Hasto Kristiyanto: Korban Kriminalisasi atau Pelaku Korupsi? Tim Pengacara Kembali Bersuara

1 week ago 13

INIPASTI.COM, Jakarta – Sidang eksepsi Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (21/3/2025), kembali memanaskan suasana politik Tanah Air. Tim pengacara Hasto, yang dipimpin oleh Maqdir Ismail, dengan lantang menegaskan bahwa kliennya adalah korban kriminalisasi dalam kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan yang melibatkan buronan Harun Masiku. Namun, di balik klaim ini, jaksa KPK tetap kukuh dengan dakwaan mereka. Pertanyaannya, benarkah ini kriminalisasi politik, atau sekadar narasi pembelaan dalam pusaran hukum?

Sidang Eksepsi: Hasto Minta Dibebaskan

Hari ini, Hasto Kristiyanto mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan jaksa KPK yang menjeratnya dengan dua tuduhan berat: suap senilai Rp600 juta kepada eks-Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk memuluskan PAW Harun Masiku sebagai anggota DPR periode 2019-2024, serta perintangan penyidikan dengan memerintahkan stafnya menghambat proses hukum KPK. Dalam sidang yang dipadati pendukung PDIP berompi “Tahanan Politik,” Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Hasto menegaskan bahwa dakwaan tersebut penuh kejanggalan dan sarat motif politik.

“Klien kami, Hasto Kristiyanto, adalah korban kriminalisasi hukum yang terang-benderang. Dakwaan ini dibangun di atas pasir, penuh keraguan, dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat,” ujar Maqdir usai sidang di PN Jakarta Pusat. Ia menyoroti sejumlah keanehan, termasuk penetapan tersangka yang didasarkan pada keterangan saksi yang sudah meninggal dunia—sebuah fakta yang sempat viral di X dan disebutnya sebagai “preseden berbahaya” bagi sistem hukum Indonesia.

KPK: Dakwaan Solid, Bukan Politisasi

Di sisi lain, Jaksa KPK Wawan Yunarwanto bersikukuh bahwa dakwaan terhadap Hasto bukanlah kriminalisasi, melainkan hasil penyidikan yang sah. Menurut jaksa, Hasto terlibat langsung dalam suap Rp600 juta yang disalurkan melalui stafnya, Kusnadi, untuk Wahyu Setiawan. Selain itu, perintangan penyidikan dibuktikan dengan perintah Hasto kepada Nurhasan dan Harun Masiku untuk menghancurkan barang bukti, termasuk merendam ponsel Masiku dalam air pasca-penangkapan Wahyu pada Januari 2020. “Ini murni penegakan hukum, bukan tekanan politik,” tegas Wawan.

KPK juga menolak tuduhan bahwa proses hukum ini terkait dengan dinamika politik PDIP yang tengah berseberangan dengan pemerintah. “Fakta persidangan akan membuktikan,” tambahnya, menyinggung bahwa Harun Masiku, yang hingga kini buron, adalah kunci dari kasus ini.

Narasi Kriminalisasi: Strategi atau Kebenaran?

Klaim kriminalisasi bukan hal baru dari kubu Hasto. Sejak ditetapkan tersangka pada 24 Desember 2024, PDIP dan tim hukumnya—yang kini diperkuat 17 pengacara ternama, termasuk Todung Mulya Lubis dan eks-Jubir KPK Febri Diansyah—konsisten menyebut kasus ini sebagai upaya membungkam suara oposisi. Hasto sendiri, dalam sidang perdana 14 Maret lalu, menyebut dakwaan jaksa sebagai “daur ulang” kasus Harun Masiku yang sudah inkracht, yang kini dipolitisasi untuk kepentingan tertentu.

“Pemberitaan soal Harun Masiku selalu naik saat PDIP kritis terhadap kekuasaan. Ini bukan kebetulan,” ujar Hasto dalam eksepsinya hari ini, yang disambut sorak sorai pendukung. Maqdir menambahkan bahwa penetapan tersangka yang bocor ke media sebelum resmi diumumkan adalah bukti adanya “operasi politik” di balik layar.

Namun, skeptisisme muncul. Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Budi Santoso, menilai narasi kriminalisasi bisa jadi strategi tim hukum untuk mengalihkan fokus dari substansi dakwaan. “Jika dakwaan memang lemah, itu akan terbukti di persidangan. Tapi kalau hanya mengandalkan narasi politik tanpa bantahan fakta kuat, itu cuma retorika,” katanya kepada inipasti.com.

Dukungan PDIP dan Implikasi Politik

Sidang ini tak hanya soal hukum, tapi juga panggung politik. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri disebut telah menginstruksikan kader untuk solid mengawal Hasto, yang dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap tekanan hukum. Massa PDIP yang hadir dengan rompi “Tahanan Politik” mempertegas pesan bahwa partai banteng moncong putih ini tak akan tinggal diam.

Di sisi lain, kasus ini berpotensi memengaruhi citra Presiden Prabowo Subianto, yang baru beberapa bulan menjabat. Jika tuduhan kriminalisasi terbukti resonan di publik, pemerintah bisa dicap menggunakan hukum sebagai alat politik—sesuatu yang pernah dilekatkan pada era Orde Baru. Namun, jika KPK berhasil membuktikan dakwaan, kredibilitas PDIP sebagai partai oposisi bisa terpukul.

Apa Selanjutnya?

Sidang ditunda hingga pekan depan untuk mendengar tanggapan jaksa atas eksepsi Hasto. Bagi Maqdir dan timnya, ini adalah pertarungan membuktikan bahwa Hasto tak bersalah sekaligus menguak dugaan politisasi hukum. Bagi KPK, ini ujian konsistensi menegakkan hukum di tengah tuduhan intervensi politik.

Saat ini, publik menanti: apakah Hasto akan dibebaskan seperti yang dimintanya, atau justru dakwaan KPK yang akan mengunci nasib politiknya? Yang jelas, kasus ini bukan hanya tentang Hasto, tapi juga cerminan bagaimana hukum dan politik saling bertaut di Indonesia hari ini. Pantau inipasti.com untuk perkembangan terbaru!


Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|