INIPASTI.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat gebrakan dengan putusan terbaru pada 29 April 2025, yang mengabulkan sebagian gugatan uji materiil terhadap Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Putusan ini menjadi angin segar bagi kebebasan berekspresi, terutama dalam melindungi kritik terhadap pemerintah di ranah digital.
MK: Pencemaran Nama Baik Tidak Berlaku untuk Kritik Pemerintah
Dalam putusan yang dibacakan, MK menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Frasa tersebut hanya berlaku untuk individu, bukan terhadap “lembaga pemerintah, institusi, profesi, korporasi, jabatan, maupun kelompok dengan identitas tertentu.”
Artinya, warga negara kini memiliki ruang lebih luas untuk mengkritik kebijakan pemerintah, pejabat publik, atau lembaga negara di media sosial tanpa ancaman jerat hukum pencemaran nama baik. MK juga menyoroti Pasal 28 ayat (3) UU ITE, yang mengatur penyebaran berita bohong, karena kata “kerusuhan” dalam pasal ini dinilai tidak memiliki parameter jelas dan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat.
“Putusan ini adalah langkah progresif untuk menjamin hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat dan mengawasi pemerintah,” ujar Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, kepada media.
Latar Belakang: UU ITE dan Pasal Bermasalah
UU ITE, yang pertama kali disahkan pada 2008, telah mengalami dua kali revisi melalui UU No. 19 Tahun 2016 dan UU No. 1 Tahun 2024. Revisi ini merespons kritik bahwa sejumlah pasal, seperti pencemaran nama baik dan berita bohong, kerap menjadi “pasal karet” yang mengekang kebebasan berekspresi.
Meski revisi 2016 dan 2024 mengurangi ancaman pidana dan denda, organisasi seperti Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menilai UU ITE 2024 masih bermasalah. Pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan, Pasal 27A tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 28 ayat (3) tentang berita bohong dinilai ambigu dan rentan disalahgunakan.
“Pasal-pasal ini masih mempersempit ruang digital. Indonesia perlu belajar dari 50 negara yang telah mendekriminalisasi pencemaran nama baik,” kata Direktur Safenet, Damar Juniarto.
Putusan MK Sebelumnya Membuka Jalan
Putusan terbaru ini melanjutkan langkah MK dalam mereformasi UU ITE. Pada 2023, melalui Putusan No. 78/PUU-XXI/2023, MK menyatakan Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang berita bohong inkonstitusional karena tidak memberikan kepastian hukum. Begitu pula pada 21 Maret 2024, MK membatalkan pasal pencemaran nama baik di KUHP, menyusul gugatan dari Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, YLBHI, dan AJI.
“MK konsisten melindungi kebebasan berekspresi. Namun, pemerintah dan DPR harus segera mencabut pasal serupa di UU ITE dan KUHP baru yang berlaku 2026,” tegas Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim.
Reaksi Publik: Harapan dan Tantangan
Putusan MK disambut positif oleh pegiat HAM, jurnalis, dan masyarakat sipil. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut putusan ini sebagai “kemenangan” bagi kebebasan berpendapat, meskipun menyoroti bahwa Pasal 28 ayat (3) UU ITE 2024 masih berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Di sisi lain, tantangan ke depan adalah memastikan aparat penegak hukum tidak menyalahgunakan pasal-pasal ambigu. “Literasi digital, transparansi platform, dan jurnalisme berkualitas harus menjadi solusi utama, bukan kriminalisasi,” tambah Damar Juniarto.
Apa Selanjutnya?
Putusan MK ini mendorong revisi menyeluruh terhadap UU ITE dan KUHP baru. Safenet, ICJR, dan AJI menyerukan dekriminalisasi pencemaran nama baik serta penguatan mekanisme non-penal, seperti mediasi dan moderasi konten, untuk menangani sengketa digital.
Bagi masyarakat yang ingin mengakses teks lengkap putusan MK (461 halaman), dokumen tersedia di situs resmi MK (www.mkri.id). Informasi lebih lanjut tentang UU ITE juga dapat ditemukan di JDIH Kominfo (jdih.kominfo.go.id).
Penulis: Tim Redaksi Inipasti.com
Sumber: Putusan MK, Safenet, ICJR, AJI, Lokataru Foundation