Guru sebagai Penulis Naskah, Sutradara, Sekaligus Aktor

3 days ago 17

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)

INIPASTI.COM, “Aku bukan seorang guru, hanya sesama musafir yang kau tanyai arah. Aku menunjuk ke arah depan—ke depan diriku sendiri dan ke depan dirimu” (George Bernard Shaw)

Memperbincangkan figur guru, selalu asyik, hangat, menarik dan tidak pernah habis-habisnya. Kenapa? Karena guru adalah kunci (key) dan aktor sentral dalam dunia pendidikan. Ini dapat dipahami, jika guru sukses, maka sangat besar kemungkinan peserta didiknya sukses. Guru adalah inspirator, sugestor, dan motivator sejati peserta didik dalam mengukir indah masa depannya.

Guru adalah aktor utama, selain elemen lain, seperti orang tua, sarana dan prasarana, untuk keberhasilan pendidikan yang dicanangkan. Siapapun akan sepakat, tanpa keterlibatan aktif guru, pendidikan hampa dari materi, esensi dan substansi. Secanggih apapun sebuah kurikulum, visi-misi, dan kekuatan finasial, sepanjang gurunya pasif, medioker, stangnan, biasa-biasa saja, maka mutu lembaga pendidikan akan lemah bahkan merosot. Pada panorama yang lain, selemah dan sejelek apapun kurikulum, visi-misi, sarana dan prasarana yang wah, dan kekuatan finansial, jika gurunya inovatif, inspiratif, kreatif, produktif, progresif, profesional, maka mutu lembaga pendidikan akan maju pesat dan jaya. Lebih-lebih jika sistem yang baik ditunjang dengan kualitas guru, maka lembaga pendidikan akan maju pesat bahkan dahsyat. 

Eksistensi guru merupakan faktor condiso sine quanom yang mustahil digantikan oleh komponen apapun.

Karenanya, mari jadikan guru sebagai aktor, bukan sebagai administrator. Ibarat seorang komposer, biarkanlah guru merangkai nada dan syair lagu yang indah yang akan dimainkan oleh seluruh pemain musik.

Salah satu peran di antara puluhan peran seorang guru yakni sebagai aktor. Profil guru yang mampu mencetak generasi emas yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi adalah guru yang memahami 19 perannya. Peran tersebut yakni guru sebagai: (1) pendidik, (2) pengajar, (3) pembimbing, (4) pelatih, (5) penasehat, (6) pembaharu, (7) model dan teladan, (8) pribadi, (9) peneliti, (10) pendorong kreatifitas, (11) pembangkit pandangan, (12) pekerja tim, (13) pemindah kemah, (14) pembawa cerita, (15) aktor, (16) emansipator, (17) evaluator, (18) pengawet, dan (19) kulminator (Mulyasa, 2011).

Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu serta mampu mentransferkan kebiasaan dan pengetahuannya kepada peserta didiknya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi mereka. Seorang aktor, pasti harus serba bisa dan serba tahu, dan dapat melakonkan adegan (peran) apapun.

Sebagai seorang aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton (peserta didik). Guru harus menguasai materi standar dalam bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya, memperbaiki keterampilan, dan mengembangkan untuk mentransfer bidang studi itu. Ia mempelajari peserta didik, alat-alat yang dapat dipergunakan untuk menarik minat, dan tentu saja mempelajari bagaimana menggunakan alat secara efektif dan efisien.

Di balik kesuksesan peserta didik, selalu ada guru yang memberikan inspirasi dan motivasi besar pada dirinya sebagai stamina dan energi untuk selalu belajar dan bergerak mengejar ketertinggalan, menggapai kemajuan, menorehkan prestasi spektakuler dan prestisius dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Di sinilah urgensi melahirkan guru-guru berkualitas, guru-guru yang ideal dan inovatif yang mampu membangkitkan semangat besar dalam diri anak didik untuk menjadi aktor perubahan peradaban dunia di era global ini (Asmani, 2011b).

Filosofi Ki Hajar Dewantara

Setiap profesi sejatinya mengandung unsur dan nilai pengabdian, dan bagi guru, jiwa pengabdian itu adalah pangkal, hal yang pertama dan utama, di atas segala-galanya.

Filosofi Ki Hajar Dewantara dalam era pendidikan baru saat ini tetap relevan dengan mengedepankan guru sebagai aktor paling hebat dalam proses belajar (Adelbertus dalam Usman dan Abdul Kadir, 2019). (1) Tut wuri handayani, artinya dari belakang memberikan dorongan dan arahan. Guru berperan sebagai pendorong atau motivator, selain itu berperan sebagai pengarah, pembimbing yang tidak dapat membiarkan anak didik melakukan hal yang tidak sesuai dengan tujuan proses belajar.

Sebenarnya, peran guru sebagai mitra juga tersirat dalam asas tut wuri handayani, karena ketika guru menjalankan fungsi sebagai pembimbing dan pendorong, maka guru tidak menempatkan dirinya pada hierarki  teratas dalam proses belajar, guru bukan satu-satunya sumber belajar. (2) Ing madya mangun karsa, artinya di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa. Asas ini semakin memperkuat peran dan fungsi guru sebagai mitra dan fasilitator guna menciptakan peluang bagi peserta didik untuk berkarya sebagai tujuan dari proses belajar, karena pada prinsipnya belajar itu produktif. (3) Ing ngarsa sung tulada, artinya di depan memberi teladan. Asas ini menekankan peran guru sebagai teladan “guru digugu”, dimodeli anak didiknya.  Para guru memahami betul bahwa modelling atau keteladanan merupakan cara yang ampuh dalam mengubah perilaku, selain pembiasaan dan disiplin.

Fakta ini menunjukkan bahwa di antara berbagai input yang menentukan mutu pendidikan (ini ditunjukkan dengan prestasi akademik anak didik) lebih dari sepertiganya ditentukan oleh peran guru. Betapa mulianya guru. Kita menyadari bahwa di tangan para guru, putra-putri terbaik bangsa ini dilahirkan untuk melakukan perubahan penting bagi kelangsungan hidup bangsa, saat ini maupun di masa akan datang. Namun, untuk memegang peran perubahan itu, guru haruslah melakukan perubahan terlebih dahulu dalam dirinya. Motivasi untuk berubah harus datang dari dalam diri guru itu sendiri. Dalam filosofi perubahan, terdapat “3 m”: mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang, dan mulai dari hal-hal kecil.

Dengan prinsip ”guru harus memberi (to share) terlebih dahulu agar ia dapat maju dan berkembang (to grow)”, maka guru tidak boleh menampilkan dirinya pada posisi pasif (penerima perubahan), akan tetapi harus pada posisi aktif (memberi dan berbagi untuk maju berkembang bersama). Jika menjadi guru merupakan pilihan pribadi, maka guru harus benar-benar hidup dengan pilihannya tersebut. Maka dia adalah guru hebat (Adelbertus dalam Usman dan Abdul Kadir, 2019).

Para siswa tidak menguasai pelajaran bukan karena mereka tidak pintar, melainkan karena kurangnya motivasi dalam diri mereka untuk belajar. Tidak ada manusia yang dilahirkan di dunia dalam keadaan bodoh, namun bagaimana cara dunia memperlakukan merekalah yang membuat mereka terlihat bodoh. Thomas Alva Edison yang hiperaktif dan dianggap bodoh oleh gurunya ternyata mampu membuka mata dunia dengan penemuan bohlamnya, atau Isaac Newton, Albert Einstein, Ludwig Van Beethoven dan orang-orang terkenal lainnya yang dulunya dianggap “bodoh”.

Sayangnya banyak para guru yang kurang mengerti dengan potensi yang dimiliki oleh para anak didiknya sehingga tak jarang tindakan kurang terpuji akhirnya dilakukan seperti mengintimidasi, menghukum bahkan memukul, bahkan yang lebih ekstrim mengeluarkan sang anak dari sekolah. Butuh guru yang luar biasa untuk mengenali kemampuan murid-murid yang luar biasa.

Guru, mari belajar memahami dan memberi inspirasi bagi murid-murid kita. Siapapun, tidak akan pernah tahu jika salah satu dari mereka akan menjadi Thomas Alva Edison atau Albert Einstein berikutnya. Sedikit yang kita lakukan saat ini akan berdampak sangat besar di masa depan mereka. Sekarang, bila Anda seorang guru, Anda berada di bagian mana? Apakah Guru Mediocre, Guru Yang Baik, Guru Yang Hebat atau Guru Yang Luar Biasa? Intinya mari kita ciptakan sebanyak-banyaknya siswa yang hebat dan luar biasa (Adelbertus dalam Usman dan Abdul Kadir, 2019).

Tugas guru adalah tugas yang mulia yang merupakan profesi yang paling sering menjadi cita-cita favorit masa kanak-kanak. Lewat tangan para gurulah tercipta para ilmuwan, ahli politik, hakim, dokter dan bahkan seorang presiden sekalipun. Dari seorang gurulah kita belajar dari hal yang tidak tahu menjadi tahu, belajar memahami dan berpetualang dalam pengetahuan. Seringkali guru menghadapi kendala dalam mengajarkan murid-muridnya, berbagai metode dicoba sebagai upaya untuk menyampaikan ilmu yang dimilikinya kepada para peserta didik. Namun seringkali, peserta didik semakin bingung sehingga akhirnya tidak mengerti yang berujung kepada kebosanan.

William Arthur Ward (Usman, 2024), seorang penulis berpengaruh dari Amerika berkata bahwa guru tingkat menengah hanya bercerita, guru yang baik menjelaskan, guru yang hebat mendemonstrasikan sementara guru yang luar biasa memberikan inspirasi. Memberikan inspirasi kepada anak didik, secara tidak langsung kita memberikan sayap kepada mereka untuk bisa terbang menggapai impiannya menjadi siswa-siswi yang hebat dan luar biasa dan yakinlah bahwa guru akan mendapatkan tempat yang paling spesial di hatinya. 

         Yang dibutuhkan seorang peserta didik bukanlah hanya ilmu pengetahuan dari gurunya saja, namun yang lebih penting adalah kata-kata inspirasi dan motivasi yang mampu memicu mereka untuk menguasai ilmu pengetahuan tersebut. Mereka bisa belajar dari sumber manapun tentang pengetahuan tersebut, namun inspirasi tersebut jarang bisa ditemukan kecuali dari seorang guru yang luar biasa.

Guru sebagai Penulis Naskah, Sutradara dan sekaligus Aktor

Guru  adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin (Mulyasa, 2011).

Tak ubahnya sebuah sinetron, maka guru dalam pementasan sebuah adegan dalam setiap episode pembelajaran berperan sebagai penulis naskah (skenario), sutradara dan sekaligus pemain (aktor) bersama dengan siswa (Muhadi, 2012).

Pertama, guru sebagai penulis naskah

Terdapat peran penulis naskah dalam sebuah sinetron yang sangat penting sekali. Penulis skenario memiliki peran paling vital karena sinetron akan berjalan sesuai dengan skenario yang ditulis oleh penulis skenario.

Berikut ini terdapat peran penulis naskah atau skenario dalam sebuah sinetron, di antaranya adalah: penulis skenario memiliki peran penting untuk menciptakan dan juga menulis dasar yang menjadi acuan cerita sinetron dalam bentuk sebuah naskah atau skenario baik berdasarkan ide cerita sendiri ataupun terinspirasi dari pihak lain; jika penulis sudah menemukan ide dasar cerita, maka selanjutnya penulis berperan untuk mengembangkan cerita dengan memberikan treatment atau bisa langsung menjadi scenario; penulis skenario masih bertugas mulai dari tahap pengembangan ide atau development sampai dengan jangka waktu terakhir; penulis skenario selanjutnya menuliskan skenario sesuai dengan format yang telah ditentukan; penulis skenario juga memiliki peran menjadi nara sumber; penulis skenario harus bisa membuat transkripsi sebuah sinetron dan membuat sinetron dalam bentuk tertulis; penulis skenario memiliki peran untuk membuat naskah menjadi menarik agar penonton merasa terhibur dan dapat menikmati alur cerita pada saat menonton sinetron; penulis skenario memiliki tugas untuk dapat membawa cerita menjadi mengalir dan bisa membawa penonton untuk larut dalam cerita yang disinetronkan tersebut.

Di samping itu, penulis skenario memiliki peran untuk bisa memvisualisasikan setiap adegan sehingga dapat dinikmati oleh pemirsa (peserta didik); penulis skenario dalam membuat skenario juga berperan mengatur jalannya cerita agar tidak bertentangan atau menyimpang jauh dari konsep dan sesuai dengan kaidah norma serta adat istiadat yang berlaku; penulis skenario memiliki peran penting untuk memasukkan nilai-nilai ataupun pesan yang ingin disampaikan untuk dikemas dalam suatu adegan ataupun suatu dialog yang diucapkan oleh para pemain yang menjadi aktor sinetron tersebut; dan penulis skenario berperan untuk melakukan evaluasi agar penulis skenario juga mendapatkan masukan atau insight lain dan ide-ide segar lainnya sehingga tercipta skenario yang menarik lainnya.

Mengacu pada setumpuk peran penulis naskah atau skenario dalam sebuah sinetron di atas, dalam perannya sebagai penulis naskah sebelum pelaksanaan pembelajaran, guru harus mempersiapkan materi (bahan ajar) pembelajaran yang akan mendukung dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Bahan ajar tersebut harus memuat ketercapaian kompetensi dasar yang dituangkan dalam bentuk indikator-indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran.

Di samping itu, bahan ajar dalam pengembangannya harus menganut prinsip-prinsip: mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak; pengulangan untuk memperkuat pemahaman; umpan balik positif untuk memberikan penguatan terhadap pemahaman peserta didik; motivasi belajar yang tinggi sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan belajar; untuk mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan mencapai ketinggian tertentu; dan mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong peserta didik untuk terus mencapai tujuan.

Kedua, guru sebagai sutradara

Sutradara adalah seseorang yang memberi pengarahan, dan bertanggung jawab atas masalah artistik dan teknis dalam pementasan drama, pembuatan sinetron, dan sebagainya. Sutradara artinya memimpin/mengawal, mengarahkan, atau mengatur pementasan sandiwara (pembuatan sinetron dan sebagainya).

Seorang sutradara, wawasannya harus luas, kreatif, imaginatif, interpretatif, dan  inovatif  dalam berkarya.

Sutradara adalah manajer, kreator, sekaligus inspirator bagi anggota tim produksi, pemeran serta penayangan. Peran yang sedemikian besar itu, mengharuskan sutradara memahami benar konsep tayangan, memahami situasi lingkungan, psikologis tim produksi, serta bisa bekerjasama.

Ibarat tubuh manusia, sutradara adalah otaknya, dan yang lain adalah seluruh anggota badan. Otak memerlukan anggota badan untuk mewujudkan gagasan, badan memerlukan otak untuk mengendalikan.

Dalam perannya sebagai sutradara, guru lebih awal harus memperoleh informasi sekaligus mengumpulkan data tentang kondisi awal siswa yang akan diajar kemudian mempersiapkan segala bahan dan peralatan yang akan dipakai setelah action di kelas. Hal ini dimaksudkan supaya dalam menyusun rancangan pembelajaran (skenario) yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) guru dapat memilih materi, metode, strategi dan penilaian pembelajaran yang tepat.

Dalam RPP yang dibuat guru sedapat mungkin dapat komunikatif artinya dapat menuntun jalannya adegan-adegan di dalam kegiatan pembelajaran, mulai dari kegiatan persiapan, kegiatan inti sampai pada kegiatan penutup. Bila perlu dan demi lancarnya kegiatan pembelajaran, guru masih diharapkan dapat memberi penjelasan-penjelasan yang terkait lakon yang harus dilakukan siswa sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien.

Khususnya dengan metode dan strategi pembelajaran pada dasarnya tidak ada satupun metode atau strategi yang paling bagus, kecuali jika digunakan pada situasi dan kondisi yang tepat. Salah menggunakan metode atau strategi, maka sudah barang tentu tujuan pembelajaran yang akan dicapai tidak akan maksimal.

Ketiga, guru sebagai aktor

Dalam perannya sebagai aktor (pemain), setelah naskah (materi) ada, skenario lengkap, sutradara sudah bekerja dengan baik, maka selanjutnya guru masih harus berperan sebagai pemain langsung dalam setiap episode pembelajaran.

Walaupun dalam filosofi pembelajaran yang dikembangkan sekarang peran dan fungsi guru bukan lagi sebagai pengajar melainkan lebih kepada sebagai fasilitator. Dalam perannya sebagai fasilitator tidak berarti bahwa guru sudah terlepas dari tugas sebagai pengajar, akan tetapi bentuk mengajarnya guru lebih besifat kepada bentuk pembimbingan dan bahkan sekali-kali menjadi model dalam setiap episode pembelajaran.

Guru senantiasa harus mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan baik dilakukan dalam bentuk layanan individu maupun dalam bentuk layanan kelompok.

Berikut ini hal-hal yang perlu dilakukan guru dalam setiap episode pembelajaran (Umar, 2012). Pertama, menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran. Artinya guru harus berusaha melibatkan emosional siswa pada materi yang akan dipelajari misalkan dengan menghubungkan materi dengan kondisi keseharian siswa serta menyampaikan manfaat atau kegunaan materi tersebut dipelajari. Kedua, menjelaskan tujuan pembelajaran. Ini dimaksudkan agar siswa punya batasan atau sasaran dalam mengeksplorasi serta mengelaborasi pengetahuannya. Ketiga, menciptakan kegiatan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan pembelajaran menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran yang meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Keempat, melakukan pembimbingan baik secara individu maupun secara kelompok. Kelima, melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram. Keenam, memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran. Ketujuh, merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik; dan kedelapan, menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Sebagai seorang aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton. Penampilan yang bagus dari seorang aktor akan mengakibatkan para penonton tertawa, mengikuti dengan sungguh-sungguh, dan bisa pula menangis terbawa oleh penampilan sang aktor. Untuk bisa berperan sesuai dengan tuntutan naskah, dia harus menganalisis dan melihat kemampuannya sendiri, persiapannya, memperbaiki kelemahan, menyempurnakan aspek-aspek baru dari setiap penampilan, mempergunakan pakaian, tata rias sebagaimana yang diminta, dan kondisinya sendiri untuk menghadapi ketegangan emosinya dari malam ke malam serta mekanisme fisik yang harus ditampilkan.

Sang aktor harus siap mental terhadap pernyataan senang dan tidak senang dari para penonton dan kritik yang diberikan oleh media massa. Emosi harus dikuasai karena kalau seseorang telah mencintai atau membenci sesuatu akan berlaku tidak objektif, perilakunya menjadi distorsi dan tak terkontrol. Ringkasnya, untuk menjadi aktor yang mampu membuat para penonton bisa menikmati penampilannya serta memahami pesan yang disampaikan, diperlukan persiapan, baik pikiran, perasaan maupun latihan fisik (Djamarah, 2008).

Guru sebagai Aktor

Para guru merupakan aktor sekaligus tokoh yang paling penting dalam kehidupan peserta didik, karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Karenanya, tidak jarang peserta didik lebih percaya, lebih patuh, lebih takut kepada guru daripada orang tua dan elemen-elemen lainnya.

Aktor adalah seseorang, sekelompok orang, atau suatu badan hukum yang melakukan suatu proses mediasi atau penggerakan untuk melakukan suatu perubahan yang terencana dengan baik. Dalam dunia hiburan, aktor adalah orang yang memerankan tokoh tertentu dalam suatu pertunjukan di panggung, acara televisi, sinetron atau film.

Aktor merupakan elemen penting dari sebuah garapan. Sebuah garapan akan terasa hidup jika aktor-aktornya memainkan peran dengan baik. Sebuah garapan bisa hidup tanpa sutradara tapi mustahil sebuah garapan berjalan tanpa adanya seorang aktor (Arifin C. Noer dalam Usman, 2024). Jelaslah bahwa aktor adalah sesuatu yang sangat menunjang dari sebuah pertunjukan, aktor merupakan “mesin” penggerak dari sebuah pertunjukan. Tentunya sebuah garapan pertunjukan teater akan berjalan baik dan bagus bila aktornya memiliki kemampuan peran (akting) yang bagus. Demikian halnya, dalam dunia pendidikan, guru menjadi tokoh sentral.

Ada unsur penting untuk menghadirkan suatu peran di atas pentas. Salah satunya yakni peran yang dimasukkan ke dalam diri dan unsur ini tidak tampak sebab berada di dalam diri seorang aktor.

Dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun lalu, Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengetengahkan pandangannya tentang penguatan aktor pendidikan yang dinilai sebagai salah satu faktor kunci paling berpengaruh dalam kemajuan pendidikan. Yang dimaksud dengan aktor pendidikan ialah guru, murid, kepala sekolah, pengawas, juga orangtua (Ismail, 2015).

Guru sebagai aktor, bisa dipahami dalam arti positif dan negatif. Di dalam KBBI (2017), term ‘aktor’ menunjuk pada orang atau tokoh yang berperan sebagai pelaku dalam pementasan cerita di panggung, dalam sinetron, sandiwara, dan atau film. Dalam dunia sinetron atau film, seorang aktor atau aktris tidak memerankan dirinya sendiri. Ia bekerja dan memerankan untuk orang lain sebagai orang dengan karakter baik (protagonis) atau seorang dengan karakter jahat (antagonis).

Tidak demikian dengan guru. Guru tidak memerankan orang lain, tetapi memerankan dirinya sendiri, karena ia teladan, orang yang digugu dan ditiru. Barangkali itu alasannya, mengapa selama ini guru tidak disebut aktor. Penulis sendiri lebih suka menyebut guru sebagai ‘sumber’ atau ‘inspirator’ pendidikan. Dalam pengertiannya yang positif, penggunaan term baru, guru sebagai aktor, kelihatannya sengaja dipilih untuk menunjukkan makna tertentu yang mesti diperhatikan dalam pendidikan baik secara filosofis, metodologis, maupun sosiologis (Lukas, 2018).

Secara filosofis, dengan aktor pendidikan, kita diingatkan bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan masalah atau proses yang melibatkan manusia. Dalam pendidikan, manusia adalah sentral, karena subjek maupun objeknya ialah manusia. Pendidikan, sejatinya ialah interhuman relation, interaksi antar manusia, yakni interaksi antara guru dan murid, antara orangtua dan anak, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Oleh sebab itu, tanpa memperhatikan faktor manusia, pendidikan tidak akan pernah mencapai kemajuan.

Secara metodologis, kita diingatkan agar proses pembelajaran dilakukan secara aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan dalam arti menarik minat siswa untuk semangat dan passion, kasmaran belajar. Jadi, sebagai aktor, guru, murid, kepala sekolah, dan orangtua mesti berperan aktif dalam proses pembelajaran sehingga pendidikan mencapai sasaran dan tujuan seperti diharapkan.

Sementara itu secara sosial dan kultural, kita diingatkan agar pendidikan yang dilakukan membawa kemajuan bagi masyarakat dan bangsa. Para aktor pendidikan, tidak boleh lupa, bahwa pendidikan adalah suatu proses pembudayaan (enculturation) dan pemberdayaan (empowerment) sekaligus. Dengan pembudayaan, pendidikan dilakukan untuk memberi wawasan, makna, dan pewarisan terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa.

Aktor Utama Keteladanan

Aktor sebagai seniman penampil dalam sebuah karya/garapan harus bisa meyakinkan penonton terhadap apa yang disampaikannya sehingga pesan yang disampaikan oleh sutradara dapat sampai kepada penonton dan dapat dengan mudah dimengerti. Hal itu dapat diwujudkan dengan penghayatan dan keseriusan peran yang ditampilkan oleh aktornya.

Kekuatan emosi yang dibangun oleh seorang aktor sangat menunjukkan kualitas dari seorang aktor. Aktor yang bisa mengontrol dan menghadirkan emosi yang sesuai dengan adegan akan memperoleh suatu pertunjukan yang bagus dan dapat meyakinkan penonton tentang adegan yang sedang ditampilkannya. Sikap/attitude, gesture, respons terhadap ucapan dan tekanan maupun reflex-reflex terhadap suatu perubahan sangat erat dengan emosi dan intelegensi peranan, dan harus terpencar dalam membawakan lakunya. Karena itu secara logis pula seorang aktor harus memiliki penguasaan emosi dan intelektualitas yang tinggi minimal mampu mengekpresikan kedua unsur itu sesuai dengan tuntutan peran yang dibawakannya.

Sebagai aktor utama pembelajaran, guru pada hakikatnya adalah pencerah dan pembangun karakter bangsa. Sebagai pencerah, ia ibarat lampu (the light of the darkness), menerangi masyarakat, dan menginspirasi mereka pada kemuliaan dan keadaban.

Guru akan menjadi figur sentral bagi peserta didiknya dalam berperilaku. Memang ada paradoks antara perbuatan yang baik dengan yang tidak baik. Perbuatan tidak baik, meskipun tidak perlu diteladankan akan mudah dilakukan. Namun, perbuatan yang baik, meskipun sudah diberi teladan belum tentu dilaksanakan.

Tak bisa dipungkiri, posisi sebagai guru menjadi aktor utama keteladanan bagi anak didiknya. Posisi ini sejatinya menjadi modal utama bagi seorang guru untuk pembentukan karakter dan revolusi mental generasi penerus. Perkataan guru dan tindak-tanduknya di lingkungan lembaga pendidikan maupun di tengah-tengah masyarakat sangat ampuh buat si anak dibandingkan dengan orang tuanya di rumah (Irfan Abdussalam dalam Yosiana, 2018). 

Memang tak mudah untuk mencari sosok yang bisa kita teladani di zaman tanpa batas ini. Kemajuan teknologi informasi yang berkembang sangat pesat tidak membuat kita semakin santun dan ramah serta menjadi sosok yang berkharisma. 

Rasanya sulit sekali mencari sosok yang bisa kita teladani di masa kini. Apakah itu orang tua, pendidik dan para pemimpin negeri ini, tak mampu lagi, memberikan contoh teladan yang baik bagi generasi masa kini dan akan datang. 

Inilah tantangan terbesar yang dialami dunia pendidikan saat ini. Padahal melalui pendidikan dapat mengubah tatanan budaya dan akhlak sebuah generasi untuk kemajuan bangsa. Dengan keteladanan, maka akan tumbuh pribadi-pribadi yang berkarakter unggul sebagai the winner bukan menjadi orang-orang yang the looser.

Lalu, apa yang harus dilakukan para pendidik baik di sekolah untuk menghadapi gempuran budaya asing yang mengikis akhlak generasi muda muslim? Mari kita mulai membuka kembali lembaran sejarah aktor guru teladan kelas dunia, Nabi Muhammad SAW.

Simaklah Firman Allah SWT, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”(Q.S. Al-Ahzab: 21).

Bagi seorang muslim, apalagi dia sebagai pendidik wajib hukumnya meneladani Rasulullah SAW, termasuk dalam masalah pendidikan. Islam tidak akan menolerir model-model pendidikan yang meracuni anak didik dengan nilai-nilai kesyirikan, kekufuran, dan kerusakan akhlak. 

Di tengah dahsyatnya gempuran berbagai model pendidikan yang dijejalkan kepada kaum muslimin, keharusan untuk merujuk kepada apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah suatu yang sangat penting. Maka, tiada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. 

Rahasia Rasulullah SAW sehingga Beliau menjadi pendidik yang sukses yang utama model pendidikan yang diterapkan Rasulullah dengan menanamkan menyangkut masalah tauhid, mengenyahkan kesyirikan. Ajari dan pahamkan anak dengan masalah tauhid. Dengan menanamkan tauhid yang benar kepada anak didik, maka akan tumbuh anak-anak yang memiliki keyakinan yang mantap. 

Seorang yang berprofesi sebagai guru bukan hanya bertugas mentranfrer ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih dari itu. Karena seorang anak didik apalagi pada tingkat dasar akan mencari figur untuk mereka tiru dan ikuti. Seorang guru harus menjadi panutan bagi para muridnya karena kata guru yang dalam bahasa Sunda digugu dan ditiru yang artinya seseorang yang ditaati dan dicontoh segala perbuatan dan ucapannya. 

Seorang guru dituntut untuk selalu baik dalam ucapannya dan perbuatan bukan hanya di depan anak didiknya tapi dalam kehidupan sehari-harinya, jadi apa yang diucapkan dan apa yang diperbuat mempunyai keselarasan.

Menurut pakar pendidikan bahwa keteladanan adalah media pendidikan yang paling efektif dan berpengaruh dalam menyampaikan tata nilai kehidupan. Kita juga tahu apa yang dikatakan oleh Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara dengan petuah dalam bahasa Jawa yang tidak asing dalam dunia pendidikan yaitu Ing ngarsa sung tulada (di depan seorang pendidik harus memberikan teladan). Ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid guru harus menciptakan ide atau prakarsa). Tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). 

Inilah falsafah pendidikan yang harus dimiliki oleh semua guru di Indonesia. Senada dan seirama dengan yang diajarkan Rasulullah SAW 14 abad lebih yang lalu. Mudah-mudahan segala tantangan yang dihadapi dalam dunia pendidikan saat ini bisa diatasi dengan kemauan dan kerja keras guru dalam mendidik generasi emas anak bangsa dengan bermodalkan keteladanan.

Dengan perannya sebagai aktor, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya. Dengan terus belajar, diharapkan akan tercipta peserta didik yang unggul. Menurut The Liang Gie (Debora, 2018) karakteristik peserta didik yang unggul ada tiga, yaitu 1) gairah belajar yang mantap, 2) semangat maju yang menyala dalam menuntut ilmu, dan 3) kerajinan mengusahakan studi sepanjang waktu.

Pasti Akan Menjadi Idola

Faktor terbesar untuk mengubah keadaan pendidikan adalah aktor guru. Aktor gurulah yang mampu membuat merah-hitam anak-anak asuhnya. Jika aktor guru masih saja mengeluh tentang siswanya, masih mempersoalkan berbagai faktor persekolahan sebagai kendala untuk menunaikan tugas keguruannya, maka yang perlu dipikirkan ulang justru cara berpikir para guru sendiri.

Guru menjadi aktor utama dalam pendidikan dan kita harus terus-menerus melakukan perubahan-perubahan, melakukan inovasi, mengubah mindset, mengubah pola pikir kita semuanya untuk terus bersemangat dan mendidik.

Seorang guru harus kreatif agar ia dapat menciptakan inovasi-inovasi baru dalam suatu proses pembelajaran. Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan ide, gagasan, dan berkreasi untuk memecahkan masalah atau mengatasi permasalahan secara spontanitas. Ciri kreativitas atau orang kreatif secara garis besar menurut para ahli dapat disimpulkan, yaitu : memiliki kemampuan dalam melihat masalah, memiliki kemampuan menciptakan ide atau gagasan untuk memecahkan masalah, terbuka pada hal-hal baru serta menerima hal-hal tersebut.

Guru sebagai aktor utama dalam pendidikan harus mempunyai karakter ataupun karaktersistik yang baik dalam dirinya. Sehingga dalam melakukan suatu tindakan guru harus melakukan pertimbangan-pertimbangan terhadap apa yang telah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang yang telah dipercaya untuk dapat mendidik siswa melalui pendidikan yang berkualitas, didukung dengan karakteristik yang dimilikinya. Sehingga pembelajaran tersebut dapat tersampaikan dan diterima siswa dengan mudah. Karena proses penyampaian yang dilakukan guru mempunyai ciri khas atau karakteristik tersendiri akibatnya siswa mudah untuk memahami dan menerima (Ananda, 2019).

Alat aktor adalah tubuh/raga dan sukmanya. Itulah yang harus terus-menerus diasah dan dilatih agar siap menghadapi, menggali dan memainkan peranan. Demikian juga seorang guru, harus kontinu diasah-diasih-diasuh dan dilatih kemampuannya agar siap dalam menghadapi, menggali dan memainkan peranan profesionalnya.

Guru sebagai aktor, pasti akan menjadi idola. Karakteristik guru yang menjadi idola siswa, di antaranya: penuh cinta dan kasih sayang; tetapi tegas; tidak kikir pujian ketika anak didik berprestasi atau lebih baik (nilai dan sikap); tidak sombong; rendah hati, tapi tidak rendah diri;  mengajarnya mudah dipahami dan menyenangkan; memahami psikologi anak dan remaja; tidak pilih kasih dan adil;  menegur kesalahan dengan kata-kata arif nan bijak; disiplin; memiliki rasa humor yang bagus; mampu memberi motivasi; memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa; menjadi teladan bagi teman sejawat dan peserta didik; mampu menjadi orang tua kedua bagi anak didik; kehadirannya selalu dirindukan anak didik; murah senyum, sapa dan salam; berpenampilan menarik, rapi dan sopan;  perkataan dan perbuatannya selaras;  pintar dan berwawasan luas  memahami dan menguasai materi pelajaran; guru yang periang dan ramah; guru yang mudah akrab dengan siswa; guru yang antusias ketika mengajar; guru yang menghormati dan menghargai siswa; guru yang peduli; guru yang kreatif dan menarik; guru yang peka; guru yang menguasai materi pelajaran; guru yang memiliki rasa pengertian; dan guru yang melek teknologi (Abdurrahman, 2018).

Guru yang diidolakan itu yaitu guru yang kreatif dan menyenangkan muridnya ketika dia sedang mengajar, guru yang ditunggu-tunggu oleh siswanya untuk masuk kelas, guru yang jika dia tidak masuk kelas murid-muridnya akan kecewa bukan malah senang.

Semoga Bermanfaat !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|