INIPASTI.COM, ANALISIS – – Kasus Pertamina yang melibatkan jaringan politik Riza Chalid adalah salah satu skandal korupsi besar di Indonesia yang mencuat pada awal 2025. Kasus ini berkaitan dengan dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, subholding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023, dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp193,7 triliun. Nama Riza Chalid, seorang pengusaha minyak terkenal yang dijuluki “The Gasoline Godfather,” kembali menjadi sorotan karena anaknya, Muhammad Kerry Adrianto Riza, ditetapkan sebagai tersangka. Namun, jejak Riza Chalid dalam dunia bisnis minyak dan politik Indonesia jauh lebih luas dan kompleks, melibatkan jaringan politik yang kuat serta berbagai skandal sebelumnya. Mari kita bedah kasus ini secara mendalam.
Latar Belakang Kasus Pertamina 2018–2023
Kasus ini terungkap ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai menyelidiki praktik korupsi dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang oleh PT Pertamina. Penyelidikan dimulai pada Oktober 2024, dan pada Februari 2025, Kejagung menetapkan tujuh tersangka, termasuk empat petinggi subholding Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satu tersangka utama adalah Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak Riza Chalid, yang berperan sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, perusahaan yang diduga menjadi broker dalam pengadaan impor minyak.
Modus operandi dalam kasus ini melibatkan:
- Mark-up Kontrak Pengiriman: Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi, diduga melakukan mark-up kontrak shipping sebesar 13–15% dari harga asli, memberikan keuntungan bagi Kerry Adrianto sebagai broker.
- Pengondisian Produksi Kilang: Petinggi Pertamina seperti Riva Siahaan (Dirut PT Pertamina Patra Niaga) dan Sani Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi PT Kilang Pertamina Internasional) diduga sengaja menurunkan produksi kilang dalam negeri dengan alasan spesifikasi minyak lokal tidak sesuai, sehingga memaksa impor minyak mentah dan BBM.
- Manipulasi Harga dan Kualitas: PT Pertamina Patra Niaga membeli RON 90 (bensin berkualitas rendah) dengan harga RON 92, lalu melakukan blending untuk menjualnya sebagai RON 92, yang melanggar aturan.
- Kerugian Ekspor dan Subsidi: Minyak mentah lokal diekspor karena ditolak kilang dalam negeri, sementara impor BBM mahal membebani subsidi dan kompensasi negara.
Kerugian Rp193,7 triliun terdiri dari kerugian ekspor minyak lokal (Rp35 triliun), impor minyak mentah (Rp2,7 triliun), impor BBM (Rp9 triliun), kompensasi 2023 (Rp126 triliun), dan subsidi 2023 (Rp21 triliun). Angka ini masih sementara dan bisa bertambah setelah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selesai.
Peran Muhammad Kerry Adrianto Riza
Kerry Adrianto, anak sulung Riza Chalid, adalah kunci dalam skandal ini. Sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, ia menjadi broker yang memenangkan tender impor minyak mentah. Ia diuntungkan dari mark-up kontrak pengiriman dan diduga terlibat dalam pemufakatan jahat dengan petinggi Pertamina untuk mengatur tender agar menguntungkan perusahaannya. Kerry ditahan pada Februari 2025 bersama enam tersangka lain, termasuk Gading Ramadhan Joedo (anak angkat Riza Chalid) dan Dimas Werhaspati, yang juga terkait dengan perusahaan swasta dalam jaringan ini.
Jaringan Politik Riza Chalid
Riza Chalid bukan nama baru dalam dunia minyak dan politik Indonesia. Ia memiliki jejaring politik yang luas dan mendalam, yang diduga menjadi “pelindung” bagi operasinya selama puluhan tahun. Berikut adalah beberapa poin penting tentang jaringannya:
- Era Orde Baru dan Keluarga Cendana
Riza dekat dengan Bambang Trihatmodjo, anak Soeharto. Ia mewakili PT Dwipangga Sakti Prima, perusahaan keluarga Cendana, dalam pembelian pesawat Hercules pada 1996 yang tersangkut kasus mark-up (dibeli US$25 juta, dilaporkan US$30 juta). Selama bertahun-tahun, ia mengendalikan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), anak usaha Pertamina yang menjadi pusat bisnis impor minyak. - Era SBY dan Cikeas
Setelah Orde Baru runtuh, Riza mendekati keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut George Junus Aditjondro dalam Gurita Bisnis Cikeas, Riza membayar premi 50 sen dolar AS per barel minyak kepada keluarga Cikeas. Kedekatannya dengan Hatta Rajasa, tokoh Partai Amanat Nasional (PAN), juga memperkuat posisinya. Pada masa ini, namanya begitu sensitif hingga hanya disebut “Tuan R.” - Pernah Mendukung Prabowo
Pada Pilpres 2014, Riza mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ia mengaku menggelontorkan Rp500 miliar untuk kampanye Hatta atas dasar persahabatan, termasuk membeli rumah di Polonia sebagai markas kemenangan. Namun, dalam rekaman kasus “Papa Minta Saham,” ia juga mengaku mendanai kubu Jokowi-JK untuk “bermain aman,” menunjukkan pendekatan pragmatisnya dalam politik. - Skandal “Papa Minta Saham”
Pada 2015, Riza terseret dalam skandal bersama Setya Novanto, Ketua DPR saat itu. Dalam pertemuan dengan Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, Novanto diduga mencatut nama Jokowi untuk meminta 20% saham Freeport, dengan Riza sebagai pendamping. Kasus ini mencuat setelah Sudirman Said, Menteri ESDM kala itu, melaporkannya ke MKD DPR. Namun, Kejagung menghentikan pengejaran terhadap Riza pada 2016, menambah kesan bahwa ia “kebal hukum.” - Kasus Zatapi 2008
Riza juga tersandung kasus impor 600 ribu barel minyak campuran Zatapi oleh Petral melalui Global Resources Energy dan Gold Manor, perusahaan yang ia kuasai. Transaksi ini merugikan Pertamina Rp65,5 miliar, tetapi Bareskrim Polri menghentikan kasusnya karena dianggap tidak merugikan negara.
Dugaan Keterlibatan Riza Chalid dalam Kasus 2018–2023
Meski belum ditetapkan sebagai tersangka, keterlibatan Riza Chalid dalam kasus ini menjadi pertanyaan besar. Kejagung menggeledah dua rumahnya pada Februari 2025—di Kebayoran Baru dan Plaza Asia—dan menyita Rp883 juta, US$1.500, dokumen, serta dua CPU. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa penyidik masih mendalami peran Riza, dengan peluang pemeriksaan terbuka lebar berdasarkan bukti yang dikumpulkan.
Pengamat energi Fahmy Radhi dari UGM menyatakan bahwa modus dalam kasus ini—penolakan minyak lokal dan mark-up impor—mirip dengan praktik Riza sebelumnya, seperti kasus Zatapi dan Petral. “Pasti mereka berhubungan,” katanya, merujuk pada Riza dan Kerry. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa dua anak Riza (Kerry dan Gading) terlibat langsung, menimbulkan dugaan bahwa Riza adalah aktor intelektual di balik operasi ini.
Analisis Jaringan Politik dan Dampaknya
Jaringan politik Riza Chalid tampaknya menjadi “tameng” yang membuatnya sulit disentuh hukum selama ini. Dari Cendana hingga Cikeas, dari Golkar hingga PAN, ia membangun koneksi dengan elit politik lintas era. Dalam kasus Petral 2014–2015, misalnya, upaya Sudirman Said untuk membongkar mafia minyak melalui audit KordaMentha terhenti setelah intervensi dari Istana, menunjukkan kekuatan pengaruhnya. Audit itu mengungkap kebocoran data tender melalui email rahasia, yang menguntungkan perusahaan Riza seperti Gold Manor.
Kasus terbaru ini juga memunculkan spekulasi adanya “pergantian pemain” dalam bisnis minyak. Beberapa pihak menduga bahwa pengungkapan ini adalah bagian dari manuver politik untuk menggeser dominasi Riza dan membuka jalan bagi aktor baru, seperti Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo), yang namanya disebut-sebut dalam konteks ini.
Kasus Pertamina 2018–2023 adalah puncak gunung es dari pengaruh Riza Chalid dalam bisnis minyak Indonesia. Jejaring politiknya yang luas—dari Orde Baru hingga era Jokowi—dan rekam jejaknya dalam skandal seperti Zatapi, Petral, dan “Papa Minta Saham” menunjukkan bahwa ia adalah figur sentral dalam mafia migas. Keterlibatan anak-anaknya dalam kasus ini memperkuat narasi “buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Meski begitu, apakah Riza akan benar-benar terseret ke ranah hukum masih bergantung pada bukti yang dikumpulkan Kejagung dan tekanan politik di balik layar. Hingga kini, ia tetap menjadi simbol kekuatan yang sulit disentuh, namun kasus ini bisa menjadi titik balik—if the system allows it. (x-ul)