Kerajaan Gowa-Tallo: Jejak Kejayaan Islam dan Perlawanan Terbesar di Timur Nusantara

1 day ago 7

INIPASTI.COM – Berbicara tentang kerajaan Islam terbesar di Sulawesi Selatan berarti menyingkap lembaran sejarah gemilang Kerajaan Gowa-Tallo. Dikenal sebagai pusat peradaban, perdagangan, dan kekuatan militer pada abad ke-17, kerajaan ini juga termasyhur karena kegigihannya melawan penjajahan VOC, khususnya di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Sang “Ayam Jantan dari Timur.”

Asal-Usul: Dari Bate Salapang ke Kerajaan Gowa
Dilansir dari laman Intisari online, Kerajaan Gowa berakar dari sembilan komunitas adat yang dikenal sebagai Bate Salapang (Sembilan Bendera): Tambolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agangjene, Bisei, Kalili, dan Sero. Melalui konsolidasi, baik secara damai maupun kekuatan, komunitas-komunitas ini menyatu membentuk Kerajaan Gowa pada sekitar abad ke-14.

Tokoh legendaris Tomanurung diangkat sebagai raja pertama, lalu digantikan putranya, Tumassalangga. Genealogi kerajaan menunjukkan bahwa Gowa telah mapan sebelum masuknya Islam.

Perpecahan dan Penyatuan: Lahirnya Kerajaan Gowa-Tallo
Pada abad ke-15, Kerajaan Gowa terpecah akibat perebutan kekuasaan antara dua putra Raja Tonatangka Lopi—Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Kekalahan Karaeng Loe membuatnya mendirikan Kerajaan Tallo di muara Sungai Tallo.

Namun, pada 1565, kedua kerajaan memutuskan untuk bersatu demi kekuatan bersama dalam sistem “dua raja, satu rakyat.” Raja berasal dari garis Gowa, sedangkan perdana menteri dari garis Tallo. Penyatuan ini menandai lahirnya Kerajaan Gowa-Tallo, atau juga dikenal sebagai Kerajaan Makassar.

Masuknya Islam dan Perkembangan Ekonomi Maritim
Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam secara resmi pada 22 September 1605 melalui Sultan Alauddin I (I Mangarangi Daeng Manrabbia), menjadikan kerajaan ini pionir Islamisasi di Kawasan Timur Indonesia.

Berkat letaknya yang strategis di pesisir, kerajaan ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pedagang dari Gujarat, Arab, Cina, dan Eropa menjadikan pelabuhan Somba Opu sebagai simpul niaga penting.

Masa Keemasan di Bawah Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin, Raja ke-16 yang naik takhta pada 1653, membawa Gowa-Tallo ke puncak kejayaan. Ia memperkuat armada laut, memperluas perdagangan rempah, serta mendukung pendidikan dan kebudayaan Islam. Di bawah kepemimpinannya, Gowa-Tallo menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi VOC di Indonesia Timur.

Perang antara VOC dan Gowa-Tallo berlangsung sengit. Sultan Hasanuddin menolak tunduk pada monopoli dagang Belanda, sehingga VOC menggandeng Arung Palakka dari Kerajaan Bone, yang sebelumnya bermusuhan dengan Gowa.

Perang dan Kejatuhan: Perjanjian Bongaya
Koalisi VOC dan Bone akhirnya memaksa Gowa-Tallo menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Perjanjian ini merugikan Gowa secara politik dan ekonomi. Sultan Hasanuddin yang kecewa kembali mengangkat senjata pada 1668, tetapi gagal. Benteng Somba Opu pun jatuh ke tangan Belanda dan diubah menjadi Benteng Rotterdam.

Sejak saat itu, Gowa-Tallo tidak lagi memiliki kedaulatan penuh. Kekuasaan raja-raja setelah Hasanuddin berada di bawah bayang-bayang VOC.

Panas-Dinginnya Hubungan dengan Bone dan Persekutuan Tellumpoccoe
Hubungan antara Gowa-Tallo dan Bone sering kali penuh ketegangan. Gowa yang ekspansionis ditentang oleh Bone yang membentuk Persekutuan Tellumpoccoe bersama Wajo dan Soppeng pada 1582.

Persekutuan ini didasarkan pada kesepakatan saling melindungi sesama negeri Bugis dan mencegah dominasi Gowa. Bone berperan sebagai kakak tertua, Wajo sebagai saudara tengah, dan Soppeng sebagai adik bungsu. Serangan Gowa ke Wajo dan Bone berkali-kali berhasil dipatahkan oleh kekuatan aliansi ini.

Ironisnya, setelah Gowa mengislamkan Bone (1611), Wajo (1610), dan Soppeng (1690), kerajaan itu justru mendorong agar Persekutuan Tellumpoccoe tetap dipertahankan demi menjaga persatuan umat Islam.

Warisan Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo bukan sekadar kekuatan militer atau ekonomi. Ia juga menyumbang besar dalam proses Islamisasi, diplomasi maritim, sistem pemerintahan, dan pembentukan identitas masyarakat Sulawesi Selatan.

Sultan Hasanuddin, dengan perjuangannya yang heroik, kini dikenang sebagai pahlawan nasional Indonesia. Benteng Rotterdam menjadi saksi bisu kejatuhan dan perlawanan, serta hari ini menjadi ikon sejarah di Kota Makassar.

Referensi:
Andaya, Leonard Y. The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi in the Seventeenth Century. The Hague: Martinus Nijhoff, 1981.

Zainal Abidin Farid. Sejarah Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

Kompas.com (2021). “Sejarah Kerajaan Gowa-Tallo”.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Serambi, 2005.

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|