1 week ago
17
INIPASTI.COM, [ES-AI]- Pagi ini, sambil ngopi di warung dekat rumah, aku dengar orang-orang ngobrol soal kebijakan baru pemerintah. “Prabowo mau hemat anggaran, katanya Rp306 triliun,” ujar Pak RT sambil nyeruput kopi hitam. “Bagus lah, daripada duit negara cuma buat rapat sama perjalanan dinas.” Tapi di sebelahnya, Bu Tuti, yang biasa jualan sayur, cuma nyengir kecut. “Iya, hemat sih, tapi kok anakku bilang beasiswa kuliahnya terancam dipotong. Ini hemat apa malah nyusahin?”
Aku pulang, buka laptop, dan mulai nyari tahu apa sih sebenarnya dampak dari efisiensi anggaran yang digadang-gadang Presiden Prabowo Subianto ini. Dari yang aku baca, kebijakan ini resmi tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025, dengan target penghematan gede-gedean: Rp256 triliun dari kementerian/lembaga plus Rp50 triliun lebih dari transfer ke daerah. Angka yang bikin orang takjub sekaligus takut. Maksudnya mulia, katanya, biar duit negara nggak bocor, nggak mubazir, dan bener-bener sampai ke rakyat. Tapi, seperti biasa, niat baik di atas kertas nggak selalu mulus di lapangan.
Pertama, mari kita lihat sisi cerahnya. Prabowo bilang, “Saya mau pengeluaran yang nggak perlu, yang cuma alasan buat nyolong, dihentikan.” Kalau beneran dilakuin, ini kabar baik. Bayangin aja, berapa triliun yang selama ini habis buat rapat-rapat di hotel berbintang, seminar yang cuma jadi ajang selfie, atau perjalanan dinas ke luar negeri yang ujung-ujungnya cuma laporan setebal buku telepon? Kalau duit itu bisa dialihkan ke program kayak Makan Bergizi Gratis—yang katanya jadi prioritas—atau perbaikan sekolah yang bocor sana-sini, wah, bisa jadi gebrakan beneran. Prabowo juga janji bakal “memerangi kebocoran di semua tingkat.” Kalau korupsi beneran ditebas, aku kasih tepuk tangan sambil berdiri.
Tapi, tunggu dulu. Cerita nggak selesai di situ. Efisiensi ini kayak pisau bermata dua—bisa bantu, bisa juga nyakitin. Misalnya, di Kementerian Perindustrian, anggaran dipotong 44 persen, dari Rp3,6 triliun jadi cuma Rp2,5 triliun. Efeknya? Listrik sama air di kantor dikurangi, perjalanan dinas dibatasi, bahkan AC aja jarang nyala. Pegawai pada kerja sambil keringetan, katanya. Di Kementerian Pariwisata, anggaran buat operasional juga kena cukur, padahal sektor ini lagi nyari napas setelah pandemi. Terus, yang bikin orang takut, sektor pendidikan sama kesehatan juga kena imbas. Beasiswa KIP Kuliah katanya terancam, sekolah-sekolah kekurangan dana operasional, dan rumah sakit publik bisa jadi tambah susah beli alat medis. Bu Tuti tadi bener, hemat kok rasanya malah nyusahin?
Belum lagi soal PHK. TVRI sama RRI, misalnya, udah mulai rumahkan kontributor mereka. Jurnalis yang biasa nyari berita di lapangan tiba-tiba kehilangan kerja gara-gara anggaran dipotong. Di sektor swasta, hotel sama bisnis transportasi juga mulai megap-megap. Bayangin, perjalanan dinas dikurangi, rapat dialihkan ke Zoom, siapa yang mau nginep di hotel? Siapa yang naik taksi atau pesawat? Ekonom bilang, ini bisa bikin ekonomi melambat, terutama di sektor jasa yang selama ini nyandar ke pengeluaran pemerintah.
Aku coba bayangin dari sisi Prabowo. Mungkin dia mikir, “Duit negara terbatas, kita harus pinter bagi-bagi.” Bener juga. APBN 2025 emang lagi ketat, apalagi dengan utang yang bunga bayarnya aja udah Rp552 triliun setahun. Program Makan Bergizi Gratis butuh dana gede, katanya bisa Rp400 triliun kalau full dilakuin. Belum lagi rencana swasembada pangan sama energi. Jadi, efisiensi ini kayak orang yang lagi diet—harus potong kalori biar badan sehat. Tapi masalahnya, kalau motongnya kebablasan, badan malah lelet jalannya.
Ada yang bilang, ini cuma gaya doang. Prabowo bilang mau hemat Rp750 triliun dalam tiga tahap, termasuk Rp300 triliun dari dividen BUMN. Tapi DPR sama pemerintah cuma sepakat dividen Rp90 triliun buat 2025. Jadi, dari mana sisanya? Terus, katanya ada “raja kecil” yang melawan kebijakan ini. Birokrasi yang udah kebal hukum, kata Prabowo. Nah, ini tantangan beneran. Kalau cuma potong anggaran tanpa benahin sistem, ya sama aja bohong. Duit hemat, tapi korupsi tetep jalan, rakyat tetep sengsara.
Jadi, apa dampaknya? Campur aduk. Di satu sisi, efisiensi bisa bikin APBN lebih ramping, fokus ke yang penting-penting, dan kalau korupsi beneran diberesin, rakyat bakal senyum lebar. Tapi di sisi lain, kalau salah urus, layanan publik bisa kacau, ekonomi melambat, dan orang-orang kayak anaknya Bu Tuti cuma bisa gigit jari nunggu beasiswa. Aku sih berharap Prabowo nggak cuma jago omong, tapi beneran jago eksekusi. Soalnya, hemat beneran itu nggak cuma soal potong anggaran, tapi pastiin duit yang ada bener-bener nyanyi buat rakyat. Kita lihat aja nanti, sambil ngopi lagi bareng Pak RT.
