
SULTRAKINI.COM: KENDARI – Koalisi Sulawesi Green Voice mendorong perbaikan tata kelola sumber daya alam (SDA) di Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan menerapkan prinsip keberlanjutan berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG). Upaya ini diwujudkan melalui forum multi-pemangku kepentingan bertajuk “Menata Ruang, Menjaga Masa Depan: Mendorong ESG dalam Tata Kelola SDA”, yang digelar di salah satu hotel di Kota Kendari, Kamis (22/5/2025).
Kegiatan tersebut merupakan kolaborasi sejumlah lembaga masyarakat sipil, antara lain Rumpun Perempuan Sultra, Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sultra, Komunitas TERAS, WALHI Sultra, serta LSM Komnasdesa Sultra. Forum ini turut melibatkan perwakilan Pemerintah Provinsi Sultra melalui Dinas Lingkungan Hidup, pihak perusahaan, serta sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) dari kabupaten/kota se-Sultra.
Direktur PuSPAHAM Sultra, Kisran Makati, menilai bahwa tata kelola SDA di Sultra saat ini masih semrawut dan minim koordinasi antarsektor.
“Kami ingin mendorong agar komitmen terhadap keberlanjutan, seperti yang sering digaungkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Andi Sumangerukka-Hugua, tidak hanya berhenti pada retorika, tetapi juga diwujudkan dalam bentuk aksi nyata,” tegas Kisran.
Ia juga menyoroti urgensi pembaruan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Sultra yang dinilai masih menggunakan peta dan data lama dari tahun 2007–2008. Padahal, menurutnya, kondisi tutupan hutan dan lingkungan sudah mengalami banyak perubahan.
“Kondisi ini memunculkan potensi manipulasi informasi seolah-olah revisi RT/RW telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang, padahal kenyataannya belum berpihak pada keberlanjutan,” tambahnya.
Kisran mencontohkan banjir yang terjadi di beberapa wilayah Sultra sebagai dampak nyata dari tata ruang yang tidak adaptif. Ia menyebut lemahnya pertimbangan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam penerbitan izin, terutama di daerah rawan bencana dan daerah aliran sungai (DAS), sebagai penyebab utama.
“Seperti di Konawe Utara, banjir yang terjadi selama hampir dua bulan terakhir menunjukkan kegagalan tata ruang dalam melindungi lingkungan dan masyarakat. Aktivitas ekstraktif seperti tambang dan sawit seharusnya tidak dilakukan di DAS, namun faktanya justru marak,” jelasnya.
Senada dengan itu, Fitrah Wahyuni dari WALHI Sultra menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam pengelolaan SDA.
“Kami melihat praktik perampasan lahan masih terjadi. Maka keterlibatan aktif masyarakat dan transparansi harus menjadi standar dalam setiap proses pengambilan keputusan,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Rumpun Perempuan Sultra (RPS), Husnawati, menegaskan perlunya advokasi yang berpihak pada kelompok rentan.
“Pendekatan inklusif harus dijalankan agar masyarakat adat dan lokal tidak terpinggirkan oleh investasi yang masuk tanpa mekanisme perlindungan,” ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan Indah Nur Fitria, Direktur TERAS, yang menyoroti lemahnya pengawasan dalam pengelolaan SDA.
“Banyak pelanggaran yang lolos karena lemahnya pengawasan dan minimnya penegakan hukum. Ini harus dibenahi jika kita mau industri ini bertahan dalam jangka panjang,” katanya.
Laporan: Riswan