan investor. Total 31.24% dari ruas jalan tol yang sudah dioperasikan di Indonesia ini menerapkan kerjasama Public Private Partnership (Jasa Marga, 2003).

Di satu sisi, Public Private Partnership ini dapat berjalan dan berkembang dengan baik yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai dan pemasukan. Hal itu terjadi terutama di sektor-sektor jalan raya, jembatan, bandar udara, jalan kereta api, power plant dan telekomunikasi. Sebagai contoh program Private Finance Initiative (PFI) di Inggris (United Kingdom), dimana terdapat penghematan sebanyak 15% bila dibandingkan dengan kontrak tradisional (Zhang, 2005). Contoh lainnya adalah income yang kontinu didapat selama periode konsesi pada sektor jalan tol di Indonesia (Jasa Marga, 2003). Namun di sisi lainnya, berbagai masalah/kendala terjadi selama pelaksanaan kerjasama dengan pola ini. Salah satu masalah yang terjadi adalah kebijakan pemerintah yang kurang kondusif atau kekuatan oposisi pemerintah yang terlalu mendominasi, seperti yang terjadi Lao PDR (Pahlman, 1996). Kendala lainnya dapat berupa kondisi politik yang tidak stabil, seperti halnya yang terjadi di Thailand (Ogunlana, 1997). Sebenarnya masalah-masalah tersebut wajar terjadi, mengingat banyaknya resiko dan ketidakpastian sepanjang implementasi Public Private Partnership (PPP), banyaknya pihak-pihak/partisipan yang terlibat dalam kerjasama ini, serta tidak banyak pengalaman yang dimiliki oleh negara atau daerah yang menggunakan pola PPP.

Di Indonesia, khususnya di Surabaya juga banyak terdapat gedung-gedung yang merupakan fasilitas publik, yang menggunakan pola PPP dengan tipe Build Operate Transfer (BOT) dan Build Transfer Operate (BTO). Berbagai kendala juga terjadi selama implementasi kerjasama, antara lain investor tidak mendapat profit seperti yang diharapkan, yang disebabkan tidak stabilnya kondisi perekonomian di Indonesia. Seperti halnya yang terjadi di Pusat Perbelanjaan Tunjungan Center Surabaya, dimana terjadi pemutusan kontrak oleh investor sebelumnya yang telah menjalani masa konsesi selama 20 tahun, dengan alasan tidak tercapainya tujuan investor (Dinas Perlengkapan Pemkot Surabaya, 2005). Namun hal itu belum tercakup dalam klausul Perjanjian Kerjasama (PKS), sehingga aturan tambahan jika hal-hal seperti tersebut terjadi, belum ada klausul yang mengatur dan memerlukan perjanjian tambahan. Dari fenomena tersebut, maka perlu kiranya diidentifikasi faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pada pelaksanaan PPP. Penelitian sebelumnya (Li et all, 2005) membahas identifikasi critical success factor pada PPP di UK, identifikasi critical success factor pada proyek BOT (Tiong, 1996), dan identifikasi critical success factor pada pengembangan infrastruktur (Zhang, 2005). Penelitian ini akan melakukan identifikasi Critical Success Factor apa sajakah yang menentukan keberhasilan pada pelaksanaan PPP yang berbentuk BOT/BTO pada setiap fasenya. Dari hasil identifikasi, akan diperoleh informasi mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan pada pelaksanaan kontrak PPP sehingga dapat menjadi pedoman bagi kontrak PPP selanjutnya.

Infrastruktur fisik dan sosial, dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Istilah ini umumnya merujuk kepada hal infrastruktur teknis atau fisik yang mendukung jaringan struktur seperti fasilitas antara lain dapat berupa jalan, kereta api, air bersih, bandara, kanal, waduk, tanggul, pengelolaan limbah, perlistrikan, telekomunikasi, pelabuhan secara fungsional, infrastruktur selain fasilitasi akan tetapi dapat pula mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat, distribusi aliran produksi barang dan jasa sebagai contoh bahwa jalan dapat melancarkan transportasi pengiriman bahan baku sampai ke pabrik kemudian untuk distribusi ke pasar hingga sampai kepada masyarakat.

Dalam beberapa pengertian, istilah infrastruktur termasuk pula infrastruktur sosial kebutuhan dasar seperti antara lain termasuk sekolah dan rumah sakit bila dalam militer, istilah ini dapat pula merujuk kepada bangunan permanen dan instalasi yang diperlukan untuk mendukung operasi dan pemindahan.

Pembangunan infrastruktur tentu didasarkan atas gagasan, maksud dan tujuan tidak saja bermanfat untuk suatu golongan saja namun harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Tolok ukur keberhasilan pembangunan infrastruktur adalah sejauhmana pemanfaatan dan dampaknya terhadap dinamika pembangunan ekonomi masyarakat meningkat. Keterkaitan fungsi di antara infrastruktur yang ada sangat menentukan tingkat kemanfaatannya.

Dalam hal pembangunan fisik atau infrastruktur, Effendi (2002) menyebutkan bahwa pentingnya pembangunan infrastruktur yang memadai yang berupa ketersediaan fasilitas pelayanan publik baik sarana pendidikan, sarana kesehatan, rumah ibadah, listrik, jalan, jembatan, transportasi, air bersih, drainase, teknologi dan komunikasi bertujuan agar masyarakat dapat bergerak lebih dinamis dan mempermudah kegiatan ekonomi, serta agar para investor mau menanamkan modalnya di daerah, apabila tidak demikian biaya yang dikeluarkan untuk penanaman modal menjadi lebih besar dan berpengaruh pada harga produk yang dihasilkan dan tentunya akan lebih mahal dibandingkan dengan yang lain, sehingga produk yang dihasilkan tidak kompetitif.

Dapat disimpulkan bahwa peranan infrastruktur adalah sebagai mediator antara sistem ekonomi dan sistem sosial di dalam tatanan kehidupan manusia dengan lingkungan alam menjadi penting. Infrastruktur yang kurang (atau bahkan tidak) berfungsi akan memberikan dampak yang besar bagi manusia (Kodoatie, 2003). Hal tersebut berarti bahwa keberadaan sistem infrastruktur mutlak dibutuhkan di dalam berbagai jenis kegiatan.

Infrastruktur adalah modal esensial masyarakat yang memegang peranan penting dalam mendukung ekonomi, sosial-budaya, dan kesatuan dan persatuan yang mengikat dan menghubungkan antar daerah yang ada di Indonesia. Dalam konteks ekonomi, infrastruktur merupakan modal sosial masyarakat (social overhead capital) yaitu barang-barang modal esensial sebagai tempat bergantung bagi perkembangan ekonomi.dan merupakan prasyarat agar berbagai aktivitas masyarakat dapat berlangsung. Infrastruktur merupakan katalisator di antara proses produksi, pasar dan konsumsi akhir. Keberadaan infrastruktur memberikan gambaran tentang kemampuan berproduksi masyarakat dan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Menurut Fedderke dan Bogetic (2000), ketersediaan infrastruktur juga sangat berpengaruh dalam menunjang kegiatan ekonomi, seperti peningkatan produktivitas tenaga kerja pada sektor manufaktur, sehingga kenaikan produktivitas tenaga kerjaakan meningkatkan pendapatan perkapita dari masyarakat miskin. Ketersediaan infrastruktur juga berpengaruh terhadap peningkatan akses masyarakat terhadap sumberdaya sehingga meningkatkan produktivitasnya sehingga pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Semakin besar investasi yang diberikan dampak ekonomi yang timbul akan meningkat dengan rata-rata yang semakinmengecil, karena sifat dari infrastruktur lebih kepada mendorong rata-rata untuk daerah yang masih belum maju secara ekonomi maupun fasilitas untuk daerah yang telah maju (Pratomo, 2017).

Ada tiga alasan pokok yang dapat dikemukakan tentang pentingnya pembangunan infrastruktur (Prapti, dkk., 2015). 1. Pembangunan infrastruktur mampu menyediakan lapangan pekerja. Hal ini merupakan salah satu nilai penting dan langkah ke arah terciptanya

rakyat dan negara adil dan makmur. 2. Pembangunan infrastruktur dasar, infrastruktur teknologi, dan infrastruktur sains secara langsung akan mempengaruhi iklim investasi. Pertumbuhan kapital dan aliran investasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur pendukung baik pada zona kapet, kawasan industri, pelabuhan, pasar-pasar, dan perguruan tinggi yang dapat mendorong penemuanpenemuan baru di bidang sains dan dapat diterapkan oleh kalangan industri dan pelaku pasar. 3. Infrastruktur akan sangat mempengaruhi bahkan menentukan integrasi sosial-ekonomi rakyat satu daerah dengan daerah lainnya. 4. Pembangunan infrastruktur akan membuka isolasi fisik dan nonfisik di sejumlah wilayah. Dalam rangka politik integrasi bangsa di bidang sosial dan ekonomi tantangan bagi pemerintah ialah membangun infrastruktur yang dapat mengatasi isolasi fisik daerah di Indonesia awal abad 21 kini. Sebab isolasi fisik akan membawa dampak terhadap pembangunan sosial ekonomi pada wilayah-wilayah. Karena isolasi wilayah sehingga hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan sulit dipasarkan ke kota terdekat sehingga praktis hanya

dikonsumsi anggota keluarga. Akibatnya, tingkat pendapatan tetap rendah, kemudian mereka diklaim sebagai masyarakat miskin.

Manfaat Infrastruktur

Manfaat pembangunan infrastruktur, khususnya jalan : mempercepat waktu tempuh antar desa, kecamatan, dan kabupaten; memperlancar waktu tempuh antar wilayah; naiknya harga tanah di sekitar pembangunan infrastruktur jalan.

Jafar (2007) menyatakan bahwa, infrastruktur memiliki peranan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan jangka pendek menciptakan lapangan kerja sektor konstruksi dan jangka menengah dan panjang akan mendukung peningkatan efisiensi dan produktivitas sektor-sektor terkait. Infrastruktur sepertinya menjadi jawaban dari kebutuhan negara- negara yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan membantu penanggulangan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup, mendukung tumbuhnya pusat ekonomi dan meningkatkan mobilitas barang dan jasa serta merendahkan biaya aktifitas investor dalam dan luar negeri. Problemnya, pembangunan infrastruktur dasar membutuhkan modal besar, yang sering tidak selalu diikuti oleh loncatan perolehan nilai tambahnya (value added).Daerah-daerah terpencil yang dinilai tidak memiliki potensi ekonomi dan sosial budaya yang memadai cenderung ditelantarkan (Hermanto, et al., 1995). Terutama jika dikaitkan dengan kriteria-kriteria yang ditentukan pemerintah seperti jumlah penduduk, nilai ekonomi yang akan segera kembali dari invesatasi yang ditanamkan dan lain-lain.

Tjokroamidjojo (1985) mengidentifikasi beberapa manfaat yang diperoleh dari pembangunan infrastruktur, yakni : 1. Membuka keterisolasian wilayah. 2. Meningkatkan aktivitas dan mendukung kelancaran roda ekonomi wilayah. 3. Mempermudah akses penggunaan teknologi dan pemanfaatan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan lain-lain. 4. Peningkatan mobilitas dan kontak sosial antara penduduk.

Menurut Sidarto dan Budi Santoso (2018), sedikitnya ada sejumlah manfaat infrastruktur diantaranya: a. Meningkatkan konektivitas antar wilayah atau antar negara; b. Meningkatkan produktivitas suatu wilayah atau negara; c. Meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya; d. Mempercepat pemerataan pembangunan suatu wilayah atau negara; e. Mendorong investasi baru yang masuk ke wilayah atau negara tersebut.

Kebijakan Pembangunan Kelautan

Kebijakan pembangunan yang kurang berpihak pada nelayan miskin menyebabkan nelayan semakin terpinggir.

Menurut Fauzi (Widayanti, 2008), pembangunan perikanan dan kelautan di Indonesia seolah menghadapi dilema. Di satu sisi, Indonesia dihadapkan pada sumberdaya perikanan dan kelautan yang kaya dan mampu menghasilkan potensi ekonomi yang tidak sedikit. Akan tetapi kenyataannya, di sisi lain, potensi tersebut belum juga mampu meningkatkan ekonomi para pelakunya secara signifikan.

Kebijakan pembangunan kelautan, selama ini, cenderung lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya. Syarief (2001) mengemukakan dalam jurnalnya yang berjudul Pembangunan Kelautan dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Pesisir bahwa terdapat dampak dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa kecenderungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti 1) aspek ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cenderung merusak; 2) ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga seringmenimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horizontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar dan antaranelayan dengan pemerintah); 3) aspek sosial ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar; dan 4) aspek sosio kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan.

Nurmalasari (2008) menjelaskan, sumber daya perairan berperan penting bagi pembangunan di Indonesia. Sumberdaya pesisir dan kelautan merupakan potensi penting dalam pembangunan di masa depan. Luas wilayah laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional, belum termasuk zona ekonomi eksklusif seluas 2,7 juta kilometer persegi. Laut Indonesia yang begitu luas dengan sumber daya yang melimphah bila dimanfaatkan untuk pembangunan dengan tepat diprediksikan pembangunan di Indonesia akan maju dengan pesat.

Berbagai kekayaan keanekaragaman hayati, dan jasa-jasa lingkungan yang diberikan, sumberdaya pesisir dan lautan mempunyai nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi dan dapat dipergunakan dalam pem-bangunan. Pemanfaatan sumberdaya perairan di Indonesia dalam pembangunan pada dasarnya untuk perbaikan kehidupan umat manusia menuju arah yang lebih baik, terutama kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Pembangunan dalam sektor kelautan selain memberikan manfaat besar, juga memberikan pengaruh negatif terhadap sumberdaya dan lingkungan, misalnya kerusakan terumbu karang, sedimentasi, penurunan kualitas perairan, abrasi pantai, illegal fishing (Masyhudzuldhak, 2005).

Mengingat pemanfaatan sumberdaya hayati pesisir dan kelautan di Indonesia dalam pembangunan dapat menguntungkan dan merugikan, maka ulasan ilmiah ini membahas permasalahan di sekitar eksploitasinya dan konservasi sumberdaya hayati pesisir dan kelautan di Indonesia.

Pendekatan pembangunan dan perencanaan wilayah yang dilakukan secara sektoral tidak membuahkan hasil dalam mencapai pemanfaatan ekosistem pesisir dan lautan secara berkelanjutan. Alternatif yang lebih baik adalah melalui pendekatan pengelolaan pesisir secara terpadu. Pengelolaan pesisir secara terpadu didefinisikan sebagai suatu proses yang dinamis secara terus menerus, dimana segala keputusan dibuat untuk penggunaan yang berkelanjutan, pembangunan dan perlindungan terhadap daerah serta sumberdaya pesisir dan laut (Indra, 2008). Alternatif pembangunan yang lain yaitu pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai proses pemberi wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Viktor & Nikijuluw, 2001).

Secara garis besar ada lima prinsip dasar yang penting dalam pengelolaan berbasis masyarakat yaitu pemberdayaan, pemerataan akses dan peluang, ramah lingkungan dan lestari, pengakuan terhadap pengetahuan dan kearifan tradisional, kesetaraan jender (COREMAP-LIPI, 2001).

Pembangunan yang Tebang Pilih

Salah satu faktor yang terpenting penyebab nelayan kurang memperoleh perhatian publik adalah kebijakan pembangunan yang selama ini tidak memperhatikan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu penentu masa depan bangsa. Akibat lebih lanjut adalah masyarakat kurang memiliki sikap simpati dan empati terhadap pergulatan hidup nelayan. Perhatian masyarakat secara bertahap mulai tumbuh setelah dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999. Namun demikian, dalam era otonomi daerah, misi pemerintah pusat untuk memberikan perhatian yang serius bagi pembangunan sektor kelautan dan perikanan belum sepenuhnya terintegrasi dengan kebijakan pembangunan pemerintah daerah.

Sifat kebijakan pemerintah dan perhatian masyarakat yang kurang, serta di tengah-tengah berbagai keterbatasan akses sosial, ekonomi dan politik, telah menjadikan komunitas nelayan mengembangkan mekanisme internal, strategi adaptasi, dan membangun kemampuan diri berdasarkan potensi sumber daya yang tersedia di lingkungan agar bisa bertahan hidup. Dengan dilandasi oleh nilai-nilai budaya sebagai masyarakat pesisir, nelayan memiliki sifat kemandirian yang tinggi dalam menghadapi gempuran tekanan hidup yang datang di setiap saat, karena kapasitas kemandirian ini mereka seperti menjadi “ Komunitas tanpa negara”, sinis kepada aparatur, dan berpotensi resisten terhadap kebijakan negara. Sikap-sikap demikian merupakan ketimpangan relasi antara negara dan masyarakat nelayan yang sudah berlangsung cukup lama (Kusnadi, 2006).

Tugas negara dan pemerintah pada masa sekarang dan masa mendatang adalah merajut kembali secara intensif pola-pola hubungan fungsional dengan nelayan, sehingga kebijakan-kebijakan pembangunan memperoleh respon positif dan tanggung jawab dari masyarakat nelayan. Upaya demikian bisa ditempuh dengan jalan (1) merumuskan kebijakan-kebijakn pembangunan, khususnya pemerintah daerah, yang lebih peduli dan memihak kepentingan masyarakat nelayan serta, (2) merevitalisasi posisi dan peranan PPL perikanan di desa-desa nelayan agar mereka lebih berdaya guna dan berwawasan luas untuk meretas jalan pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan berkelanjutan. Para PPL/PTL perikanan ini merupakan develoment broker yang bertugas menjadi jembatan kepentingan antara negara dan masyarakat nelayan dalam pembangunan masyarakat pesisir.

Konteks pembangunan kawasan pesisir atau aplikasi program interfensi pembangunan, antara lain program pemberdayaan masyarakat pesisir, sikap mandiri nelayan merupakan modal sosial-budaya yang sangat berharga untuk menunjang pencapaian tujuan pembangunan. Bila masyarakat nelayan atau masyarakat miskin manapun, modal sosial-budaya yang dimiliki dapat berupa nilai-nilai: dapat menghargai diri sendiri dan sesama, etika sosial, agama dan kepercayaan, komunitas sosial, kerjasama, dan gotong-royong, nilai-nilai dan institusi sosial lokal yang ada menjadi tali pengikat pengelompokan sosial yang menandai eksistensi suatu masyarakat (Damanik, 2008.).

Modal sosial budaya merupakan identitas yang harus diidentifikasi dan dieksplorasi untuk dijadikan berbagai basis pembangunan masyarakat nelayan. Didalam modal sosial-budaya tercermin identitas dan harga diri suatu masyarakat sehingga memiliki nilai fungsional sebagai kekuatan internal pembangunan.

Pembangunan Kawanan Pesisir

Budiharsono (2009) mengatakan bahwa pembangunan dikawasan pesisir relatif tertinggal dibandingkan dengan wilayah daratan lainnya, sehingga masyarakat pesisir relatif lebih miskin dibandingkan dengan wilayah lain.

Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia (2011) mengatakan bahwa kemiskinan pesisir merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh tingginya kerusakan sumberdaya pesisir, rendahnya kemandirian organisasi sosial desa dan lunturnya nilai- nilai budaypa lokal, rendahnya infrastruktur desa serta kesehatan lingkungan permukiman.

Pembangunan kawasan pesisir berdasarkan Wiyana (2004) dapat dikatakan berkelanjutan, apabila terdapat pembangunan yang secara ekonomis, ekologis serta sosial politik yang juga bersifat berkelanjutan. Ekonomi yang berkelanjutan menurut Wiyana (2004) merupakan pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan, sekaligus pemeliharaan kapital serta penggunaan sumber daya dan investasi yang efisien. Sedangkan keberlanjutan dalam konsep ekologi adalah pembangunan yang dilakukan memperhatikan ekosistem, daya dukung lingkungan serta kemampuan untuk mengkonservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Selanjutnya adalah berkelanjutan secara sosial politik. Berkelanjutan secara sosial politik menurut Wiyana (2004) adalah hasil pembangunan yang dilakukan dapat dirasakan merata di seluruh masyarakat, terbentuknya mobilitas, kohesi dan identitas sosial, adanya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta ada pengembangan kelembagaan.

Pembangunan daerah pesisir adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pertumbuhan dari daerah-daerah yang memiliki batas dengan lautan. Sehingga dari lokasi daerah yang menjadi batas daratan ini memerlukan kegiatan-kegiatan yang sesuai dalam memanfaatkan potensi yang ada, sebagaimana pandangan dari Adisasmita (2006) yang menyatakan: “Daerah pesisir mencapai garis pantai meliputi, daerah permukiman nelayan dan terutama penangkapan ikan dilaut yang luas sampai kepada tempat pengumpulan (tempat pendaratan ikan) dan jalur pemasarannya ke pasar-pasar lokal dan regional agar terlaksana secara efektif dan efisien maka perlu dilakukan perencanaan dan penataan kawasan pesisir dan pantai. Pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi banyak aspek, bukan hanya berkaitan dengan berbagai jenis sumber daya kelautan dan pesisir pantai, prasarana dan sarana penangkapan ikan, akan tetapi modal usaha dan kemampuan sumberdaya nelayan, kelembagaan ekonomi dan sosial dan masyarakat nelayan perlu ditingkatkan”.

Untuk itu, pelaksanaan pembangunan di kawasan pesisir memerlukan pelaksanaan yang bukan hanya bersifat pembangunan fisik saja, diperlukan peningkatan kemampuan dari pada masyarakat setempat menjadi landasan dalam menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan secara fisik dan masyarakat nelayan sendiri.

Dimana dari kondisi saat ini daerah pesisir masih memiliki penduduk yang sangat minim tingkat pengetahuannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam pesisir. Hal ini terlihat dari sangat minimnya kreasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis teknologi, bahkan dalam mengetahui tentang kawasan pesisir di dalam negeri sendiri buku-buku yang ada sangat langka dan jika ada buku-buku yang ditulis masih dalam bahasa asing. Ghurfan dan Kordi (2012).

Kurangnya perkembangan nelayan atas pemanfaatan sumberdaya alam di pesisir menyebabkan minimnya pertumbuhan daripada pembangunan di kawasan ini. Sehingga Kegiatan-kegiatan pembangunan sarana dan prasarana kelautan dan perikanan banyak yang terbengkalai karena tidak dilakukannya pemanfaatan pasca pelaksanaan pembagunan.

Pendapat lain menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini, namun tidak mengabaikan kemampuan generasi selanjutnya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai proses perubahan dalam pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pembangunan dan perubahan kelembagaan dalam kondisi yang seimbang dan saling memperkuat antar sektor secara sinergis dari saat ini hingga di masa depan. Sehingga apabila ini terjadi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat dapat terjaga (Brundtland dalam Gai, 2020).

Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa pengertian pembangunan berkelanjutan pada wilayah pesisir merupakan batasan wilayah daratan dan perairan dimana proses kegiatan dan aktivitas di daratan dan perairan saling mempengaruhi.

Menurut Fauzi (2004) terdapat prinsip dalam penerapan konsep keberlanjutan, yang dapat dibagai menjadi tiga aspek, antara lain : 1. Keberlanjutan ekonomi; 2. Kebelanjutan lingkungan; 3. Keberlanjutan sosial

Pendapat dari Muttaqiena (2009) memberikan perhatian lebih terhadap isu lingkungan, dinyatakan bahwa perencanaan dalam pembangunan pesisir yang dilakukan secara terpadu, perlu memperhatikan tiga prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip tersebut antara lain : 1. Prinsip ekonomi lingkungan; 2. Prinsip konservasi lingkungan; 3. Prinsip kualitas hidup masyarakat.

Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Dahuri et al. (2004) menyatakan bahwa, pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu adalah pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam kontek ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis.

Clark (1996) menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu kegiatan perencanaan untuk mengelola sumberdaya pesisir melalui partisipasi atau keterlibatan oleh sektor-sektor ekonomi, lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir tersebut.

Pengembangan Wilayah Pesisir

Persoalan mendasar terkait dengan pengembangan kawasan itu adalah sebagai berikut: (1) bagaimana dapat mendorong keikutsertaan keluarga-keluarga petani-nelayan miskin dan para penghasil komodite unggulan di dalam proses pembangunan; (2) bagaimana dapat menciptakan keterkaitan antar sektor di tingkat lokal (pesisir) sehingga efek sinerginya dapat melestarikan dan menumbuhkan momentum dinamika ekonomi lokal; (3) bagaimana dapat mengidentifikasikan unit-spatial supralokal yang lebih menjamin dinamika ekonomi lokal; dan (4) bagaimana dapat mengorganisir fungsi-fungsi perencanaan dan pembangunan baru dalam satuan teritorial atau wilayah (region) (Hardjosoewito, 2011).

Terkait dengan kehidupan masyarakat miskin di pesisir pantai, maka terdapat program-program pengembangan ekonomi kelautan dan kawasan pesisir yang bertujuan memperkuat kesempatan mereka dalam pemenuhan hak-hak dasar dengan pengembangan sumber daya perikanan, meliputi: (a) pengembangan perilaku masyarakat miskin di kawasan pesisir yang produktif bagi usaha peningkatan kesejahteraan hidupnya, (b) pelaksanaan regulasi yang mengatur kawasan penangkapan ikan dan pengakuan atas tradisi lokal masyarakat pesisir, (c) optimalisasi daya guna potensi sumber daya kelautan dan pesisir, (d) pemberdayaan perempuan di kawasan pesisir untuk mendatangkan ekonomi rumah tangga, (e) peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat pesisir dalam mendukung peningkatan kesejahteraan, dan (f) peningkatan patroli keamanan wilayah laut dan pesisir ) (Sukarno Hardjosoewito, 2011).

Representasi dan fungsionalisasi spatial-lokal yang dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (Hardjosoewito, 2011) mencakup: (1) adanya alokasi sumber yang cukup pada unit regional (teritorial) dalam skala ekonomi yang memungkinkan efek multiplier dala magro industri, konstruksi, perdagangan dan sebagainya; (2) mewujudkan keterkaitan antar-sektor atau antar-komodite yang optimal pada unit regional (teritorial) yang mendorong optimalisasi efek sinergi dari interaksi sektoral atau antar komodite tersebut; (3) strategi investasi secara simultan ditujukan secara langsung pada univestable poor untuk meningkatkan kesejahteraan mereka (para petani-nelayan) sekaligus menjadikan sebagai pembentukan peluang kerja; (4) di dalam unit teritorial perlu diupayakan adanya kebijaksanaan dualisme industri, di mana eksistensi industri berskala kecil untuk pasaran domestik mendapatkan perlindungan dari pesaingnya industri padat modal yang bersekala besar; (5) pembangunan kawasan harus diartikan sebagai upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat (terutama petani-nelayan) melalui pemanfaatan secara optimal sumberdaya, sumber dana dan sumber alam setempat sekaligus penguatan lembaga/institusi lokal, sehingga akan dapat mengurangi disparitas sosial; (6) dalam unit teritorial (regional), perlu pemanfaatan tenaga kerja secara optimal melalui pembangunan industri yang resource-based yang menjadikan komodite unggulan masing-masing dan melalui pemanfaatan tenaga kerja ini diharapakan proses dislokasi sosial akan dapat dicegah demikian pula urbanisasi dapat ditekan; (7) untuk menstabilkan tingkat upah di pesisr atau tingkat lokal dan di perkotaan sekaligus untuk menurunkan disvaritas upah, perlu diversifikasi peluang untuk kerja produktif; (8) unit teritorial haruslah merupakan perluasan dari jaringan interaksi sosial supra-lokal/peisir, sehingga dapat menciptakan ruang sosio-ekonomi dan ruang politik yang lebih luas dan menyenangkan; dan (9) hubungan eksploitatif dengan unit-unit teritorial yang lebih tinggi haruslah dapat dicegah. Paradigma pengembangan kawasan ini menyangkut community empowernment yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan masyarakat (baca: para petani nelayan) untuk mengendalikan life-space, pasar dan meningkatkan kemampuan territorial self-determination-nya (Tjokrowinoto, 2004).

Teori Dorongan Kuat (Big Push Theory)

Teori Dorongan Kuat (Big Push Theory) menyatakan bahwa perlu dibangun dulu infrastruktur, semua yang lain berkembang kemudian menetes (trickle down effect). Teori ini selanjutnya menyatakan bahwa untuk menanggulangi hambatan pembangunan ekonomi negara terbelakang dan untuk mendorong ekonomi tersebut ke arah kemajuan diperlukan suatu “dorongan kuat” atau suatu program besar yang menyeluruh dalam bentuk suatu jumlah

minimum suatu investasi. Ada sejumlah sumber minimum yang harus disediakan jika suatu program pembangunan diharapkan berhasil. Memacu suatu negara menuju swasembada adalah sedikit mirip dengan kapal terbang yang tinggal landas. Ada suatu titik kritis kecepatan yang harus dilewati sebelum kapal itu dapat terbang” (Jhingan, 2000).

Teori ini secara jelas menyatakan bahwa cara kerja “sedikit demi sedikit” tidak akan mendorong ekonomi dengan berhasil pada lintasan pembangunan; tetapi jumlah investai infrastruktur yang besar merupakan syarat mutlak dalam hal ini. Ia memerlukan tercapainya ekonomi eksternal, yang timbul dari pendirian secara serentak industri-industri yang secara teknik saling berkaitan (Jhingan, 2000).

Mengacu pada konsep teori “Dorongan Kuat” di atas, maka untuk membangun wilayah perlu suatu investasi besar dari pemerintah dengan mengabaikan tingkat efisiensi dan

mengutamakan pelayanan kepada warganya yang masih miskin dan terisolir. Selain itu, konsep pusat pertumbuhan yang diyakini akan berdampak trickle down effect perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan di wilayah terpencil atau terisolasi, karena konsep pembangunan ini telah diterapkan pada masa Orde Baru ternyata proses trickle down effect kurang menetes sehingga memicu ketidakpuasan di daerah yang dapat menimbulkan chaos tahun 1997 (Prapti, dkk.,2015).

Infrastruktur jalan merupakan lokomotif untuk menggerakkan pembangunan ekonomi bukan hanya di perkotaan tetapi juga di wilayah pedesaan atau wilayah terpencil. Melalui proyek, sektor infrastruktur dapat menciptakan lapangan kerja yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, infrastruktur merupakan pilar menentukan kelancaran arus barang, jasa, manusia, uang dan informasi dari satu zona pasar ke zona pasar lainnya. Kondisi ini akan memungkinkan harga barang dan jasa akan lebih murah sehingga bisa dibeli oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang penghasilannya masih rendah. Jadi, perputaran barang, jasa, manusia, uang dan informasi turut  menentukan pergerakan harga di pasar-pasar, dengan kata lain, bahwa infrastruktur jalan menetralisir harga-harga barang dan jasa antar daerah (antar kota dan kampung-kampung) (Prapti, dkk.,2015).

Mempersoalkan teori pembangunan secara umum begitu bervariasi. Teori pembangunan dalam ilmu sosial dapat dibagi ke dalam dua paradigma besar, modernisasi dan ketergantungan (Lewwellen 1995, Larrin 1994, Kiely 1995 dalam Tikson, 2005). Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial dan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Paradigma ketergantungan mencakup teori-teori keterbelakangan (under-development), ketergantungan (dependent development) dan sistem dunia (world system theory) sesuai dengan klasifikasi Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya ke dalam tiga klasifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan, dan ketergantungan (Usman dan Kadir, 2020).

Secara teoritik modernisasi merupakan sebuah teori yang di dalamnya terdapat beberapa aliran. Ada lima varian teori modernisasi sebagaimana dikemukakan oleh Arief Budiman (1995) yaitu (1) teori Harrod-Domar, yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal untuk investasi dan teori ini banyak dikembangkan oleh para ekonom, (2) teori McClelland yang menekankan pada aspek-aspek psikologi individu yaitu melalui pendidikan individual kepada anak-anak di lingkungan keluarga, pembangunan akan terlaksana apabila terdapat jumlah wiraswasta yang banyak. (3) teori Weber yang menekankan pada nilai-nilai budaya. Nilai-nilai dalam masyarakat antara lain melalui agama mempunyai peran yang menentukan dalam mempengaruhi tingkah laku individu. Apabila nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat diarahkan kepada sikap yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, proses pembangunan dalam masyarakat dapat terlaksana, (4) Teori Rostow, yang menekankan pada adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan. Lembaga-lembaga politik dan sosial diperlukan untuk menghimpun modal yang besar serta memasok tenaga teknis, tenaga wiraswasta dan teknologi, dan (5) teori Inkeles dan Smith yang menekankan lingkungan material, dalam hal ini lingkungan pekerjaan, sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang dapat membangun. Teori ini dapat dilakukan dengan pemberian pengalaman kerja secara langsung. Pendidikan merupakan cara yang paling efektif untuk membentuk manusia modern (Arguby dan Usman, 2019).

Jika dipilah, ada beberapa teori pembangunan, di antaranya: (1) teori Need for Achiavement (David Mc. Clelland); (2) teori etika protestan (Max Weber); (3) teori Rostow; (4) teori pembangunan dunia ketiga; (5) teori modernisasi; (6)  teori dependensi (ketergantungan); (7) teori artikulasi; (8) teori pembangunan mainstream; dan (9) tokoh timur Selo Soemardjan (Arguby dan Usman, 2019).

Problemnya

Problemnya, pembangunan infrastruktur dasar membutuhkan modal besar, yang sering tidak selalu diikuti oleh loncatan perolehan nilai tambahnya (value added). Daerah-daerah terpencil yang dinilai tidak memiliki potensi ekonomi dan sosial budaya yang memadai cenderung ditelantarkan (Hermanto, et al., 1995). Terutama jika dikaitkan dengan kriteria-kriteria yang ditentukan pemerintah seperti jumlah penduduk, nilai ekonomi yang akan segera kembali dari invesatasi yang ditanamkan dan lain-lain. Seperti yang dinyatakan oleh Kasiyanto (Prapti, dkk., 2015), bahwa jumlah penduduk di wilayah-wilayah terisolasi di kota sangat sedikit sehingga pemerintah rugi besar kalau mengalokasikan dana besar untuk pembangunan jalan, sebaiknya alokasi dana besar tersebut diarahkan ke kebutuhan lain yang lebih mendesak untuk peningkatan taraf hidup masyarakat. Sebenarnya pemikiran ini sangat benar dan tepat, tetapi sayangnya hanya menolong masyarakat untuk jangka pendek dan hal ini tidak menolong masyarakat untuk mandiri.

Namun pemerintah juga perlu menyiapkan infrastruktur yang akan mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat dalam jangka panjang melalui akses ke pasar bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu para pengambil keputusan di tingkat pusat jangan berpandangan myopic (jangka pendek). Alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah seperti ini mungkin lebih sering dipandang sebagai beban dan bukan sebagai bentuk investasi bangsa.

Pada panorama lain, strategi pembangunan diarahkan untuk mencapai suatu transformasi sosial, yang berlandaskan nilai-nilai yang berpusat pada manusia (people-centered development value). Dengan demikian idealnya proyek pembangunan tidak dirancang dan dikelola secara sentralistis dan lebih diserahkan kepada masyarakat (Usman, 2004).  Salim (1980) menjelaskan bahwa strategi pembangunan untuk mengatasi kemiskinan tidak lepas dari strategi pembangunan yang dianut suatu negara. Program-program yang telah dilakukan untuk memerangi kemiskinan seringkali tidak memberikan hasil yang menggembirakan karena adanya perangkap kemiskinan (poverty trap) yang tidak berujung pangkal.

Kajian-kajian tentang penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan, di antaranya banyak menjelaskan sebab-sebab kemiskinan dari sudut pandang struktural. Pembangunan ekonomi yang tidak adil membawa dampak pada kemiskinan dan kesenjangan yang parah, di mana kebijakan pemerintah tidak berpihak pada si miskin (Syawie, 2011).

Semoga bermanfaat !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|