Indikasi Geografis, Pelindung Produk Lokal dan Pilar Ekonomi Sultra

5 days ago 9

Oleh: Linda F Saleh (Kabid Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum)

Bayangkan Anda sedang duduk di sebuah kedai kopi tradisional di Konawe. Uap hangat dari secangkir kopi Tolaki mengepul di hadapan Anda, aromanya begitu khas, menenangkan, dan bercita rasa kuat. Atau mungkin Anda sedang berjalan di pasar tradisional Muna, di mana tumpukan mete segar dipajang, menawarkan cita rasa gurih yang tak tertandingi. Sementara di Buton, para pengrajin tekun menenun lembaran kain berwarna-warni, meneruskan tradisi leluhur yang sudah berusia ratusan tahun. Namun, bayangkan jika suatu hari kopi ini dipasarkan dengan merek negara lain, mete Muna dijual tanpa identitas aslinya, atau tenun Buton diproduksi massal oleh perusahaan asing tanpa ada penghargaan terhadap sejarah dan budayanya.

Apakah kita sudah cukup melindungi warisan ini? Faktanya, banyak produk khas Indonesia yang telah diklaim oleh negara lain akibat kurangnya perlindungan hukum. Batik, reog Ponorogo, bahkan beberapa tarian tradisional pernah diklaim oleh negara lain. Apakah kita ingin mete Muna atau tenun Buton menjadi korban berikutnya?

Sebagaimana pepatah Buton mengatakan, “Bolimo karo sumanamo lipu,” yang berarti “Jangan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk negeri.” Atau dalam filosofi masyarakat Tolaki, “Mekooloi posipole, wonua ari ine pasipole dawo,” yang berarti “Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.” Melindungi produk-produk khas daerah melalui Indikasi Geografis bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tanggung jawab moral kita dalam menjaga warisan leluhur agar tetap menjadi kebanggaan generasi mendatang.

Indikasi Geografis

Eksistensi Indikasi Geografis adalah jalan menuju kesejahteraan masyarakat lokal. Menurut Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Indikasi Geografis didefinisikan sebagai tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Dengan kata lain, Indikasi Geografis adalah bukti bahwa suatu produk memiliki karakteristik khas yang tidak bisa ditemukan di tempat lain, karena pengaruh lingkungan, tradisi, dan teknik produksi yang telah diwariskan turun-temurun.

Sulawesi Tenggara telah membuktikan bahwa Indikasi Geografis bukan hanya sekadar label hukum, tetapi juga jalan menuju kesejahteraan masyarakat lokal. Contohnya adalah mete Muna, yang sejak mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis pada tahun 2019, mengalami lonjakan permintaan yang signifikan, baik di pasar domestik maupun ekspor. Sebelumnya, mete asal Muna sering dijual ke luar daerah tanpa label khas, sehingga dianggap berasal dari tempat lain. Kini, dengan adanya sertifikasi Indikasi Geografis, para petani mete di Muna mendapatkan harga jual yang lebih tinggi serta kepastian pasar yang lebih baik.

Kini, mete Muna tidak hanya menjadi primadona di pasar lokal, tetapi juga mulai dilirik eksportir dari Jepang dan Eropa karena keunikan rasanya yang lebih gurih dibandingkan mete dari daerah lain. Bukankah ini bukti bahwa perlindungan Indikasi Geografis dapat mengangkat nilai ekonomi suatu produk?

Data Produksi dan Ekspor Mete Muna

Angka tidak bisa berbohong, Indikasi Geografis  benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap nilai ekonomi dan sosial produk lokal. Menurut data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 2020, Sulawesi Tenggara menyumbang 85,98% dari total produksi jambu mete nasional, dengan Kabupaten Muna berkontribusi sebesar 26,59%. Angka ini menunjukkan bahwa Muna adalah salah satu pusat produksi mete terbesar di Indonesia, yang tidak hanya berkontribusi bagi perekonomian daerah tetapi juga menjadi sumber utama mata pencaharian masyarakat.

Namun, apakah angka ini cukup menggambarkan dampak Indikasi Geografis secara keseluruhan? Dari perspektif ekonomi sosial, Indikasi Geografis tidak hanya meningkatkan nilai jual suatu produk, tetapi juga menciptakan efek domino bagi kesejahteraan masyarakat. Lebih dari sekadar sertifikasi hukum, Indikasi Geografis berperan dalam menciptakan daya saing yang lebih tinggi, memperkuat posisi petani dan produsen lokal dalam rantai pasok, serta mencegah eksploitasi harga oleh tengkulak atau pasar luar yang lebih dominan.

Dalam konteks ekonomi, Indikasi Geografis berfungsi sebagai instrumen yang memberikan nilai tambah bagi produk lokal. Dengan adanya Indikasi Geografis, mete Muna tidak hanya dipandang sebagai produk komoditas biasa, tetapi sebagai produk khas dengan karakteristik unik yang tidak dapat direplikasi di daerah lain. Sebagai akibatnya, harga mete dengan Indikasi Geografis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan mete non-Indikasi Geografis, karena pasar, baik domestik maupun internasional, mengakui keunikan serta kualitasnya yang lebih baik.

Pada tahun 2017, produksi kacang mete dari perkebunan rakyat di Pulau Muna mencapai 8.507 ton, menyumbang 29,5% dari total ekspor mete Sulawesi Tenggara. Jika dikelola dengan baik, Indikasi Geografis dapat memperluas pasar ekspor dan meningkatkan daya tawar produsen lokal terhadap pembeli internasional. Saat ini, nilai perdagangan mete asal Sulawesi Tenggara telah mencapai Rp939 juta melalui Pelabuhan New Port. Namun, tanpa strategi keberlanjutan yang jelas, angka ini bisa stagnan atau bahkan menurun jika produk lokal tidak memiliki perlindungan yang memadai dari pesaing global.

Di beberapa negara maju, produk dengan Indikasi Geografis mampu meningkatkan harga hingga 30-50% dibandingkan dengan produk serupa yang tidak memiliki Indikasi Geografis. Hal ini bisa diterapkan pada kopi Tolaki,  tenun Buton, teri Waburense jika pengelolaan Indikasi Geografis dilakukan dengan baik. Potensi ekspor yang lebih luas akan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan memberikan kontribusi besar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tenggara. Perlu diketahui bahwa sektor ekonomi yang paling berkontribusi terhadap PDRB Sulawesi Tenggara adalah Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Sektor ini memberikan kontribusi paling dominan terhadap PDRB Sulawesi Tenggara, dengan kontribusi sekitar 23,79%pada triwulan I-2024.

Produk Unggulan Sulawesi Tenggara yang Belum Terlindungi Indikasi Geografis

Sulawesi Tenggara memiliki beragam produk unggulan yang berpotensi mendapatkan perlindungan Indikasi Geografis  karena keunikan dan nilai ekonominya yang tinggi. Produk tersebut antara lain adalah Kopi Wine dari Konawe Selatan, yang dihasilkan melalui proses fermentasi biji kopi berkualitas tinggi. Kopi ini memiliki cita rasa unik menyerupai wine dengan aroma khas, rasa asam yang lembut, serta kompleksitas rasa yang menarik. Ditanam di dataran tinggi dengan iklim ideal, kopi ini memiliki potensi besar untuk menembus pasar premium domestik maupun internasional.

Dari Kabupaten Bombana, Gula Aren Bombana merupakan produk unggulan yang dihasilkan melalui proses produksi yang ramah lingkungan. Dengan kualitas yang tinggi, gula aren ini memiliki peluang besar untuk menembus pasar ekspor, terutama sebagai pemanis alami yang semakin diminati di industri makanan dan minuman sehat.

Kabupaten Muna memiliki dua produk unggulan yang memiliki potensi besar dalam Indikasi Geografis. Tenun Masalili, yang dikenal dengan motifnya yang rumit dan kombinasi warna yang menarik, telah lama diminati untuk keperluan adat maupun fashion kontemporer. Selain itu, terdapat Kopi Kahawa Wuna, kopi khas yang tumbuh di dataran tinggi Muna. Kopi ini memiliki rasa pekat dan aroma kuat, menjadikannya favorit bagi pecinta kopi lokal maupun internasional.

Dari Kabupaten Buton, terdapat Kopi Kaongkeongkea, kopi dengan karakter rasa earthy dan aroma khas yang saat ini sedang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara untuk memperluas pasarnya. Selain itu, Teri Asap Kaholeo merupakan produk perikanan yang diolah dengan teknik pengasapan tradisional, menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang berpotensi besar untuk pasar makanan olahan premium. Produk unggulan lain dari Buton adalah Mete Buton, yang dikenal dengan ukuran bijinya yang besar dan rasa gurihnya, menjadikannya komoditas ekspor unggulan yang bernilai ekonomi tinggi. Bawang Merah Lande juga menjadi produk khas daerah ini, dengan aroma yang kuat dan rasa yang khas, tumbuh subur dengan metode pertanian tradisional.

Dari Buton Selatan, terdapat Jeruk Siompu, buah khas yang memiliki rasa manis-asam yang segar. Jeruk ini tumbuh subur di tanah vulkanik yang kaya mineral, membuatnya memiliki kualitas unggul dibandingkan dengan jeruk dari daerah lain. Jeruk Siompu memiliki potensi besar untuk pasar buah segar dan produk olahan seperti jus.

Kabupaten Buton Utara dikenal dengan Beras Kambowa, beras organik yang kaya nutrisi dan memiliki rasa khas. Beras ini ditanam dengan metode tradisional di lahan subur, menjadikannya sangat cocok untuk pasar kesehatan dan organik yang sedang berkembang.

Di Kabupaten Kolaka, Kakao Kolaka menjadi salah satu produk unggulan yang memiliki cita rasa khas. Kakao ini sering diolah menjadi berbagai produk, seperti cokelat bubuk, cokelat batangan, atau minuman cokelat, yang tidak hanya memenuhi pasar lokal tetapi juga berpotensi besar untuk ekspor. Produk ini mencerminkan keunggulan lokal dan mendukung pemberdayaan petani kakao di wilayah tersebut.

Dari Kabupaten Kolaka Utara, terdapat Buah Pacikala, buah lokal dengan rasa manis unik yang berpotensi besar untuk bahan dasar makanan atau minuman olahan. Selain itu, Gula Aren Kolaka Utara juga merupakan produk tradisional dengan cita rasa manis alami, yang sangat cocok untuk pasar organik dan industri kuliner.

Di Kepulauan Wakatobi, terdapat Kopi Kahianga, kopi khas yang tumbuh di lingkungan kepulauan dengan iklim mikro unik. Kopi ini memiliki aroma dan rasa khas, sehingga sangat cocok untuk pasar premium. Selain itu, Tenun Pajam menjadi produk unggulan lain dari Wakatobi. Kain tenun ini dikenal dengan motif yang kaya akan makna budaya, dibuat dengan pewarna alami dan teknik tenun tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.

Kemudian, dari Kabupaten Konawe, Sagu Konawe menjadi salah satu produk khas yang memiliki potensi besar dalam Indikasi Geografis. Sagu ini merupakan makanan pokok masyarakat Konawe, dengan pengolahan tradisional yang menghasilkan tekstur dan rasa khas. Sagu Konawe berpotensi besar untuk pasar lokal dan nasional, termasuk sebagai bahan baku industri pangan.

Produk-produk tersebut di atas menunjukkan betapa besar potensi Indikasi Geografis di Sulawesi Tenggara. Jika dikelola dengan baik dan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, Indikasi Geografis tidak hanya akan menjaga keaslian produk, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memperkuat daya saing produk lokal di tingkat nasional maupun internasional.

Dengan daftar panjang produk yang masih belum terlindungi ini, bisakah kita mengatakan bahwa kita sudah cukup serius melindungi warisan daerah?

Saatnya Melindungi dan Mengangkat Produk Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara memiliki potensi besar dalam sektor kekayaan intelektual berbasis tradisi dan alam. Namun, potensi tanpa perlindungan hanya akan menjadi kenangan yang tertinggal dalam sejarah. Sudah saatnya kita mengangkat keunikan daerah ini ke tingkat yang lebih tinggi melalui perlindungan dan promosi Indikasi Geografis. Ini bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang identitas, dan warisan leluhur.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 10:“Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan Kami adakan untukmu (sumber) penghidupan di sana. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al-A’raf: 10)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa sumber daya alam dan produk lokal adalah bagian dari rezeki yang telah diberikan Allah SWT, dan kita memiliki kewajiban untuk menjaga serta mengelolanya dengan baik. Perlindungan Indikasi Geografis bukan hanya strategi dagang, tetapi juga bagian dari rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT. Bagaimana mungkin kita membiarkan warisan daerah ini hilang atau diklaim oleh pihak lain?

Hari ini, kita menghadapi pilihan besar: membiarkan warisan kita punah, atau berdiri tegak untuk melindunginya. Apakah kita rela melihat mete Muna, kopi Tolaki, atau tenun Buton suatu hari dipasarkan dengan label negara lain? Apakah kita hanya akan diam hingga terlambat?

Saatnya kita tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku dalam menjaga dan memajukan kekayaan lokal. Langkah pertama yang paling sederhana tetapi berdampak besar adalah mendukung produk lokal dengan membeli langsung dari produsen asli. Dengan demikian, kita tidak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan pengrajin lokal, tetapi juga memastikan bahwa hasil jerih payah mereka mendapatkan apresiasi yang layak.

Namun, perlindungan produk lokal tidak cukup hanya dengan dukungan konsumen. Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan harus mempercepat upaya perlindungan Indikasi Geografis, memastikan bahwa produk khas daerah tidak hanya memiliki nilai ekonomi tinggi tetapi juga memiliki pengakuan hukum yang kuat. Tanpa sertifikasi Indikasi Geografis, banyak produk lokal berisiko diklaim oleh pihak lain atau kehilangan daya saingnya di pasar global. Oleh karena itu, perlu ada regulasi (peraturan daerah) yang lebih progresif serta dukungan terhadap petani dan pengrajin untuk mendaftarkan produk mereka secara resmi.

Jangan biarkan kekayaan kita hanya menjadi cerita, sementara manfaat ekonominya dinikmati oleh orang lain. Seperti kata Winston Churchill, “The price of greatness is responsibility.” Jika kita ingin produk-produk unggulan daerah ini berkembang, maka kita memiliki tanggung jawab untuk melindunginya. Saatnya kita mengambil peran aktif dalam melindungi dan mengembangkan produk unggulan daerah. Jika bukan kita yang menjaganya, siapa lagi?

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|