INIPASTI.COM, Jakarta – Sidang lanjutan kasus dugaan suap terkait penetapan anggota DPR pengganti antar waktu (PAW) periode 2019-2024 dengan terdakwa Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Senin, 26 Mei 2025. Dalam persidangan ini, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan sejumlah saksi, termasuk seorang ahli teknologi informasi (IT) dari Universitas Indonesia dan seorang pemeriksa forensik/penyelidik KPK, serta saksi kunci dari internal partai.
Dalam sidang pada Senin, 26 Mei 2025, jaksa penuntut umum meminta dosen Fakultas Ilmu Komputer UI, Bob Hardian Syahbuddin, untuk menjelaskan data pergerakan lokasi Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto pada 8 Januari 2020, hari ketika tim penyelidik KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Bob dihadirkan sebagai ahli IT dalam sidang yang juga mendakwa Hasto atas perintangan penyidikan.
Jaksa mengonfirmasi kepada Bob bahwa penjelasannya kepada penyidik didasarkan pada kecocokan timeline pergerakan Harun dengan data Call Detail Record (CDR). CDR adalah data yang merekam semua panggilan telepon dan menunjukkan lokasi ponsel berdasarkan Base Transceiver Station (BTS) atau tower. Data ini digunakan penyelidik KPK saat OTT. Berdasarkan data tersebut, jaksa mengonfirmasi bahwa Harun Masiku berada di Batu Sari, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, hingga sekitar pukul 16.12 WIB. Bob membenarkan bahwa data CDR yang diperlihatkan kepadanya hanya mencakup waktu di sekitar jam tersebut.
Setelah itu, jaksa juga mengonfirmasi pergerakan ponsel yang diduga milik Hasto. Bob membenarkan bahwa dia mengecek data CDR nomor tersebut. Dari data CDR, nomor milik Hasto diduga berada di Jalan Diponegoro, Parkir Jakarta Hall Convention Center, dan Jalan Nasional gelora Tanah Abang.
Di sisi lain, DPP PDI Perjuangan, melalui politikusnya Guntur Romli, meragukan akurasi data ahli IT yang dihadirkan KPK. Guntur mencium adanya upaya rekayasa hukum dalam perkara Hasto. Ia secara spesifik menyoroti metode cek pos atau data lokasi berlandaskan BTS yang menurutnya tidak akurat dan cenderung membingungkan, dibandingkan dengan penggunaan Global Positioning System (GPS) yang dinilai lebih akurat.
Sebelumnya, pada Kamis, 23 Mei 2025, kader PDI Perjuangan, Saeful Bahri, yang sebelumnya tidak memenuhi panggilan jaksa sebanyak tiga kali, memberikan kesaksian penting. Saeful menyatakan bahwa dirinya selalu melaporkan perkembangan terkait pengurusan Harun Masiku kepada Hasto Kristiyanto, termasuk saat menyerahkan sejumlah uang kepada anggota KPU Wahyu Setiawan. Pelaporan ini disebutnya sebagai bentuk tanggung jawab sebagai kader partai.
Saeful mengaku mendapat arahan sejak awal untuk mengawal proses PAW dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Setiap tahapan proses, mulai dari pengurusan dokumen internal partai hingga komunikasi dengan pihak KPU, dilaporkan kepada Hasto. Namun, Saeful menyatakan tidak mengetahui adanya pertemuan langsung antara Hasto dan Wahyu Setiawan.
Saeful juga menyebut bahwa Harun Masiku pernah mengirimkan foto melalui WhatsApp yang menunjukkan dirinya bersama Hasto dan Djan Faridz di Mahkamah Agung (MA). Harun saat itu menginformasikan bahwa fatwa MA telah diserahkan kepada Sekjen. Fatwa MA ini berisi ketentuan bahwa suara calon legislatif yang meninggal dunia dapat diserahkan penetapannya kepada pimpinan partai politik, dan salinan fatwa tersebut kemudian dijadikan dasar dalam proses di KPU.
Dalam surat dakwaan, Saeful Bahri disebut bersama-sama dengan Hasto, Harun Masiku, dan Donny Tri Istiqomah memberikan uang senilai 57.350 dolar Singapura (sekitar Rp600 juta) kepada Wahyu Setiawan agar KPU menyetujui permohonan PAW Harun Masiku. Hasto juga diduga memerintahkan perusakan alat komunikasi yang digunakan Harun Masiku setelah OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan, serta meminta ajudannya untuk menenggelamkan ponsel lain guna mencegah penyitaan.
Sementara itu, di awal persidangan pada Senin, 26 Mei 2025, tim penasihat hukum Hasto yang diwakili Maqdir Ismail menyatakan keberatan atas kehadiran pemeriksa forensik/penyelidik KPK, Hafni Ferdian, sebagai saksi ahli. Maqdir beralasan bahwa Hafni adalah pegawai KPK dan penyelidik dalam perkara ini, sehingga dikhawatirkan tidak dapat bersikap objektif dan mandiri dalam memberikan keterangan. Selain itu, Maqdir juga menyebut Hafni digaji oleh KPK (yang kemudian diklarifikasi jaksa bahwa Hafni adalah ASN yang digaji oleh negara, bukan KPK). Jaksa KPK menanggapi bahwa Hafni dihadirkan dalam kapasitas keahliannya dan bukan penyelidik dalam perkara spesifik ini. Hakim ketua, Rios Rahmanto, menolak keberatan tersebut, menyatakan bahwa keterangan ahli akan tetap didengar sesuai keahliannya, sementara keberatan terkait objektivitas dicatat dan dapat disampaikan dalam nota pembelaan atau pleidoi.
(Dari berbagai sumber)