
Oleh: La Ode Muhammad Elwan (Dosen FISIPOL UHO – Pemerhati Pendidikan)
SULTRAKINI.COM: Dalam dunia akademik, jabatan Rektor seharusnya menjadi simbol integritas, akal sehat, dan tanggung jawab moral terhadap masa depan bangsa. Namun, apa jadinya jika posisi tersebut justru digunakan sebagai alat pemuas ambisi keluarga, tempat berlindung bagi praktik nepotisme, dan kendaraan untuk mengintimidasi institusi pendidikan menengah?
Inilah ironi paling getir dari skandal dugaan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO), Muhammad Zamrun Firihu (MZF). Berdasarkan data dan bukti investigatif yang beredar, MZF diduga kuat memaksa pihak SMA Negeri 1 Raha untuk menyisipkan nama keponakannya sebagai peserta jalur SNBP ke Program Studi Pendidikan Dokter di UHO. Permintaan tersebut ditolak oleh kepala sekolah dengan alasan objektif: siswa bersangkutan tidak memenuhi standar prestasi akademik, dengan peringkat hanya di urutan ke-105.
Apa respon sang rektor? Bukan dialog atau klarifikasi, tapi justru tindakan sewenang-wenang yang mencabut kuota siswa pada Program Studi Pendidikan Dokter, Farmasi, Kesehatan Masyarakat dan beberapa program studi lainnya. Ini bukan saja tindakan destruktif terhadap masa depan siswa dan harapan orangtua, tapi juga bentuk pelecehan terhadap prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam sistem pendidikan nasional.
Yang lebih memprihatinkan, beredar dugaan pernyataan dari saudara kandung rektor yang mengatakan, “Jika anak saya tidak masuk, lebih baik tidak ada yang lulus,” menjadi bukti bahwa relasi kekeluargaan telah menggantikan akuntabilitas publik. Kata-kata itu mencerminkan egoisme kekuasaan yang berbahaya dan bertentangan dengan prinsip etika publik.
Tindakan seperti ini secara terang-terangan melanggar:
- Pasal 2 huruf f Permendikbudristek No. 48 Tahun 2022, yang mewajibkan seluruh proses seleksi mahasiswa baru bebas dari konflik kepentingan, kolusi, dan nepotisme.
- Pasal 5 dan 6: Menetapkan dasar-dasar kuota sekolah dan sistem seleksi berbasis prestasi akademik.
- Pasal 421 KUHP, yang mengancam pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu di luar kewenangannya.
- Panduan Resmi SNPMB 2024 oleh Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3), Mengatur secara teknis tentang persyaratan siswa eligible SNBP, termasuk perhitungan kuota berdasarkan akreditasi sekolah dan ranking siswa di sekolah asal, Tidak ada ruang untuk intervensi eksternal atau permintaan khusus oleh pejabat atau pihak luar.
- Standar Etika Akademik & Prinsip Good University Governance (GUG).
- Laporan Ombudsman RI & Yudisial, Ombudsman RI secara umum telah beberapa kali menemukan kasus serupa dalam rekrutmen ASN dan penerimaan mahasiswa yang melibatkan maladministrasi, intervensi kekuasaan, dan penyalahgunaan jabatan, Prinsip umum maladministrasi meliputi: penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan perilaku tidak patut.
Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, ini adalah bentuk kejahatan moral dan struktural dalam sistem pendidikan tinggi. Jika dibiarkan, maka akan muncul preseden buruk, bahwa jabatan bisa menjadi tameng bagi kepentingan pribadi, bahwa siapa pun yang dekat dengan kekuasaan bisa melompati prosedur, bahkan merusak masa depan anak-anak lain yang berprestasi.
Kita harus bersuara lebih keras dan wajib mengawal kasus publik seperti ini. Kasian anak-anak sekolah harus dikorbankan cita-citanya dan harapan orangtua diputuskan. Sebab diam dalam kondisi seperti ini bukanlah netralitas, tapi pembiaran terhadap ketidakadilan. Maka rekomendasi hukum dan kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah:
- Pemeriksaan etik dan pemberhentian sementara Muhammad Zamrun Firihu sebagai Rektor UHO oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi RI, selama proses investigasi berlangsung.
- Audit menyeluruh oleh Ombudsman RI dan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek, terhadap seluruh proses SNBP di UHO.
- Meminta kepada POLDA SULTRA untuk menindaklanjuti laporan kepolisian dari masyarakat sipil berupa pemeriksaan pidana yang dilakukan Rektor UHO terhadap dugaan kuat terdapat unsur pemaksaan kehendak, gratifikasi, atau penyalahgunaan jabatan.
- Komisi X DPR RI dan atau DPRD Provinsi Sultra melakukan Audiensi dan menggelar RDP denganmemanggil Rektor UHO, Kadis Pendidikan Provinsi, Kepala Sekolah (sebagai pihak yang dirugikan secara kelembagaan)
- Class Action oleh siswa dan orangtua sebagai bentuk perlawanan sipil terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan hak anak atas pendidikan.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang suci yang menumbuhkan nilai kejujuran, bukan tempat berkembangnya budaya balas dendam, intimidasi, atau penyalahgunaan jabatan. Jika Rektor sebagai simbol akademia justru merusak fondasi itu, maka rakyat punya kewajiban moral untuk menegur, menuntut, dan jika perlu menumbangkan kekuasaan yang korup di balik topeng akademiknya (toga).***
Referensi:
- Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 48 Tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Diploma dan Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Pasal 421
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Panduan Resmi SNPMB 2024 oleh Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3)
- Standar Etika Akademik & Prinsip Good University Governance (GUG), UNESCO (2021), OECD (2019)
- Laporan Ombudsman RI & Yudisial