Falsafah “Dari, Oleh, dan Untuk” Rakyat

1 week ago 20

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima

INIPASTI.COM,  Idealnya, pembangunan terutama pembangunan desa harus berkiblat pada akar falsafah “dari, oleh,danuntuk” rakyat (from, by and for the people). Falsafah dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat ini pada rezim sebelum era reformasi dikenal dengan Azas Usaha Bersama dan Kekeluargaan. Olehnya itu, pembangunan seyogyanya harus mampu menempatkan manusia sebagai subyek pelaku pembangunan dan sekaligus sebagai obyek sasaran  pembangunan. Konsep pembangunan semacam ini disebut dengan konsep “man-centred development.” Konsep “man-centred development” yaitu suatu pembangunan yang dipusatkan pada  kepentingan manusia, manusia dan tidak sekadar alat pembangunan itu sendiri. Manusia bukan sekadar alat dalam proses pencapaian cita-cita pembangunan, akan tetapi ia adalah faktor utama dan sasaran utama pembangunan (Conyer dalam Usman, 2024). “.”

Pembangunan ke arah kemajuan—utopis tentu (!) mesti mampu mendudukkan “man”—manusianya pada proporsi subyek-pelaku pembangunan seutuhnya buat mencapai kemajuan dan kesempurnaan yang dicita-citakan—“baldatun thaibatun warabhun gafur”. Manusia bukan sekadar alat apalagi beban dalam proses pembangunan, akan tetapi manusia adalah pelaku dan sasaran pokok pembangunan. Bukankah : pembangunan adalah “from, by, and for the people”—dari, oleh, dan untuk rakyat? Bukankah kita telah menghafal ‘mati’ satu ungkapan sakral dalam dunia militer : “Not the gun, the man behind the gun”—artinya, bukan senjata (barang) yang penting karena senjata hanyalah seonggok benda mati, melainkan manusia yang menggunakan (di belakang) senjata itu. Bahkan E.F. Schumacher di dalam salah satu karyanya Small is The Beautiful—Kecil Itu Indah (Usman, 2022), menstir: “Pembangunan, tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan orang…”. Demikian pula, dilaporkan dalam pertemuan “Agama untuk Pembangunan di Tokyo pada tahun 1970” : “Our concern for development is the consequence of our feith”. Artinya : bagi ummat yang sebenarnya, pembangunan itu sendiri merupakan panggilan konsekuensi dari iman itu.” Sebagai warga, kita harus ikrar dalam diri tentang sebuah slogan : “I am for the village, but the village for me”—saya untuk negara (daerah), tapi bukan negara (daerah) untuk saya.

Merealisasikan

            Nah, bagaimanakah merealisasikan komitmen moral, suci, dan mulia itu? Sejauhmanakah kepedulian kita selaku warga dalam memacu akselerasi pembangunan? Sejauhmanakah ‘kedalaman’ pemahaman kita atas hak dan kewajiban sebagai warga? Sebab, tanpa memahami secara detail akan seluk-beluk atau hal-ikhwal akan sesuatu termasuk manfaat pembangunan desa, bakal tak akan berpartisipasi aktif secara positif dan maksimal dalam merekonstruksi pembangunan desa.

            Guna menggapai kondisi ideal seperti di atas, menurut Tjokroamidjojo (Usman, 2022), “itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh rakyat di dalam suatu negara.” Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, mestinya berlangsung mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pada tahap pemanfaatan hasil pembangunan; tanpa terkooptasi dalam status sosial, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jenis kelamin, suku, agama, ras, dan perbedaan-perbedaan lainnya.

            Kartasasmita (Firmansyah, dkk., 2025) pernah mengemukakan urgensinya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Studi empiris banyak menunjukkan, kegagalan pembangunan, atau pembangunan tidak mencapai sasaran, karena kurangnya partisipasi rakyat. Bahkan banyak kasus  menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan  itu dapat terjadi  karena beberapa sebab, antara lain: pertama, pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil  dan tidak menguntungkan rakyat banyak, bahkan  pada sisi ekstrim dirasakan dirugikan; kedua, pembangunan meskipun dimaksudkan untuk  menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami  maksud  itu; ketiga, pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat,  dan rakyat memahaminya, tapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman  itu; dan keempat, pembangunan dipahami   akan menguntungkan rakyat, tetapi sejak semula  rakyat  tidak diikutsertakan.

            Relevansi partisipasi masyarakat dengan kegiatan pembangunan, Bintoro (Usman, 2022), mengemukakan, meningkatnya partisipasi dalam pembangunan terlihat dalam 4 (empat) aspek, yaitu : terlibatnya dan ikutsertanya rakyat tersebut sesuai dengan mekanisme proses politik dalam suatu negara turut menentukan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah; peningkatan artikulasi (kemampuan) untuk merumuskan tujuan-tujuan dan terutama data-data dalam merencanakan tujuan itu yang sebaiknya; partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan nyata, yang konsisten dengan arah, strategi dan rencana yang telah ditentukan dalam proses politik; dan adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipasi dalam pembangunan yang berencana.      

            Secanggih apapun program dan berapapun besarnya dana yang disediakan, tanpa kesadaran dan peranserta atau partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan, baik itu peranserta atau partisipasi berupa : sumbangan pikiran, tenaga maupun dana  semuanya akan sia-sia belaka. Dengan demikian, dalam upaya meningkatkan kegiatan pembangunan perlu didorong kemauan partisipasi masyarakat. Apalagi selama ini yang menjadi kendala besar pemerintah dalam kegiatan pembangunan adalah terbatasnya anggaran atau dana yang dialokasikan.

Kiat Meningkatkan Partisipasi Masyarakat

            Ada beberapa strategi atau kiat yang harus ditempuh dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Pertama, perlu adanya persepsi yang sama dari seluruh komponen masyarakat dari berbagai stratifikasi masyarakat, mulai dari masyarakat umum, Orsos, OKP, LKMD, BPD, PKK, Karang Taruna, dan unusur-unsur lainnya tentang pentingnya partisipasi; kedua, mengoptimalkan peranserta tokoh atau pemuka masyarakat untuk membina dan memotivasi warga masyarakat dalam meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang pentingnya arti partisipasi; dan ketiga, meningkatkan peran organisasi sosial sebagai penggerak massa dalam rangka menuju terciptanya partisipasi masyarakat.

            Kiat-kiat yang ditawarkan tersebut, perlu diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari dengan meningkatkan peranserta atau partisipasi masyarakat sesuai dengan keberadaan atau posisi masing-masing, baik sebagai pengurus organisasi, tokoh masyarakat, maupun warga masyarakat secara totalitas.

            Selain dari strategi atau kiat-kiat tersebut di atas, ada beberapa prinsip yang mendasari keberhasilan proses partisipasi dalam kegiatan pembangunan. Pertama, adanya akses masyarakat terhadap informasi yang sejelas-jelasnya, terutama tentang rencana suatu kegiatan pembangunan. Penjelasan ini harus dilakukan dengan aktif, dengan cara yang dimengerti oleh masyarakat dan tanpa ada yang disembunyikan. Kedua, adanya akses untuk ikut dalam pengambilan keputusan dalam pembangunan. Dan ketiga, adanya akses pada peluang untuk  menumbuhkan kemandirian dan kecakapan dalam kaitannya dengan kesadaran dan inisiatif membangun yang datangnya dari masyarakat itu sendiri. Keempat, menjaga atau memperkuat keterikatan masyarakat dan menumbuhkan kelompok-kelompok masyarakat yang mapan. 

Terlalu Ideal Tetapi Menarik Direnungi

            Bagi para penggerak pembangunan (engine of change) dalam rangka memberdayakan masyarakat lokal agar mau berpartisipasi dalam proses pembangunan harus benar-benar memahami dengan baik penyebab ketidakberdayaan masyarakat.

            Adalah terlalu ideal tetapi menarik untuk direnungi pandangan Y.C. Yen tahun 1920 yaitu seorang tokoh gerakan pembangunan masyarakat Cina, sebagaimana dikutip Islamy (2004). Menurutnya, setiap penggerak pembangunan yang akan memberdayakan masyarakat itu harus : pertama, go to the people—pergi mendatangi masyarakat yang hendak diberdayakan; kedua, live among the people—hidup dan tinggallah bersama mereka supaya kita mengenal dengan baik dengan kepentingan dan kebutuhannya; ketiga, learn from the people—belajar dari mereka supaya dapat difahami apa yang ada di benak mereka dan potensi apa yang mereka miliki; keempat, plan with the people—ajak dan ikutkan masyarakat dalam proses perencanaan; kelima, work with the people—ajak dan libatkan mereka dalam proses pelaksanaan rencana; keenam, start with what the people know—mulailah dari apa yang masyarakat telah tahu dan fahami; ketujuh, build on what the people have—bangunlah sesuatu dari modal apa yang masyarakat punyai; kedelapan, teach by showing, learn by doing—ajarilah masyarakat dengan contoh konkrit/nyata; kesembilan, not a showcase, but a pattern—jangan dipameri mereka dengan sesuatu yang menyilau, tetapi berikanlah kepada mereka suatu pola; kesepuluh, not odds and ends, but a system—jangan tunjukkan kepada mereka sesuatu yang aneh dan akhir dari segalanya, tetapi berikanlah kepada mereka suatu sistem yang baik dan benar; kesebelas, not piecemeal, but integrated approach—jangan menggunakan pendekatan yang sepotong-sepotong, tetapi pendekatan menyeluruh dan terpadu; keduabelas, not to conform, but to transform—bukan penyesuaian cara/model, tetapi transformasi model; dan ketigabelas, not relief, but release—jangan berikan penyelesaian akhir kepada mereka, tetapi beri kebebasan kepada mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah.

Melestarikan Tradisi Gotong Royong

Tradisi atau budaya gotong royong, perlu dilestarikan. Karena budaya gotong royong bermanfaat, baik bagi diri, masyarakat, bangsa dan negara, dan di antara manfaat dimaksud yakni: meringankan beban, waktu dan biaya; meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan dengan sesama; menambah kokohnya rasa persatuan dan kesatuan; dan mempertinggi ketahanan bersama.

Untuk menegakkan tradisi gotong royong secara berkesinambungan, perlu untuk merubah sikap, mental dan menanamkan kembali  nila-nilai gotong royong dalam masyarakat. Menurut Arguby dan Usman (2019), melaksanakan hal tersebut bisa dimulai dari: pertama, diri sendiri, yaitu meningkatkan kesadaran diri akan persatuan dan kesatuan, yakni  dengan memahami serta mengimplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari terutama sila ketiga, Persatuan Indonesia. Jika semua individu sadar akan fungsi dan peran mereka dalam masyarakat berbangsa dan bernegara, serta dapat menyisihkan rasa egois dan menumbuhkembangkan kepedulian sosial, maka solidaritas akan tercipta dengan otomatis. Solidaritas tersebut dapat dipacu dengan menanamkan rasa senasib sepenanggungan, sikap saling menghormati, dan membiasakan diri untuk saling tolong-menolong. Maka perlu bagi generasi muda untuk tidak melupakan sejarah dengan meneladani sikap para pendahulu bangsa yang saling bergotong royong untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Kedua, keluarga. Lingkungan keluarga merupakan salah satu agen penting untuk mewariskan nilai-nilai gotong royong sejak dini. Maka dalam keluarga harus dididik dan ditanamkan kepada anak akan nilai-nilai kebersamaan. Dengan musyawarah keluarga, anak membantu orang tua, sikap saling menghormati antar anggota keluarga, juga anak diajari akan arti tanggung jawab serta menumbuhkan kepedulian sosial. Anak juga perlu untuk diajari bagaimana berinteraksi kepada tetangga, mengingat bahwa orang pertama yang akan dapat dimintai bantuan disaat genting ialah tetangga terdekat. Selain itu sesama anggota keluarga wajib untuk mengingatkan anggotanya akan kewajibannya dalam kegiatan kerja bakti yang diadakan warga kampung disekitarnya.

Ketiga, organisasi pemuda (Karang Taruna dan Remaja Masjid). Pemuda sebagai salah satu unsur dari suatu masyarakat, dimana setiap aktivitasnya diharapkan mampu melakukan sebuah perubahan kearah yang lebih baik. Maka organisasi pemuda Karang Taruna, Remaja Masjid, dan sejenisnya harus mampu berperan secara maksimal untuk membangun kemajuan desanya. Kegiatan kerja bakti dapat terwujud dengan baik apabila adanya kerjasama masyarakat dengan Karang Taruna dan Remaja Masjid. Karang Taruna dan Remaja Masjid menjadi penggerak serta contoh yang baik dengan mengulurkan tangannya kepada masyarakat, mengajak mereka bekerja bakti bersama. Para pemuda Karang Taruna dan Remaja Masjid bisa berinisiatif membuat agenda rutin kerja bakti yang harus dilaksanakan dengan kerja sama warga sekitar, juga kegiatan-kegiatan gotong royong seperti penggalangan dana, menjenguk warga yang sakit dan sebagainya.

Keempat, perangkat desa/pemerintah. Partisipasi perangkat desa/pemerintah sebagai pengendali sosial  harus mampu mengajak warganya untuk mengikuti kerja bakti. Seminar dan sosialisasi kepada warga akan pentingnya kerja bakti perlu dilakukan. Atau yang lebih ekstrim lagi, mungkin dibuat suatu aturan atau sanksi bilamana warga melanggar dan tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini dilakukan demi menertibkan warga agar tidak malas, membiasakan warga hidup disiplin dan untuk kebaikan bersama. Dengan cara yang agak represif seperti ini, lama kelamaan warga akan terbiasa hidup saling membantu, rukun, serta sadar tentang arti penting gotong royong dalam kehidupannya.

          Dengan memulai dari hal kecil, seperti mengidupkan kembali tradisi kerja bakti, kita tidak hanya sekadar melestarikan budaya leluhur, namun juga dapat memperkuat karakter bangsa serta membawa banyak dampak positif bagi diri sendiri, orang lain, dan untuk Indonesia.

            Gotong-royong dapat dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun-temurun, sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut menyebabkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan. Hubungannya gotong-royong sebagai nilai budaya, maka Bintarto (Firmansyah, dkk., 2025) mengemukakan, nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah: pertama, manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh komunitinya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. Kedua, dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya. Ketiag, karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa. Dan keempat, selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah.

Kebersamaam dan Daya Dorongnya    

Ada dua strategi dasar yang dapat digunakan untuk merubah impact point dari yang bersifat “mendorong” menjadi bersifat “lebih mendorong lagi”. Dua strategi dasar ini dikenal sebagai strategi untuk merubah keyakinan, sikap, serta perilaku masyarakat dari yang lama ke yang baru. Menurut M. Fishbein dan I. Ajzen (Usman, 2024) dua strategi dasar ini diakui sebagai yang memiliki efek perubahan paling kuat serta lestari yakni “partisipasi aktif” (Active Participation) dan “komunikasi persuasif” (Persuacive Communication).

Dalam rangka pengembangan program penyuluhan misal atau pembinaan masyarakat maka strategi “partisipasi aktif” mengambil bentuk kegiatan-kegiatan seperti : Penciptaan kontak-kontak interpersonal (antarpribadi) melalui berbagai macam kegiatan bersama; pemberian tugas-tugas kepada individu atau kelompok; pemberian peranan real tertentu kepada seseorang. Bisa pula dilakukan dalam bentuk role playing dalam suatu kegiatan penyuluhan; dan melakukan eksperimen-eksperimen bersama dalam rangka mencoba sesuatu yang baru.

Strategi pembangunan yang hanya mengacu pada paradigma pertumbuhan dan “pemerataan” telah terbukti rentan terhadap masalah-masalah sosial. Menurut Tjokrowinoto (1987) pendekatan pembangunan harus disertai dengan nilai kelestarian pembangunan atau sustainable development untuk menumbuhkan self sustaining capacity masyarakat.  Ini bermakna bahwa pembangunan harus berpusat pada manusia (poeple-centered development). Strategi ini akan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Menarik apa yang dikemukakan Profesor Aris Ananta dari Institute of Southeast AsianStudies, Singapura, “Jika Indonesia ingin bangkit dan bertahan dari gempuran globalisasi, pilar utama paradgima pembangunannya harus people centred development. Ini mencakup kesehatan penduduk, penduduk yang pandai, yang punya kemampuan berpindah, dan yang bebas dari rasa takut (aman) (Sukardi Rinakit dalam Usman, 2024).

            Pusat perhatian people centered development adalah perkembangan manusia (human growth), kesejahteraan (well-being), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). People centered development yang berlandaskan pada wawasan pengelolaan sumber daya lokal atau community based resources management, dengan tujuan utamanya memberi kesempatan pada masyarakat untuk memililih sendiri jenis kegiatan yang betul-betul sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Logika yang mendominasi paradaigma people centered development adalah keseimbangan ekologi manusia (balanced human ecology), di mana sumber pembangunannya yang utama adalah informasi dan prakarsa yang kreatif yang tak akan pernah habis, dan tujuannya yang utama adalah perkembangan manusia dalam arti aktualisasi yang optimal dari potensi manusia (David Korten dalam Tjokrowinoto, 1999).

Empat Ciri Penting

            Korten dalam People Centered Development (Munir, 2002), memberikan ciri-ciri manajerial dari manajemen pembangunan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Korten, antara lain memberikan empat ciri penting : pertama, pembangunan oleh masyarakat. Manajemen pembangunan yang memandang pembangunan sebagai produk dari prakarsa masyarakat. Pemerintah berperan dalam menciptakan kondisi atau lingkungan (setting) yang memungkinkan masyarakat memobilisasi sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi sesuai prioritas yang mereka tentukan; kedua, manajemen komunitas (community management). Merupakan manajemen pembangunan yang didasarkan atas pengelolaan sumberdaya lokal oleh satuan pengambil keputusan yang pluratik, mencakup individu, keluarga, birokrasi lokal, perusahaan lokal, dan organisasi kemasyakatan lainnya; ketiga, proses belajar (social learning). Sebagai proses interaksi sosial antara anggota masyarakat dengan lembaga-lembaga yang ada untuk mengembangkan kemampuan mereka; dan keempat, manajemen strategis. Sebagai upaya untuk mengmbangkan organisasi yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan menanggapi lingkungan strategis untuk pemberdayaan masyarakat dan organisasi. Dalam manajemen strategis, instrumen utama untuk mempertahankan integritas dan arah organisasi bukan sistem pengawasan formal, akan tetapi budaya kelembangaan yang kuat dan doktrin organisasi.

Beberapa Hambatan

            Faktor penghambat adalah faktor yang bersifat negatif mempengaruhi masyarakat dan menghambat partisipasi masyarakat, dapat bersifat negatif dan menjadi penghambat adanya partisipasi masyarakat.

Kendatipun fungsi atau peranan partisipasi dalam pembangunan sangat jelas, namun terdapat beberapa hambatan dalam penerapannya. Di antaranya : pertama, kurangnya perhatian yang murni terhadap persamaan sosial; kedua, kekhawatiran terhadap aksi bersama; ketiga, kurangnya akses kesempatan rakyat; dan keempat, pendekatan pembangunan yang terpecah-pecah.

Selain itu, faktor penghambat partisipasi masyarakat, bisa bersifat individu, kondisi demografis, dan ekonomi.

Pertama, sifat individu, Menurut Dwiningrum (Ulya, 2018), sifat yang dimiliki individu dapat menghambat partisipasi masyarakat, seperti sifat malas, apatis, masa bodoh dan tidak mau melakukan perubahan di tingkat anggota masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pola pikir dan rasa egois masyarakat yang tidak peduli dengan pembangunan yang berlangsung di tempat tinggalnya tersebut.

Kedua, faktor demografis. Menurut Achille Guillard (Athifah, 2018:17), demografi sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu dari keadaan dan sikap manusia yang dapat diukur, yaitu meliputi perubahan secara umum, fisiknya, peradabannya, intelektualitasnya, dan kondisi moralnya. Menurut Angel, faktor demografi sosial yang mempengaruhi partisipasi di antaranya adalah usia, jenis kelamin, dan pendidikan (Ulya, 2018).

Faktor usia adalah faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan masyarakat yang ada. Menurut Slamet (Hakim, 2017), usia berpengaruh pada keaktifan seseorang untuk berpartisipasi, oleh karenanya golongan tua dianggap lebih berpengalaman sehingga akan lebih banyak memberikan pendapat dalam hal menetapkan keputusan.

Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor dalam partisipasi masyarakat. Partisipasi yang diberikan oleh seorang pria dan wanita dalam pembangunan adalah berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem pelapisan sosial yang terbentuk dalam masyarakat yang membedakan kedudukan dan derajat, hal ini akan menimbulkan perbedaan-perbedaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita (Slamet dalam Hakim, 2017).

Selanjutnya faktor dapat menghambat partisipasi masyarakat adalah pendidikan. Faktor pendidikan dianggap penting karena melalui pendidikannya, seseorang akan lebih mudah berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dan cepat tanggap terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikannya, tentunya mempunyai pengetahuan yang luas tentang pembangunan dan bentuk serta tata cara peran serta yang diberikan.

Ketiga, faktor ekonomi. Faktor ekonomi meliputi penghasilan dan mata pencaharian masyarakat. Pekerjaan dan penghasilan tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.

Semoga berfanfaat !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|