INIPASTI.COM, Di tengah udara Februari yang masih terasa dingin oleh sisa hujan, laporan-laporan resmi mulai bermunculan seperti daun yang gugur di musim kemarau: Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Laporan Ekonomi Februari 2025 menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang tersendat, inflasi yang merayap naik, dan Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat trading halt IHSG—sebuah jeda yang tak hanya menghentikan angka, tetapi juga napas para pelaku pasar. Di sisi lain, Kementerian Keuangan merilis Laporan Realisasi APBN Februari 2025, yang entah mengapa terasa seperti catatan harian seorang bendahara yang cemas: pendapatan tak cukup, belanja membengkak, dan utang tetap setia menanti di ujung bulan. Ada sesuatu yang bergetar di sini, bukan hanya angka, tetapi juga perasaan—seperti desir angin yang tak tahu kapan akan reda.
Lalu datang RUU TNI, seperti bayangan yang tak diundang namun hadir di tengah meja makan. Bhima Yudhistira dari CELIOS menyebutnya “Ketidakpastian Danantara dan RUU TNI Mahal Harganya”—kalimat yang terdengar seperti sajak, tetapi berat seperti batu. Andry Satrio Nugroho dari INDEF lebih tegas lagi, menamainya “Bom Waktu Ekonomi.” KontraS, dengan nada yang tak kalah keras, mengeluarkan pernyataan sikap: ini bukan sekadar soal hukum, tetapi soal hidup—dan barangkali matinya sesuatu yang kita anggap biasa, seperti kebebasan atau keseimbangan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Ekonomi, kata orang-orang pintar, adalah soal kepercayaan. Ketika IHSG terhenti, ketika inflasi menggerus daya beli, dan ketika APBN tampak seperti tali yang kian menipis, kepercayaan itu mulai retak. RUU TNI, dengan segala klausulnya yang samar dan aroma otoritas yang kental, tak membantu. Ia seperti tamu yang membawa pisau ke pesta yang sudah berlangsung kikuk. Ada ketakutan yang tak diucapkan: bahwa kekuatan militer yang melebar akan menjadi beban, bukan hanya bagi demokrasi, tetapi juga bagi kantong negara. Bhima benar—ini mahal harganya. Dan Andry tak salah—ini bom waktu. Tapi bom itu tak meledak dengan suara; ia merenggut perlahan, dalam bentuk investor yang pergi, pasar yang gelisah, dan rakyat yang makin tak mengerti apa yang direncanakan di atas kepala mereka.
Kita hidup di zaman ketika kebenaran tak lagi utuh, tetapi tercerai-berai dalam laporan, pernyataan, dan angka-angka yang dingin. RUU ini bukan hanya draf hukum, tetapi cermin: di sana kita melihat wajah kita sendiri, yang ragu, yang takut, yang terpecah antara ingin aman dan ingin bebas. Ekonomi tak pernah lepas dari politik. Ketika BPS mencatat pertumbuhan yang lesu, itu bukan sekadar statistik—itu cerita tentang pedagang yang menutup warung, tentang anak muda yang menunda mimpi, tentang keluarga yang menghitung beras. Dan ketika RUU TNI mengintip dari balik layar, itu bukan hanya soal tentara—itu soal kekuasaan, dan bagaimana kekuasaan itu bisa menjadi bayangan yang menutupi matahari.
Di ujung tulisan ini, ada jeda sejenak—mungkin untuk menatap keluar jendela, mungkin untuk merenung. Ketidakpastian adalah harga yang kita bayar untuk hidup. Tapi ketika ketidakpastian itu diciptakan oleh tangan kita sendiri, apa yang tersisa dari kita? Februari 2025 mungkin akan berlalu, laporan-laporan akan usang, tetapi pertanyaan ini akan tinggal—seperti debu yang tak pernah benar-benar hilang dari meja.