Kampus yang Dirampok (Membongkar Skandal Pemilihan Rektor UHO 2025–2029)

1 day ago 8

Oleh: La Ode Muhammad Elwan (Dosen FISIPOL UHO, Pemerhati Politik dan Demokrasi)

SULTRAKINI.COM: Di saat dunia menuntut transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, Universitas Halu Oleo justru mempertontonkan wajah buruk dari praktik penyalahgunaan kekuasaan di ruang akademik. Pemilihan Rektor UHO 2025–2029 bukan sekadar dipenuhi cacat prosedural; ia adalah potret suram dari persekongkolan elitis yang merusak demokrasi kampus dari dalam.

Masalah ini bukan soal siapa yang menang atau kalah, tetapi soal proses yang dipenuhi rekayasa sistematis. Ketika prosesnya rusak, maka produk akhirnya pun kehilangan legitimasi, betapapun indah ia dikemas.

Proses Pemilihan Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) periode 2025–2029 kini menjadi cermin buram dari krisis integritas dalam demokrasi kampus. Fakta-fakta yang mengemuka dari pernyataan salah satu calon rektor mengungkap dugaan pelanggaran administratif, manipulasi regulasi, serta intervensi kuasa yang sistematis oleh Rektor Prof. Dr. Muhammad Zamrun Firihu.

Salah satu pelanggaran paling mencolok adalah keterlambatan dalam tahapan penjaringan calon rektor, yang secara eksplisit bertentangan dengan Pasal 6 Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017. Regulasi tersebut mengatur bahwa penjaringan dilakukan maksimal lima bulan sebelum masa jabatan rektor berakhir. Namun, di UHO, penjaringan baru dimulai pada 10 April 2025, padahal masa jabatan rektor berakhir pada 2 Juli 2025. Pelanggaran waktu ini bukan hanya administratif, tetapi juga menciptakan celah penyalahgunaan wewenang yang mengarah pada pengkondisian hasil.

Lebih serius lagi, terbitnya Statuta UHO 2025 melalui Permendikti Saintek No. 21 Tahun 2025 dilakukan secara diam-diam dan diduga tanpa pembahasan di Senat Universitas. Ini mencerminkan praktik otoritarianisme akademik yang membungkam partisipasi sivitas akademika. Ketidakterlibatan senat dalam perumusan dokumen fundamental ini berpotensi menjadikan statuta sebagai instrumen manipulatif demi melanggengkan kekuasaan Muhammad Zamrun Firihu.

Penggantian keanggotaan senat secara masif—tiga kali dalam dua tahun—serta pembatasan partisipasi dosen melalui Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2025 menunjukkan adanya rekayasa Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) untuk membentuk senat yang loyal terhadap kepentingan Muhammad Zamrun Firihu. Dalam demokrasi kampus yang sehat, senat harus menjadi representasi akademisi, bukan alat legitimasi kekuasaan.

Bukti paling kuat dari dugaan “cawe-cawe” rektor terlihat dalam tahapan pemilihan yang tidak transparan dan super cepat: penetapan calon dilakukan pada 5 Mei 2025, dan pemilihan hanya berselang tiga hari setelahnya. Tidak tersedia ruang yang adil bagi para calon untuk menyosialisasikan visi dan misi mereka. Salah satu calon bahkan tidak memperoleh satu suara pun—indikasi kuat bahwa suara senat telah dikondisikan. Faktanya, calon yang direkomendasikan Muhammad Zamrun Firihu memperoleh 32 dari 49 suara senat universitas, sementara tiga calon lainnya masing-masing hanya memperoleh 4 suara, 1 suara, dan 1 suara. Bagaimana hal ini bisa terjadi jika tidak ada tekanan? Diduga kuat, Rektor UHO melakukan intimidasi, tekanan, bahkan ancaman kepada senator agar memilih jagoannya—dengan beragam modus operandi.

Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran etik dan administratif. Ini adalah bentuk konkret dari apa yang disebut Fareed Zakaria sebagai “demokrasi iliberal”—demokrasi prosedural tanpa semangat substansial. Ketika rektor dapat merekayasa regulasi, mengendalikan senat, dan membungkam oposisi, maka UHO telah kehilangan jiwanya sebagai lembaga akademik yang otonom dan berintegritas.

Karena itu, intervensi dari Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI sangat mendesak dan diperlukan. Penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Rektor serta evaluasi menyeluruh terhadap Statuta 2025 dan pengambilalihan proses Pilrek harus dilakukan untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjamin keadilan bagi semua kandidat.

Kampus bukanlah ruang kekuasaan, melainkan arena intelektual dan moral. Jika demokrasi kampus dirusak dari dalam, bagaimana kita bisa berharap kampus mampu mendidik generasi yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan keadilan?

Berikut beberapa substansi dugaan kuat pelanggaran yang dilakukan Muhammad Zamrun Firihu dalam proses Pemilihan Rektor UHO 2025–2029:

1. Kudeta Statuta: Ketika Konstitusi Kampus Dibajak

Statuta universitas adalah dokumen hukum yang setara dengan konstitusi dalam tata kelola perguruan tinggi (Permendikbud No. 14 Tahun 2014). Ia harus disusun secara partisipatif oleh senat, pimpinan universitas, dan pemangku kepentingan. Namun, Statuta Tahun 2025 disahkan secara diam-diam tanpa melibatkan senat, bahkan tanpa konsultasi publik. Ini jelas bertentangan dengan prinsip good university governance dan mencerminkan abuse of power oleh Rektor Muhammad Zamrun Firihu, yang seolah menjadikan statuta sebagai instrumen untuk memperpanjang kekuasaan.

2. Rektor Melawan Rekomendasi Ombudsman

Yang lebih mencengangkan, pemilihan tetap berlangsung meskipun terdapat rekomendasi resmi dari Ombudsman RI yang menyatakan bahwa Rektor UHO telah melakukan maladministrasi pada masa jabatan sebelumnya. Dalam negara hukum, rekomendasi dari lembaga negara seperti Ombudsman seharusnya menjadi dasar kuat untuk mengevaluasi kelayakan pejabat publik—terlebih untuk jabatan strategis seperti rektor. Menteri Pendidikan yang seharusnya menjadi “penjaga pagar” integritas justru diam seribu bahasa. Ini menunjukkan bagaimana politik pembiaran merusak sistem pendidikan dari atas hingga ke akar.

3. Penghancuran Senat Universitas

Senat yang seharusnya menjadi representasi kolektif sivitas akademika justru dikerdilkan. Jumlah anggota dikurangi dari 121 menjadi 49 secara sepihak melalui Peraturan Rektor No. 1 Tahun 2025. Lebih parah lagi, proses seleksi dilakukan tanpa transparansi, tanpa pemilihan terbuka dari bawah, tanpa forum akademik, dan tanpa partisipasi publik kampus. Ini adalah bentuk konkret perampokan institusional. Ketika senat dimonopoli, pemilihan rektor hanyalah pertunjukan boneka.

4. Demokrasi Semu dan Kekuasaan Terselubung

Pemilihan dilakukan hanya beberapa jam setelah sidang senat dibuka, tanpa publikasi visi-misi, tanpa debat kandidat, bahkan tanpa pemberitahuan kepada civitas akademika. Ini bukan demokrasi, tetapi autoritarianisme terselubung dalam institusi akademik. Jika praktik ini terus dibiarkan, kampus akan berubah menjadi ruang kekuasaan yang lebih tertutup daripada lembaga-lembaga politik. Maka tak heran jika ke depan lahir generasi akademisi yang anti-kritik dan oportunistik karena dibesarkan dalam kepemimpinan yang korup.

5. Rekomendasi: Perlawanan adalah Tanggung Jawab Moral

Mahasiswa, dosen, dan masyarakat sipil harus bersuara. Demokrasi kampus bukan hanya soal urusan internal, tetapi menjadi barometer moral bagi tata kelola bangsa. Jika institusi pendidikan ikut dikooptasi kekuasaan, maka hancurlah pilar kritis masyarakat kita.

Kita tidak membutuhkan Rektor UHO yang kuat karena politik, tetapi rektor yang kuat karena etika dan legitimasi. Jika demokrasi dikorbankan demi ambisi individu, maka hari ini kita bukan sedang membangun universitas—kita sedang menggali kubur bagi masa depan anak bangsa.***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|