INIPASTI.COM, Analisis– Isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, yang kerap disebut “Mulyono” dalam berbagai diskusi publik, kembali mencuat dan memantik perhatian. Kali ini, sorotan tidak hanya tertuju pada keabsahan dokumen pendidikan sang presiden, tetapi juga pada peran Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), yang pernah memberikan pernyataan resmi untuk membantah tuduhan tersebut. Sejumlah pihak, termasuk aktivis dan pengamat, mulai mempertanyakan apakah bukti yang diklaim dimiliki oleh pihak universitas benar-benar ada dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada Oktober 2022, Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, menggelar konferensi pers untuk menegaskan bahwa Joko Widodo adalah alumni sah Fakultas Kehutanan UGM. Dalam pernyataannya, ia menyebutkan tiga poin utama: pertama, Joko Widodo tercatat sebagai mahasiswa Program Studi S1 Fakultas Kehutanan angkatan 1980; kedua, ia dinyatakan lulus pada tahun 1985 sesuai dokumen yang dimiliki UGM; dan ketiga, berdasarkan data dan informasi yang terdokumentasi dengan baik, UGM meyakini keaslian ijazah sarjana Joko Widodo. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas gugatan yang diajukan oleh Bambang Tri Mulyono, yang menuding adanya pemalsuan ijazah dalam proses pencalonan presiden pada 2019.
Namun, lebih dari dua tahun berlalu, keraguan publik tak kunjung reda. Sejumlah pihak menilai bahwa pernyataan rektor tersebut terlalu normatif dan belum didukung oleh bukti konkret yang dipublikasikan. Mereka mempertanyakan mengapa UGM tidak menunjukkan dokumen asli—seperti ijazah, transkrip nilai, skripsi, atau bukti wisuda—untuk mengakhiri spekulasi. “Jika data itu memang ada dan terdokumentasi dengan baik seperti yang diklaim, mengapa tidak diperlihatkan secara terbuka?” tanya salah satu pengamat yang mengikuti perkembangan kasus ini.
Di sisi lain, muncul pula dugaan bahwa teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat digunakan untuk memverifikasi keaslian dokumen-dokumen tersebut. Analisis forensik terhadap foto wisuda, fotokopi skripsi, hingga daftar alumni disebut-sebut sebagai cara yang relatif mudah untuk membuktikan atau membantah tuduhan pemalsuan. Namun, hingga kini, belum ada langkah resmi dari pihak berwenang atau aktivis untuk menginisiasi proses tersebut.
Di tengah kesulitan membawa kasus ini ke ranah hukum—terutama karena tantangan membuktikan tuduhan terhadap Joko Widodo sebagai figur publik—muncul usulan baru: mengapa tidak memulai dari pihak yang mengklaim memiliki bukti? Dalam hal ini, Rektor UGM menjadi sosok kunci. Jika data yang disebutkan dalam pernyataan pers itu benar-benar ada, maka menunjukkannya kepada publik bisa menjadi langkah sederhana untuk menyelesaikan polemik. Sebaliknya, jika ternyata dokumen tersebut tidak ada atau tidak sesuai dengan klaim, rektor bisa dihadapkan pada risiko hukum atas dugaan pemberian keterangan palsu.
Pendekatan ini dianggap lebih efektif ketimbang terus mengejar penyelesaian dari “hulu,” yakni melalui proses hukum yang kompleks terhadap Joko Widodo. “Dari hilir, kita bisa paksa kebenaran terungkap. Rektor pasti tidak ingin reputasinya tercoreng atau berurusan dengan hukum,” ujar salah satu aktivis yang kerap mengkritik isu ini di media sosial.
Hingga kini, pihak UGM belum memberikan tanggapan lanjutan terkait desakan tersebut. Sementara itu, publik terus menanti apakah langkah konkret akan diambil untuk membuktikan kebenaran klaim yang pernah disampaikan, atau apakah isu ini akan tetap menjadi misteri yang menggantung di tengah sorotan masyarakat. (Raka Pradana)