RUU TNI: Dwifungsi ABRI, Neo Orba, Akhir Reformasi?

1 week ago 15

Oleh: Muhammad Zulkifli Nur Hariru

SULTRAKINI.COM: Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI resmi disahkan oleh DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025. Namun, sebelum pengesahannya, proses revisi ini telah memicu kontroversi di kalangan masyarakat. DPR dinilai terburu-buru dalam membahas dan menetapkan perubahan ini.

Revisi ini diawali dengan terbitnya Surat Presiden Nomor R12/Pres/02/2025 pada 13 Februari 2025, yang mengusulkan perubahan UU TNI serta menunjuk perwakilan pemerintah dalam pembahasannya. Menindaklanjuti hal tersebut, DPR memasukkan revisi UU TNI ke dalam Prolegnas Prioritas melalui rapat paripurna pada 18 Februari 2025, lalu membentuk Panitia Kerja (Panja) revisi pada 11 Maret 2025.

Proses ini semakin disorot ketika pada 15 Maret 2025, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendatangi rapat Panja yang digelar di sebuah hotel untuk menuntut agar pembahasan revisi dilakukan secara terbuka dan transparan.

L’Histoire se Répète: Sejarah yang Berulang

Revisi UU TNI ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, ketika ABRI (sekarang TNI) menjalankan dwifungsi—berperan ganda sebagai alat pertahanan sekaligus kekuatan sosial-politik. Militer saat itu menguasai kursi di legislatif, birokrasi, hingga BUMN, menjadi kaki tangan kekuasaan untuk melanggengkan otoritarianisme.

Reformasi 1998 berhasil memangkas intervensi militer dalam politik melalui amendemen konstitusi dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang membatasi TNI hanya pada tugas pertahanan. Namun, RUU TNI 2025 justru membuka celah bagi kembalinya dualisme ini. Seperti kata pepatah, “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai farce.” Apakah kita sedang menyaksikan transisi dari Reformasi menuju Neo Orba?

Pasal-Pasal Kontroversial dalam RUU TNI

Beberapa pasal dalam RUU TNI perlu dikritisi secara mendalam karena berpotensi mengembalikan intervensi militer ke ranah sipil:

1. Pasal 7 Ayat (2) b.9: “Membantu Tugas Pemerintahan di Daerah”
Pasal ini memberi mandat kepada TNI untuk “membantu mengatasi masalah akibat pemogokan dan konflik komunal.” Jika diimplementasikan, TNI bisa terlibat dalam penyelesaian konflik sosial yang seharusnya menjadi domain polisi dan pemerintah sipil. Dalam sejarah, intervensi militer dalam urusan sipil sering berujung pada represi, seperti kasus penembakan buruh atau penggusuran paksa di era Orde Baru.

2. Pasal 47: Penempatan Prajurit di Lembaga Sipil
Pasal ini mengizinkan prajurit aktif menduduki jabatan di kementerian/lembaga seperti Badan Intelijen Negara, Kejaksaan, Mahkamah Agung, bahkan lembaga politik (Pasal 47 Ayat 1). Praktik ini mirip dengan dwifungsi ABRI, di mana militer mengisi pos-pos strategis pemerintahan. Meskipun diklaim bahwa penempatan ini dilakukan “berdasarkan permintaan lembaga” (Ayat 3), hal ini berisiko menormalisasi dominasi militer dalam kebijakan publik. Bagaimana mungkin lembaga peradilan seperti Kejaksaan dan MA yang harus independen dimasuki oleh perwira aktif yang tunduk pada komando militer?

3. Pasal 7 Ayat (2) b.15-16: Ekspansi Peran TNI ke Ranah Sipil
TNI diberi tugas “menanggulangi ancaman siber” (Ayat 15) dan “melindungi WNI di luar negeri” (Ayat 16). Meski terdengar mulia, perluasan peran ini tidak disertai batasan yang jelas. Ancaman siber, misalnya, seharusnya menjadi domain Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) atau polisi siber. Jika TNI masuk ke ranah ini, dikhawatirkan terjadi militarisasi ruang digital yang berpotensi mengancam kebebasan sipil.

4. Pasal 53: Perpanjangan Masa Dinas & Rekrutmen Purnawirawan
Batas usia pensiun perwira tinggi diperpanjang hingga 63 tahun (Pasal 53 Ayat 4), bahkan purnawirawan bisa direkrut kembali sebagai “komponen cadangan” (Ayat 6). Ini berisiko menciptakan kroniisme dan mempertahankan pengaruh elite militer di pemerintahan. Jika perwira aktif dan purnawirawan menduduki jabatan sipil, garis demarkasi antara militer dan otoritas sipil semakin kabur.

Militer di Ranah Sipil: Sistem Komando vs Demokrasi

Watak militer yang hierarkis dan berbasis komando bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang mengedepankan partisipasi dan akuntabilitas publik. Dalam RUU ini, TNI justru diberi ruang untuk “membantu pemerintah daerah” (Pasal 7 Ayat 2b.9) dan terlibat dalam penanganan bencana hingga konflik sosial—tugas yang seharusnya dilakukan oleh institusi sipil.

Masalahnya, ketika militer turun ke jalan, mereka membawa logika security approach yang cenderung represif. Contohnya adalah operasi militer di Papua yang kerap berujung pada pelanggaran HAM, tetapi sulit diadili karena proses hukum TNI dilakukan secara tertutup di peradilan militer (Oditurat).

RUU ini juga tidak mengatur mekanisme pengawasan sipil yang kuat. Misalnya, Pasal 47 hanya menyebut bahwa pembinaan karir prajurit di lembaga sipil “dikoordinasikan dengan Panglima TNI” (Ayat 5). Artinya, militer tetap memegang kendali atas personelnya yang bekerja di lembaga sipil. Ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi reformasi 1998.

Revisi UU TNI ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan ancaman serius terhadap demokrasi. Dengan membuka pintu bagi militer untuk menguasai pos-pos sipil, memperpanjang masa dinas, dan memperluas peran operasi militer, RUU ini berpotensi mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru di bawah label Neo Orba. Jika dulu ABRI mengontrol politik melalui fraksi di DPR, kini TNI bisa menguasai lembaga intelijen, kejaksaan, hingga peradilan.

Reformasi 1998 lahir dari perlawanan terhadap otoritarianisme militer. Kini, 27 tahun kemudian, kita dihadapkan pada pertanyaan: Apakah Indonesia akan kembali menjadi negara yang dikendalikan oleh militerisme, atau tetap konsisten pada janji demokrasi dan hak asasi manusia? Jawabannya tergantung pada keberanian kita untuk mengatakan “tidak” pada segala bentuk militarisasi kehidupan sipil.

Penutup

RUU TNI 2025 harus dibaca sebagai alarm: ini bukan hanya tentang pertahanan, tetapi tentang masa depan demokrasi Indonesia. Jika masyarakat sipil diam, maka dwifungsi ABRI akan bangkit dalam bentuk yang lebih halus—dengan seragam yang sama, tetapi dengan wajah yang lebih “modern.” Sejarah memang berulang, tetapi kita masih punya waktu untuk mengubah akhir cerita.

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|