Podcast:
INIPASTI.COM, Jakarta – Ahli digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar menjalani pemeriksaan intensif oleh penyidik Polda Metro Jaya, menjadi sorotan terbaru dalam polemik ijazah Presiden Joko Widodo. Pemeriksaan ini berlangsung di tengah keputusan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang telah resmi menutup penyelidikan kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, dengan menyatakan ijazah tersebut asli dan sah berdasarkan hasil uji forensik.
Pada Senin, 26 Mei 2025, Rismon Sianipar diperiksa oleh penyidik Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya. Pemeriksaan maraton ini berlangsung selama lebih dari enam jam, dimulai pukul 10.20 WIB dan berakhir pada 16.59 WIB. Selama durasi tersebut, Rismon mengaku dicecar sebanyak 97 pertanyaan mendalam.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berfokus secara spesifik pada unggahan Rismon di platform media sosial X dengan akun @SianiparRismon, diskusi daringnya dengan Roy Suryo di “diskursus network,” serta konten video di akun YouTube miliknya yang membahas dan menganalisis ijazah Presiden Jokowi. Rismon juga menjelaskan bahwa sebagian besar pertanyaan menyangkut metode ilmiah yang ia gunakan dalam mengkaji lembar pengesahan dan skripsi Jokowi.
Laporan Presiden Jokowi Jadi Dasar Pemeriksaan
Pemeriksaan terhadap Rismon ini merupakan tindak lanjut dari laporan yang diajukan langsung oleh Presiden Joko Widodo ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025. Laporan tersebut dibuat setelah Presiden mengetahui adanya video yang beredar di media sosial pada 26 Maret 2025, yang dianggap berisi pernyataan fitnah dan pencemaran nama baik terkait ijazah S1 miliknya dari sebuah universitas. Jokowi merasa dirugikan dan melaporkan kasus ini dengan dugaan pelanggaran Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, Pasal 311 KUHP tentang fitnah, dan/atau Pasal 305 Juncto Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebagai barang bukti, polisi telah mengantongi flashdisk berisi 24 tautan video YouTube dan konten media sosial X, serta fotokopi ijazah.
Rismon berpandangan bahwa tidak ada unsur pidana dalam tindakannya. Ia menekankan posisinya sebagai seorang peneliti dan penulis buku yang merasa memiliki kebebasan untuk melakukan kajian semacam itu tanpa memerlukan otoritas khusus, dengan tujuan “menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat”. Ia menganggap pemeriksaan ini lebih sebagai proses klarifikasi daripada panggilan polisi formal.
Dua Jalur Hukum Berbeda: Bareskrim dan Polda Metro Jaya
Perkembangan ini menandai pergeseran fokus dalam penegakan hukum. Meskipun kasus dugaan pemalsuan ijazah itu sendiri telah dinyatakan selesai dan ditutup oleh Bareskrim Polri, penyelidikan terhadap pihak-pihak yang menyebarkan tuduhan masih terus berjalan di Polda Metro Jaya. Ini menunjukkan bahwa setelah keaslian ijazah dikonfirmasi, upaya hukum kini diarahkan pada perlindungan reputasi Presiden dari tuduhan yang dianggap tidak berdasar.
Bareskrim Polri berfokus pada penyelidikan dugaan pemalsuan ijazah dan telah menghentikannya setelah hasil uji forensik menyatakan ijazah asli dan tidak ditemukan unsur pidana. Di sisi lain, Polda Metro Jaya menangani laporan Presiden Jokowi terkait dugaan fitnah dan pencemaran nama baik. Penyelidikan di Polda Metro Jaya ini masih berlanjut. Sejauh ini, penyidik Polda Metro Jaya telah memeriksa total 29 saksi dalam kasus dugaan pencemaran nama baik ini.
Kronologi Polemik Ijazah Jokowi
Dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi pertama kali mencuat dan dilaporkan pada 9 Desember 2024. Tuduhan ini disuarakan oleh beberapa individu, termasuk Rismon Sianipar, Roy Suryo, dan Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa), yang kemudian dikenal sebagai bagian dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA).
Pada 15 April 2025, massa TPUA berdemonstrasi di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), menuntut klarifikasi. Sehari setelahnya, pada 16 April 2025, Presiden Jokowi menemui perwakilan TPUA dan menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki kewajiban menunjukkan ijazah tanpa otoritas hukum.
Untuk menindaklanjuti laporan dan tuduhan, pada 9 Mei 2025, Presiden Jokowi menyerahkan ijazah aslinya kepada Bareskrim Polri untuk uji laboratorium forensik dan menjalani pemeriksaan. Setelah serangkaian penyelidikan dan uji forensik komprehensif, Bareskrim Polri resmi menutup kasus pada 23 Mei 2025. Hasil uji forensik Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri menyimpulkan bahwa ijazah Jokowi adalah asli, identik dengan dokumen pembanding dari alumni seangkatan, dan tidak ditemukan unsur pidana. Uji forensik ini menelaah elemen dokumen seperti tinta, stempel, tanda tangan, membandingkan dengan ijazah alumni seangkatan yang dinyatakan identik, dan bahkan menemukan skripsi yang dibuat dengan mesin ketik tahun 1985.
Keberatan Pihak Penuduh dan Kritik Metodologis
Meskipun Bareskrim telah menutup kasus, TPUA menyatakan keberatan dan mendesak “gelar perkara khusus”. Roy Suryo berpendapat hasil Puslabfor “belum final” dan “hanya merupakan satu bagian proses pembuktian dan tidak merupakan hasil otentik, hanya identik (di mana sampel identifikasinya juga tidak transparan)”. Rizal dari TPUA juga meragukan kedalaman uji forensik.
Pihak penuduh juga menghadapi kritik tajam terkait metodologi dan etika riset mereka, termasuk penggunaan data sekunder tak tervalidasi, mengabaikan prinsip triangulasi (tidak membandingkan dengan ijazah alumni atau meminta klarifikasi resmi), argumen font yang keliru, mengabaikan etika riset, dan confirmation bias. Penolakan untuk berdamai dari beberapa pihak penuduh menunjukkan motivasi yang lebih dalam, seperti “mendidik bangsa” atau “ujian atas integritas sistem demokrasi”.
Kasus ini menyoroti ketegangan antara hak warga negara untuk mengkritik pejabat publik dan hak pejabat publik untuk dilindungi dari tuduhan palsu atau fitnah. Hasil uji forensik Bareskrim telah memberikan kejelasan hukum, namun penolakan pihak penuduh menunjukkan bahwa penyelesaian hukum tidak selalu berarti penyelesaian narasi publik.