Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
INIPASTI.COM, Gaya hidup individualistik, saban waktu kian tampak dalam segala umur dan profesi, sementara perilaku altrusitik saban waktu kian terdegradasi. Nilai-nilai yang bersifat individualistis menonjolkan kebebasan, kejujuran, kenyamanan, dan kesetaraan pribadi di antara yang lain.
Individualistis adalah istilah mungkin pernah kamu dengar. Istilah ini merujuk pada orang-orang yang memiliki sifat individualis atau yang disebut juga dengan orang-orang yang mementingkan diri sendiri (Abdi, 2022).
Individualistis adalah suatu hal yang bersifat individualis. individualis juga dipahami sebagai orang yang tetap mempertahankan kepribadian dan kebebasan diri. Individualis adalah orang-orang yang mendahulukan kepentingan diri sendiri dibandingkan kepentingan orang lain.
individualistis adalah sesuai dengan kehendak individualis. Individualistis adalah bersifat individualis. Individualis sendiri adalah orang yang tetap mempertahankan kepribadian dan kebebasan diri atau orang yang mementingkan diri sendiri (KBBI, 2017).
Individualistis tentunya tidak lepas dari istilah lainnya, seperti individualis dan individualisme (Abdi, 2022). Individualisme dan individualitas adalah dua doktrin menyangkut pengorganisasian diri dan masyarakat dalam rangka memaksimalkan hak-hak individual dan otonomi personal, maka individuasi adalah sederetan praktek-praktek yang dengannya individu-individu diidentifikasi dan dibedakan satu sama lain oleh simbol, nomor, tanda, dan kode-kode. Lebih tepatnya, individuasi merujuk pada proses pengindividuan pribadi-pribadi sebagai tubuh yang berbeda-beda (Arif, 2025).
Masalah-masalah individuasi dalam sosiologi sangat dekat dengan masalah identifikasi dalam filsafat, karena identitas, kesadaran dan tubuh saling berkelindan. Pertanyaan “Siapakah anda?” sangat sulit dijawab kalau terlebih dahulu tidak melakukan identifikasi terhadap tubuh dalam ruang dan waktu tertentu (Turner dalam Arif, 2025)
Individualisme dianggap sebagai ideologi paling dominan dalam masyarakat kapitalis dan sistem kepercayaan perusak yang sangat bertentangan dengan model eksistensi yang kolektif dan tradisional (Turner dalam Arif, 2025). Menurut Max Weber, individualisme sebagai unsur alamiah tatanan kapitalisme kompetitif yang meligitimasi hak milik.
Individualisme menurut Forsyth (2006) adalah tradisi, ideologi, atau pandangan pribadi yang menekankan superioritas individu beserta hak-haknya, kemandirian, dan hubungannya dengan individu lain. Intinya, individualisme menentukan bahwa individu adalah unit utama realitas dan standar nilai tertinggi. Pandangan ini tidak mengingkari adanya masyarakat atau bahwa manusia mendapat manfaat dari hidup dalam masyarakat, melainkan memandang masyarakat sebagai kumpulan individu-individu dan sebagai sesuatu yang melampaui individu.
Individualisme menekankan pada spontanitas individu, kemandirian, ekspresi pribadi, bahkan privasi. Oleh karena itu, negara individualistis menawarkan lebih banyak kebebasan kepada warganya dibandingkan budaya kolektivis.
Individualisme sendiri merupakan salah satu bentuk egoisme. Orang-orang ini mampu menyendiri dalam kehidupan sosial, karena mereka tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Sikap seperti ini dapat mempengaruhi kohesi dan solidaritas sosial, kemauan untuk sepakat, gotong royong, egoisme yang tidak terkendali, keterasingan dari kehidupan bermasyarakat, kesulitan dalam bersosialisasi.
Setiap sikap atau perilaku pasti berdampak, baik positif (fungsional) maupun dampak negatif (dis-fungsional). Dampak positif perilaku individualistis adalah mengajarkan kita untuk lebih mandiri, dan percaya diri pada setiap hal yang dilakukan. Dampak negatif perilaku individualistis adalah seseorang menjadi lebih egois; menurunnya kemampuan bersosialisasi dan bergaul; tidak bisa bekerja sama dalam kelompok; menganggap segala hal yang dilakukannya pasti benar; dan hilangnya rasa solidaritas terhadap sesama (Abdi, 2022).
Altruistis(k)
Altruistis (altruistik) adalah kebalikan dari individualisme atau keegoisan. Dalam perspektif filsafat, berbuat baik terhadap orang lain tanpa memperhatikan imbalan dan ganjaran lainnya disebut dengan perilaku altruis. Altruistik atau perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. Perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain.
Altruistik adalah respon yang menimbulkan positive feeling, seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik, keinginan untuk selalu menolong orang lain. Motivasi altruistik tersebut muncul karena ada alasan internal di dalam dirinya yang menimbulkan positive feeling sehingga dapat memunculkan tindakan untuk menolong orang lain (Baston dalam Haslinda, 2022).
Altruistik merupakan dorongan atau tekanan dari diri, dan keprihatinan yang sangat (eksklusif) terhadap kesejahteraan orang lain. Ini adalah kebajikan tradisional di banyak budaya, dan aspek inti dari berbagai tradisi agama, meskipun konsep ‘orang lain’ terhadap siapa perhatian harus diarahkan dapat bervariasi antara agama satu dengan agama lainnya.
Altruistik adalah motivasi untuk memberi kepada pihak yang harus diberi, siapa pun kecuali diri sendiri.
Memberikan sedekah kepada orang miskin sering dianggap sebagai tindakan altruistik dalam banyak budaya dan agama. Perilaku altruistik merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika.
Tanda-tanda Perilaku Altruistik
Menurut Walstern dan Piliavin (Deaux dalam Rahayu, 2013), perilaku altruistikadalah perilaku menolong yang timbul bukan karena adanyatekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat sukarela dan tidak berdasarkan norma-norma tertentu, tindakantersebut juga merugikan penolong, karena meminta pengorbananwaktu, usaha,uang dan tidak ada imbalan atau pun reward darisemua pengorbanan.
Batson (Rahayu, 2013) mengidentifikasi bahwa ada 3 cara untuk menolong. Dua cara utama bersifat egoistik. Cara pertama didasarkan pada pembelajaran sosial dan reinforcement. Cara kedua melibatkan pengurangan ketegangan dan cara ketiga mewakili altruisme. Pada cara ini persepsi kebutuhan orang lain berhubungan dengan ikatan khusus dengan orang tersebut (contohnya karena kesamaan dengan orang itu atau usaha yang disengaja untuk menempatkan diri pada posisi orang itu) menggeneralisasikan empathy concern.
Perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku; tindakan itu dilahirkan secara sukarela; dan tindakan itu menghasilkan kebaikan.
Indikator lain tingkah laku seseorang yang altruis (Rahman, 2013) sebagai berikut. Pertama, empati. Seseorang yang altruis merasakan perasaan yang sama sesuai dengan situasi yang terjadi. Kedua, interpretasi. Seseorang yang altruis dapat mengiterpretasikan dan sadar bahwa suatu situasi membutuhkan pertolongan. Ketiga, social responsibility. Seseorang yang altruis merasa bertanggung jawab terhadap situasi yang ada di sekitarnya. Keempat, inisiatif. Seseorang yang altruis memiliki inisiatif untuk melakukan tindakan menolong dengan cepat dan tepat. Kelima, rela berkorban. ada hal yang rela dikorbankan dari seseorang yang altruis untuk melakukan tindakan menolong.
Perilaku altruistik mencakup tindakan-tindakan:membagi, kerjasama, menyumbang, menolong, kejujuran, kedermawanan, serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.
Perilaku altruistik dapat berupa: tindakan memberi pertolongan dalam situasi darurat, beramal, kerja sama, donasi, membantu, berkorban, berbagi (pengetahuan, pengalaman, makanan, barang pribadi, dan sebagainya), kejujuran, mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.
Karakteristik Perilaku Altruistik
Pentingnya perilaku altruisme tertuang dalam Qur’an surat Al-Maidah; (2): “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.”
Ketika kita berbicara tentang altruisme lebih khususnya perilaku altruistik, maka akan terkait dengan prosocial behaviour (tingkah laku prososial). Di dalam prosocial behaviour terdapat prosocial motive (motif prososial) yang nantinya akan digali lebih dalam menjadi altruistic as motive (altruistik sebagai motif) dan altruistic as behaviour (altruistik sebagai perilaku).
Altruistic as behaviour, pemahamannya adalah menolong orang lain, membuat orang lain senang. Tetapi membuat orang lain senang itu didasari oleh dua faktor. Yang pertama saya benar-benar tidak peduli siapa kamu, dari mana kamu, pokoknya saya menolong.
Ketika saya melihat kamu tidak nyaman, maka saya akan menolong. Ini dinamakan eksosentris. Yang kedua saya menolong kamu kalau saya mempunyai suatu keuntungan dari menolong kamu tersebut. Ini dinamakan endosentris.
Altruistic as motive berarti menolong orang lain betul-betul murni berasal dari dalam dirinya dia dan ditujukan untuk kepuasan orang lain tanpa memperhitungkan atau memperdulikan apa-apa. Dan hal inilah yang saya lebih tekankan dalam bahasan tentang altruisme.
Sesuai dengan teori dari Bierhoff (Sarwono & Meinarno, 2011) salah satu ciri dari seorang altruis adalah adanya internal locus of control yaitu seseorang yang meyakini bahwa ia mampu mengontrol dirinya untuk mendorong terjadinya perilaku menolong. Seorang altruis memiliki ego yang rendah yaitu seseorang yang mengesampingkan kenyamanan diri demi menolong orang lain (Bierhoff dalam Sarwono & Meinarno, 2011). Ciri seorang altruis adalah memiliki empati, yaitu kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, sehingga ia tergerak untuk berbuat untuk orang lain (Bierhoff dalam Sarwono & Meinarno, 2011). Menurut Mussen (Nashori, 2008) salah satu ciri seorang altruis adalah genereocity (berderma) yaitu bersedia memberikan sesuatu kepada orang lain dengan sukarela.
Mussen (Abdul Rahman, 2013) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki jiwa altruisme akan tampak pada perilaku cooperation (kerjasama) yaitu melakukan aktivitas secara bersama-sama, kemudian sharing (berbagi) yaitu mau diajak berbagi apa yang dirasakan orang lain, helping (menolong) yaitu membantuk meringkan beban fisik maupun psikis orang lain, Genereocity (berderma) yaitu bersedia memberikan sesuatu kepada orang lain dengan sukarela, honesty (kejujuran) yaitu melakukan sesuatu dengan mengedepankan nilai kejujuran dan tanpa kecurangan.
Myer (Sarwono, 2006) menjelaskan karakteristik dari tingkah laku altruistik, antara lain: emphaty, belief on a just world, social responsibility, internal LOC, dan low egocentricm.
Pertama, emphaty, altruistik akan terjadi dengan adanya empati dalam diri seseorang. Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka bertanggungjawab, bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri, dan termotivasi membuat kesan yang baik. Kedua, belief on a just world, karakteristik dari tingkah laku altruistik adalah percaya pada “a just world”, maksudnya adalah orang yang altruis percaya bahwa dunia adalah tempat yang baik dan dapat diramalkan bahwa yang baik selalu mendapatkan ”hadiah” dan yang buruk mendapatkan ”hukuman”. Dengan kepercayaan tersebut, seseorang dapat denga mudah menunjukkan tingkah laku menolong (yang dapat dikategorikan sebagai ”yang baik”). Ketiga, social responsibility, setiap orang bertanggungjawab terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain, sehingga ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus menolongnya. Keempat, internal LOC, karakteristik selanjutnya dari orang yang altruis adalah mengontrol dirinya secara internal. Berbagai hal yang dilakukannya dimotivasi oleh kontrol internal (misalnya kepuasan diri). Kelima, low egocentricm, seorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia mementingkan kepentingan lain terlebih dahulu dibandingkan kepentingan dirinya.
Memasyarakatkan Altruisme
Menurut Sarwono (Anas, 2007) yang mengutip beberapa pendapat ahli, ada beberapa cara untuk memasyarakatkan altruisme.
Pertama, mengajarkan inklusi moral, yaitu bahwa orang lain adalah golongan kita juga. Namun dilain pihak perlu diupayakan menghindari eksklusi moral karena merupakan sumber diskriminasi, bahkan memberi peluang untuk membunuh. Altruisme dapat diajarkan pada lingkungan keluarga, sekolah dan kalngan teman.
Kedua, memberikan atribusi “menolong” pada perilaku altruis seseorang yang membantu orang lain, kemudian diberi ucapan “terimah kasih atas pertolongan Anda”, hal ini akan membuat penolong merasa bahwa perilakunya benar-benar telah membantu orang lain, sehingga cinderung mengulanginya pada kesempatan lain. Kepuasan semacam ini tidak terdapat jika perilaki menolong itu diberi imbalan uang.
Ketiga, memberi pelajaran tentang altruisme. Orang yang tahu bahwa keberadaan orang lain akan menghambat perilaku menolong, akan tetapi menolong walaupun ditempat itu banyak orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak tahu akan berlalu begitu saja.
Lain halnya menurut Faturochman (2006), beberapa hal yang dapat dipergunakan guna meningkatkan perilaku prososial dan sikap altruisme ini, antara lain: 1. Menghilangkan ketidakjelasan identitas; 2. Pemberian atribut; dan 3. Sosialisasi.
Ada tiga teori yang dapat menjelaskan motivasi seseorang melakukan tingkah laku menolong (Myers dalam Haslinda, 2022). Pertama, sosial – exchange, pada teori ini dijelaskan tentang adanya pertukaran sosial atau adanya timbal balik berupa reward setelah menolong. Reward yang dimaksud disini adalah dapat berupa internal reward ataupun external reward. Kedua, sosial norms, ada teori ini dijelaskan bahwa seseorang menolong karena adanya norma sosial yang yang menyuruh seseorang untuk menolong. Orang-orang yang menganut norma sosial tersebut menganggap menolong adalah suatu tanggung jawab sosial bagi dirinya atau harapan sosial yang mengatakan orang yang ditolong tidak akan menyakiti orang yang di tolong. Ketiga, evolutionary psychology, perilaku altruisme akan memiliki peluang besar muncul jika orang yang akan disejahterakan memiliki kesamaan dalam suatu hal dengannya, contohnya adalah kesamaan ras, keluarga, kesamaan agama dan sebagainya.
Semoga !!!