Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Kampus adalah “kampung”-nya sivitas akademika. Wadah manusia yang memiliki sifat: sadar diri; berkehendak bebas; berpikir dan berpikir tanpa hulu. Filosof Descartes tentang manusia dan berpikir ini, membuat sebuah formula dalam filsafat: “Cogito ergo sum. Artinya, saya berpikir karena itu saya ada.”
Kampus sering dilabeli “menara gading”. Apa artinya? Menara gading adalah tempat atau kedudukan yang serba mulia, enak, dan menyenangkan. Atau, tempat untuk menyendiri, misalnya tempat studi, yang memberi kesempatan untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya.
Menara gading adalah suatu ungkapan simbolik, dalam bahasa Inggeris disebut ivory tower, yang bermakna tempat atau situasi yang terasing dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Dapat pula berarti sikap acuh tak acuh, tidak mau perduli, yang mengambil jarak ataupun menutup diri dari kehidupan masyarakat sehari-hari. A place or situation remote from worldly or practical affairs. An attitude of aloofness from or disdain or disregard for worldly or practical affairs (Abdurrahman dalam Usman, 2024).
Tidak sedikit sekarang, “Kampus berpulau, tapi jauh dari lautnya” (Usman, 1990).
“Menara Air”
Dunia kampus dengan sumber daya yang dimiliki tidak boleh hanya berada di menara gading. Sudah seharusnya civitas akademika kampus memfungsikan diri layaknya menara air. Secara simbolik, menara gading berarti tempat menyendiri yang mulia dan menyenangkan. Orang yang berada di menara gading acapkali merasa nyaman dengan kesendiriannya, tanpa memedulikan orang lain. Sebaliknya, terma “menara air” secara filosofis mengajarkan pentingnya memberi manfaat bagi kemanusiaan dan lingkungan. Layaknya sumber kehidupan, dari menara air mengalir air yang menghidupi masyarakat dan lingkungan (Biyanto, 2024).
Filosofi menara air mengajarkan agar setiap ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial. Untuk membumikan ajaran tanggung jawab sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara rasanya civitas akademika kampus penting merenungkan penggalan kisah fisikawan ternama kelahiran Jerman, Albert Einstein. Pada 2 Agustus 1939, dari rumahnya di Long Island, New York, Einstein bersurat pada presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt. Surat itu berisi dorongan agar Presiden Amerika memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan atom. Einstein tampak sangat khawatir dengan kepemilikan senjata mematikan berbahan uranium yang dikembangkan pemimpin baru Nazi sekaligus penguasa Jerman, Adolf Hitler. Presiden Amerika merespon positif surat Einstein dengan membentuk Manhattan Project, sebuah komite pengembangan senjata nuklir. Komite bekerja dengan baik hingga sukses melakukan serangkaian uji coba bom atom pertama pada 16 Juli 1945 di padang pasir New Mexico (Biyanto, 2024).
Idealnya, kampus harus menjadi “menara air”. Sebuah menara air adalah sebuah kontainer penyimpanan air besar yang ditinggikan yang dibangun untuk menampung persediaan air pada tinggi yang cukup untuk memberi tekanan pada sistem distribusi air.
Ada tiga filosofi air yang amat mulia dan analog dengan perilaku manusia. Pertama, air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Kedua, air selalu mengisi ruang-ruang yang kosong. Ketiga, air selalu mengalir ke muara. Selain filosofi itu, air bergerak vs diam, energi vs penyakit, dan meninggalkan basah.
“Menara Angin”
Selain menjadi menara air, kampus juga bisa menjadi “menara angin” atau penganut filosofi angin. Kemana gerangan perginya angin? Angin yang suka memberi tanpa menuntut kembali; angin sapa yang sejuknya melelehkan tembok-tembok tinggi yang angkuh; dan senyum yang merekah tanpa perlu minta balasan. Tapi kamu angin, katamu. Yang harusnya selalu ada dalam keadaan apapun; menghidupkan kehidupan; tak mengenal kosakata lelah dan menyerah; yang luas tak berbatas; indah yang mengantarkan pulang serbuk sari pada putiknya; yang membebaskan kupu-kupu memilih arah kepak sayapnya. Tapi kata-kataku telah habis pada lafadznya yang terakhir dan lututku bergetar. Aku tergugu, karena aku adalah angin (Annonymous dalam Usman, 2024).
Pendidikan tinggi (Latin: collegium) sebagai institut dalam masyarakat bukanlah sebuah menara gading yang asing dari kepentingan masyarakat melainkan mengemban dan mengabdi kepada masyarakat. Salah satu dari Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi sebagai lembaga masyarakat, senantiasa mengembangkan kegiatannya demi kepentingan masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat adalah suatu kegiatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.
Realisasi dharma ketiga dari Tridharma Perguruan Tinggi tersebut disesuaikan dengan ciri khas, sifat serta karakteristik bidang ilmu yang dikembangkan oleh perguruan tinggi bersangkutan. Aktualisasi pengabdian kepada masyarakat ini hakikatnya merupakan suatu aktualisasi pengembangan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan umat manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, sebagaimana terkadung dalam Pancasila.
Dalam proses pembangunan sebuah daerah, perguruan tinggi memiliki peranan dalam perencanaan dan evaluasi program pembangunan yang bersinergi dengan masyarakat. Penerapan konsep collaborative management dalam mendorong pertumbuhan perekonomian daerah menjadi salah satu varian dari partnership (kemitraan) dan menjadi suatu hubungan yang melibatkan pembagian power, kerja, dukungan dan/atau informasi untuk pencapaian tujuan bersama bagi seluruh stakeholders, termasuk juga kolaborasi dengan kota-kota lain di sekitarnya.
Ada tudingan sejumlah pihak, bahwa kampus-kampus kita adalah “kampus yang berpulau tapi jauh dari lautnya.”
Makna Kampus
Kampus boleh dikatakan sebagai miniatur negara. Di dalamnya ada politik dan budaya yang bermacam-macam. Kampus tidak dapat dipahami hanya sebagai gelanggang akademis dan ilmu pengetahuan, karena nyatanya memang tidak demikian. Kampus terlibat dalam proyek dan pembangunan melalui pemberian legitimasi ‘ilmiah’, termasuk pembangunan kota.
Bagi kebanyakan orang, mungkin membicarakan nilai-nilai filosofis seperti kebenaran, kebaikan, moral, keindahan, dan sebagainya dalam pembangunan dianggap membuang-buang waktu saja, atau hanya merupakan lamunan (wishful thinking), karena nilai-nilai itu dianggap sama sekali tidak ada kaitannya dengan pembangunan, terutama pembangunan yang lebih menitik-beratkan pada unsur-unsur bendawi (material). Padahal, secara filosofis, pembangunan itu sendiri meletakkan tentang kebenaran, berkaitan dengan kebaikan hidup dan menampilkan keindahan (Khairuddin, 2000).
Kampus sebagai Moral Force
Moral force atau kekuatan moral, biasanya akan terkait dengan sebuah perjuangan. Dalam diri manusia, moral force ini cenderung inheren dengan jati diri pribadi seseorang. Manusia sebagai social animal, tentu memiliki cita dan cita-cita.
Kampus, dengan ujung tombak dosen dan mahasiswa, dapat menjadi basis kekuatan moral. Kampus merupakan wadah perkembangan nilai-nilai moral, di mana seluruh warganya diharapkan menjunjung tinggi sikap yang menjiwai moralitas yang tinggi dan dijiwai oleh Pancasila. Kampus merupakan wadah membentuk sikap yang dapat memberikan kekuatan moral yang mendukung lahir dan berkembangnya sikap mencintai kebenaran dan keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Masyarakat kampus sebagai masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan budaya akademik, terutama untuk tidak terjebak pada politik praktis dalam arti terjebak pada legitimasi kepentingan penguasa. Hal ini bukan berarti masyarakat kampus tidak boleh berpolitik, melainkan masyarakat kampus harus benar-benar berpegang pada komitmen moral yaitu pada suatu tradisi kebenaran objektif. Masyarakat kampus wajib senantiasa bertanggung jawab secara moral atas kebenaran objektif, bertanggung jawab terhadap masyarakat bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kesejahteran kemanusiaan. Dasar pijak kebenaran masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap moral yang luhur bersumber pada ke Tuhanan dan kemanusiaan (Tiyara Enggar P.S. dalam Usman, 2024).
Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas tersendiri di samping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Karena itu, masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi.
Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah sebagai budaya akademik. Pertama, kritis, yang berarti setiap insan akademik harus mengembangkan sikap rasa ingin tahu segala sesuatu untuk selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah penelitian. Kedua, kreatif, yang berarti setiap insan akademik harus senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat. Ketiga, objektif, yang berarti kegiatan ilmiah yang dilakukan haruslah benar-benar berdasarkan pada suatu kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang, atau ambisi pribadi. Keempat, analitis, yang berarti suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan metode ilmiah yang merupakan suatu prasyarat untuk mencapai suatu kebenaran ilmiah. Kelima, konstruktif, yang berarti suatu kegiatan ilmiah yang merupakan budaya akademik harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat. Keenam, dinamis, berarti ciri ilmiah sebagai budaya akademik tersebut harus senantiasa dikembangkan terus-menerus. Ketujuh, dialogis, artinya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus memberi ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya. Kedelapan, menerima kritik, ciri ini sebagai konsekuensi dari dialogis, yaitu setiap insan akademik senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik. Kesembilan, menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual harus menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dalam suatu kegiatan ilmiah. Kesepuluh, bebas dari prasangka, yang berarti budaya akademik harus mengembangakan moralitas ilmiah yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah. Kesebelas, menghargai waktu, berarti masyarakat intelektual harus senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi. Keduabelas, memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, yang berarti masyarakat akademik harus benar-benar memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok budaya akademik. Ketigabelas, berorientasi ke masa depan, artinya suatu masyarakat akademik harus mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah ke masa depan dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis, dan rasional. Dan keempatbelas, kesejawatan/kemitraan, artinya suatu masyarakat ilmiah harus memiliki rasa persaudaraan yang kuat untuk mewujudkan suatu kerjasama yang baik (Ach Maulidi, 2019).
Seorang yang berjiwa akademik memiliki tanggung jawab besar terhadap perkembangan masyarakat untuk menjadi yang lebih baik. Oleh karena itu, budaya akademik senantiasa memegang dan menghargai tradisi almamater sebagai suatu tanggung jawab moral masyarakat intelektual akademik.
Budaya akademik (ccademic culture) merupakan budaya dalam dunia akademik yang didasari atas hasil ilmiah teknis dan mampu menjelaskan tindakannya itu atas dasar logika dan ilmu pengetahuan. Warga dari suatu masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas akademik.
Paradigma Kampus sebagai Center Of Excellence
Kampus adalah tempat kaderisasi calon-calon pemimpin bangsa di masa depan. Sudah sering disebutkan bahwa kampus adalah miniatur masyarakat dan itu memang tepat. Di kampus berbagai orang dengan berbagai latar belakang, ras, agama, pemikiran, ideologi dan kepentingan berkumpul dalam sebuah sistem. Tak ubahnya dalam sebuah masyarakat. Walapun memang tingkat kompleksitasnya tidak setinggi di masyarakat. Cerminan masyarakat di masa yang akan datang bisa dilihat dari kondisi kampus (Fakhryrozi dalam Usman, 2024).
Sementara kampus sebagai tempat pengkaderan pemimpin masa depan bangsa memiliki arti bahwa kampus adalah sebuah tempat di mana input masyarakat yang masuk dibentuk oleh atmosfer dan dinamika sistem kampus sehingga ketika lulus ia telah terwarnai dan kelak akan mewarnai kehidupan masyarakat. Melihat angka kuliah di Indonesia yang cukup rendah yaitu hanya sekitar 18 persen ini menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang bisa mengecapi nikmatnya berkuliah dan dari segelintir orang inilah nantinya diharapkan terlahir para pengisi pos-pos strategis yang akan berperan dalam pembangunan bangsa, baik itu dalam bidang politik, intelektual, ekonomi maupun sosial dan budaya. Kader-kader kampus yang sedikit ini memiliki kapasitas intelektual yang lebih sehingga mereka berhak mengisi fungsi-fungsi kepemimpinan di masyarakat di berbagai bidang (Djafar, 2020).
Kampus sebagai mata air memiliki makna bahwa dari kampuslah bermula berbagai gagasan, inspirasi, serta motor dalam hal ini sumber daya mahasiswanya yang akan mewarnai dan menentukan arah perjalanan bangsa. ”Mata air-mata air” yang tersebar di seluruh Indonesia diharapkan dapat mengalirkan gagasan, inspirasi serta aksi dari motor-motor penggeraknya sehingga dapat “menghidupkan” gairah serta vitalitas pembangunan (Fakhryrozi, 2010).
Untuk setiap kampus dengan tempatnya masing-masing, makna dari kampus sebagai mata air memberikan gambaran bahwa kampus adalah sebuah sumber keunggulan yang mentransfer keunggulannya itu ke lingkungan sekitarnya layaknya mata air yang mengalirkan air ke lingkungan sekitarnya sehingga vegetasi di sekitarnya tumbuh dengan subur. Kampus seharusnya dapat menjadi sumber energi pembangunan bagi lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya (Laksana, 2015).
Di sinilah paradigma center of excellence (pusat keunggulan) menampakkan bentuknya. Paradigma kampus sebagai center of excellence menghendaki manajemen kampus menjadi sebuah menajemen yang rapi dan bisa menjalankan tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien. Paradigma center of excellence juga menghendaki kampus sebagai sebuah sistem dengan segala dinamikanya yang mencerminkan vitalitas dan gairah dalam membangun karakter mahasiswanya dengan sungguh-sungguh. Pendidikan yang dijalankan adalah pendidikan dengan basis pembangunan karakter. Sementara karakter yang dibangun adalah religious dan humanis (Fakhryrozi, 2010).
Paradigma center of excellence juga menuntut adanya maksimalisasi peran kampus dalam pengkajian produk-produk akademis dengan orientasi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Paradigma center of excellence menekankan kampus sebagai sebuah sistem yang menampilkan kesungguh-sungguhan serta profesionalitas tingkat tinggi dalam segala aspeknya.
Kampus sebagai center of excellence menjunjung tinggi integritas dan menjaga nilai-nilai good governance jauh dari korupsi dan keculasan lainnya. Budaya korup baik itu dipraktekan oleh mahasiswanya melalui nyontek saat ujian atau menitipkan absen atau juga pemalsuan data skripsi maupun oleh birokrat kampusnya yang menyelewengkan dana mahasiswanya adalah cerminan gagalnya proses pendidikan di kampus. Belum lagi bentuk-bentuk pelanggaran nilai integritas yang lain. Sepatutnya kampus adalah lembaga yang sangat menjunjung tinggi integritas.”Knowledge si power but character is more” kata sebuah ungkapan. Pengembangan karakter melalui penjagaan integritas merupakan harga mati bagi sebuah institusi pendidikan, sebab bila kondisinya antithesis akan menyebabkan proses ini berbalik hingga menjadikan kampus pencetak koruptor-koruptor pintar dan penjahat-penjahat canggih (Usman, 2024).
Kondisi saat ini masih banyak kampus di Indonesia yang terjebak pada antithesis dari paradigm tadi. Seperti umum diketahui masih banyak kampus yang pelayanannya jauh dari profesionalitas baik dalam pelayanan akademik maupun kualitas pengajaran. Hal ini akan terkait dengan standarisasi mutu atau akreditasi, efektifitas dan efisiensi otonomi serta akuntabilitas.
Hal ini makin miris jika ditambah adanya fakta tawuran antar mahasiswa berbeda kampus dan bentrokan fisik antara mahasiswa dengan birokrat kampusnya. Jika kampus tidak mampu mencetak kader-kader masa depan yang berbudi dan berkualitas, maka hal ini akan antithesis dengan apa yang diharapkan dari proses kaderisasi pemimpin masa depan bangsa. Jika mata air sudah tercemar, maka ia akan mengalirkan racun dan permasalahan bagi masyarakat di sekitarnya.
Potensi pencemaran ini bukan hanya terjadi akibat proses dari sistem atau struktur sistem itu yang salah namun juga berasal dari faktor sosial dan budaya seperti atmosfer kehidupan sosial di kampus itu sendiri. Contohnya ada opini yang cukup mengkhawatirkan bahwa saat ini lembaga pendidikan sebagian cenderung menjadi “sarang kemaksiatan baru”. Sebagaiman kita ketahui free sex dan hedonisme telah cukup merebak di kampus-kampus di tanah air. Hal ini mempengaruhi pandangan hidup generasi muda tentang perannya di masyarakat.
Kondisi mengkhawatirkan lain adalah egoisme individu yang merupakan salah satu dampak dari borok hedonisme. Hal ini tampak dari ketidakpedulian dan ketidakpekaan mahasiswa atau generasi muda pada lingkungannya. Hal ini kurang sejalan dengan apa yang diharapkan pada salah satu poin pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pengabdian pada Masyarakat. Ketidakpedulian ini juga bisa jadi bersumber dari apatisme dan lemahnya cakrawala berpikir.
Selanjutnya bentuk pengejawantahan lain dari paradigma ini adalah menyadari bahwa kampus berada pada irisan ketiga lingkungan yaitu lingkungan masyarakat ekonomi, lingkungan masyarakat politik, hukum dan peradilan serta masyarakat sipil. Oleh karenanya dalam kiprahnya kampus harus memberikan porsi yang seimbang pada ketiganya. Hal ini jika sudut pandang yang diambil adalah sudut pandang skala makro.
Dalam tataran yang lebih mikro kampus sebagai center of excellence harus mengejawantah melalui program-program community development. Otonomi yang telah diberikan kepada kampus jangan sampai malah menjadikan bergesernya arah fungsi pengabdian masyarakat menjadi egoisme organisasi apalagi hingga kapitalisasi kampus. Sisi positif dari otonomi kampus adalah harapan adanya peningkatan performance kampus sebab kampus merupakan lembaga nirlaba yang secara teori kapasitas performance-nya bergantung dari donasi sponsor kini bisa mengalihkan dorongan berprestasinya menjadi bersumber pada mengusahakan kepuasan stakeholder. Communnity development selain sebagai sarana yang bisa meningkatkan citra positif harus dipertahankan menjadi misi utama kampus sebab apabila kampus kehilangan semangat dalam menjalankan misi itu, akan timbul lack of trust dari masyarakat yang pada gilirannya wibawa kampus sebagai mata air masyarakat akan hilang dan tujuan-tujuan utamanya akan tergerus (Muhammad Fakhryrozi dalam Usman, 2024). Membangun kampus sebagai center of excellence merupakan kerja besar yang sangat strategis untuk menentukan arah perjalanan bangsa dimasa depan. Ini harus merupakan kerja keras dari semua pihak (Fakhryrozi, 2024).
Secercah Harapan
Dalam kondisi negeri yang sedang berjibun masalah itulah, maka civitas akademika kampus sejatinya dipanggil untuk menunaikan tanggung jawab sosialnya. Julien Benda dalam karya klasiknya: The Betrayal of the Intellectuals (1955), dengan tegas meminta ilmuwan memberikan solusi terhadap persoalan bangsa dan negara. Kaum intelektual yang abai terhadap kondisi bangsa dikatakan Benda layaknya “pengkhianat”. Agar tidak mendapat label “pengkhianat”, maka civitas akademika kampus penting berkontribusi untuk memperbaiki kondisi negeri. Bahkan, jika diperlukan civitas akademika kampus dapat menyampaikan kritik konstruktif pada pemerintah (Biyanto, 2024).
Semoga bermanfaat !!!