Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Menyambut Hardiknas 2 Mei 2025, penulis sengaja mengangkat judul yang terkesan sentimentil, sebagaimana pernah diungkapkan Konfusius (556-479 SbM). “If your plan is for one year, plant rice; if your plan is for 10 years, plant trees; if your plan is for 100 years, educates children.” “Jika Anda berencana untuk satu tahun, tanamlah padi. Jika Anda berencana selama sepuluh tahun, tanamlah pohon. Jika Anda berencana selama 100 tahun, didiklah manusia.” Ungkapan filosof Tiongkok Kuno ini mengisyaratkan betapa urgen, vital, dan sakral pendidikan. Surachman (Usman, 2022), pernah berucap “Bila suatu negara yang mengharapkan suatu kebesaran, tapi tidak mempedulikan pendidikan, maka negara tersebut sedang memimpikan suatu kemustahilan.” H.G. Wells dalam “The Outline of History” menulis seperti ini: “Human history becomes more abd more a race between education and catostrophe”–“Siapa memperhatikan pendidikan dia akan jaya, siapa yang menjauhi pendidikan akan mengalami kekacauan (catostrophe)” (Muflihatun, 2015). Edgar Faure, mengomentarinya dengan nada lain dan tetap melihat kesakralan pendidikan: “Setiap yang menjadikan dunia ini seperti sekarang ini, suatu tempat yang lebih baik dan mempersiapkan untuk hari esok, pendidikan adalah suatu modal, subyek yang universal” (Usman, 2022). Allan Bloom, seorang filsuf Amerika, budayawan dan akademisi, pernah mengatakan: “pendidikan adalah pergerakan dari kegelapan menuju cahaya” (Muflihatun, 2015).
Jika ditelaah dari segi filosofis, demikian Lodge, “Hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup” (Akbar, 2011). Dan, “pada hakikatnya kalau kita mau meminjam dunia hari ini dari cucu-cucu kita, seperti dinyatakan Gunnard Myrdal, kita dapat membalasnya dengan “human investment”, yaitu pendidikan yang memadai” (Kariyoyo, 2012). Leibniz seorang filosof kenamaan Jerman, pernah mengemukakan begini: “Serahkan kepada saya pimpinan pendidikan, saya menjamin akan mengubah wajah Eropa dalam waktu kurang dari satu abad.” Albert Einstein, eksper fisika dan kosmologi modern, mengungkapkan bahwa “pendidikan merupakan salah satu piranti yang tepat untuk mentransfer human culture dari generasi ke generasi berikutnya” (Usman, 2022).
Perkembangan suatu bangsa amat bergantung pada keunggulan sumber daya manusianya. Keunggulan sumber daya manusia bergantung pada keunggulan pendidikan (Anas & Harfianto, 2020). Pendidikan memegang peranan yang amat penting dalam melahirkan masyarakat yang cerdas, terampil, damai, terbuka dan demokratis. Pendidikan yang bermutu agar memenuhi hak setiap warga negara dan untuk menciptakan pencapaian tujuan pembaharuan yang disepakati dalam Ducker for Action on Education for All (PUS) atau Education for All (EFA) memerlukan perangkat yang tepat, termasuk peningkatan sumber daya manusia (Pangalila, 2017).
Investasi di bidang pendidikan mempunyai kualitas kompetitif daripada investasi di bidang lain (Ramadhani, dkk., 2022). Pertama, pendidikan bisa dilihat menjadi wahana investasi, memiliki dampak ekonomi, inisiatif pendidikan menciptakan tenaga kerja terampil untuk mengisi berbagai sektor pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan pemerintah dengan meningkatkan pendapatan pemerintah. Keterampilan tenaga kerja dan kapasitas produksi. Kedua, pendidikan dapat menciptakan strata elit sosial dalam suatu masyarakat, mendorong dan memungkinkan kemajuan, Anda akan dapat memiliki visi yang menjangkau masa depan untuk membangun sebuah bangsa. Ketiga, pendidikan ialah salah satu aspek untuk memajukan ketentraman rakyat. Orang dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Dengan tingkat pendidikan yang optimal, mereka bisa mendapatkan pekerjaan di bidang keahliannya. Keempat, pendidikan salah satu sarana diperuntukan membangun dan meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Pendidikan yang optimal, pasti menghasilkan individu yang cerdas, masyarakat yang baik, dan bangsa yang baik dengan macam-macam kemampuan. Seluruh hal ini memungkinkan negara untuk menjalani kehidupan yang bermartabat, yang dicirikan di atas segalanya dengan menjadi maju, sejahtera, sejahtera, dan berdasarkan kualitas-kualitas tertentu (Atmanti dalam Ramadhani, dkk., 2022).
Makna Didik Manusia (100 Tahun)
Pernyataan “Jika Anda berencana selama 100 tahun, didiklah manusia” menggarisbawahi esensi pendidikan sebagai investasi yang paling berharga dan berdampak dalam jangka panjang. Pendidikan tidak hanya mempengaruhi individu, tetapi juga berkontribusi pada kemajuan peradaban dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Makna dan relevansinya sebagai berikut (Abidin, 2024).
Pertama, investasi berkelanjutan. Pendidikan merupakan investasi yang menghasilkan dampak yang jauh melampaui satu generasi. Ketika seseorang mendapatkan pendidikan yang baik, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh tidak hanya bermanfaat bagi individu itu sendiri, tetapi juga dapat ditularkan kepada generasi berikutnya. Dengan mendidik manusia, kita menanamkan nilai-nilai, etika, dan keterampilan yang akan membentuk masyarakat yang lebih baik di masa depan.
Kedua, membangun kapasitas manusia. Pendidikan membekali individu dengan kemampuan untuk berpikir kritis, berinovasi, dan menyelesaikan masalah. Keterampilan ini sangat penting dalam menghadapi tantangan global yang kompleks. Melalui pendidikan, kita membangun kapasitas manusia yang akan membawa perubahan positif dalam masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
Ketiga, dampak sosial dan ekonomi. Ketika masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, dampak positifnya terlihat dalam peningkatan kualitas hidup, pengurangan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Pendidikan meningkatkan produktivitas individu, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong inovasi yang berkontribusi pada kemajuan sosial dan ekonomi. Hasilnya adalah masyarakat yang lebih sejahtera dan berdaya saing.
Keempat, mempersiapkan generasi mendatang. Pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan akademis, tetapi juga tentang pengembangan karakter dan kepribadian. Dengan mendidik anak-anak dan remaja, kita mempersiapkan mereka untuk menjadi pemimpin masa depan yang bertanggung jawab dan memiliki empati terhadap sesama. Ini menciptakan budaya di mana nilai-nilai seperti keadilan, toleransi, dan kerja sama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kelima, pembangunan peradaban. Pendidikan adalah fondasi peradaban yang maju. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang memberikan perhatian serius terhadap pendidikan akan memiliki kekuatan dan pengaruh yang lebih besar di dunia. Dengan mendidik manusia, kita berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih adil, berbudaya, dan demokratis, di mana hak asasi manusia dihormati dan keberagaman dirayakan.
Keenam, investasi yang tidak pernah hilang. Berbeda dengan investasi lainnya, hasil dari pendidikan tidak pernah hilang. Meskipun waktu dan sumber daya yang diinvestasikan dalam pendidikan mungkin tidak segera terlihat, dampaknya akan bertahan lama dan terus memberikan manfaat bagi generasi yang akan datang.
Secara keseluruhan, pernyataan ini menekankan bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang krusial dalam membangun peradaban. Dengan mendidik manusia, kita tidak hanya mempersiapkan individu untuk menghadapi tantangan hidup, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih baik dan berkelanjutan untuk masa depan.
Proses Pendidikan Butuh Waktu
Secara implisit, sang filosof menekankan bahwa pendidikan itu bukan suatu proses yang singkat. Berbeda dengan dua proses yang diilustrasikan sebelumnya. Jika menanam padi di negara kita, tidak sampai setahun, cukup hanya 4 bulan sudah bisa panen. Singkat bukan? Menanam pohon juga sangat tergantung dengan jenis dan varietasnya. Tetapi ya tidak sampai ratusan tahun untuk layak tebang. Nah, sekarang bandingkan dengan hasil pendidikan. Sembilan tahun dididik (wajib belajar), hasilnya tidak bisa dipastikan kapan bisa dirasakan (Arifin, 2019).
Kenapa proses pendidikan itu butuh waktu untuk berproses (Arifin, 2019). Pertama, pendidikan itu menabur benih moral (karakter). Dia tidak bisa diamati secara kasat mata. Bentuk fisiknya tidak jelas, dan terkadang sulit untuk dijelaskan. Mestinya, hal ini berimplikasi pada pembentukan karakter anak sejak dini di sekolah. Misalnya siswa SD kelas rendah, kelas 1-3, pola pendidikan yang diterapkan harus menekankan pada pembentukan karakter dan sikap. Contohnya, dengan melatih kedisiplinan, kerja keras, dan kesantunan. Hal seperti ini ternyata sudah diterapakan oleh Jepang sejak lama. Anak sekolah dasar kelas rendah betul-betul dibentuk karakternya pada usia emas perkembangan. Pada tahap ini, karakter dan sikap perlu jadi prioritas, ketimbang sisi kognitif. Kedua, pendidikan itu menyemai semangat, kepercayaan diri, motivasi, dan keteladanan. Keempat hal tersebut bukan bawaan orok, bukan pula keajaiban. Keempatnya harus disemaikan pelan-pelan. Tidak bisa instan dan harus konsisten. Menyemaikannya bukan pekerjaan mudah dan murah. Ketiga, pendidikan itu menanam dan menumbuhkan kepekaan, empati, dan simpati. Kepekaan siswa terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan merupakan aspek sosial yang besar untuk kehidupan bermasyarakat. Karena dengan kepekaan, seseorang akan menjadi pribadi yang mampu merespon cepat dinamika jaman. Kepekaan seseorang sejatinya memengaruhi rasa empati dan simpati yang dimiliki. Semakin peka seseorang, semakin besar rasa empati dan simpati yang dimiliki. Empati merupakan kemampuan sesorang merasakan, mengalami, menempatkan diri sebagaimana yang orang lain alami dan rasakan.
Keempat, pendidikan itu mengolah karsa, rasa, dan cipta. Karsa adalah pendorong jiwa untuk berkehendak, berniat. Mengolahnya berarti memastikan bahwa segala niat, kehendak yang dilakukan selalu positif. Selanjutnya, segala rasa yang mengiringi menjadi penciri keluhuran seseorang. Mengolah cipta berarti mempertajam daya nalar. Muaranya adalah kreatifitas dan inovasi. Andaikan hal ini terwujud betul, wah betapa hebatnya bangsa kita. Inovasi di berbagai bidang, kreatifitas di segala sisi kehidupan. Tentu otak kita tidak akan lagi menjadi barang incaran pada bursa otak internasional, karena orisinilitasnya telah hilang. Saking seringnya dipakai untuk berpikir. Kelima, pendidikan itu memberantas hama kebodohan dan gulma kesombongan. Kita tentu masih ingat betul salah satu tujuan nasional pendidikan kita. Tujuan yang termaktub dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah berapa lama tujuan itu diamanatkan? 80 tahun lalu. Kenyataannya, sudahkah tujuan itu tercapai? Tampaknya, jawabannya perlu ditelisik lebih jauh. Faktanya, banyak orang dengan pendidikan tinggi justru semakin terlihat bodoh. Satu contoh, di negara kita para koruptor itu berpendidikan apa? Sepertinya tidak ada yang lulusan SD ya. Mereka terlibat korupsi, suap dan setumpuk kasus. Nah, itu bukti bahwa pendidikan belum menghilangkan kebodohan. Selain itu, mestinya pendidikan menjadikan seseorang seperti padi, semakin berisi semakin menunduk. Semakain berpendidikan, semakin dia rendah hati.
Pendidikan sebagai Aset dan Investasi
Ahli filosofi modal manusia mengemukakan pendidikan merupakan modal utama dalam sumber daya manusia yang memberikan keuntungan dari segi finansial dan non-finansial. Manfaat non-finansial dari pendidikan yaitu keadaan dunia kerja yang lebih baik, pencapaian kerja, efisiensi pengeluaran, kesejahteraan di hari tua, dan manfaat umur panjang melalui perbaikan kesehatan dan gizi. Manfaat finansialnya yaitu penghasilan lebih tingi bagi mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan tinggi dibandingkan penghasilan bagi lulusan berpendidikan rendah (Saefudin, 2022).
Pendidikan sebagai sebuah investasi adalah manusia, suatu modal (capital) yang sangat menentukan tingkat produktivitas kelompok dan individu, yang pada akhirnya dapat menentukan tingkat pendapatan individu dan pada akhirnya didasarkan pada premis bahwa pendidikan sebagai investasi adalah manusia memberikan kontribusi bagi perekonomian. Mempercepat laju pembangunan nasional & pertumbuhan ekonomi.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investment) telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Menurut Nurulfalik (2004), konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak zaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainnya sebelum abad ke-19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia. Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an ketika Theodore Schultz, yang merupakan peletak dasar teori human capital modern, berpidato dengan judul “Investment in Humman Capital” di hadapan The American Economic Association. Pesan utama dari pidato tersebut sederhananya adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-moneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya (McMahon and Geske dalam Mahendrawan dan Rahayu, 2020).
Individu yang mengikuti pendidikan akan memperoleh banyak peluang untuk mendapatkan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan peningkatan pendapatan di dalam kehidupannya, serta masyarakat memperoleh manfaat dari produktivitas tenaga kerja terdidik (Cohn dalam Mahendrawan dan Rahayu, 2020). Investasi di bidang pendidikan mampu memberikan dampak manfaat (benefit) lebih besar dibandingkan dengan investasi di bidang ekonomi maupun bidang lainnya. Karena manfaat yang diperoleh individu dan masyarakat tidak hanya berbentuk materi (penghasilan), tetapi juga berbentuk non materi (seperti perilaku produktif, perilaku sehat, perilaku berbudaya) (Becker dalam Mahendrawan dan Rahayu, 2020).
Pendidikan dapat dipandang sebagai konsumsi maupun sebagai investasi. Menurut Irianto (2013), pendidikan dipandang sebagai konsumsi adalah pendidikan sebagai hak manusia atau merupakan salah satu hak demokrasi yang dimiliki oleh setiap warga negara. Setiap warga negara berhak untuk meningkatkan kemampuan dan mengembangkan kepribadian, pengetahuan dan ketrampilannya. Oleh karena itu, sampai tingkat tertentu pengadaan pendidikan harus dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pendidikan dipandang sebagai investasi menurut Irianto (2013), pendidikan bertujuan untuk memperoleh pendapatan neto atau rate of return yang lebih besar di masa yang akan datang.
Dalam hal ini manusia dianggap sebagai suatu bentuk kapital (modal) sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya yang sangat menentukan terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa.
Singkatnya, pendidikan sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama. Menurut Nurkolis (2005), sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memperioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang : pertama, pendidikan sebagai alat perkembangan ekonomi; kedua, nilai balikan pendidikan; dan ketiga, fungsi non ekonomis dalam investasi pendidikan. Investasi dalam pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis, yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.
Jumlah penduduk merupakan aset negara, ia merupakan stok suatu bangsa, apabila kualitasnya bagus maka ia merupakan human capital yang dapat memuluskan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dalam suatu negara. Menurut Schultz (1987), untuk membangun masyarakat miskin tidak harus tergantung pada tanah, equipment, atau energi tetapi pada membangun pengetahuannya, yang berupa aspek ekonomi kualitatif yang disebutnya human capital. Manusia berpengetahuan merupakan aset bangsa, merupakan human capital. Ia menjadi stok bagi problem solving pembangunan nasional, sebagaimana diungkapkan oleh pemenang hadiah Nobel Ekonomi Schultz, lakukanlah investasi kualitatif pada manusianya, sebab manusia berpendidikan memiliki pengetahuan untuk modal bekerja, ia sebut sebagai investasi human capital.
Woodhall (1987) dalam tulisannya Human Capital Concepts mengemukakannya bahwa konsep human capital berhubungan dengan kenyataan bahwa manusia berinvestasi dalam dirinya sendiri melalui pendidikan, latihan dan kegiatan lain yang dapat menghasilkan pendapatan dikemudian hari sejalan dengan perjalanan waktu hidupnya. Menurut teori ekonomi disebut “investasi”.
Menurut teori human capital, bila seseorang diberi pendidikan, di kemudian hari produkti vitas kerjanya akan berkembang, karena seseorang memiliki pengetahuan dan kecakapan bagaimana melaksanakan pekerjaannya secara lebih baik. Pengetahuan yang dimilikinya berpengaruh terhadap cara kerja dan pemecahan masalah, yang diperlukan untuk mengatasi persoalan dalam bekerja, akibatnya produktivitas meningkat. Pengetahuan yang dimiliki perorangan akan menjadi ‘stock knowledge’ bagi masyarakat suatu bangsa. Bilamana setiap individu dalam masyarakat terdidik ia akan menjadi modal bangsa dalam bentuk ‘stock common knowledge’.
Di antara keuntungan human investment adalah, pertama, pendidikan dapat dipandang sebagai sarana investasi; kedua, pendidikan akan melahirkan lapisan elite sosial dalam masyarakat yang bisa menjadi motor penggerak dan pelapor ke arah kemajuan; ketiga, pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Keempat, pendidikan merupakan wahana untuk membangun dan meningkatkan martabat bangsa (Saleh Adri1 dan Harli, 2022).
Fungsi Sosial Pendidikan
Menurut Amartya sen, pemenang nobel ekonomi tahun 1998, manfaat pendidikan memiliki nilai intrinsik dan instrumental. Contohnya yang sederhana adalah kemampuan dasar dalam membaca dan menulis (literacy) serta berhitung nomerasi yang memberi manfaat sangat luas bagi masyarakat. Banyak manfaat sosial yang dapat diperoleh dengan adanya kemampuan baca tulis dan berhitung oleh masyarakatnya. Dan kedua kemampuan dasar tersebut dapa dicapai berkat adanya penyelenggaraan layanan satuan pendidikan ditingkat dasar dan menengah. Sebagai konsekuensi dari luasnya cakupan manfaat pendidikan dikedua jenjang pendidikan tersebut, akan mendorong terjadinya campur tangan oleh pemerintah melalui berbagai produk kebijakan publik demi tersedianya akses pendidikan yang seluas-luasnya bagu masyarakat contoh nya program pendidikan gratis 9 tahun di Indonesia (Hendasjah, 2009).
Pendidikan adalah sebagai proses dimana suatu budaya secara formal ditransmisikan kepada si pembelajar, yang berfungsi sebagai transmisi pengetahuan, pengembangan manusia muda, mobilitas sosial, pembentukan jati diri dan kreasi pengetahuan. Lebih rinci Keller, dkk. dan Choueke dan Amstrong mengatakan bahwa terdapat 7 (tujuh) fungsi sosial pendidikan: (1) pengajaran keterampilan, (2) mentransmisikan budaya, (3) mendorong adaptasi lingkungan, (4) membentuk kedisiplinan, (5) mendorong bekerja kelompok, (6) meningkatkan perilaku etik, dan (7) memilih bakat dan memberi penghargaan prestasi.
Dilihat dari filosofi pendidikan yang intinya adalah untuk mengaktualisasikan tiga dimensi kemanusiaan paling mendasar, yakni: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan dan ketakwaan, etika dan estetika, serta akhlak mulia dan budi pekerti luhur; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkan serta menguasai teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan ketrampilan teknis dan kecakapan praktis (Depdiknas, 2005).
Karakteristik Pendidikan
Lalu, karakteristik pendidikan di Indonesia, sebagaimana pernah dikemukakan Moeljarto Tjokrowinoto (2002) adalah: (1) titik tekannya lebih pada “universal education” daripada “vocational education”; (2) lebih menekankan kuantitas daripada kualitas; (3) tidak ada “streaming” dalam seleksi siswa pendidikan menengah; (4) terdapat mitmatch antara supplay output pendidikan dan demand tenaga kerja, dalam arti terdapat excess demand pada pendidikan SD atau di bawahnya, dan oversupplay pada pendidikan sekunder dan tertier; (5) rendahnya kualitas pendidikan science dan mathematika; dan (6) methodik-didaktik yang digunakan tidak kondusif bagi proses empowerment, pembentukan kesadaran baru tentang self dan a sense of dignity (Moeljarto Tjokrowinoto, 2002:31-32).
Mutu pendidikan diukur secara universal baik dari segi input, proses, output maupun outcome. Menurut Husaini Usman (2006), ada 13 karakteristik yang dinilai dalam hal mutu pendidikan yaitu: a. Kinerja (performan); b. Waktu wajar (timelines); c. Handal (reliability); d. Data tahan (durability); e. Indah (aesteties); f. Hubungan manusiawi (personal interface); g. Mudah penggunaanya (easy of use); h. Bentuk khusus (feature); i. Standar tertentu (comformence to specification); j. Konsistensi (concistency); k. Seragam (uniformity); l. Mampu melayani (serviceability); m. Ketepatan (acuracy).
Tujuan dan Manfaat Pendidikan
Muara dari pendidikan apapun tingkatannya yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Pendidikan merupakan suatu proses enkulturasi yang dimana berfungsi mewariskan sebuah nilai-nilai dan prestasi. Nilai-nilai dan prestasi tersebut merupakan suatu kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain pewarisan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Sampai kapan pun pendidikan masih menjadi sarana efektif untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maju tidaknya bangsa bisa dilihat dari perkembangan pendidikan yang sudah berjalan mewarnai lebih dari setengah abad kemerdekaan Indonesia (Mansyur, dkk., 2019).
Menurut Rather (2007), ada empat faktor yang mempengaruhi dan menentukan tujuan pendidikan. Pertama, philosophy of life. Tujuan pendidikan memiliki hubungan langsung dengan philosophy of life. Pemikiran filosofis mempengaruhi jalannya pendidikan dan tujuan-tujuannya. Paham idealisme menekankan realisasi diridan kesempurnaan ilahisebagai tujuan pendidikan. Sedangkan, menurut pandangan kaum naturalis, ekspresi diri atau pemuasan diriharus menjadi tujuan pendidikan.
Berbeda dengan pandangan di atas, tokok pemikir pragmatis memandang hidup sebagai proses sosialisasi seorang individu.
Kedua, human nature. Tujuan pendidikan seringkali disempitkan pada cara pandang mengenai human nature. Kaum idealis menganggap “unfolding the divine man” sebagai tujuan pendidikan. Berbeda dengan kaum idealis, kaum naturalis, melihat tujuan pendidikan sebagai “selfexpression”.
Ketiga, religious factors. Sudut pandang agama yang berbeda juga memengaruhi tujuan pendidikan. Lembaga-lembaga keagamaan yang dijalankan oleh organisasi-organisasi keagamaan yang berbeda harus bekerja untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang sesuai.
Keempat, political ideology. Tidak ada sistem pendidikan yang bisa ditempatkan di atas ideologi politik negara. Dengan kata lain, ideologi politik mempengaruhi tujuan pendidikan dengan cara yang signifikan. Menurut Brown (Usman, 2024), “Pendidikan di negara mana pun dan dititik-titik apapun selalu mencerminkan nilai kelas penguasa.” Di bawah sistem totaliter, tujuan pendidikan berbeda dengan sistem politik demokratis.
Pendidikan itu butuh waktu. Banyak orang sebenarnya menyadari bahwa pendidikan itu penting. Fakta ini dapat dilihat dari banyak hal. Misalnya dari sibuknya orang tua dan calon siswa mendaftar pada sekolah tujuan pada saat penerimaan siswa baru. Apalagi di sekolah atau kampus favorit, wahh luar biasa peminatnya. Para orang tua juga banyak yang khawatir kalau-kalau anaknya tidak diterima di sekolah/kampus tujuan. Hal ini tentu sangat manusiawi. Lebih riil lagi, statistik nasional pendaftar sekolah yang dari tahun ke tahun tidak beranjak turun, tetapi sebaliknya.
Beberapa manfaat pendidikan. Pertama, sebagai sarana informasi serta pemahaman, untuk meningkatkan dan memberikan informasi serta pemahaman akan seluruh ilmu pengetahuan yang ada di setiap manusia. Kedua, untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang unggul, menciptakan penerus bangsa yang ahli diberbagai bidang. Ketiga, sebagai wadah untuk memperdalam suatu ilmu pengatahuan, pendidikan bisa bermanfaat bagi seseorang yang ingin memperdalam suatu disiplin ilmu. Keempat, jalan untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan, semakin tingginya jenjang pendidikan yang dimiliki kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan yang diinginkan semakin besar peluangnya. Kelima, untuk membentuk pola pikir yang ilmiah, pendidikan tinggi biasanya memiliki pola pikir yang lebih ilmiah serta mereka akan berpikir dengan fakta-fakta yang ada dibandingkan dari sisi emosional mereka. Keenam, untuk mencegah adanya generasi yang tidak berpengetahuan, pendidikan akan dapat membantu seseorang memahami apa saja hal-hal yang baik dan benar. Dan ketujuh, menciptakan generasi muda bangsa yang cerdas, dengan melalui pendidikan dapat membuat generasi muda yang mempunyai nilai moral serta integritas yang tinggi (Ihsan, 2005).
Kesadaran Pendidikan
Menurut Poedjawjatna (2017), kesadaran adalah pengetahuan, sadar dan tahu. Mengetahui atau sadar tentang keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu. Poedjawjatna menekankan adanya faktor kesenjangan dalam memilih tindakan baik dan buruk. Faktor kesenjangan ini menyebabkan seseorang yang sadar menjadi tidak sadar, yang tahu menjadi tidak tahu, yang terbangun seperti tidur, tidak tergugah hatinya terhadap sesuatu, baik dan buruk seperti sama, tidak waras, masa bodoh, tidak menyadari tingkahlakunya/tidak sadar akan tindakannya.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan yang timbul dari semua pihak dapat memberikan suatu yang positif dunia pendidikan. Pemerintah, masyarakat, guru dan orang tua harus berperan aktif dalam memajukan pendidikan. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama dalam hal ini orang tua sebagai pendidik berperan memberikan arahan dalam semua bidang khususnya pendidikan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Made (2007), mobilisasi keterlibatan orang tua atau masyarakat dalam pengambilan keputusan dan kebijakan tentang pendidikan sesuai dengan harapan mereka, sehingga partisipisi masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi.
Melihat betapa pentingnya kesadaran masyarakat akan pendidikan, tentu akan menjadi salah satu modal yang sangat dibutuhkan oleh anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Ini berarti, dalam menempuh pendidikan, selain karena faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri anak), yang menjadi tantangan utama bagi anak adalah karena faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar) yaitu kesadaran masyarakat khususnya orang tua atau keluarga tentang pentingnya pendidikan.
Orang tua yang mempunyai jalan pikiran sempit menganggap pendidikan tidak penting, mengakibatkan anak-anak mereka tidak mengenyam pendidikan formal. Rendahnya minat orang tua terhadap pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor pribadi (tingkat kesadaran), faktor ekonomi, faktor sosial budaya, dan faktor letak geografis sekolah.
Masyarakat yang kurang kesadaran pendidikan, disebabkan beberapa faktor, yaitu: pertama, pandangan masyarakat terhadap pendidikan adalah mahal. Kedua, pendidikan dianggap tidak menjamin perolehan pekerjaan yang layak. Ketiga, rendahnya jenjang pendidikan orangtua menjadikan kurang terbukanya kesadaran untuk berpendidikan tinggi. Jadi kesadaran pendidikan merupakan kehadiran sikap mengetahui, memahami, menginsyafi, dan menindaklanjuti proses pembimbingan untuk mengembangkan potensi kemampuan seseorang menjadi sumber daya manusia yang kuat.
Dimensi Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses yang mencakup tiga dimensi yaitu individu, masyarakat atau komunitas nasional dari individu tersebut, dan seluruh kandungan realitas, baik material maupun spiritual yang memainkan peranan dalam menentukan sifat, nasib, bentuk manusia maupun masyarakat (Nurkholis, 2013). Pada tataran mikro pendidikan, setidaknya ada dua isu fundamental yang perlu mendapat perhatian dalam membahas pendidikan sebagai investasi yaitu : pertama, walaupun semua orang sepakat bahwa investasi di bidang pendidikan itu penting tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana peran pendidikan itu dalam memberikan andil membentuk sumber daya modal manusia yang selanjutnya dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan bangsa. Apakah bahwa kunci pembentukan sumber daya modal manusia itu terletak pada pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki melalui pendidikan? Kalau itupun benar, jenis pengetahuan dan keterampilan yang seperti apakah yang benar-benar mendukung pembentukan sumber daya modal manusia yang sesuai dengan kebutuhan teknologi yang diinvestasikan melalui modal fisik. Tantangan yang dihadapi adalah demi efisiensi dan persaingan global, teknologi yang dipergunakan selalu berubah dan berkembang dengan cepat, sementara itu karena sifatnya perubahan di bidang pendidikan lebih lambat (Knowles dalam Siregar, dkk., 2022). Lebih-lebih pada era teknologi informasi, perkembangan teknologi menjadi sangat cepat sehingga informasi menjadi sumber daya yang tak terbatas di masa mendatang melampaui perkembangan pengetahuan dan keterampilan yang disosialisasikan melalui pendidikan, seperti yang diprediksi oleh Halah (Siregar, dkk., 2022). Kedua, implikasi dari isu tersebut di atas adalah timbulnya pertanyaan yaitu seberapa besar investasi perlu diberikan antar jenjang dan jenis pendidikan? Manakah yang lebih tepat, apakah investasi perlu lebih banyak pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, atau bahkan pendidikan luar sekolah? Hampir semua literatur pendidikan menyepakati bahwa investasi di bidang pendidikan dasar perlu memperoleh prioritas karena di suatu sisi secara ekonomis memberikan nilai balik (rate of return) yang paling tinggi, dan di sisi lain secara sosiologis sebagai jalan untuk meningkatkan persamaan dan pemerataan memperoleh pendidikan. Kebijakan ini diharapkan juga akan membawa dampak jangka panjang kepada pemerataan kesempatan untuk mobilisasi sosial dan pemerataan pendapatan. Debat tentang mana lebih penting menginvestasikan lebih banyak pada bidang pengembangan ilmu atau pengetahuan profesional di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi masih berlanjut. Penelitian Nurhadi, Asrori (Siregar, dkk., 2022) menunjukan bahwa dalam jangka panjang pendidikan menengah umum ternyata menghasilkan nilai balik lebih besar dari pendidikan menengah kejuruan, terkecuali sekolah menengah kejuruan yang lulusannya memerlukan keterampilan dengan tingkat presisi yang tinggi. Dalam menghadapi isu mikro seperti ini, tantangan yang dihadapi adalah terjadinya stagnasi kesempatan kerja sebagai akibat dari memburuknya ekonomi nasional, dan bahkan di beberapa sektor telah terjadi pemutusan hubungan kerja sehingga memperbesar angka pengangguran. Ini akan semakin memperkecil probabilitas nilai balik investasi pendidikan.
Sementara itu, dampak dari keadaan tersebut bisa dua macam, satu kemungkinan adalah menurunnya tuntutan (demand) akan pendidikan sebagai reaksi terhadap pasar, kemungkinan lain justru akan memacu persaingan yang ketat di bidang pendidikan sehingga meningkatkan tuntutan akan pendidikan. Apabila kemungkinan kedua yang terjadi, maka dapat terjadi investasi berlebihan (over-invesment) di bidang pendidikan (seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1975) sehingga peran pendidikan bergeser menjadi instrumen seleksi saja bagi dunia industri. Isu yang ketiga adalah pada tataran kelas. Dari kacamata teori fungsi produksi, proses pendidikan terjadi karena berinteraaksinya berbagai masukan instrumental pendidikan yang diharapkan akan mewarnai masukan peserta didik menjadi lulusan yang diharapkan (Cohn dalam Siregar, dkk., 2022). Hasil rangkuman studi di 12 negara yang sedang berkembang, menunjukkan bahwa ada tiga masukan instrumental utama yang berperanan menentukan kualitas luaran pendidikan, yaitu: 1) jumlah jam riil guru mengajar di depan kelas, 2) ketersediaan dan penggunaan buku pelajaran, dan 3) ketersediaan dan penggunaan laboratorium (Simmons dalam Siregar, dkk., 2022).
Persoalan pendidikan sebagai investasi merupakan isu yang kompleks dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan masing-masing isu tersebut sekarang ini juga semakin berat. Pembahasan tentang investasi pendidikan ini akan lebih cermat lagi apabila kita juga menyadari berbagai keterbatasan yang melekat kepada investasi pendidikan.
Dibalut Persoalan yang Multikompleks
Pada dimensi yang satu betapa urgen, vital, dan sakralnya pendidikan, tapi pada sisi lain, dunia pendidikan kita sedang dibalut persoalan yang multikompleks. Lalu, problematika apa yang sedang melanda dunia pendidikan kita? Jawabnya sangat multikompleks, mulai dari: pendidikan yang tidak merata (timpang) dan tak adil, kurikulum yang sering gonta ganti, pendidikan yang terlalu elitis, mutu (quality) yang sangat rendah, masih lemahnya manajemen pendidikan, dan masih sederet persoalan lainnya. Persoalan pendidikan, tak ubahnya melerai benang kusut dan sebuah lingkaran setan.
Anies Baswedan (Mantan Mendikbud), pernah mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia berada dalam posisi gawat darurat. Beberapa kasus yang menggambarkan kondisi tersebut diantaranya adalah: “(1) rendahnya layanan pendidikan di Indonesia,(2) rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, (3) rendahnya mutu pendidikan tinggi di Indonesia, (4) rendahnya kemampuan literasi anak-anak Indonesia.”
Apa bukti kualitas pendidikan kita rendah? Tahun 2012, hasil survei Progamme For International Student Assessment (PISA), Indonesia berada di peringkat 71 dari 72 peserta survei PISA dari berbagai negara. Masih tahun 2012, hasil Survei UNESCO, Indonesia diperingkat ke-64 dari 120 negara di dunia berdasarkan penilaian Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Nasional. Dalam laporan program pembangunan PBB tahun 2013, Indonesia menempati posisi 121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia dengan angka 0,629. Tertinggal dari dua negara tetangga, yaitu Malaysia (ke-64) dan Singapura (ke-18). Tahun 2014, laporan UNESCO dalam Education For All Globar Monitoring Report, Indeks Pembangunan Nasional atau EDI, Indonesia berada pada peringkat 57 dari 115 negara.
Tahun 2015, survei PISA, Indonesia berada di posisi 69 dari 76 peserta. Tahun 2016, dilansir dari The Guardian, Indonesia menempati urutan ke-57 dari total 65 negara. Survei ini diterbitkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development. Peringkat pendidikan wilayah ASEAN 2017, berada diperingkat kelima di bawahSingapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Masalah lainnya? Pertama, pendidikan kita menghasilkan “manusia robot”; kedua, sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank; ketiga, dari model pendidikan yang demikian, maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Pendidikan merupakan proses yang berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending proces), sehinngga dapat menghasilkan kualitas yang berkesinambungan, yang ditujukan pada perwujudan sosok manusia masa depan, dan berakar pada nilai-nilai budaya bangsa serta Pancasila. Pendidikan harus menumbuhkembangkan nilai-nilai filosofis dan budaya bangsa secara utuh dan menyuluruh. Sehingga perlu adanya kajian yang lebih mendalam terhadap pendidikan, maka dari itu pendidikan mulai dipandang secara filsafat yang merujuk pada kejelasan atas landasan pendidikan itu sendiri (Mulyasa, 2012).
Semoga Bermanfaat !!!