Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
INIPASTI.COM, OPINI – Kohesi sosial merupakan sebuah perekat yang secara fungsional merupakan kristalisasi dari adanya kesamaan family, klan, etnik, kesamaan nasib, jenis pekerjaan, orientasi budaya dan tujuan sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Colletta et al. (2001), kohesi Sosial merupakan perekat yang menyatukan masyarakat, membangun keselarasan dan semangat kemasyarakatan, serta komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Kohesi sosial juga dapat dipahami sebagai kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam suatu upaya agar anggota kelompok tetap bertahan di dalam komunitas (Noorkamilah, 2008).
Kohesi sosial dapat terbentuk dari rasa saling percaya di antara anggota komunitas. Menurut Aminen (2005), kohesi sosial dapat dilihat dari partisipasi anggota komunitas, rasa solidaritas yang menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling percaya, rasa memiliki terhadap sebuah kelompok, dan hubungn timbal balik.
Kohesi sosial terbangun karena adanya persamaan pemenuhan kebutuhan yang melahirkan sebuah interaksi. Interaksi ini kerap disebut sebagai koalisi. Koalisi komunitas adalah bagian penting dalam intervensi yang berdasarkan pada komunitas. Karena interaksi timbal balik dapat menjadi titik keseimbangan kekuatan antara dua komunitas.
Masyarakat terdiri dari sekumpulan manusia yang terikat oleh sistem nilai tertentu. Antara manusia atau anggota masyarakat terjalin kohesi sosial yang ditandai dengan adanya kekeratan sosial. Setiap manusia memiliki unsur-unsur budaya tersebut. Oleh karena itu adanya perubahan dalam salah satu unsur dapat mempengaruhi kohesi sosialnya (Mubyarto dkk. dalam Rex, 2005).
Kohesi sosial mencakup perasaan kebersamaan (sense of belonging), kepercayaan sosial (social trust), dan kerjasama timbal balik (generalised reciprocity and cooperation), serta keharmonisan sosial (social harmony) (Harpham dan Thomas, 2002).
Masyarakat yang kohesif merupakan komunitas yang terdiri dari individu-individu bebas yang saling mendukung, mencapai tujuan bersama secara demokratis. Kohesi sosial dapat juga dimaknai sebagai kelekatan komunitas (community attachment).
Forrest, et al. (2001) menyatakan bahwa ranah-ranah kohesi sosial adalah nilai-nilai bersama dan sebuah budaya warga (civic culture), keteraturan sosial dan kendali sosial, solidaritas sosial, jejaring sosial dan modal sosial, serta kelekatan dan identifikasi pada tempat (place attachment and identity).
Urgensinya Kohesi Sosial
Pada dasarnya suatu kelompok, dikatakan kohesi apabila kelompok tersebut memiliki suatu ikatan yang dapat mempersatu mereka ke dalam satu ikatan kelompok/grup. Festinger, Schachter and Back (Rahman dan Ismail, 2017) menjelaskan bahwa kohesivitas merupakan kekuatan sosial yang mampu menyatukan, dan mengikat individu untuk tetap berada di dalam kelompok. Kelompok yang memiliki kohesivitas yang tinggi diyakini lebih bertahan lama daripada kelompok yang memiliki kohesivitas yang rendah.
Myers (2010) juga menerangkan bahwa kohesivitas merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota kelompok menjadi satu bagian.
Kohesivitas dalam kelompok memiliki dampak positif dan negatif. Dampak yang pertama adalah anggota dari kelompok yang memiliki kohesi memiliki kecenderungan untuk berkomunikasi lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang tidak memiliki kohesi. Sebagai hasilnya, anggota kelompok yang memiliki kohesi seringkali merasa puas, memiliki kecemasan dan ketegangan yang rendah (Shaw & Shaw dalam Usman, 2024).
Pembentuk Kohesi Sosial
Terciptanya konsep kohesi sosial bukan suatu tahapan yang bisa dengan mudah ada dengan sendirinya. Harus ada proses yang terjadi dalam diri individu dengan kelompok atau lembaga yang dalam kehidupan masyarakat telah memiliki norma yang jelas dan dipahami semua pihak.
Sepanjang lebih dari tiga puluh tahun menunjukkan bahwa kebanyakan kontak manusia di ruang terbuka publik adalah kontak dengan intensitas rendah seperti melihat dan menonton orang lain, memberikan atau menerima informasi, atau memberikan komentar sambil lalu. Namun demikian, kontak inilah yang merupakan langkah pertama dan fundamental untuk memicu variasi hubungan interpersonal dan sosial. Interaksi dan relasi sosial ini selanjutnya membawa pada kohesi sosial (Fiorillo & Sabatini, 2011). Faktor utama terbentuknya kohesi sosial melalui ruang terbuka publik adalah karakteristik ruang terbuka publik yang inklusif, dapat dimasuki oleh orang lintas etnis, status sosial-ekonomi.
Peters et al. (2010) bahwa kohesi sosial dapat dimulai dengan interaksi sosial yang bersifat informal dan sepintas lalu (cursory),misalnya mengobrol singkat, atau melalui sapaan “halo”. Melalui interaksi sosial yang demikian itu, orang-orang merasa disambut, terhubung (connected)dengan warga rumah, dan sekaligus merasa seperti di rumah (feel at home).
Penelitian Forrest et al (2001) di Amerika Serikat menyatakan bahwa kohesi sosial di tingkat masyarakat dapat berasal dari bentuk dan kualitas interaksi sosial di tingkat lokal dan keterlibatan masyarakat dapat meningkatkan kohesi sosial. Lebih jauh, Forrest et al (2001) mengatakan bahwa dalam model masyarakat modern, kohesi sosial dipandang sebagai proses bottom up.
Faturochman (2006), faktor-faktor yang membentuk kohesi sosial, yakni setiap anggotanya komitmen tinggi, interaksi didominasi kerjasama bukan persaingan, mempunyai tujuan yang terkait satu dengan yang lainnya dan sesuai dengan perkembangan waktu tujuan yang dirumuskan meningkat, terjadi pertukaran antar anggota yang sifatnya mengikat, dan ada ketertarikan antar anggota sehingga relasi yang terbentuk menguatkan jaringan relasi di dalam komunitas.
Kohesi sosial dalam sebuah komunitas dapat terjadi ketika anggota-anggota komunitas saling menyukai dan menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kohesi sosial juga dapat terbentuk dari rasa saling percaya (mutual trust) diantara anggota komunitas (Noorkamilah, 2008). Oleh Faisal (2017) menyebut trust lahir dari adanya keharmonisan dengan sesama manusia yang dapat berdampak kepada luasnya jaringan kerja. (Myres, 2014) menyatakan bahwa kohesi sosial merupakan perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam suatu komunitas. Rasa memiliki ini yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas. Ramdhani dan Martono (1996) menambahkan bahwa masyarakat yang sudah berkohesi, kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi. Kohesi sosial dapat dilihat dari rasa komunitas (sense of community). Teori rasa komunitas yang dibawa oleh Chavis et.al. (2008) dimana rasa komunitas dapat dilihat dari keanggotan, pengaruh, pemenuhan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional.
Kohesi sosial dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa suka antar anggota. Anggota dapat saling menyukai ketika mereka saling menerima. Cartwright (Ramdhani dan Martono, 1996) menambahkan bahwa kohesi sosial merupakan derajat kekuatan ikatan dalam satu kelompok yang masing-masing anggotanya secara psikologis menjadi saling tarik-menarik dan saling tergantung.
Kohesi sosial bukanlah konsep yang tercipta secara teknis, melainkan suatu interpretasi yang didasarkan pada pengalaman empirik yang dialami oleh pelaku di lembaga yang termotivasi karena rasa tanggung jawab untuk mencari solusi dari konflik yang terjadi di masyarakat. Kohesi sosial juga memfokuskan kepada tujuan politik. Tujuan politik yang ingin dicapai pada masa kini menekankan mengenai upaya pemenuhan hak individual berupa hak sipil dan politik serta ekonomi dan sosial.
Kohesi sosial bukan merupakan suatu proses natural yang terjadi begitu saja, namun merupakan hasil dari hubungan dari individu dengan lembaga atau institusi dalam suatu aturan yang diakui dalam suatu komunitas. Maka dari itu aturan main yang berlaku berasal dari komunitas tertentu untuk lingkungan di dalamnya.
Kohesi sosial dalam sebuah komunitas terjadi ketika anggota-anggota kelompok saling menyukai dan saling menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kohesi sosial dapat dilihat dari partisipasi anggota komunitas, rasa solidaritas yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sebuah kelompok (Johnson and Johnson dalam Noorkamilah, 2008).
Kohesivitas dibentuk oleh hal-hal berikut ini (Rahman dan Ismail, 2017).
Pertama, sense of belonging (rasa kepemilikan). “Rasa kepemilikan” dapat membentuk kohesivitas individu dalam suatu kelompok. “rasa kepemilikan” ini membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari suatu kelompok, dan kelompok merupakan bagian dari individu. Dengan begitu kohesivitas dalam kelompok dapat terbentuk (Owen, 1985).
Kedua, team work (kerjasama). Adanya kerjasama (teamwork) dapat menimbulkan kohesivitas antar anggota kelompok, individu yang bekerjasama untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka bersama demi tercapainya tujuan kolektif kelompok. Hal ini membuat individu dalam suatu kelompok memiliki tanggung jawab yang sama besarnya akan hasil yang dicapai (Guzzo, 1995).
Ketiga, attraction (atraksi). Kohesi kelompok muncul ketika tiap anggota dalam suatu kelompok, memiliki perasaan positif (atraksi positif) terhadap anggota lainya dalam kelompok (Lott dan Lott, 1965). Sedangkan menurut Festinger et all (1950) bahwa individu yang memiliki atraksi positif terhadap rekan sekelompoknya, cenderung memiliki kohesivitas yang tinggi.
Keempat, status. Milgram (1974) dalam penelitiannya menerangkan bahwa individu yang memiliki lower statues cenderung patuh terhadap perintah yang diberikan daripada individu yang memiliki higher statues. Oleh sebab itu individu dengan higher statues cenderung memiliki dampak yang lebih besar sehingga sangat mudah bagi individu dengan higher statues untuk menciptakan kohesivitas dalam kelompok.
Tanda-tanda Kohesi Sosial
Kohesi sosial dapat dipahami sebagai kesatuan, keutuhan dan kepaduan dalam suatu upaya agar anggota kelompok tetap bertahan di dalam suatu komunitas. Kohesi sosial sebagai perasaan “we feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian (Myres, 2014). Kohesi kelompok menurut Collins dan Raven bahwa kohesi kelompok didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok, dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Kohesi kelompok adalah bagaimana para anggota kelompok saling menyukai dan saling mencintai satu sama lainnya (Sugiyarto, 2009). Senada dengan pengertian kohesi kelompok diatas bahwa kohesi kelompok adalah keeratan hubungan, saling ketergantungan dan perasaan kekelompokan diantara sesama kelompok (Walgito, 2006).
Faturochman (2006) bahwa kohesi sosial semakin kuat jika interaksi masyarakat didominasi kerjasama bukan persaingan.
Menurut Mitchell (Setiawati, 2020) ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu: 1. Komitmen individu untuk norma dan nilai umum. 2. Saling ketergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest). 3. Individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.
Menurut Faturochman (2006), sebuah kelompok dikatakan kohesif bila memiliki beberapa karakteristik berikut: 1. Setiap anggotanya komitmen tinggi dengan kelompoknya. 2. Interaksi di dalam kelompok oleh kerjasama, bukan oleh persaingan. 3. Kelompok mempunyai tujuan-tujuan yang terkait satu dengan lainnya dan sesuai dengan perkembangan waktu tujuan yang dirumuskan meningkat. 4. Ada ketertarikan antar anggota sehingga relasi yang terbentuk menguatkan jaringan relasi di dalam kelompok.
Tingkat kohesi sosial, sebagaimana diungkapkan oleh Chavis et al. (2008), yaitu reinforcement of needs (pemenuhan kebutuhan), membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas), influence (memberikan pengaruh), dan shared emotional connection (berbagi kontak emosional).
Kohesi Soial Tinggi Vs Melemah
Pengembangan kohesi sosial dapat berupa menjembatani kerjasama, rasa saling memahami, dan penciptaan kepentingan bersama, dapat menjadi dasar untuk mekanisme pencegahan konflik dan mempertahankan keutuhan yang berkelanjutan.
Kohesi sosial yang tinggi atau kuat dapat ditunjukkan dengan tingkat kepercayaan yang kuat dan norma timbal balik bagi kelompok-kelompok dengan ikatan (bonding) yang kuat, banyaknya bridging yang harmonis, dan adanya mekanisme pengelolaan konflik (demokrasi responsif, peradilan yang independen, dll ) melalui hubungan antar kelompok termasuk pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, kohesi sosial mencerminkan adanya hubungan terintegrasi, baik hubungan horizontal (bonding dan bridging ) maupun hubungan secara vertikal dengan modal sosial linking (Cullen and Kratzmann dalam Usman, 2024).
Kohesi sosial yang tinggi, terdiri dari kondisi : inklusif, supremasi hukum dan demokrasi, akses dan kesetaraan kesempatan; serta efisiensi dengan birokrasi yang tidak korup. Kohesi sosial rendah, terdiri dari kondisi : pengecualian, penindasan dan otoriter, ketimpangan/ketidakadilan, korupsi dan birokrasi yang tidak efisien, dan masyarakat tertutup (Cullen and Kratzmann dalam Usman, 2024).
Kohesi sosial melemah, antara lain, karena kian mengecilnya ruang untuk saling menyapa, saling berbagi, dan membuka diri dengan sesama. Ruang-ruang itu mengecil oleh persaingan dan pola kerja, prosedur resmi, hedonisme, sikap ortodoks, serta kian canggihnya alat telekomunikasi yang membuat manusia merasa jauh meski dekat (Afifatun Nisa dan Juneman, 2012).
Mollering (Primadona, 2001) menyatakan bahwa salah satu fungsi penting kepercayaan (trust) dalam hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan adalah pemeliharan kohesi sosial, trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai.
Semoga !!!