Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Menurut Erich Fromm, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya mengembangkan cinta satu sama lain. Sedangkan masyarakat yang sakit menciptakan permusuhan, kecurigaan, dan ketidaksalingpercayaan anggota-anggotanya (Schultz, 2009). Senada dengan Fromm, J.E. Prawitasari dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM (2003), menyampaikan bahwa kriteria masyarakat yang sehat secara sosiopsikologis di antaranya adalah bila masyarakat mampu bercinta, yaitu mampu menggunakan cinta kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama manusia (Slamet, 2013).
Mengacu pada kriteria ini, tampak jelas bahwa adanya stigma atau prasangka yang luas di masyarakat merupakan indikasi jelas ketidaksehatan sosiopsikologis dalam masyarakat bersangkutan. Hal ini karena stigma atau prasangka menumbuhkan kecurigaan, ketidakpercayaan, dan permusuhan. Stigma atau prasangka juga menghalangi anggota-anggota masyarakat untuk mengembangkan cinta satu sama lain di antara anggota-anggota masyarakat dan untuk menyebarkan perdamaian.
Stigma sosial dapat dikatakan sebagai label sosial yang diberikan kepada seseorang, di mana terdapat atribut yang mengaitkan seseorang dengan adanya stereotip dan penilaian negatif, sehingga seseorang akan dibedakan atau dianggap abnormal. Stigma sosial ini adalah salah satu bagian dari adanya prasangka yang merujuk pada perlakuan diskriminatif dan pembedaan terhadap individu. Erving Goffman (Agustang, et al., 2021) menyebutkan bahwa stigma merupakan atribut yang membuat seseorang berbeda dengan orang lain, yaitu atribut yang mendiskreditkan sehingga dapat mengurangi identitas sosialnya.
Makna Stigma Sosial
Goffman (Santoso, 2016.) menjelaskan bahwa stigma adalah sebuah situasi dimana individu mengalami diskualifikasi dari lingkungan sosial secara penuh. Lebih lanjut dikatakan Tyler dan Slater (Santoso, 2016.) bahwa terdapat 4 klaim dari pernyataan Goffman, di antaranya: (1) stigma merupakan sebuah pandangan yang muncul dari pandangan masyarakat setempat, (2) individu dalam masyarakat memiliki kecenderungan untuk menghindari risiko stigma melalui beberapa cara, di antaranya dengan bersikap masa bodoh atau justru menjauhi, (3) stigma terbentuk dan dipahami secara turun-temurun dalam suatu masyarakat, dan (4) stigma memiliki fungsi sebagai kontrol sosial di dalam suatu masyarakat.
Stigma sosial adalah sikap masyarakat umum terhadap suatu kelompok yang dibedakan atau dianggap abnormal.
Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah pengaitan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu. Dalam suatu wabah, stigma sosial berarti orang-orang diberi label, distereotipkan, didiskriminasi, diperlakukan secara berbeda, dan/atau mengalami kehilangan status karena dianggap memiliki keterkaitan dengan suatu penyakit.
Stigma Erving Goffman
Stigma sebagaimana dikemukakan oleh Erving Goffman dalam teori stigma, merupakan tanda-tanda yang dibuat pada tubuh seseorang untuk diperlihatkan dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang mempunyai tanda-tanda tersebut merupakan seorang buruh, kriminal, atau seorang penghianat. Tanda-tanda tersebut merupakan suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan keburukan status moral yang dimiliki oleh seseorang (Goffman dalam Usman, 2020).
Goffman menyebutkan 3 tipe stigma yang diberikan terhadap seseorang, yaitu : 1) Stigma yang berhubungan dengan kecacatan pada tubuh seseorang (cacat fisik); 2) Stigma yang berhubungan dengan kerusakan-kerusakan karakter individu, misal homosexuality. 3) Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama.
Ada 2 tipe individu yang simpati dan memberikan dukungan kepada orang yang terstigma tipe yang pertama yaitu orang yang mempunyai stigma yang sama. Orang-orang seperti ini dapat memberikan saran karena mereka pernah mengalami hal yg sama (Goffman dalam Usman, 2020).Tipe yang kedua merupakan orang-orang yang karena situasi tertentu menjadi dekat dengan orang yang terstigma. Goffman memberi istilah “wise” bagi orang-orang yang termasuk pada tipe kedua. Yaitu labeling, dan teori diskriminatif.
Pertama, labeling. Menurut Howard S. Becker tindakan perilaku menyimpang sesungguhnya tidak ada. Setiap tindakan sebenarnya bersifat“netral” dan “relative”.Artinya, makna tindakan itu relatif tergantung pada sudut pandang orang yang menilainya.Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang karena orang lain/masytarakat memaknai dan menamainya (labeling) sebagai perilaku menyimpang. Jika orang/ masyarakat tidak menyebut sebuah tindakan sebagai perilaku menyimpang, maka perilaku menyimpang itu tidak ada. Penyebutan sebuah tindakan parilaku menyimpang sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.
Teori stigmatisasi merupakan tanda-tanda yang dibuat pada tubuh seseorang untuk diperlihatkan dan menginformasikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang mempunyai tanda-tanda tersebut merupakan seorang buruh, criminal, atau seorang penghianat. Teori labeling ini adalah pemberian cap atau label terhadap seseorang yang sudah dicap oleh masyarakat kepada orang yang diberikan label karena adanya tindakan perilaku menyimpang. Oleh sebab itu perempuan pengguna tato dicap sebagai perempuan melanggar norma-norma dan aturan yang berlaku.
Kedua, teori diskriminatif. Diskriminatif adalah sikap yang merupakan usaha untuk membedakan secara sengaja terhadap golongan-golongan yang berkaitan dengan kepentingan tertentu; dalam diskriminatif, golongan tertentu diperlakukan berbeda dengan golongan-golongan lain; pembedaan itu dapat didasarkan pada suku bangsa, agama, mayoritas, atau bahkan minoritas dalam masyarakat. Jika mendengar kata diskriminatif pasti yang terbayang dalam ingatan adanya suatu perlakuan yang tidak adil dan perlakuan yang berbeda oleh sekelompok masyrakat. Hal ini sesuai dengan pengertian yang diutarakan oleh Fulthoni, et.al (2009), pada dasarnya diskriminatif adalah pembedaan perlakuan. Diskriminatif adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok berdasarkan sesuatu kategorikal atau atribut-atribut khas seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial.
Kemudian definisi klasik “prasangka” pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Alport dalam bukunya The Nature of Prejudice (1954). Istilah ini berasal dari kata praejudicium yang berarti pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Sementara Johnson (1986) berpendapat bahwa prasangka adalah sikap positif maupun negatif berdasarkan keyakinan stereotip seseorang tentang anggota dari kelompok tertentu.
Muncul Stigma Sosial
Stigma terjadi melalui beberapa proses yang saling berkaitan yaitu isyarat, stereotip yang mempertegas isyarat, prasangka yang mendukung stereotip negatif, diskriminasi sebagai manifestasi prasangka. Diskriminasi dimanifestasikan sebagai tindakan negatif terhadap orang-orang yang berada di luar kelompoknya (Varamitha, et al. dalam Ahmadi dan Aliyah, 2015).
Menurut Pfuhl (Usman, 2024) proses pemberian stigma yang dilakukan masyarakat terjadi melalui tiga tahapan. Pertama, proses interpretasi merupakan suatu pelanggaran norma yang terjadi di masyarakat tidak semua dari masyarakat melainkan hanya pelanggaran norma yang dipandang masyarakat sebagai penyimpangan perilaku yang dapat menyebabkan stigma. Kedua, proses pendefinisian merupakan orang yag dianggap perilaku penyimpang setelah terjadi interpretasi dilakukan setelah itu terjadi proses pendifinisian orang yang dianggap masyarakat menyimpang. Ketiga, perilaku diskriminasi merupakan tahap setelah proses interpretasi dan pendefinisian dilakukan masyarakat memberikan perlakuan yang membedakan (diskriminasi).
Proses stigma menurut International Federation–Anti Leprocy Association (ILEP, 2011). Orang-orang yang dianggap berbeda sering diberi label, masyarakat cenderung berprasangka dengan pandangan tertentu dengan apa yang dialami seseorang tersebut seperti dianggap sangat menular, mengutuk, berdosa, berbahaya, tidak dapat diandalkan dan tidak mampu mengambil keputusan dalam kasus mental.
Stigmatisasi terbentuk melalui proses sosial-kognitif yaitu isyarat, stereotip, prasangka, dan diskriminasi (Stier and Hinshaw, 2007). Pertama, isyarat, secara umum masyarakat menyimpulkan gangguan jiwa dari empat isyarat: gejala gangguan jiwa, defisit keterampilan sosial, penampilan fisik, dan label. Kedua, stereotip, struktur pengetahuan yang dipelajari masyarakat umum tentang suatu kelompok sosial yang ditandai. Stereotip dianggap lazim, karena hanya sebagai perwakilan dari anggapan masyarakat umum tentang suatu kelompok sosial. Biasanya stereotip pada orang-orang dengan gangguan jiwa muncul berupa kekerasan (orang dengan gangguan jiwa berbahaya), inkompetensi (mereka tidak mampu mandiri), dan menyalahkan (karakter pribadi yang lemah, mereka bertanggungjawab terhadap gangguan jiwa yang dialami) terhadap orang-orang dengan gangguan jiwa. Ketiga, prasangka, orang-orang yang berprasangka ialah mendukung stereotip negatif dan menghasilkan reaksi emosional negatif. Prasangka adalah keyakinan dan sikap merugikan yang melibatkan komponen evaluatif (umumnya negatif). Prasangka pada dasarnya merupakan suatu respon kognitif dan afektif, dan menuju diskriminasi dengan memunculkan perilaku. Keempat, diskriminasi dimanifetasikan sebagai tindakan negatif terhadap orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Diskriminasi out-group (luar kelompok) muncul sebagai penghindaran, tidak bergaul dengan orang-orang dari luar kelompok.
Bentuk Stigma
Stigma dibedakan menjadi 2 jenis (Rusch, et al., Sewilam, et al., 2015 dalam Mumtazinur, 2019) yaitu : (1) Stigma masyarakat (public stigma/stigma interpersonal) yaitu keyakinan yang menimbulkan prasangka negatif sehingga mengakibatkan diskriminasi dari masyarakat. (2) Stigma diri (self stigma) yaitu pandangan negatif pada diri sendiri, sehingga emosional dan berperilaku menghindar.
Beberapa bentuk stigma sosial di dalam masyarakat, menurut Link dan Phelan antara lain labeling, stereotipe, pemisahan atau separation, dan tindakan diskriminasi. Keempat bentuk stigma ini merupakan suatu kesatuan dan mempunyai keterkaitan, ketika semua komponen bentuk stigma sosial bertemu, dapat dikatakan bahwa stigma muncul pada seseorang (Link & Phelan, 2001).
Ada lima tipe. Pertama, stigma public, merupakan sebuah reaksi masyarakat dimana adanya penolakan terhadap individu dalam suatu kelompok yang mengarah pada pengucilan individu tersebut dan merupakan reaksi buruk dari anggota keluarga, individu yang dicintai, serta warga terhadap orang-orang yang mengalami suatu penyakit; Kedua, self stigma, merupakan perasaan takut pada dirinya sendiri yang asalnya dari pendapat negatif masyarakat, perasaan yang terasa keberadaan dirinya merupakan aib yang tidak disukai oleh masyarakat; ketiga, felt or perceived stigma, yakni takut berada di lingkungan masyarakat; (4) experienced stigma yakni seseorang telah menghadapi diskriminasi oleh orang lain. Tidak adilnya perilaku seseorang terhadap orang yang mempunyai penyakit (Kadhim, 2024).
Dampak Stigmatisasi
Stigma hanya akan memunculkan masalah sosial baru dengan hilangnya keharmonisan di masyarakat (Dai, 2020). Tanpa disadari, stigma sosial ini bisa sangat melukai seseorang/kelompok, bahkan lebih berdampak negatif bagi kesehatan mental dibandingkan virusnya itu sendiri.
Stigma mengakibatkan labelling, stereotip, prasangka dan diskriminasi. Labelling yaitu memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan individu yang dianggap tidak relevan dalam kehidupan sosial, sehingga diberikan cap negatif oleh masyarakat. Stereotip yakni penilaian terhadap seseorang berdasarkan persepsi terhadap kelompok.
Secara umum, stigma menyebabkan kelompok terdampak mengalami keterbatasan dalam beberapa aspek hidup, sehingga mempengaruhi status sosial, kesejahteraaan (well-being) sekaligus kesehatan fisik (Major & O’Brien, 2005). Stigma dapat mempengaruhi persepsi diri, kesehatan mental, merusak hubungan sosial, hingga berefek terhadap kohesivitas masyarakat dan bagaimana individu saling berinteraksi satu sama lain (Singh, dkk., 2020). Muncul rasa malu, tidak memiliki harapan, bahkan stres, kecemasan, depresi, tidak berdaya, menjadi tertutup bahkan menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sosial. Selain itu merasa cemas, khawatir dan ragu untuk meminta bantuan kepada orang terdekat.
Melawan Stigma Sosial
Kita harus melawan stigma sosial dengan empati sosial. Elisabeth Segal, penulis buku Social Empathy: The Art of Understanding Others, mendefinisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain, dengan merasakan atau memahami situasi kehidupan mereka dan sebagai hasilnya mendapatkan wawasan tentang ketidaksetaraan dan kesenjangan struktural (Priyoto, 2014).
Ketika kita memiliki pemahaman mendalam tentang pengalaman hidup individu/kelompok yang berbeda dengan kondisi diri kita sendiri, berarti kita belajar tentang latar belakang mereka, hambatan juga dukungan terhadap persoalan mereka, dan merasakan seperti apa rasanya berada dalam posisi terpinggirkan. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan menjadi faktor penting untuk dapat mengubah stigma sosial menjadi empati sosial.
Empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup self-awareness (kesadaran diri)
Pentingnya empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut. Pertama, empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif (Fesbach dalam Taufik, 2012). Kedua, memiliki kontribusi dalam perilaku proporsional (Einsenberg dalam Taufik, 2012). Ketiga, berkaitan dengan perkembangan moral (Hoffman dalam Taufik, 2012). Keempat, dapat mereduksi prasangka (Taufik,2012). Dan kelima, dapat menimbulkan keinginan untuk dapat menolong (Batson & AhmaddalamAri, 2010).
Pada dasarnya setiap anak sudah memiliki kepekaan (empati) dalam dirinya, tergantung bagaimana cara anak dan juga orangtuanya mengasah kemampuan anak tersebut. Oleh karena itu, orangtua ataupun guru sangat disarankan untuk menanamkan sifat empati kepada anak sejak dini. Eisenberg (Azwar, 2005) menyatakan bahwa tiadanya attunement(penyesuaian diri) dalam jangka panjang antara orangtua dengan anak akan menimbulkan kerugian emosional yang sangat besar bagi anak tersebut. Apabila orangtua terus menerus gagal memperlihatkan empati apa pun dalam bentuk emosi tertentu (kebahagiaan, kesedihan, kebutuhan membelai) pada anak, maka anak akan mulai menghindar untuk mengungkapkannya.
Eisenberg (Azwar, 2005) juga menyatakan empati penting bagi individu, karena dengan empati seseorang dapat: 1. Menyesuaikan diri; 2. Mempercepat hubungan dengan orang lain; 3. Meningkatkan harga diri; dan 4. Meningkatkan pemahaman diri
Empati diperlukan dengan tiga pertimbangan (Bagong, 2013). Pertama, kesadaran bahwa tiap orang memiliki sudut pandang berbeda akan mendorong siswa mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan menggunakan mobilitas pikirannya, siswa dapat menempatkan diri pada posisi perannya sendiri maupun peran orang lain sehingga akan membantu melakukan komunikasi efektif.
Kedua, mampu berempati mendorong siswa tidak hanya mengurangi atau menghilangkan penderitaan orang lain, tetapi juga ketidaknyamanan perasaan melihat penderitaan orang lain. Merasakan apa yang dirasakan individu lain akan menghambat kecenderungan perilaku agresif terhadap individu itu.
Ketiga, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain membuat siswa menyadari bahwa orang lain dapat membuat penilaian berdasarkan perilakunya. Kemampuan ini membuat individu lebih melihat ke dalam diri dan lebih menyadari serta memperhatikan pendapat orang lain mengenai dirinya. Proses itu akan membentuk kesadaran diri yang baik, dimanifestasikan dalam sifat optimistis, fleksibel, dan emosi yang matang. Jadi, konsep diri yang kuat, melalui proses perbandingan sosial yang terjadi dari pengamatan dan pembandingan diri dengan orang lain, akan berkembang dengan baik
Mitigasi Stigma
Mitigasi adalah langkah-langkah preventif yang dirancang untuk mengurangi kerusakan dan dampak negatif yang mungkin terjadi. Mitigasi juga dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang diambil untuk mengurangi potensi kerugian atau dampak negatif dari suatu peristiwa atau perubahan yang mungkin terjadi.
Mitigasi stigma diketahui adalah beberapa upaya yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan untuk mencegah muncul dan meluasnya stigma di masyarakat, hal ini diperlukan mengingat bahwa kombinasi dari beberapa upaya yang dilakukan memiliki persentase lebih besar dalam menangani stigma yang muncul di masyarakat dibandingkan dengan hanya melakukan satu upaya masif (Kecinski, dkk., 2016).
Mitigasi dan stop stigmatisasi diperlukan agar tercipta harmonisasi dalam interaksi keseharian masyarakat yang serba-multi. Harmonisasi secara filosofis adalah kerja sama antara berbagai faktor sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan suatu kesatuan yang mulia. Harmonisasi menggambarkan suatu prosedur yang diawali dengan upaya untuk menciptakan atau mewujudkan suatu sistem yang harmonis. Harmoni juga bisa merujuk pada keseimbangan yang menyenangkan, harmoni, harmoni, dan harmoni. Harmonisasi dalam arti psikologis adalah pengertian psikologis mengenai faktor-faktor dalam pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang menjadi seimbang dan selaras sehingga mencegah terjadinya stres yang tidak semestinya (Goesniadhie, 2006).
Harmoni sosial adalah hasil dari integrasi sosial yang kuat, di mana individu merasa terikat oleh nilai-nilai dan norma yang sama, sehingga menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Harmoni sosial adalah kondisi di mana hubungan antarindividu dan kelompok didasarkan pada pemahaman dan saling menghargai perbedaan, baik dalam status, kekuasaan, maupun budaya. Harmoni sosial adalah keadaan di mana sistem sosial berfungsi dengan baik, di mana setiap bagian masyarakat berkontribusi pada stabilitas dan keseimbangan secara keseluruhan. Harmoni sosial adalah hasil dari komunikasi yang efektif dan dialog yang inklusif, di mana semua pihak dapat menyampaikan pendapat dan kebutuhan mereka tanpa adanya dominasi. Harmoni sosial adalah produk dari modal sosial yang tinggi, di mana kepercayaan, jaringan, dan norma-norma bersama memperkuat hubungan antarwarga masyarakat (Wiguna, 2025)
Semoga bermanfaaf !!!