“Memangkas” Jarak Sosial dalam Masyarakat Majemuk

1 week ago 18
Situs Liputan Hot Sekarang Tepat Non Stop

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima

Masyarakat majemuk adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Siapapun dan dari manapun asal usulnya tidak bisa memungkiri dan mengikarinya. Masyarakat majemuk (plural societies) sebagai ragam kesatuan sosial dengan masing-masing sistem nilai yang dianut kelompok suatu masyarakat sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan kurangnya loyalitas kepada masyarakat secara keseluruhan, minimnya homogenitas kebudayaan yang dimiliki yang bahkan dapat mengarah kepada kurangnya kemampuan memahami antara satu sama lainnya (Nasikun, 2006). 

Kemajemukan itu sendiri dapat dibedakan atas kemajemukan sosial (ditentukan oleh kelas, status, lembaga, ataupun power), dan kemajemukan budaya (ditentukan oleh ras, etnis, suku, kultur, nilai, kebiasaan, bahasa, agama, kasta, ataupun wilayah) (Basri, 2012).

Secara horizontal, kemajemukan ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan etnisitas yang dapat dibedakan berdasarkan suku bangsa, adat, agama, dan ciri-ciri identitas kedaerahan lainnya. Secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antar lapisan sosial yang cukup tajam (Martodirdjo dalam Arkanudin, 2012). 

Dalam kemajemukan ini terdapat sejumlah penghjaklang, di antaranya etnosentrisme, prasangka, diskriminasi, streotipe, jarak sosial, dan hambatan-hambatan lainnya. Untuk etnosentrisme, prasangka, streotipe telah penulis kupas dan telah dimuat pada “Inipasti.com” ini.

Jarak Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari seorang individu dapat melihat bagaimana hubungannya dengan orang lain, ada individu yang lekat hubungannya, namun ada juga individu yang kurang lekat hubungannya. Hal tersebut biasanya akan membawa perbedaan dalam jarak sosial (Walgito, 2011). 

Jarak sosial (social distance), serumpun, identik bahkan berkonotasi dengan prasangka, stereotipe, diskriminasi, dan isolasi sosial.

Menurut Doob (Liliweri, 2005) jarak sosial adalah perasaan tertentu yang memisahkan individu atau kelompok dari kelompok lain dengan suatu tingkat penerimaan tertentu (terhadap atribut-atribut yang melekat pada kelompok lain tersebut). Menurut Henslin (Subair, 2020), jarak sosial adalah kadar untuk mengukur kedekatan atau penerimaan yang kita rasakan terhadap kelompok lain. Social distance (jarak sosial) juga merupakan jarak psikologis yang terdapat di antara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab. Menurut Chaplin (Subair, 2020), jarak sosial merupakan suatu bentuk tingkatan atau derajat untuk melihat sejauhmana seorang individu atau kelompok memperlihatkan perbedaan mereka dari individu atau kelompok lainnya. 

Orang dengan jarak sosial yang dekat akan membawa interaksi yang lebih intens daripada orang dengan jarak sosial yang jauh (Walgito, 2011). 

Jarak sosial merupakan suatu perilaku yang menggambarkan derajat hubungan antar kelompok, yang dipengaruhi oleh norma-norma yang mengatur situasi di mana hubungan itu dilakukan.

Jarak Psikologis

Social distance (jarak sosial) juga merupakan jarak psikologis yang terdapat di antara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab (Amanda dan Mardianto, 2014).  Siregar, et al. (2021) mengatakan bahwa jarak psikologis merujuk pada divergensi dalam hal sikap, motivasi, minat yang bisa menjadikan tiap-tiap individu menanggapi segala sesuatu dengan cara yang berbeda-beda.

Jarak sosial menunjuk kepada kemungkinan relasi atau hubungan sosial antara pelaku tertentu, mengingat seberapa jauh seseorang tersebut atau suatu kelompok dapat bergabung atau bertemu. Seperti yang dikemukakan oleh Sherif dan Sherif (Susetyo, 2007) yang menyebutkan bahwa jarak sosial merupakan suatu dimensi interaksi antara anggota kelompok yang berbeda yang merentang dari keintiman hingga keterpisahan yang mutlak (tidak ada hubungan sama sekali). Batasan rentangan tersebut dipengaruhi oleh norma-norma yang mengatur situasi tempat interaksi terjadi atau dilakukan. Dalam setiap kontak manusia jarak sosial akan selalu ada, seseorang membuat jarak sosial dengan orang lain juga memiliki tujuan tertentu (Pudjiwati dalam Amanda dan Mardianto, 2014). Keadaan ini akan berpengaruh juga pada interaksinya. Orang dengan jarak sosial yang dekat akan membawa interaksi yang lebih intens dari pada orang dengan jarak sosial yang jauh (Walgito, 2011).

Pembentuk dan Ragam Jarak Sosial

Terbentuknya jarak sosial (Widyastuti, 2014)  di antaranya; pertama, adanya norma-norma tertentu dari kelompok mayoritas atau yang dominan sesuai dengan status dan sudut pandangannya yang dihembuskan terhadap kelompok minoritas. Kedua, menurut observasi Alport, social distance dalam masyarakat hanya terdapat pada masyarakat yang heterogen yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang memiliki fungsi dari interest yang berbeda-beda. Ketiga, adanya rasa superioritas kelompok atau keunggulan kelompok atau kelompok yang lain.

Jarak sosial bisa terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kelompok primer, adanya kelompok dominan, dan stereotip kelompok. Pada umumnya jarak sosial yang cukup rendah akan menghadirkan prasangka dalam berbagai kelompok.

Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada di antara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul, maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Jadi antara prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran setan.

Menurut Poortiga (Liliweri, 2005) bahwa ada tiga faktor penentu jarak sosial, yaitu prasangka, stereotip, dan diskriminasi.

Jarak sosial adalah jarak psikologis antara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap kehidupan orang tersebut. Contoh : ketika saya belum berkenalan dengan seseorang dalam suatu seminar, maka walaupun kami duduk berdampingan namun masih dibatasi dengan jeda satu kursi. Lalu ketika sudah berkenalan, maka semakin merapat duduknya. Itulah yang dinamakan jarak sosial.

Jarak sosial adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang berbeda tingkat peradabannya dengan orang lain atau masyarakat lain meskipun itu berada dalam zaman atau masa yang sama.

Faktor yang ikut mempengaruhi lancar tidaknya proses integrasi sosial adalah jarak sosial (sosial distance), baik yang subyektif maupun yang obyektif. Jarak sosial subyektif adalah ada-tidaknya serta kuat-lemahnya hasrat dalam diri individu atau kelompok untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Proses ini akan lebih lancar bila terjadi hubungan homophily atau persahabatan individu/kelompok yang mempunyai persamaan seperti latar belakang pengalaman sejarah dan subkebudayaan yang sama.

Sedangkan jarak sosial obyektif adalah berat-ringannya hambatan untuk berinteraksi dan berkomunikasi yang disebabkan oleh faktor di luar diri individu atau kelompok yang bersangkutan, misalnya, keadaan alam, sarana dan prasarana transportasi-komunikasi.

Jarak sosial subyektif menurut Astrid S. Susanto (1999) ditentukan oleh: (a) frekuensi interaksi; (b) ketepatan konvergensi atau divergensi gambaran pada masing-masing individu tentang pihak lain; (c) hasrat atau keinginan untuk tidak berinteraksi; dan (d) intensitas interaksi.

Karp dan Yoels mendasarkan teorinya pada karya Edward T. Hall mengenai konsep jarak sosial. Menurut Hall, dalam situasi sosial orang cenderung menggunakan empat macam jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.Jarak sosial antar manusia dapat dipercaya berhubungan dengan jarak fisik, yang terdiri dari jarak intim dan jarak personal, kemudian dibagi lagi (Edward T. Hall dalam Rex, 2005) sebagai berikut. Pertama, jarak intim (sekitar 0–45 cm). Dalam jarak intim terjadi keterlibatan intensif pancaindera dengan tubuh orang lain. Contohnya dua orang yang melakukan olahraga jarak dekat, seperti sumo dan gulat. Apabila seseorang terpaksa berada dalam jarak intim, seperti di dalam bus atau kereta api yang penuh sesak, ia akan berusaha sebisa mungkin menghindari kontak tubuh dan kontak pandangan mata dengan orang di sekitarnya.

Kedua, jarak pribadi (sekitar 45 cm–1,22 m). Jarak pribadi cenderung dijumpai dalam interaksi antara orang yang berhubungan dekat, seperti suami isteri atau ibu dan anak. Ketiga, jarak sosial (sekitar 1,22 m–3,66 m). Dengan jarak sosial orang yang berinteraksi dapat berbicara secara wajar dan tidak saling menyentuh. Contohnya interaksi di dalam pertemuan santai dengan teman, guru, dan sebagainya. Keemapat, jarak publik (di atas 3,66 m). Umumnya digunakan oleh orang yang harus tampil di depan umum, seperti politisi dan artis. Semakin besar jarak, semakin keras pula suara yang harus dikeluarkan.

Menurut Edward T. Hall (Mulyana, 2010), jarak atau ruang memiliki 4 (empat) fungsi : pertama, safety : ketika ada jarak antara kita dengan orang lain, kita akan merasa aman karena kita yakin orang tersebut tidak akan menyerang kita dengan mengejutkan. Kedua, communication : ketika orang-orang berdekatan dengan kita, kita akan dengan mudah berkomunikasi dengan mereka. Ketiga, effection : ketika orang-orang dekat dengan kita, kita bisa saling menjalin keakraban. Keempat, threat : atau ancaman, bisa dilakukan hal sebaliknya, kita dapat mempertimbangkan, memperlakukan oarng lain dengan melanggar ruang mereka.

Penyebab Jarak Sosial

Jarak sosial bisa terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kelompok primer, adanya kelompok dominan, dan stereotip kelompok (Widiyatmadi dalam Amanda dan Mardianto, 2014). Pada umumnya jarak sosial yang cukup rendah akan menghadirkan prasangka dalam berbagai kelompok. 

Dalam sebuah jurnal penelitian mengenai Relasi antara etnis Cina dan etnis Jawa berdasarkan Stereotip dan Jarak Sosial oleh Susetyo (2007), disebutkan bahwa relasi antara etnis cina dan etnis jawa berlangsung wajar karena masing-masing pihak mampu melihat sisi positif pihak lain. Hambatan untuk menjalin relasi yang lebih intensif dipicu oleh adanya perbedaan orientasi budaya dan kesempatan kontak.  Jika salah satu pihak mampu berpikir positif terhadap pihak lain maka akan menghadirkan jarak sosial yang rendah dan begitu juga sebaliknya. Seperti yang  diungkapkan oleh Sears, dkk (Amanda dan Mardianto, 2014) bahwa apabila ada dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul, maka semakin besar jarak sosial yang terjadi.

Terjadi manakala individu mempunyai latar belakang yang berbeda sehingga akan berbeda pula saat suatu individu mengirimkan dan menerima pesan. Harun (Siregar, et al. 2021) mengatakan jarak sosial juga dipengaruhi oleh perbedaan status yang berkaitan dengan hierarki misalnya dalam organisasi atau lembaga yang cenderung dapat menimbulkan ancaman bagi individu yang lebih rendah kedudukannya sehingga berpotensi menimbulkan penyimpangan dalam berkomunikasi.

Skala Jarak Sosial Bogardus

Social distance atau jarak sosial menurut Borgadus (Marhaba, dkk., 2021) adalah “the degree of intimacy and understanding that exists between individuals of social groups”. Komorovsky (Cavan dalam Marhaba, dkk., 2021) mengemukkan konsep jarak sosial yang lebih luas. Komorovsky mendefenisikan jarak sosial sebagai “reserve or constraint in social interaction between individualis belonging to groups rated as inferior and superior in status.”

Penelitian jarak sosial yang paling popular dilakukan E.S. Bogardus pada tahun 1925. Penelitian tersebut mengukur diferensiasi sikap dari penduduk asli kelahiran Amerika berkulit putih terhadap 30 kelompok ras dan etnis berbeda (Bogardus dalam Marhaba, dkk., 2021). Dalam penelitian tersebut digunakan skala jarak sosial yang terdiri dari tujuh situasi atau status. Skala Bogardus tersebut menanyakkan mulai dari penolakan (exclude my country), yang menunjukkan jarak sosial tinggi, hingga yang paling intim (to close kinship by marriage). Hingga kini, skala Bogardus telah dikenal luas untuk mengukur jarak sosial antara berbagai kelompok ras etnis. Selain itu, skala Bogardus masih merupakan metode umum untuk mengukur prasangka (Wark & Galliher, 2007).\

Beberapa Pendekatan

Dalam sosiologi sastra, jarak sosial memiliki beberapa pendekatan. Pertama, jarak sosial afektif. Salah satu pendekatan jarak sosial yang berfokus pada afektivitas. Menurut pendekatan ini, jarak sosial berkaitan dengan afektivitas jarak, yaitu seberapa bersimpati anggota sebuah kelompok terhadap kelompok lain. Emory Bogardus, pencipta “Skala jarak sosial Bogardus” membuat teori skalanya berdasarkan konsep jarak sosial subjektif-afektif. Jarak sosial mempelajari reaksi perasaan seseorang terhadap orang lain maupun terhadap kelompok lain. Kedua, jarak sosial normatif. Pendekatan kedua ini menitikberatkan jarak sosial sebagai pandangan normatif. Jarak sosial normatif mengacu pada penerimaan kesepakatan bersama dan pernyataan tentang norma-norma yang menganggap seseorang sebagai “orang dalam” atau merupakan “orang luar/asing.” Norma-norma tersebut, dengan kata lain, menentukan perbedaan antara “kita” dan “mereka.” Oleh karena itu, jarak sosial normatif berbeda dari jarak sosial afektif. Contoh dari konsep ini dapat ditemukan di beberapa karya dari para sosiolog seperti Georg Simmel, Emile Durkheim dan Robert Park. Dan ketiga, jarak sosial interaktif. Pendekatan yang ketiga berpendapat bahwa jarak sosial berfokus pada frekuensi dan intensitas interaksi antara dua kelompok, mengklaim bahwa semakin banyak anggota dari dua kelompok berinteraksi, maka mereka akan semakin dekat secara sosial. Konsep ini mirip dengan pendekatan teori sosiologi jaringan, bahwa frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran dari “kekuatan” dari ikatan sosial di antara mereka.

Ketiga pendekatan tersebut dapat dipandang sebagai kemungkinan dimensi dari konsep jarak sosial yang tidak saling tumpang tindih satu sama lain. Anggota dari dua kelompok yang berbeda mungkin cukup sering berinteraksi satu sama lain, namun tidak selalu berarti bahwa mereka akan merasa “dekat” dengan satu sama lain. Secara normatif mereka akan menganggap satu sama lain sebagai anggota kelompok yang sama. 

Dengan kata lain, jarak sosial dari dimensi interaktif, normatif  dan afektif tidak selalu terkait secara linear. 

Jarak sosial juga diinterpretasikan dengan lain oleh seorang antropologis dan peneliti lintas budaya bernama Edward T. Hall, yang menggambarkan jarak psikologis seperti binatang yang dapat merasa cemas apabila berjarak jauh dari kawanannya. Fenomena ini berlaku pada bayi dan balita yang berjalan atau merangkak menjauh dari orangtuanya atau pengasuhnya kemudian merasa cemas dan sesaat kemudian akan kembali lagi ke zona amannya. Jarak sosial yang dimiliki bayi sangatlah sederhana. 

Edward T. Hall juga mencatat konsep jarak sosial dapat diciptakan dari peralatan berteknologi seperti telefon, walkie-talkie, and televisi. Analisis jarak sosial Edward T. Hall telah dilakukan sebelum internet berkembang, yang setelahnya kemudian membuat jarak sosial semakin berlipat ganda. Jarak sosial saat ini bahkan menjangkau wilayah di luar planet bumi, seperti saat bumi mengirim manusia ke luar bumi untuk sebuah misi luar angkasa.

Aspek Jarak Sosial

Verawati, dkk (2017), jarak sosial menunjukkan penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi di antara mereka. Selain itu jarak sosial merupakan sejauh mana orang bersedia untuk menerima dan bergaul dengan orang-orang yang memiliki karakteristik sosial yang berbeda. Hall (Qonita, 2018), jarak sosial merupakan  suatu jarak orang yang berinteraksi antar satu dengan yang lain, dapat berbicara tetapi tidak menyentuh.

Terdapat tiga aspek pada jarak sosial menurut Walgito (2011) di antaranya : pertama, aspek relasi antar pribadi. Pada aspek relasi antar pribadi didapatkan bahwa jarak sosial masyarakat terletak pada kategori tinggi, hal ini berarti masyarakat memiliki hubungan jauh atau kurang lekat. Kedua, aspek relasi di tempat tinggal. Pada aspek relasi tempat tinggal didapatkan bahwa jarak sosial masyarakat terletak pada kategori sedang, hal ini berarti sebagian masyarakat memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Ketiga, aspek relasi di lingkungan masyarakat. Pada aspek relasi di lingkungan masyarakat didapatkan bahwa jarak sosial masyarakat terletak kategori sangat rendah, artinya sebagian masyarakat bersedia bergabung dalam suatu kegiatan tertentu.

Faktor yang Menentukan

Ada sejumlah faktor yang menentukan jarak sosial, di antaranya : derajat keakraban perbedaan status, usia, jenis kelamin, pendidikan, kelas sosial, pekerjaan dan etnik.

Dari jarak yang digunakan orang dalam berkomunikasi dapat kita maknai sebagai berikut: Pertama, status. Orang-orang dengan status setara membuat jarak yang lebih dekat antara mereka dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki status berbeda. Kedua, konteks. Makin besar jarak, makin besar pula usaha yang dibutuhkan untuk memperkecil jarak tersebut agar isi komunikasi dapat dikelola. Ketiga, masalah. Makin rahasia masalah yang dibicarakan, makin dekat pula jarak yang dibuat. Sebaliknya, makin umum permasalahan, makin jauh jarak yang dibuat. Keempat, jenis kelamin dan usia. Sesama wanita mengambil jarak yang lebih dekat dibandingkan dengan yang dilakukan pria dengan sesama jenis kelaminnya atau antara pria dan wanita. Kelima, penilaian positif dan negatif. Orang mengambil jarak yang lebih jauh dengan orang lain yang memiliki status lebih tinggi, figur kekuasaan, musuh, orang-orang yang memiliki cacat fisik, orang dari ras yang berbeda, dan juga dari orang-orang yang dinilai negatif dibandingkan dengan jarak yang dibuat dengan

teman atau anggota kelompok.

Faktor-faktor jarak sosial menurut  Widiyatmadi (Amanda & Mardianto, 2014) di antaranya : pertama, kelompok primer. Kelompok sosial pertama tempat individu saling mengenal,  berinteraksi sosial, dan bekerja sama yang cukup erat. Kedua, kelompok dominan. Kelompok yang jumlahnya tidak terlalu besar dibandingkan kelompok sosial lain, tetapi mereka mempunyai peran yang besar dalam politik, ekonomi dan budaya di suatu negara. Ketiga, kelompok stereotip. Penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.

Sebagaimana dikatakan Poortiga (Liliweri, 2005) di atas bahwa ada tiga faktor penentu jarak sosial, yaitu prasangka, stereotip, dan diskriminasi. Ketiga faktor ini harus dipangkas agar tercipta masyarakat yang damai, tertib, akur, rukun, teratur dan harmonis.

Di kala prasangka sosial dibiarkan tumbuh subur dan berkembang, akan cenderung menciptakan jarak emosional dan memperburuk ketegangan antar kelompok dalam masyarakat, yang akhirnya dapat menghambat terciptanya kedamaian, ketertiban, keakuran, kerukunan, keteraturan dan keharmonisan. Di antara dampak utama dari prasangka sosial yakni meningkatnya tensi ketidakpercayaan dan ketegangan antara kelompok dalam masyarakat.

Semoga !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|