Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM,
Jika Anda menanamkan kejujuran, Anda akan menuai kepercayaan.
Jika Anda menanam kebaikan, Anda akan menuai sahabat-sahabat.
Jika Anda menanam kerendahan hati, Anda akan menuai kebesaran.
Jika Anda menanam ketekunan, Anda akan menuai kepuasan.
Jika Anda menanam pertimbangan, Anda akan menuai perspektif.
Jika Anda menanam kerja keras, Anda akan menuai kesuksesan.
Jika Anda menanam pengampunan, Anda akan menuai perdamaian.
(Anonymous dalam Usman, 2024)
***
Jadi berhati-hatilah dengan apa yang Anda tanam sekarang; hal itu akan menentukan apa yang akan Anda tuai kemudian nanti (Anonymous dalam Usman, 2024).
Terdapat empat sifat dari Rasulullah SAW yang menjadi kunci kesuksesan bagi sipapun, termasuk guru, yaitu shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas) dan tabligh (kemampuan untuk menyampaikan sesuatu).
Shiddiq artinya benar dan jujur. Benar hati (shidq al-qalb), benar perkataan (shidq al-hadits) dan benar perbuatan (shidq al-amal). Antara hati, perkataan, dan perbuatan harus sama, sama-sama benarnya.
Bapak pendiri Amerika Serikat Thomas Jefferson pernah menyatakan “Honesty is the first chapter in the book of wisdom. Kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan.
Pakar pendidikan H.G. Wells, dalam bukunya The Catastrope of Education (2005). mengatakan rusaknya moral dan tumpulnya etika sosial masyarakat tidak dapat tidak karena semakin suburnya praktek anomali di sekolah, sebagai salah satu sebab kemungkinan. H.G. Wells, menuduh sebagai biang keroknya adalah lembaga pendidikan sekolah. Menurutnya lembaga pendidikan sekolah tidak membawa manfaat terhadap perbaikan moral dan etika sosial siswa yang seharusnya lembaga pendidikan sekolah sebagai lembaga persemaian nilai-nilai kebaikan dan menolak segala bentuk anomali. Salah satu bentuk anomali dimaksud yakni ketidakjujuran/kebohongan/kedustaan.
Sifat Jujur
Sifat jujur adalah mahkota di atas kepala seorang pengajar. Jika sifat itu hilang darinya, ia akan kehilangan kepercayaan manusia akan ilmunya dan pengetahuan-pengetahuan yang disampaikannya kepada mereka, karena anak didik pada umumnya akan menerima setiap yang dikatakan gurunya. Maka jika para anak didik menemukan kedustaan pengajarnya sebagai perkara, hal itu secara otomatis akan membias kepadanya, menjadikannya jatuh di mata para anak didiknya.
Guru yang jujur dapat mempengaruhi kemujuran dari peserta didik. Karena jujur meliputi dari jujur dari niat, tekad, amal, dan perbuatan.
Kejujuran bisa jadi telah menjadi barang yang teramat langka di negeri ini. Lihat saja perilaku korupsi dan manipulatif yang ada di mana-mana. Secara teori semua orang mengajarkan untuk hidup jujur, akan tetapi realitanya dalam dunia justru cenderung menolak kejujuran.
Kejujuran adalah investasi yang sangat berharga, karena dengan kejujuran akan memberikan manfaat yang sangat banyak dalam kehidupan kita di masa yang akan datang.
Semestinya sekolah adalah tempat di mana anak-anak menemukan kejujuran, kesederhanaan dan sikap egaliter. Di sekolah anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya, belajar saling mengasihi, belajar saling membagi. Di sekolah anak-anak memperoleh perlindungan dari penipuan, kebohongan, kedustaan, di sana mereka belajar tentang demokrasi, kejujuran, kebebasan berbependapat, cinta kasih. Pokoknya sekolah adalah tempat memanusiakan manusia yang berkarakter mulia dan berbudi luhur.
Kejujuran Layaknya Berlian
Kejujuran adalah sebuah nilai mulia layaknya berlian, walau kejujuran itu sendiri tak mau dibayar dengan berlian pula. Kejujuran adalah mahkota tertinggi dari sistem kepribadian individu (Gordon Allport dalam Usman, 2024).
Guru yang jujur adalah sosok yang mulia dan derajatnya tinggi. Guru yang jujur adalah idola para siswa, sehingga ketika guru itu pensiun atau meninggal dunia, dia ditangisi para siswa dan rekan seprofesinya. Ketika guru tersebut sudah tidak ada, yang terlontar kalimat yang indah dan mulia dari anak didiknya adalah kalimat yang indah dan enak didengar telinga, “Sungguh mulia, saya banyak belajar dari beliau tentang arti kehidupan.”
Ada hal menarik dari kajian yang dilakukan oleh Clinton (1930), Bousfield (1940), Perry (1971), dan Haslett (1976) tentang karakteristik guru ideal. Kejujuran, aspek karakter (afektif) yang selalu muncul dari keempat kajian tersebut. Aspek itu menyertai hal-hal lain bersifat kompetensi (kognitif dan psikomotorik), seperti penguasaan materi ajar, penggunaan metode mengajar efektif, komunikasi efektif, kemampuan memimpin diskusi kelas, dan unsur keterampilan mengajar lainnya. Sejatinya, kajian tersebut memandang kualitas guru ditentukan oleh unsur kompetensi dan karakter. Kompetensi bicara kecerdasan dan keterampilan, sedangkan karakter bicara soal akhlak atau perilaku.
Makna Shiddiq
Shiddiq berarti memiliki kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan, serta perbuatan berdasarkan ajaran Islam (Hafidhuddin dan Tanjung, 2003). Tasmara (2001) mengatakan bahwa salah satu dimensi kecerdasan ruhani terletak pada nilai kejujuran yang merupakan mahkota kepribadian orang-orang yang mulia yang telah dijanjikan Allah akan memperoleh limpahan nikmat dari-Nya.
Ash-shidq yaitu mengatakan yang benar dan terang atau memberi khabar sesuai dengan pernyataan yang diketahui oleh pembicara dan tidak diketahui oleh orang lain (Masdar Helmy, 1995).
Seorang muslimin dituntut untuk selalu berada dalam keadaan yang benar baik lahir dan batin, baik benar dalam hati, benar perkataan dan benar perbuatan. Rasulullah saw telah memerintahkan setiap muslim untuk selalu shidiq (jujur), karena sikap shidiq (jujur) membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke surga.
Albert Hendra Wijaya (2008) menyebutkan bahwa “jujur” jika diartikan secara baku adalah mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai dengan kenyataan dan kebenaran.
Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan apa yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan jujur itulah yang disebut dusta atau bohong.
Kejujuran adalah hal yang mendasar dalam kepribadian seorang anak manusia (Ratna Megawangi, 2007). Kejujuran adalah dasar dari komunikasi yang efektif dan hubungan yang sehat (Kelly, 2005). Kejujuran merupakan bagian dari sifat positif manusia yang harus dijaga karena bernilai tinggi. Jadi kejujuran adalah suatu kata atau tindakan positif yang dilakukan sesuai dengan fakta (Vetri, 2013).
Kejujuran merupakan kekuatan dasar manusia. Sejauh riset-riset yang sudah dilakukan oleh banyak ahli, kejujuran merupakan nilai dan kekuatan yang secara universal dinilai baik (Peterson dan Seligman, 2004). Istilah kejujuran mencakup pengertian selalu mengatakan yang benar, tetapi di dalamnya juga tercakup pengertian bertanggung jawab atas bagaimana orang merasakan dan mengerjakan sesuatu yang menjadi pilihannya. Merujuk Peterson dan Seligman (2004), makna kejujuran tidak terbatas hanya pada arti teknisnya, yaitu mengatakan yang benar, melainkan sebagai kekutan karakter yang disertai tanggung jawab atas bagaimana seseorang mengelola perasaan dan menjaga apa yang dikerjakannya agar sesuai dengan apa yang sudah dipilihnya. Ketidakjujuran berarti bukan hanya tidak mengatakan yang benar, melainkan juga penampilan yang tidak sesuai dengan keadaan diri yang sebenarnya, tidak tulus, berpura-pura, dan tidak mau bertanggung jawab atas perasaan dan tindakan sendiri.
Kejujuran (honesty) merupakan kualitas manusiawi melalui mana manusia mengomunikasikan diri dan bertindak secara benar (truthfully). Karena itu, kejujuran sesungguhnya berkaitan erat dengan nilai kebenaran, termasuk di dalamnya kemampuan mendengarkan, sebagaimana kemampuan berbicara, serta setiap perilaku yang bisa muncul dari tindakan manusia. Secara sederhana, kejujuran bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengekpresikan fakta-fakta dan keyakinan pribadi sebaik mungkin sebagaimana adanya. Sikap ini terwujud dalam perilaku, baik jujur terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri (tidak menipu diri), serta sikap jujur terhadap motivasi pribadi maupun kenyataan batin dalam diri seorang individu.
Shidiq dapat diartikan sebuah kenyataan yang benar baik itu tercermin dalam perkataan maupun dalam perbuatan dan apa yang ada dalam hatinya.
Pengertian atau definisi shiddiq lebih jelas apabila kita jabarkan dalam beberapa penjelasan seperti berikut: pertama, orang yang memiliki sifat shidiq akan memiliki sistem keyakinan yang kuat untuk dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan, visi, misinya. Kedua, orang yang memiliki sifat shiddiq akan mampu membawakan pribadi yang mantab, stabil, arif, jujur, dan berwibawa serta mampu menjadi teladan bagi peserta didik.
Guru yang Shiddik
Ibnu Mas’ud RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sedangkan kebohongan, mengantarkan kepada kedurhakaan. Dan kedurhakaan mengantarkan ke neraka, seseorang yang senantiasa berkata bohong akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong” (HR. Mutafaq’alaih). Hidayatullah (2009) sifat amanah tidak dapat terlepas dari sifat jujur. Amanah merupakan bentuk komitmen dalam pendidikan salah satu karakter utamanya adalah kejujuran.
Guru jujur dapat diartikan sebagai seorang pendidik yang selalu menyatakan apa adanya sesuai dengan faktanya; jujur dalam perkataan; jujur dalam niat dan kemauan; jujur dalam seluruh sifat yang dipandang baik atau mulia oleh agama; jujur dalam tekad; jujur dalam menepati tekad yang dibuat; dan jujur dalam amal.
Guru yang shiddiq adalah guru yang ucapan dan perbuatannya adalah sama. Jadi, tidak akan ditemui guru yang hanya bisa berteori namun tidak mampu mempraktikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Guru yang jujur atau qaulan sadida (perkataan yang benar) artinya guru yang pembicaraannya benar, jujur, lurus, tidak bohong, dan tidak berbeli-belit. Guru yang shiddiq, yang bermakna jujur adalah sebuah sifat di mana seseorang tidak berbohong untuk hal apapun.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (Al-Ahzab (33):ayat 70)”. Dan surat An-Nisa’, Allah berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida–perkataan yang benar” (QS. 4:9).
Guru pada dasanya mengajar kejujuran kepada para siswa. Ketika berdiri di depan kelas, secara langsung dia sedang diamati oleh para siswa, baik ucapan maupun perilakunya.
Supaya guru selalu berbuat benar, guru perlu memahami pedoman pelaksanaan tugas guru. Jangan melakukan perbuatan yang akan melunturkan pamornya guru. Guru perlu memahami kompetensi yang harus dimilikinya meliputi kompetensi personal, kompetensi profesioanal, kompetensi paedagogik, dan kompetensi sosial. Selain itu, guru perlu memahami kode etik guru.
Orang yang bersikap shidiq disebut shadiq atau shiddiq.Ada beberapa pendapat tentang perbedaan antara shadiq dan shiddiq. Shadiq adalah orang memiliki sifat jujur dalam salah satu aspek kejujuran saja. Sedangkan shiddiq apabila orang tersebut jujur dalam seluruh aspek kehidupannya (Sad Riyadh, 2004). Adapula yang berpendapat bahwa shadiq apabila sikap jujur tersebut muncul secara temporal dan belum menjadi habit, artinya seringkali berlaku jujur tetapi pada saat-saat tertentu ia pun berlaku tidak jujur. Sebaliknya shaddiq berarti kejujuran telah menjadi habitnya (Muh. Abdul Rauf al-Munawi, 1990).
Pembeda Guru yang Shiddiq
Seorang guru hendaklah bersifat siddiq. Guru hendaklah selalu bersifat benar. Guru hendaklah selalu benar dalam berpikir, bersikap, dan berbuat. Guru hendaklah melaksanakan tugasnya secara benar. Guru jangan melaksanakan tugas asal jadi. Guru hendaklah berbuat sesuai dengan aturan yang berlaku. Guru hendaklah membuat perencanan yang matang tentang kegiatan pembelajaran yang akan dilakukannya. Guru hendaklah melaksanakan tugas sesuai dengan perencanaan yang disusunnya. Guru hendaklah selalu berbuat benar, baik dalam menjalankan tugas maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Ada lima bentuk guru yang shiddiq: (1) guru yang benar perkataannya (shidq al haditz); (2) guru yang benar pergaulannya (shidq al-muamalah); (3) guru yang benar kemauannya (shidq al-azam); (4) guru yang benar janjinya (shidq al-wa’ad); dan (5) guru yang benar kenyataannya (shidq al-hal) (Anonymous dalam Usman, 2024).
Dalam Agama Islam, setidaknya dikenal lima jenis sifat shiddiq atau jujur yang harus dimiliki oleh penganutnya (Yunahar Ilyas, 2007). Pertama, shidq al–qalbi. Shidq al–qalbi merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada niat seorang manusia. Kedua, shidq al–hadits. Shidq al–qalbi merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada perkataan yang diucapkan oleh manusia. Ketiga, shidq al–amal. Shidq al–amal merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada aktivitas dan perbuatan manusia. Keempat, shidq al–wa’d. Shidq al–wa’d merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada janji yang diucapkan oleh manusia. Kelima, shidq al–hall. Shidq al–hall merupakan sifat jujur yang penerapannya ada pada kenyataan yang terjadi dalam hidup manusia.
Guru-guru yang shiddiq memiliki beberapa fitur, di antara fitur-fitur tersebut, yakni: (1) teguh pendiriannya terhadap apa yang dicita-citakan (diyakininya), (2) tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka, (3) memiliki keimanan kepada Allah SWT, dan (4) memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam.
Makna, Hakikat, dan Tingkat Kejujuran
Dalam buku The 7 Awareness: 7 kesadaran tentang ”Keajaiban Hati dan Jiwa Menuju Manusia” dijelaskan “The power of zero adalah kekuatan yang menjadi naluri pada setiap manusia. Kejujuran merupakan mutiara yang ada di setiap hati manusia. Namun kejujuran disimbolkan kejujuran tertanam didasar tanah yang dilapisi banyak kotoran, bebatuan dan pada akhirnya tidak dapat terlihat lagi (Yusuf Qosim Nanang, 2009).
Kejujuran merupakan salah satu sifat unggul yang dimiliki manusia yang bersumber dari hati nurani yang paling dalam. Kejujuran juga merupakan salah satu bekal terpenting untuk mencapai kesuksesan hakiki.
Kualitas kejujuran seseorang meliputi seluruh perilakunya, yaitu perilaku yang termanifestasi keluar, maupun sikap batin yang ada di dalam. Keaslian kepribadian seseorang bisa dilihat dari kualitas kejujurannya.
Thomas Stanley secara berurutan merangkum setidaknya ada 5 (lima) kunci pokok keberhasilan (Usman, 2024), yakni: (1) kejujuran; (2) kedisiplinan; (3) kerja sama; (4) team work yang kokoh; dan (5) bekerja lebih keras dari yang lain.
Mengacu pada pendapat Thomas Stanley, kejujuran ternyata menempati urutan pertama. Mengapa? Perhatikan dengan serius berbagai keributan, persoalan, keruwetan, dan kesemrawutan dalam hidup ini, baik pada tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat sampai bangsa pangkalnya adalah kejujuran. Korupsi adalah contoh konkret dari tindak ketidakjujuran. Karena itu, korupsi bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Karena itu, sebuah negara atau bangsa tidak akan pernah bisa hidup sejahtera manakala dikelola dengan tidak jujur melalui praktik-praktik seperti korupsi dan manipulasi.
Nilai kejujuran atau amanah adalah salah satu dari lima nilai moral Islam. Lantas apakah hakekat kejujuran? Syaikh Al-Utsaimin tatkala berkata, hakekat jujur adalah selarasnya khabar dengan realita, baik berupa perkataan atau perbuatan. Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harfiah, maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.
Imam Al Ghazali di dalam ”Ihya ‘Ulumuddin” menerangkan bahwa terdapat enam tingkatan kejujuran. Dan orang yang bisa mencapai tingkatan kejujuran ini dengan sempurna, maka ia pantas disebut sebagai orang yang benar-benar jujur. Ketahuilah bahwa lafal ash-shidiq (kejujuran) menurut Islam dipergunakan dalam enam makna; 1) jujur dalam perkataan; 2) jujur dalam niat dan kemauan; 3) jujur dalam tekad; 4) jujur dalam menepati tekad yang dibuat; 5) jujur dalam amal; 6) jujur dalam seluruh sifat yang dipandang baik (mulia) oleh agama (Syukron Zahidi Arrahmi, 2014).
Dalam buku Tazkiyatun Nafs oleh Said Hawwa, juga menyebut ada enam tingkat kejujuran (jujur dalam perkataan; jujur dalam niat dan keinginan; jujur dalam hasrat; jujur dalam memenuhi hasrat; jujur dalam perbuatan; dan jujur meralisasikan semua maqom-tingkatan-agama (ini tingkatan tertinggi dari sebuah kejujuran)).
Pertama, jujur dalam perkataan, ialah kejujuran dalam pemberitaan atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberitaan. Kedua, dalam niat dan kemauan. Kejujuran seperti ini dapat dikembalikan kepada makna ikhlas, yaitu orang yang motivasinya dalam segala aktivitas hanya Allah SWT. Ketiga, jujur dalam tekad. Manusia biasanya senang memasang tekad untuk melakukan amal tertentu. Keempat, jujur dalam menepati tekad yang dibuat. Seseorang terkadang dapat dengan mudah melontarkan tekad tertentu karena memang tidak sulit mengucapkannya. Akan tetapi, sulitnya menepati tekad itu baru terasa ketika yang menjadi tekad itu benar-benar terwujud atau dorongan hawa nafsu mulai ikut mengacau. Pada saat itu, tekad yang telah dibuat itu dapat melemah bahkan diingkari sendiri oleh pelakunya. Kelima, jujur dalam beramal. Bentuknya adalah upaya seseorang agar antara tindakan-tindakan lahiriah tidak berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya. Keenam, jujur dalam segala sifat baik yang dianjurkan agama. Inilah tingkatan kejujuran yang paling tinggi. Contohnya adalah jujur dalam rasa takut dan pengharapan kepada Allah SWT, jujur dalam mengagungkannya, jujur dalam sikap zuhud, tawakal, dan menyayangi sesama (Syukron Zahidi Arrahmi, 2014).
Kejujuran, rasa kasih sayang, keikhlasan, keagamaan, serta suasana kekeluargaan adalah roh pendidikan. Roh pendidikan merupakan nafas kehidupan di setiap lini, lorong, dan sudut pendidikan (Supriyoko, 2008).
Jika jujur merupakan sikap mulia dan dusta suatu sikap yang hina-dina, betapa pentingnya kita memahami bahwa kejujuran adalah timbangan Allah untuk mengukur nilai keadilan. Adapun dusta adalah timbangan setan yang mengajak kepada kedhaliman.
Dalam kata-kata mutiara berbunyi: ”Segala sesuatu memiliki hiasan dan hiasan pembicaraan adalah kejujuran.” Ahli hikmah berkata: ”Barang siapa yang jujur tutur katanya, maka akan selalu benar hujjah-hujjahnya.” Dari Muhalab bin Abu Shafrah bekata: ”Tidak ada pedang di tangan ksatria yang lebih hebat daripada kejujuran.” Sebagian ahli adab berkata: ”Sebaik-baik perkataan adalah orang yang berkata jujur dan orang yang mendengar mengambil manfaat.” Sebagian mereka berkata, ”Mati membawa kejujuran lebih baik daripada hidup bersama kedustaan.”
Di antara kata-kata mutiara adalah ucapan sebagian ahli balaghah, ”Bila dilukiskan, maka kejujuran adalah laksana singa yang meraung dan kedustaan adalah serigala yang menguak. Kamu berada di kandang singa yang gagah, maka itu lebih baik daripada kamu berada di kandang serigala.”
Berjalanlah di Atas Rel Kejujuran
Ada sebuah pepatah mengatakan, jika ingin selamat berjalanlah di atas rel kejujuran. Secara gamblang pepatah tersebut dapat diartikan bahwa hidup dengan kejujuran selalu dijadikan sebagai sebuah jalan untuk menghantarkan kita pada posisi selamat.
Ketika kita jujur, kita menjadi orang yang bisa dipercaya. Inilah yang akan membentuk nama baik atau reputasi. Nama baik akan menjadi modal yang sangat berharga bagi perjalanan dan keberhasilan hidup. Ketika kita jujur, kita bisa menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita, terutama keluarga kita. Ini merupakan sebuah warisan yang jauh lebih berharga daripada uang atau materi. Ketika kita jujur, kita menjadi sahabat terbaik bagi diri kita sendiri. Sebab seringkali ketidakjujuran membuat kita sulit berdamai dengan diri kita sendiri.
Menjadi pribadi yang jujur tidak hanya berarti berani berbicara apa adanya (terus terang), tanpa kebohongan atau bersikap manipulatif. Karakteristik pribadi jujur, meliputi: 1. Menepati janji yang telah dibuat. 2. Melaksanakan komitmen hingga tuntas. 3. Setia dalam hal-hal kecil yang dipercayakan kepada kita. 4. Mengatakan apa yang dilakukan dan melakukan apa yang dikatakan. 5. Berani mengakui kelemahan dan kesalahan serta meminta maaf (Anggun Ragil, 2013).
Ciri-ciri orang yang jujur: 1) Tidak bersikap pura-pura. 2) Berkata apa adanya. 3) Tidak berkata bohong. 4) Tidak menipu diri sendiri maupun orang lain. 5) Mau mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain. 6) Dapat mengemban kepercayaan atau amanah dari orang lain. 7) Dapat mengemban kepercayaan dari orang tua dan keluarga. 8) Tidak membohongi diri sendiri dan orang lain. 9) Tidak mengambil hak milik orang lain. 10) Tidak merugikan orang lain (Pramesti dan Erliana Unzila, 2012).
Ciri-ciri orang yang tidak jujur: 1) Apabila berkata, maka dia akan berkata bohong/dusta. 2) Jika membuat suatu janji atau kesepakatan dia akan mengingkari janjinya. 3) Bila diberi kepercayaan/amanah, maka dia akan mengkhianatinya (Pramesti dan Erliana Unzila, 2012).
Kejujuran menjadi barang yang teramat langka di negeri ini. Lihat saja perilaku korup dan manipulatif yang ada di mana-mana. Secara teori semua orang mengajarkan untuk hidup jujur, akan tetapi realitanya dalam dunia justru cenderung menolak kejujuran. Ada seorang teman yang justru tersingkir dari jabatannya justru karena ia memilih untuk tetap jujur. Ia tidak mau ikut-ikutan melakukan penggelembungan dana bersama pimpinan dan rekan-rekannya, dan akibatnya ia pun disingkirkan (Usman, 2024)0.
Betapa mahalnya harga kejujuran itu. Pada dasarnya kejujuran adalah merupakan nilai yang sangat bermakna bagi kelangsungan hidup di dunia dan akhirat. Kejujuran merupakan dasar dari perilaku manusia yang harus selalu diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya perbuatan yang jujur apa adanya terkait dengan perilaku ataupun perbuatan yang dilakukan, maka akan ada dampak positif dan negatifnya sendiri. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi bahwa nilai kejujuran itu sangat berpengaruh baik terhadap psikis seseorang yang melakukan kejujuran secara tepat. Mungkin di dunia ini kita bisa mengalami kerugian atau bahkan malah mendapat masalah karena memutuskan untuk berlaku jujur, seringkali dunia memang memperlakukan kita dengan tidak adil, tetapi itu bukanlah masalah karena kelak dalam kehidupan selanjutnya yang abadi semua itu akan diperhitungkan sebagai kebenaran yang berkenan di hadapan Allah. Pada saat ini mungkin kita rugi akibat memutuskan untuk jujur, tetapi kelak pada saatnya kita akan bermegah dan bersyukur karena telah mengambil keputusan yang benar.
Menurut Sulaiman bin Muhammad As-Sughayyir dan Muhummad bin Ibrahim Al-Hamd dalam buku Shidiq dan Kadzib (Ulasan Tuntas Kejujuran dan Kebohongan), karakteristik orang shiddiq (Sulaiman bin Muhammad As-Sughayyir, 2004), yaitu: (1) kejujuran merupakan puncak dari segala keutamaan, (2) kejujuran menunjukkan kepada jalan keimanan dan kebaikan, (3) kejujuran merupakan akhlak yang bisa dirubah dan dibentuk, (4) kejujuran merupakan salah satu sebab masuk surga, (5) bohong bukanlah sifat seorang mukmin, dan (6) orang yang jujur akan mendapatkan pengawasan dan penjagaan dari Allah Swt. serta kedudukan yang dekat dengan-Nya.
Ketika Guru Tak Lagi Jujur
Sifat shiddiq memiliki banyak keutamaannya. Shiddiq merupakan sifat orang-orang yang beriman dan Allah memuji mereka karena sifat shiddiq; shiddiq adalah sifat yang sangat mulia, karena shiddiq merupakan salah satu sifat yang melekat pada diri Nabi dan Rosul; shiddiq merupakan salah satu sifat yang menjamin keberuntungan; shiddiq merupakan salah satu pondasi tegaknya agama; orang yang mempunyai sifat shidiq akan mendapatkan ketenangan hati dan ketentraman jiwa; orang yang shidiq akan mendapatkan keberkahan dalam berusaha.
Kejujuran termasuk sebuah sifat, sikap atau kebiasaan, sehingga kejujuran tidak bisa dipaksakan secara instan, harus melalui proses pembiasaan diri sejak lama. Kejujuran hampir menjadi sebuah keyakinan, jadi kalau sudah tidak yakin, maka sulit untuk meyakinkan, atau jika sudah ada keyakinan, maka sangat sulit mengubah keyakinan tersebut. Begitu juga dengan kejujuran.
Menjadi guru harus jujur dalam perkataan, perbuatan dan ucapan. Perkataan jujur merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh para guru, sikap jujur dalam perbuatan harus menjadi bagian dari para guru. Jika guru tidak jujur dalam perkataan dan perbuatan, maka dari segi akhlak ia telah melanggar etika dan cacat secara kepribadian (Riwayat, 2008).
Ketika guru tidak jujur dalam perkataan, perbuatan dan tingkah laku, maka guru dalam posisi ini telah mencederai etika sebagai guru yang berakhlak mulia. Sebagai yang memberi ilmu tentu sikap tidak jujur terhadap diri, orang lain dan bahkan kepada Tuhan akan menjadi batu sandungan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pelajaran yang disampaikan kepada siswa akan terasa sulit, siswa akan merasa ada semacam batu sandungan dan dinding pembatas antara ia dengan ilmu yang diberikan oleh gurunya.
Sifat jujur adalah mahkota bagi seorang guru. Jika guru tidak mempunyai sifat jujur, maka sebenarnya ia telah kehilangan mahkota yang sangat berharga. Ketika guru tidak jujur, maka sifat tersebut dimungkinkan akan menular kepada anak didik. Penularan tersebut terjadi karena adanya interaksi antara guru dengan siswa, di sisi lain, siswa pada kondisi ini secara psikologi masih mencari jati diri. Lebih dari itu sikap guru yang tidak jujur akan ditiru oleh siswa, karena pada kondisi seperti itu ia mempunyai sifat mencontoh.
Ketika guru tidak mempunyai sifat jujur, maka martabatnya akan jatuh di mata murid-muridnya. Ketika guru sudah tidak mempunyai martabat, maka guru akan rendah di mata murid-muridnya, terutama dari segi akhlak.
Semoga bermanfaat !!!