Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Ada beberapa perilaku umat Islam akhir zaman berdasarkan sabda-sabda Rasulullah SAW. Pertama, hilang rasa malunya. Kedua, tak peduli halal haram. Ketiga, menghalalkan hal yang haram. Keempat, umat manusia berperilaku seperti keledai. Kelima, bersikap buruk yang kelewat batas. Dan keenam, mengkuti kebiasaan pemeluk agama lain.
Salah satu di antara perilaku umat Islam akhir zaman tersebut adalah hilang rasa malunya. Manusia akhir zaman sudah tidak memiliki rasa malu lagi. Di antara sifat yang menunjukan hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW ialah perihal manusia yang dengan terang-terangan melakukan perbuatan zina. Bahkan ia melakukan itu di tempat terbuka seperti di jalanan umum yang biasa dilewati oleh banyak orang. Rasulullah SAW bersabda: “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya tidak hancur umat ini sehingga (datang satu masa) seorang lelaki mendatangi perempuan kemudian ia menghamparkan kasur untuknya di jalanan (untuk berzina). Kemudian datang seorang pilihan/mulia dari kaum itu mengatakan: Wahai fulan andai engkau menyembunyikannya di balik tembok ini” (HR Ahmad)
Orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.
Imam Ibn Majah menyebutkan sebuah hadits yang menggambarkan betapa rasa malu harus dibudayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Rasulullah bersabda:
“Jika Allah SWT ingin menghancurkan sebuah kaum, dicabutlah dari mereka rasa malu. Bila rasa malu telah hilang maka yang muncul adalah sikap keras hati. Bila sikap keras hati membudaya, Allah mencabut dari mereka sikap amanah (kejujuran dan tanggung jawab). Bila sikap amanah telah hilang, maka yang muncul adalah para pengkhianat. Bila para mengkhianat merajalela Allah mencabut rahmat-Nya. Bila rahmat Allah telah hilang, maka yang muncul adalah manusia laknat. Bila manusia laknat merajalela Allah akan mencabut dari mereka tali-tali Islam.
Syeikh Muhammad Al Ghazali menerangkan makna hadits ini, berkata dalam bukunya Khuluqul Muslim (Faizin, 2019). “Bila seorang tidak mampunyai rasa malu dan amanah, ia akan menjadi keras dan berjalan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Tak peduli apakah yang harus menjadi korban adalah mereka yang tak berdosa. Ia rampas harta dari tangan-tangan mereka yang fakir tanpa belas kasihan, hatinya tidak tersentuh oleh kepedihan orang-orang lemah yang menderita. Matanya gelap, pandangannya ganas. Ia tidak tahu kecuali apa yang memuaskan hawa nafsunya. Bila seorang sampai ke tingkat perilaku seperti ini, maka telah terkelupas darinya fitrah agama dan terkikis habis jiwa ajaran Islam.
Orang yang tidak punya rasa malu biasanya akan mudah sekali melakukan hal-hal yang bersifat negatif menurut kacamata agama. Munculnya korupsi, perselingkuhan, perzinahan, pencurian, pelecehan seksual, dan perbuatan jahat lainnya yang banyak terjadi di republik kita tercinta ini semuanya diakibatkan hilangnya rasa malu pada setiap pelakunya.
Bukan Teori
Budaya malu tidak bisa diajarkan karena bukan teori. Tapi harus diteladankan atau dicontohkan sebagai keterampilan hidup. Salah satu dari sepuluh resep sukses Bangsa Jepang, yakni adanya budaya malu. Di samping budaya malu, resep sukses Bangsa Jepang lainnya yaitu kerja keras (ulet), hidup hemat, loyalitas, inovasi, pantang menyerah, budaya baca, kerja sama kelompok, mandiri, dan jaga tradisi.
Budaya malu tampaknya kini tersisih dari kehidupan masyarakat. Padahal budaya malu sangat penting dalam kehidupan manusia terlebih bagi muslim. Bahkan, malu adalah setengah dari iman. Rasululaah Saw. bersabda: “Malu adalah sebagian dari iman.”
Akhir-akhir semakin tumbuh suburnya budaya “hilang rasa malu”. Mereka tidak merasa malu berbuat tidak terpuji atau melanggar norma-norma hukum. Mereka yang melakukan tindakan tidak terpuji masih dapat berjalan dengan gagah dan percaya diri serta seolah-olah merasa tidak berdosa.
Mari kita sedikit belajar dari Negeri Jepang. Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan sangat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum, fungsi malu di dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu yang bersifat aktif dan fungsi malu yang bersifat pasif (Saragih dan Rikky Fernando, 2019).
Fungsi Aktif Malu
Fungsi malu berhubungan erat dengan status dan peran. Fungsi aktif yang dimaksud di sini adalah fungsi malu yang dapat mendorong seorang individu untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan status dan perannya di dalam masyarakat sekitarnya. Sebagai mana pendapat yang dikemukakan oleh Soekanto (2013) bahwa di dalam setiap kalangan masyarakat, setiap anggotanya memiliki status dan peran masing-masing. Pembagian status dan peran ini sangat perlu untuk mempertahankan tatanan masyarakat, dan menghindarkan kemungkinan timbulnya kekacauan dalam masyarakat.
Malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat di sekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan mewujudkannya ke dalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk menghindari kritikan dan penolakan seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, fungsi malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.
Fungsi Pasif Malu
Di dalam kehidupan bermasyarakat, seorang individu biasanya memiliki sifat menonjolkan diri untuk menunjukkan keberadaan serta perannya kepada orang-orang di sekitarnya. Orang tersebut biasanya akan berusaha menonjolkan kemampuan intelektualnya yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga masyarakat akan sadar dengan eksistensi orang tersebut. Misalnya, seorang guru akan selalu bersikap ramah dan berusaha berbicara secara formal kepada orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang di sekitarnya tersebut akan sangat menghormati dan menjadikannya sebagai peran yang patut untuk dipanuti.
Seorang individu juga akan menghindari kritikan dari orang lain yang akan menimbulkan gejala malu dengan sifat menonjolkan diri tersebut. Ia akan menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang berusaha atau telah mencapai suatu prestasi tertentu, untuk memenuhi perannya di tengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi, sifat menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi orang lain. Perhatian orang lain seperti ini akan menimbulkan rasa malu. Begitu juga dengan orang lain yang melihatnya. Orang yang melihat tersebut akan menghindari perbuatan serupa karena khawatir akan mendapat malu dan akhirnya akan menahan tindakan-tindakan yang bersifat terlalu menonjolkan diri.
Oleh karena itu, dari sini dapat kita lihat bahwa malu juga memiliki fungsi pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan (Keiichi Sakuta dalam Raphaela Dwianto, 1991). Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang yang selalu berusaha menahan diri dan rendah diri.
Tidak ada kata terlambat dalam membangun atau menumbuhkan budaya malu. Sebuah perubahan besar dimulai dari langkah kecil namun konsisten, mari me re-check rasa malu dalam diri, apakah kita masih membudayakan malu, atau sebaliknya memalukan budaya (karena lebih menjunjung budaya lain).
Belajar Malu dari Putri
Konsep “Belajar Malu dari Putri Malu” adalah pembelajaran tentang rasa malu dari perilaku dan sifat alami yang dimiliki oleh putri malu. Putri malu menjadi contoh dalam pembelajaran tentang rasa malu karena dia memiliki sifat yang pemalu dan cenderung menghindari perhatian. Penting untuk belajar dari putri malu karena rasa malu adalah bagian alami dari manusia dan dapat mengajarkan kita tentang kesederhanaan dan rendah hati (Afifah, 2024).
Ketika sedang mempelajari apa yang disebut malu demi menyusun buku Malumologi (Jaya Suprana, 2020), perhatian saya sempat tertarik pada sejenis tanaman yang pada saat tersentuh spontan reaktif melayukan dedaunan dirinya sendiri. Masyarakat Indonesia menyebut tanaman sensitif itu sebagai putri malu, sementara para botanikawan memberi nama lebih beraroma “ilmiah” yaitu mimosa pudica. Lain halnya dengan masyarakat Jerman menyemooh orang yang mudah merasa tersinggung sebagai mimosa.
Para ilmuwan menganggap reaksi gerak dedaunan putri malu melayukan diri disebabkan oleh perubahan tekanan turgor pada tulang daun yang bisa ikut dirasakan oleh dedaunan putri malu. Tiupan angin dengan kederasan melebihi ambang batas sensitivitas putri malu juga bisa menyebabkan dedaunannya menutup diri.
Secara saintifik, gerak dedaunan putri malu disebut kerennya sebagai seismonasti yang dipengaruhi tigmonasti. Putri malu sensitif bukan hanya terhadap sentuhan atau tiupan angin namun juga menguncup pada saat matahari terbenam dan merekah kembali setelah matahari terbit.
Ada makna survival pada sifat penguncupan dedaunan putri malu demi melindungi diri dari hewan pemakan tanaman. Akibat tampak melayu, maka para predator kehilangan selera untuk memakan tanaman yang pandai melayukan diri itu. Diyakini bahwa dedaunan putri malu mengandung khasiat anti inflamasi dan anti depresan. Kearifan kesehatan leluhur menyatakan air rebusan dedaunan putri malu dapat membantu mengencerkan dahak yang menyumbat saluran pernafasan manusia akibat virus Corona (Suprana, 2020).
Dengan risiko dipermalukan oleh para botanikawan yang atheis, saya pribadi tidak malu meyakini bahwa putri malu adalah anugerah mahakarya Yang Maha Kuasa. Putri malu an sich merupakan bukti secara nyata-alami tanpa melalui uji klinis bahwa pada hakikatnya tanaman yang kerap dianggap sebagai jenis makhluk hidup kelas terendah akibat dianggap tidak memiliki perasaan ternyata memiliki perasaan. Akibat memiliki perasaan, maka putri malu siap berkomunikasi dengan lingkungannya termasuk manusia. Bahkan ketika memetik kesimpulan dari observasi malumologis terhadap perilaku putri malu, terus terang perasaan malu menyelinap masuk ke lubuk sanubari. Memalukan bahwa ternyata tanaman bisa memiliki perasaan sementara manusia yang dianggap dan menganggap lebih beradab ketimbang tanaman malah terbukti bisa kehilangan rasa malu. Maka ada (tidak semua) manusia merasa tidak malu mewujudkan angkara murka menghujat, memfitnah, mem-bully, menggusur, menindas, menyengsarakan, menyelakakan, melukai bahkan membinasakan sesama manusia (Suprana, 2020).
Mimosa Pudica (Ratunya Pemalu)
Arka (2023) dalam artikel “Belajar Malu dari Putri Malu”, menjelaskan secara rinci tentang seluk beluk putri malu (mimosa pudica).
Mimosa pudica termasuk dalam family fabacea yang merupakan tumbuhan bersal dari timur tengah. Mereka adalah kerabat jauh dari kedelai. Arti dari mimosa pudica yakni daun pemalu namun di Indonesia nama yang paling umum yakni putri malu. Dari sejarahnya mengapa tumbuhan ini dinamakan putri malu terdapat cerita rakyat yang melatarinya.
Konon sifat malu yang berada pada tumbuhan putri malu berasal dari seorang putri raja bernama putri Karniawati. Kecantikan putri ini telah dikenal hingga penjuru negeri, oleh karena itu banyak pemuda yang datang untuk melamarnya. Termasuk Pangeran Jaka Amparan putra raja Mahesa Jati dari kerjaan Pasir Maya. Namun sifat rasa malu yang dirasakan putri Karniawati sangat berlebihan sebab setiap ada laki-laki yang mendekatinya dia akan gemetar dan bahkan pingsan. Alhasil para pemuda tersebut pulang dengan rasa kecewa.
Namun berbeda dengan Pangeran Raja Amparan dimana karena rasa penasaran yang sangat tinggi. Pangeran Jaka Amparan pun tidak putus asa dan dia menyusun rencana agar bisa bertemu dengan sang putri. Namun tanpa ada niatan ketika Pangeran keliling istana dia bertatapan langsung dengan sang putri. Hal ini menyebabkan Putri Karniawati kaget dan menjerit sehingga sang putri jatuh pingsan dan tubuhnya mulai lemas.
Pangeran Jaka Amparan merasa bersalah dan pergi meninggalkan istana. Sejak saat ini putri karniawati dikenal sebagai putri malu. Karena sifat dari mimosa pudica sama dengan sifat Putri Karniawati maka tumbuhan ini juga disebut sebagai putri malu.
“Putri Malu” dari Sudut Filsafat
Bele (2020) menjelaskan panjang lebar tentang putri malu dari sudut filsafat. Kita manusia ini sama seperti putri malu, ada reaksi spontan terhadap situasi sekitar kita. Inilah nafsu. Reaksi terhadap aksi sekitar kita muncul otomatis. Nalar juga memilah jenis aksi yang terjadi membahayakan atau tidak.
Naluri bekerja untuk bersiap-siap mempertahankan diri. Nurani langsung beri isyarat, hati-hati, jangan gegabah. Inilah yang saya namakan 4 unsur dalam manusia, 4 N (Kwadran Bele, 2011).
Putri malu bereaksi terhadap setiap gerak sekecil apa pun di sekitarnya. Nafsu kita yang mendorong kita untuk memenuhi segala keinginan kita menerima segala sesuatu yang berguna di sekitar kita dan menolak segala sesuatu yang merugikan kita. Itu nafsu dalam fungsinya yang sejati.
Pribadi kita yang terselubung dalam balutan kulit yang lunak secara otomatis melindungi diri kita dari serangan udara yang kelewat panas atau dingin, tapi secara otomatis pula pribadi kita membuka diri menghirup udara yang segar, suasana ria gembira.
Nalar, naluri, nurani kita meramu segala reaksi yang muncul dari nafsu itu secara serentak dan tampillah diri kita dalam situasi yang kita sadari penuh, baik atau buruk. Misalnya, marah. Seluruh tubuh kita, menampakkan dengan jelas keadaan marah ini.
Mata menyala, muka memerah, tangan gemetar, jantung berdetak lebih kencang, siap menerkam yang menyerang. Dalam situasi ini, sebenarnya 4N dalam diri kita itu sedang bergejolak seperti air diaduk dalam bokor. Ketenangan berganti ketegangan.
Putri malu bukan malu, tapi memberi isyarat, sambil berseru, ‘Awas, saya ada, lebih dekat, duri saya siap.’ Dia siaga. Kita manusia sering kurang siaga, padahal Pencipta kita siaga penuh menjaga kita
Filosofi Daun Putri Malu
Filosofi daun putri malu (mimosa pudica) sering kali dikaitkan dengan konsep sensitivitas, kelembutan, dan kesadaran diri. Daun tanaman ini dikenal karena kemampuannya menutup atau mengerut saat disentuh, yang mencerminkan reaksi cepat terhadap rangsangan eksternal.
Beberapa filosofi yang bisa diambil dari daun putri malu (Widiastuti, 2025). Pertama, kepekaan terhadap lingkungan. Daun putri malu menunjukkan reaksi terhadap perubahan di sekitarnya, yang bisa dianalogikan dengan kepekaan seseorang terhadap kondisi sosial atau emosional sekitar. Dalam kehidupan, ini mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain dan lingkungan sekitar. Kedua, kelembutan yang kuat. Meskipun daun ini tampak rapuh dan lemah ketika menutup, kenyataannya tanaman ini memiliki kemampuan bertahan hidup yang kuat. Ini mengajarkan kita bahwa kelembutan bukanlah tanda kelemahan, tetapi bisa menjadi kekuatan tersendiri dalam menghadapi tantangan.
Ketiga, kesadaran diri dan perlindungan. Daun putri malu juga bisa dianggap sebagai simbol kesadaran diri yang tinggi. Tanaman ini mengerut saat ada ancaman atau bahaya, menggambarkan mekanisme perlindungan diri. Ini bisa diterjemahkan sebagai pentingnya melindungi diri kita sendiri dari hal-hal yang berbahaya, baik secara fisik maupun emosional. Keempat, perubahan yang tumbuh seiring waktu. Daun putri malu akan kembali membuka seiring waktu setelah menutup, yang menunjukkan bahwa meskipun kita menghadapi kesulitan atau tantangan, kita selalu bisa bangkit kembali dan membuka diri terhadap kehidupan dengan cara yang lebih kuat.
Filosofi dari daun putri malu mengajarkan kita untuk sensitif, bertahan dengan kelembutan, dan menjaga keseimbangan antara perlindungan diri dan keterbukaan terhadap dunia.
Simpulan
Suprana (2020) berkesimpulan seperti ini. Malu yang sudah terbiasa dirawat oleh manusia ternyata relatif kurang sensitif terhadap pengaruh lingkungan, maka hanya menguncupkan diri apabila disentuh secara berulang kali. Berdasarkan observasi komparatif atas perilaku dua putri malu saling beda latar belakang lingkungan dapat ditarik kesimpulan bahwa tanaman putri malu yang telah terbiasa hidup bersama manusia lebih tidak tahu malu ketimbang tanaman putri malu yang berasal dari alam bebas.
Berarti di samping memiliki perasaan, tanaman putri malu memiliki daya adaptif demi menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kesimpulan serupa juga dapat diamati pada perilaku anjing yang sudah terbiasa hidup domestikal bersama manusia dibandingkan dengan serigala yang terbiasa hidup bebas di alam bebas tanpa bersentuhan lahir-batin dengan manusia. Saya pribadi merasakan analogi dengan perbedaan perilaku manusia yang tidak malu melakukan korupsi dengan perilaku manusia yang malu melakukan korupsi. Masing-masing terpengaruh perbedaan lingkungan nilai serta akhlak satu dengan lainnya. Tentu saja itu hanya kesimpulan subyektif saya sendiri belaka. Jika tidak setuju dan jika Anda punya waktu untuk melakukannya, silakan Anda membuat kesimpulan Anda sendiri.
Dari putri malu kita bisa belajar bahwa tak selamanya malu itu salah. Karena sifat malu itu ternyata penting yakni malu dalam keaadan hina yang muncul akibat melakukan hal yang tidak terhormat, tabu. Orang yang memiliki rasa malu biasanya menyembunyikan hal tersebut agar mereka tidak merasa malu (Arka, 2023).
Semoga bermanfaat !!!