INIPASTI.COM, ES-AI- Ada sesuatu yang menggelisahkan dalam angka-angka. Mereka berdiri tegak seperti tiang-tiang di tengah sawah, diam, namun menjulang, membawa beban yang tak terucap. Di akhir Agustus 2024, utang pemerintah kita menyentuh Rp8.502,69 triliun—sebuah bilangan yang terlalu besar untuk dibayangkan, terlalu dingin untuk dirasakan. Lalu datang 2025, tahun pertama Prabowo, dengan Rp800,33 triliun utang jatuh tempo dan Rp552,9 triliun bunga yang harus dibayar. Lebih dari Rp1.350 triliun, jumlah yang lebih besar dari angan-angan seorang anak tentang bintang di langit. Ini warisan Jokowi: sebuah piring penuh yang diserahkan dengan senyum, namun retak di bawah permukaannya.
Jokowi pergi meninggalkan jejak beton dan janji. Infrastruktur, katanya, adalah jalan menuju kemakmuran. IKN berdiri di ujung harapan, PSN tersebar seperti titik-titik di peta yang belum selesai digambar. Tapi kemakmuran itu ternyata mahal, dan kita membayarnya dengan utang—bukan untuk hari ini, melainkan untuk esok yang kini jadi milik Prabowo. Pertumbuhan ekonomi berjalan pelan, rata-rata 4,13% di bawah bayang-bayang pandemi, jauh dari 7% yang pernah diucapkan dengan nada optimis. Impor pangan melonjak, dari US$10 miliar menjadi US$18 miliar, seolah kita tak pernah benar-benar belajar menanam untuk diri sendiri. Di sini, kita melihat ironi: negeri subur yang lapar, negeri kaya yang meminjam.
Lalu Prabowo datang, membawa topi dan janji baru. Ia bukan Jokowi, tapi ia juga bukan penutup cerita yang bersih. Ada keberanian dalam langkahnya—memotong anggaran kementerian hingga 80%, menunda proyek yang megah tapi tak mendesak, mengalihkan pandangan ke piring anak-anak dengan Makan Bergizi Gratis. Tapi ada pula keraguan: bisakah ia menari di atas tali fiskal yang rapuh, dengan defisit anggaran dan utang yang menanti seperti bayang-bayang di sudut ruangan? Ia menaikkan upah 6,5%, membatalkan PPN 12%, dan berbicara tentang nasionalisme ekonomi—wajib simpan devisa, bank emas, Danantara. Kata-kata itu indah, tapi keindahan sering kali rapuh di hadapan kenyataan.
Saya teringat sebuah sajak lama: “Di bawah pohon, kita bertanya pada angin, tapi angin tak pernah menjawab.” Ekonomi kita seperti pohon itu—berakar, tapi diterpa angin yang tak kita kendalikan. Prabowo ingin menanam benih baru: ketahanan pangan, energi hijau, BRICS, OECD. Tapi benih tak tumbuh dalam semalam, dan pohon warisan Jokowi sudah terlalu tinggi, terlalu berat dengan dahan-dahan utang. Rp3.749 triliun akan jatuh tempo hingga 2029, dan bunga terus berdetak seperti jam yang tak bisa dimatikan. Apakah ini sekadar gali lubang tutup lubang, atau ada jalan lain yang belum terlihat?
Di antara angka-angka itu, ada wajah manusia. Petani yang masih menunggu irigasi, buruh yang menghitung receh dari kenaikan upah, anak-anak yang mungkin makan lebih baik tapi tetap bertanya kapan ayahnya pulang dari kerja. Prabowo bicara tentang 8%, tapi IMF hanya memberi 3,2% untuk dunia. Angka-angka itu bertabrakan, seperti ombak dan karang, dan kita hanya bisa menonton—atau berharap.
Jokowi meninggalkan kita sebuah cermin: apa yang kita bangun, apa yang kita pinjam, apa yang kita tinggalkan. Prabowo memegang cermin itu sekarang, mencoba menggambar wajah baru di atasnya. Tapi cermin tak pernah berbohong, dan retakan tetap ada, terlihat oleh siapa saja yang mau menatap lama. Ekonomi bukan hanya soal uang, tapi soal waktu—dan waktu, seperti utang, tak pernah benar-benar milik kita. (x-ul)