Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Mendidik adalah kerja peradaban. Pekerjaan besar menyiapkan generasi yang siap menjadi pelaku sejarah dan pembangun peradaban. Mewarnai zaman dengan rupa-rupa dan lika-liku prestasi dan karya. Maka, perlu para guru hebat dengan paradigma, visi, dan kompetensi sang arsitek peradaban. Paradigma dan visi seorang guru sangat mempengaruhi capaian kompetensi dan kualitas performanya dalam mendidik. Guru dengan paradigma sang arsitek peradaban akan memiliki visi melampaui ruang dan waktu. Lalu, menerjemahkannya dalam performa tahunan yang excellent. Bahkan, dia mampu mewariskan visi masa depannya kepada para muridnya. Menjadi guru lebih dari sekadar profesi, melainkan sang arsitek peradaban. Keberadaannya sangat dibutuhkan bagi tegak dan kokohnya peradaban. Bagaimana caranya menjadi guru sang arsitek peradaban? (el-Bantanie, 2021).
Pinjam kata-kata pamungkas Iqbal Anas (Usman, 2025) guru tidaklah membangun secara fisik, karena kata arsitek hanya sebagai kiasan, tetapi membangun pribadi, membina manusia dan mendidik generasi yang akan membangun peradaban. Sosok guru sangat menentukan seperti apa peradaban yang akan lahir ke depannya.
Guru adalah arsitek peradaban, sang iluminator yang menyalakan obor pengetahuan di lorong gelap ketidaktahuan. Dalam epistemologi pendidikan, guru bukan sekadar transmitter informasi, tetapi juga fasilitator kognitif yang mengonstruksi nalar kritis dan etos intelektual. Setiap untaian kata yang disampaikan bukan sekadar fonem yang beresonansi di udara, melainkan kristalisasi hikmah yang menembus ruang-ruang keilmuan, menginspirasi generasi demi generasi menuju cakrawala peradaban yang lebih maju (Anonymous, 2024).
Pilar Kehebatan Seorang Guru
Lima pilar kehebatan seorang guru (Ayi Aam, 2024). Pertama, semangat yang tak pernah padam (high spirit) sebagai api yang menyala di jiwa. Guru hebat bukanlah sekadar pekerja, tetapi pejuang pendidikan. Semangatnya bagaikan api yang menyala di jiwa, tak pernah padam diterpa badai tantangan. Ia dipanggil oleh empat kekuatan besar. Kedua, sentuhan hati yang mendalam (high touch) menjadi energi vibrasi positif lewat sentuhan ilahi yang menyelamatkan. Guru hebat memiliki sentuhan magis, mampu memahami dan menyentuh hati muridnya. Ia bukan hanya pengajar, tetapi juga seorang penyair jiwa, yang dengan kata-kata dan tindakannya mampu membangkitkan potensi terpendam dan menyembuhkan luka batin. Cinta dan kasih sayang adalah alat ajaibnya, yang mampu mengubah jiwa-jiwa muda menjadi lebih baik.
Ketiga, penguasaan teknologi yang mumpuni (high tech) sebagai perisai untuk mengendalikan arus informasi. Guru hebat adalah penjelajah dunia digital, mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran yang efektif. Ia mampu menjinakkan arus informasi yang deras, memilih dan menyaringnya untuk kebaikan murid-muridnya. Ia bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga pencipta inovasi pembelajaran di era digital. Keempat, kompetensi yang unggul (high competence) dengan ketajaman mata dan kedalaman pikiran. Guru hebat memiliki mata yang tajam, mampu melihat potensi tersembunyi dalam setiap murid. Pikirannya bagaikan samudra yang dalam, memahami materi ajar secara mendalam dan mampu menyampaikannya dengan cara yang menarik dan mudah dicerna. Ia mampu memfasilitasi mindful learning, membimbing murid untuk belajar dengan penuh kesadaran dan makna.
Kelima, sinergi yang kuat (high synergy) dengan menyatukan kekuatan untuk satu tujuan. Guru hebat adalah pemimpin orkestra pendidikan, mampu menyatukan kekuatan orang tua, masyarakat, dan sekolah untuk mencapai tujuan bersama. Ia membangun jembatan komunikasi yang kuat, menciptakan sinergi yang harmonis untuk menciptakan lingkungan belajar yang optimal.
Guru hebat, dengan tangan-tangan terampilnya, membentuk batu bata manusia yang akan menyusun masa depan bangsa.
Guru, sang arsitek peradaban, kepbribadian, rohani, dan pembelajaran.
Guru Sebagai Sang Arsitek Peradaban
Seorang arsitek yang membangun gedung bagus dan kokoh tentu memerlukan keahlian khusus yang membuatnya menjadi seorang arsitek yang mumpuni di bidangnya
Guru adalah arsitek peradaban karena setiap hal yang diajarkan sangat menentukan peradaban ini. Guru diupayakan memiliki daya kreatifitas dan merancang setiap proses pembelajaran. Sekalipun peserta didik sebagai pusat atau obyek dari rancangan tersebut.Selain itu, guru diupayakan memahami konsep belajar dan pembelajaran agar tercipta sinergitas antara semua elemen dan terciptanya pembelajaran yang menyenangkan. Sehingga dalam proses pembelajaran perserta didik tidak merasa jenuh atau bosan. Jika guru dapat mensinergikan semua elemen, guru tak perlu menggunakan media yang mahal atau sulit terutama guru diwilayah pedalaman.Dengan demikian dimanapun berada seorang guru tetap bisa menyalurkan dan mengembangkan rancangannya meski keterbatasan sarana dan prasarana.
Ketika membangun sebuah peradaban bangsa yang baik dan kuat, sebuah keniscayaan bukanlah sebuah pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan dengan sekali ayunan tangan. Karena, kekuatan-kekuatan eksternal dan tantangan globalisasi pasti akan berusaha menghambat tatanan masyarakat yang sedang dibangun tersebut. Menjadi tuntutan bagi lembaga pendidikan atau sekolah dan para guru untuk turut membangun peradaban manusia, keniscayaannya tentunya dibutuhkan guru hebat yang profesional (Asep Totoh, 2020).
Membangun peradaban sebuah bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan watak dan karakter manusia unggul dari sisi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi oleh fitrah kemanusiaan. Fitrah adalah titik tolak kemuliaan manusia, baik sebagai bawaan seseorang sejak lahir atau sebagai hasil proses pendidikan. Nelson Black dalam bukunya yang berjudul “Kapan Sebuah Bangsa Akan Mati?” menyatakan bahwa nilai-nilai akhlak, kemanusiaan, kemakmuran ekonomi, dan kekuatan budaya merupakan sederet faktor keunggulan sebuah masyarakat yang humanis. Sebaliknya, kejahatan sosial dan budaya merupakan faktor penyebab kemunduran sebuah peradaban (Asep Totoh, 2020).
Jelaslah bahwa pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan membuat orang jadi beradab. Pendidikan juga merupakan kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial. Karena itulah, pendidikan yang progresif menyerukan penataan kembali masyarakat dan bangsa lewat pendidikan. Dengan pendidikan, reformasi (terutama reformasi pendidikan budi pekerti) dapat dijalankan. Begitu juga halnya dengan reformasi moralitas (agama), reformasi kebudayaan (keindonesiaan), reformasi nasionalisme (NKRI) (Asep Totoh, 2020).
Guru sebagai sang arsitek peradaban adalah guru yang mendidik dan mengajar dengan hati. Tuntutannya berarti guru memberikan contoh yang baik bagi anak didiknya, dengan proses keteladanan atau memberi contoh melalui sikap dan tingkah laku yang baik merupakan strategi yang ampuh dari sekadar mengajar di depan kelas. Dan Guru yang mendidik dengan hati, menjadikan profesi guru sebagai jalan menggapai ridha Illaahi.
Informasi penting disajikan secara kronologis (Asep Totoh, 2020)
Selanjutnya guru sebagai sang arsitek peradaban adalah guru yang mampu mengubah paradigmanya lebih berfikir kritis, terbuka, dan terus berkembang untuk menjadi guru yang “hebat”. Di masa kini, guru yang “apa adanya” tidak lagi bisa membanggakan diri, karena guru “hebat”lah yang bisa diandalkan untuk memenuhi tuntutan zaman yang mengharuskan peningkatan dalam mutu pendidikan. Menjadi guru hebat dalam profesinya, Arifin (2000) mengemukakan bahwa guru Indonesia harus profesional dipersyaratkan mempunyai; Pertama, dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21. Kedua, penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praktis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia. Ketiga, pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan (Asep Totoh, 2020).
Sejatinya guru peradaban dalam tugas utama guru adalah mendidik peserta didiknya agar menjadi manusia terdidik yang bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia (khoirunnas anfa uhum linnas), terutama dalam mewujudkan masa depan Indonesia berkemajuan dan berperadaban luhur. Tugas mulia guru bukan sekadar melakukan transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur dalam rangka memanusiakan (humanisasi) diri peserta didik: membentuk karakter dan kepribadiannya agar memiliki integritas moral dan akhlak mulia; membekali kompetensi, sikap positif, dan keterampilan hidup (life skills) agar bisa menjalani dan memaknai kehidupannya, dan membentuk mindset positif dalam rangka meraih prestasi dan kesuksesan duniawi dan ukhrawi (Asep Totoh, 2020).
Guru adalah arsitek peradaban, membangun fondasi masa depan melalui ilmu dan nilai-nilai kehidupan. Mereka bukan hanya pengajar tetapi pendamping yang membantu kita menemukan potensi terbaik dalam diri. Melalui ketulusan, mereka mengubah kebingungan menjadi pemahaman dan rasa takut menjadi keberanian (Hari Guru Nasional, 2024).
Guru bukan hanya profesi, tetapi panggilan jiwa yang menginspirasi. Setiap ilmu yang diajarkan, setiap nasihat yang diberikan, menjadi bekal berharga untuk masa depan. Terima kasih, guru, atas cinta dan pengorbanan yang tak pernah henti. Engkaulah pahlawan pembangun insan cendekia (Hari Guru Nasional, 2024).
Peradaban tidak dibangun dalam sekejap, sebagaimana pohon besar tidak tumbuh dalam satu musim. Ia membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan tangan-tangan yang penuh cinta untuk merawatnya. Di ruang-ruang kelas yang mungkin sederhana, di tengah tantangan yang sering sunyi dari sorotan, guru menanam benih-benih masa depan dalam membentuk generasi yang kritis, kreatif, berkarakter, dan penuh daya juang (Sari, 2025).
Guru harus terus menyalakan semangat dan merawat api kecil dalam diri setiap anak atau peserta didik dengan harapan akan menjadi cahaya peradaban. Jangan pernah meremehkan satu langkah kecil, satu kalimat penyemangat, atau satu pelajaran kehidupan yang kita tanamkan hari ini. Karena sejatinya, di dunia yang terus berubah, warisan terbesar kita bukanlah bangunan megah atau teknologi canggih, melainkan manusia-manusia yang berjiwa besar. Dan membangun jiwa itulah tugas abadi seorang guru (Sari, 2025).
Mendidik Adalah Kerja Peradaban
Mendidik adalah kerja peradaban. Pekerjaan besar menyiapkan generasi yang siap menjadi pelaku sejarah dan pembangun peradaban. Mewarnai zaman dengan rupa-rupa dan lika-liku prestasi dan karya. Maka, perlu para guru hebat dengan paradigma, visi, dan kompetensi sang arsitek peradaban (Syafi’ie el-Bantanie, 2021).
Paradigma dan visi seorang guru sangat mempengaruhi capaian kompetensi dan kualitas performanya dalam mendidik. Guru dengan paradigma sang arsitek peradaban akan memiliki visi melampaui ruang dan waktu. Lalu, menerjemahkannya dalam performa tahunan yang excellent. Bahkan, dia mampu mewariskan visi masa depannya kepada para muridnya (Syafi’ie el-Bantanie, 2021).
Guru adalah arsitek peradaban. Begitulah salah satu pepatah penting yang melekat pada guru (sang pembangun insan cendekia). Keberhasilan seorang guru adalah ketika telah berhasil memberikan hati dan kepribadiannya dalam mendidik siswa-siswinya. Jamil Azzaeni pernah mengatakan “Jika pengalaman adalah salah satu guru terbaik. Maka, menjadi seorang guru adalah salah satu pengalaman terbaik”. Karena melalui peran gurulah yang mengantarkan putra putri generasi penerus bangsa berani bercita-cita hingga berhasil mencapai impiannya tersebut. Tapi, sudahkah mereka menjadi guru yang terbaik bagi peserta didiknya? Karena tugas seorang guru bukan hanya sekedar mengajar materi dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’. Mendidik karakter, membimbing dengan penuh kasih sayang, dan membina peserta didik dengan penuh ketulusan juga merupakan tugas dari seorang guru.
Apa yang akan terjadi jika sekolah menjadi tempat yang menakutkan bagi siswanya? Jika ada siswa yang salah, maka harus dipukul dengan rotan. Jika ada siswa yang mendapat nilai jelek, juga harus dipukul dengan rotan. Siswa membolos, maka hukumannnya adalah pukulan rotan. Siswanya dicap pahe (keras kepala), bodoh, nakal, atau bandel. Yang paling kacau adalah jika ada guru yang dikenal galaknya dan suka menghukum siswanya. Sementara guru tersebut jarang masuk kelas mengajar. Terkadang siswa tersebut ada yang menangis karena mendapat pukulan. Apakah boleh, guru memukul siswanya dengan rotan? Tentunya tindakan guru tersebut pasti ada alasannya, mungkin siswanya bandel, kurang disiplin, dan sebagainya. Tapi, apakah hukuman itu harus dengan pukulan? Karena pukulan tentunya akan berdampak pada kondisi psikologis siswa. Apakah semua masalah siswa harus diselesaikan dengan rotan? Tak peduli siswa yang salah atau sebenarnya guru tersebut yang salah. Padahal rotan tak selamanya menjadi senjata yang menakutkan bagi siswa, tapi rotan bisa menjadi emas jika guru bisa mengelola siswa dengan baik dan benar. Disinilah perlunya guru melakukan refleksi. Sudahkah mengajar dan mendidik peserta didiknya dengan penuh cinta dan kasih sayang?
“Gurunya Manusia”
Munif Chatib dalam bukunya yang berjudul “Gurunya Manusia”, mengelompokkan guru menjadi tiga jenis dilihat dari faktor kemauan untuk maju, yaitu guru robot, guru materialistis dan gurunya manusia. Pertama, guru robot, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk kelas, mengajar, lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tak punya kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi, apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. Mereka tidak peduli dan mirip robot yang selalu menjalankan perintah sesuai program yang sudah disusun. Kedua, guru materialistis, yaitu guru yang selalu melakukan perhitungan, mirip dengan aktivitas bisnis jual-beli. Parahnya, yang dijadikan patokan adalah hak yang mereka terima, barulah kewajiban mereka akan dilaksanakan sesuai hak yang mereka terima. Pada awalnya, guru merasa professional, tetapi pada akhirnya akan terjebak dalam kesombongan dalam bekerja sehingga tidak tampak manfaatnya dalam bekerja. Ketiga, gurunya manusia, yaitu guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas, akan berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi.
Begitulah pendapat Munif Chatib mengenai guru robot, guru materialistis dan gurunya manusia. Dimanakah posisi kita? Jawabannya ada di hati masing-masing guru. Semoga semua guru senantiasa melakukan refleksi diri dalam menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Evaluasi diri dan perbaiki diri dengan senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalitas dalam mengemban amanahnya tersebut. Refleksi diri agar bisa menjadi “Gurunya Manusia”. Jangan jadi guru, jika tak mau mengajar. Jangan jadi guru, jika malas datang ke sekolah. Sekali masuk, kasih buku ke siswa, ditinggal, lalu masuk kantor dan pulang. Berangkat telat, dan pulang lebih awal. Semoga tidak ada lagi guru yang bertipe seperti itu. Karena jika ada, pasti yang rugi adalah siswanya, sekolahnya dan tentunya citra guru itu sendiri. Sekali lagi jika tak siap menjadi guru, mending alih profesi lain. Kasih kesempatan itu kepada orang lain yang sanggup dan lebih bisa mengemban amanah sebagai guru. Karena menjadi guru itu butuh tekad, ketulusan hati dan komitmen yang tinggi dalam membimbing para peserta didiknya. Karena guru menjadi kunci utama penentu keberhasilan pendidikan di negeri ini. Kalau bukan guru, siapa lagi? Bahagialah menjadi guru, karena setiap langkahnya menjadi amal yang mulia. Bangga jadi guru. Guru berkarakter, menggenggam Indonesia.
Guru Arsitektur Kepribadian
Guru adalah figur seorang pemimpin, sosok arsitektur yang dapat membentuk kepribadian dan watak peserta didik, mempunyai kekuasaan fundamental untuk membentuk dan membangun kepribadian peserta didik menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa, bangsa dan kehidupan sosial. (John Dewy) menyebutkan ”Education is the fundamental method of social progress and reform”, pendidikan adalah metode yang fondamental bagi kemajuan sosial dan reformasi.
Sebagai pendidik-pengajar, guru bertugas mempersiapkan generasi muda bangsa yang dapat membangun diri dan bangsanya demi kelestarian dan keberlanjutan hidup suatu bangsa dan Negara. Artinya guru berperan sebagai arsitektur untuk membentuk pola manusia seperti apa yang akan dibangun dimasa depan (the future of the world is the hand of educated people).
Menurut Mulyana (2010), seorang guru diartikan sebagai arsitek sumber daya manusia yaitu orang yang dapat merekonstruksi atau membangun situasi. Guru mengetahui bahwa kemampuan setiap peserta didik satu dengan yang lain berbeda, guru harus mampu membuat pembelajaran yang sesuai bagi peserta didik agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Guru harus mempunyai pengetahuan tentang pokok mata pelajaran dan pengetahuan tentang cara siswa belajar (Wiggins & McTighe dalam Slavin, 2011). Dalam setiap kasus, guru berusaha menjadikan satu topik abstrak lebih konkret dengan mengaitkan topik tersebut pada dunia nyata lewat contoh atau analogi.
Arsitek Bagi Rohani
Pendidikan adalah metode yang fondamental bagi kemajuan sosial dan reformasi. Sebagai pendidik-pengajar, guru bertugas mempersiapkan generasi muda bangsa yang dapat membangun diri dan bangsanya demi kelestarian dan keberlanjutan hidup suatu bangsa dan Negara. Artinya guru berperan sebagai arsitektur untuk membentuk pola manusia seperti apa yang akan dibangun di masa depan (the future of the world is the hand of educated people).
Djamarah (2010) menyatakan bahwa guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Untuk mencapai tujuan itu, guru harus bisa men-design pembelajaran agar belajar peserta didik lebih terarah.
Guru harus melibatkan peserta didik menentukan tujuan pembelajaran, agar sesuai dengan kompetensi yang dinginkan oleh peserta didik. Guru menentukan kapan peserta didik harus belajar sendiri, kapan harus bertemu guru, kapan harus berdiskusi dan kapan harus melakukan apa.
Guru sebagai arsitek bagi rohani anak didiknya. Guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi seorang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Guru bertugas mempersiapkan manusai susila yang dapat diharapkan membanguun dirinya dan membangun bangsa dan Negara.
Guru memiliki tugas dalam pembentukan karakter serta jiwa peserta didik. Ketika karakter dan jiwa peserta didik telah terbentuk, artinya seorang guru telah sukses menjalankan peran sebagai arsitektur dalam dunia pendidikan. Makanya, guru harus berkarater terlebih dahulu (Supardi, 2013).
Guru adalah arsitek jiwa manusia. Ia adalah perancang total dari pribadi muridnya yang meliputi segala aspek. Ia dapat mengenali muridnya dengan baik, menemukan perbedaan masing-masing pribadi, serta menanggapi mereka dengan penuh penghargaan sebagai pribadi memiliki aspek-aspek yang berbeda. Ia melakukan berbagai pendekatan kepada masing-masing pribadi sesuai dengan karakternya.
Di dalam pendidikan ada empat faktor yang urutannya tidak boleh diubah, yaitu guru sebagai pendidik, bahan pendidikan, murid sebagai penerima pendidikan, dan fasilitas pendukung pendidikan.
Guru yang baik akan mencari posisi yang baik untuk mengajar dan akan selalu berada di atas situasi. Murid-muridnya mengagumi dan menghormatinya. Guna pembangunan jiwa muridnya, ia memberikan bahan pendidikan yang berbobot dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagaikan seorang pemahat, dengan terampil dia memahat pribadi muridnya.
Seorang arsitek yang berpegang pada teori dan praktek, ia memiliki senjata ganda. Dia bisa memvalidasi desain dan juga dapat terjadi pada eksekusi. “Itu semua tidak lepas dari konsep ide dasar bahwa kekuatan utama di setiap arsitek terletak pada kekuatan ide.”
Guru Arsitek Pembelajaran
Guru, selain sang arsitek peradaban, kepbribadian dan rohani, dan sudah pasti guru merupakan arsitek pembelajaran. Guru merupakan arsitek pembelajaran di kelasnya sendiri. Guru juga yang menciptakan proses pembelajaran berkualitas, tetapi tetap mengutamakan belajar menyenangkan bagi siswa. Oleh karena itu, guru wajib merancang pembelajaran sesuai kebutuhan siswa yang diajar dan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana yang telah dibuat sendiri oleh guru.
Guru dalam fungsinya dapat disebut sebagai “arsitek pembelajaran”, merancang pembelajaran secara baik dan sempurna. Peran guru dapat dijalankan dengan sempurna apabila dilandasi dengan rancangan pembelajaran yang baik, dalam proses pembelajaran dapat diukur ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Secara spesifik guru memiliki peran utama yaitu ”mendidik, mengajar dan melatih atau membimbing” (Djamarah, 2005).
Untuk mampu menjadi arsitek pembelajaran, maka guru harus belajar merancang pembelajaran yang asyik, dan menyenangkan. Peserta didik merasa tertantang untuk menggali materi lebih dalam. Semua itu dilakukannya dengan sukarela dan tanpa paksaan. Belajar pun menjadi sangat menyenangkan. Guru senang dan peserta didikpun senang. Mereka sama sama senang dalam pembelajaran yang dirancang dan dibangun oleh guru (Kusumah, 2015).
Seorang arsitek pembelajaran adalah seorang yang mampu merencanakan pembelajaran dengan baik. Guru sudah membayangkan jauh ke depan apa yang akan disampaikannya di dalam kelas. Guru yang mengajar tanpa persiapan dan kurang merancang pembelajarannya, maka kelasnya menjadi tidak terarah. Pembelajaran terjadi asal saja dan kurang bermakna. Kalau sudah begitu tak akan pernah terjadi pembelajaran yang menyenangkan (Kusumah, 2015).
Seorang guru yang profesional harus mampu merancang dan merencanakan pembelajaran dengan baik, tanpa harus menunggu petunjuk atau perintah dari atasannya (kepala sekolah) dalam melakukan sebuah perubahan dan inisiatif dalam pembelajaran.
Sebagai seorang arsitek pembelajaran yang baik, ia harus memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan melakukan evaluasi dalam pembelajaran. Ia juga dibekali dengan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial
Semoga bermanfaat !!!