INIPASTI.COM, Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, yang kerap bagai lautan dengan ombak tak terduga, muncul sebuah suara yang mengguncang: sekelompok pensiunan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengusulkan kepada Presiden untuk memakzulkan Wakil Presiden. Usulan ini bukan sekadar petir di siang bolong, melainkan sebuah seruan yang, di balik kontroversinya, membawa napas keprihatinan mendalam akan keselamatan negeri dan bangsa. Ia mengajak kita untuk menatapnya bukan dengan skeptisisme yang dingin, tetapi dengan hati yang terbuka, mencoba memahami getar nurani di baliknya.
Suara dari Hati Prajurit
Pensiunan TNI bukan sembarang kelompok. Mereka adalah orang-orang yang pernah mengabdikan jiwa dan raga untuk menjaga kedaulatan Indonesia, yang mengenal arti pengorbanan dalam sunyi maupun gemuruh. Ketika mereka berbicara, suara mereka bukan hanya milik individu, tetapi juga membawa gema sejarah: institusi yang pernah berdiri di garis depan melindungi Pancasila dan keutuhan bangsa. Usulan mereka untuk memakzulkan Wakil Presiden—tanpa menyebut nama, karena ini soal prinsip, bukan person—lahir dari keresahan yang tak bisa diabaikan begitu saja. Mereka melihat sesuatu yang, menurut hati nurani mereka, mengancam fondasi negara: mungkin sebuah sikap, pernyataan, atau tindakan yang mereka anggap menyimpang dari jalan kebenaran nasional.
Kita bisa saja mempertanyakan bentuk usulan ini, tetapi sulit untuk menyangkal bahwa di baliknya ada niat yang tulus. Pensiunan TNI ini bukan lagi prajurit aktif yang terikat pada rantai komando, namun mereka tetap merasa terpanggil untuk menjaga api nasionalisme yang pernah mereka junjung. Dalam pandangan mereka, keselamatan negeri bukan sekadar slogan, melainkan tanggung jawab yang tak pernah benar-benar sirna, meski seragam telah dilipat dan pangkat telah disimpan.
Mengapa Pemakzulan?
Usulan ini, tentu saja, bukan tanpa beban. Secara konstitusional, pemakzulan seorang Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945, adalah jalan terjal yang menuntut bukti nyata: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau perbuatan tercela yang mencoreng martabat jabatan. Prosesnya melibatkan DPR, Mahkamah Konstitusi, dan kehati-hatian politik yang luar biasa. Namun, justru karena itulah usulan ini patut diperhatikan. Para pensiunan TNI ini, dengan pengalaman mereka yang kaya, tak mungkin mengajukan sesuatu seberat ini tanpa pertimbangan mendalam. Mereka, barangkali, melihat celah yang tak terlihat oleh mata awam—sebuah ancaman yang, jika dibiarkan, bisa menggerus fondasi bangsa secara perlahan.
Bayangkan seorang prajurit yang, meski telah pensiun, masih terjaga di malam hari karena mendengar langkah-langkah mencurigakan di perbatasan. Usulan ini adalah teriakan mereka: sebuah peringatan bahwa negeri ini, yang dibangun dengan darah dan air mata, tak boleh dibiarkan oleng hanya karena kelalaian atau kompromi. Jika mereka menyebut “pengkhianatan” atau “perbuatan tercela,” mungkin kita belum sepenuhnya memahami apa yang mereka lihat. Tetapi setidaknya, kita harus menghormati keberanian mereka untuk bersuara, di saat banyak yang memilih diam.
Politik dan Jiwa Bangsa
Politik Indonesia sering kali bagai permainan catur yang penuh intrik, di mana setiap langkah bisa disalahartikan atau dimanipulasi. Usulan ini, tak pelak, akan menghadapi tuduhan sebagai manuver politik, atau bahkan upaya untuk mengembalikan bayang-bayang militer ke panggung kekuasaan. Namun, mari kita coba melihatnya dengan lensa yang lebih jernih. Para pensiunan ini bukanlah aktor politik yang haus sorotan; mereka adalah patriot yang, dalam usia senja, masih merasa terpanggil untuk menjaga keutuhan bangsa. Usulan mereka bukanlah akhir, melainkan permulaan: sebuah undangan kepada Presiden, DPR, dan seluruh rakyat untuk mengevaluasi apakah pemerintahan masih berjalan di rel yang benar.
Keselamatan bangsa, sebagaimana yang mereka maksud, bukan hanya soal pertahanan fisik, tetapi juga tentang menjaga jiwa Indonesia: Pancasila, keadilan, dan persatuan. Jika ada tanda-tanda bahwa Wakil Presiden—siapa pun dia—telah menyimpang dari jiwa itu, bukankah wajar jika mereka, sebagai anak bangsa, menyerukan koreksi? Dalam konteks ini, pemakzulan bukan sekadar hukuman, tetapi juga penyelamatan: sebuah upaya untuk mengembalikan keseimbangan sebelum kapal bernama Indonesia terlalu jauh oleng.
Catatan Kecil di Pinggir
Kebenaran sering kali datang dari pinggir, dari mereka yang tak lagi di pusat, tetapi masih mendengar denyut nurani. Usulan pensiunan TNI ini adalah suara dari pinggir—mungkin tak sempurna, mungkin penuh risiko, tetapi tak bisa kita abaikan begitu saja. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi juga tentang keberanian untuk berkata “tidak” ketika sesuatu terasa salah.
Tentu, usulan ini harus melalui lorong hukum yang panjang dan terang. Tanpa bukti yang kokoh, ia hanya akan menjadi angin lalu. Namun, di tengah keraguan, mari kita beri ruang untuk mendengar. Para pensiunan ini bukan musuh, bukan pula penutup dialog, melainkan pembuka pintu: sebuah seruan agar kita semua, dari Sabang sampai Merauke, kembali merenungkan apa artinya menjaga Indonesia. Keselamatan negeri, sebagaimana yang mereka impikan, adalah tanggung jawab bersama—dan mungkin, dalam suara mereka, ada secercah kebenaran yang patut kita cermati.
(Red.)