Revisualisasi! Pedestrian Eks-MTQ Terlalu Rasa Malioboro

6 days ago 14

Oleh: Muh. Nato Alhaq (Kaprodi Desain Komunikasi Visual, Universitas Muhammadiyah Kendari)

SULTRAKINI.COM: Saudaraku, teruslah berlari di sepanjang track-nya. Tulisan ini bukan untuk menghentikanmu jogging. Teruslah tebar bahagia lewat foto dan statusmu. Biar dunia tahu damai dan indahnya kota ini. Pandanganku kali ini bukan untuk mengusikmu. Tulisan ini hanya mencoba mengisi ruang yang mungkin tak penting bagimu, tapi sangat berarti bagi identitas dan masa depan kota kelahiranku.

Landmark sebagai Ruang Strategis Peradaban dan Budaya

Dalam arsitektur kota modern, landmark tidak lagi sekadar penanda lokasi, tetapi menjadi pusat gravitasi identitas kolektif. Landmark yang ditata dengan visi kultural mampu menjadi jantung aktivitas warga—mulai dari ruang rekreasi, olahraga publik, kegiatan seni-budaya, hingga forum diskusi dan pameran nasional bahkan internasional.

Contoh sukses seperti Alun-Alun Bandung atau Marina Bay Singapura membuktikan bahwa landmark dapat memainkan fungsi diplomasi budaya dan integrasi sosial. Dalam teori city branding, landmark tidak hanya membangun identitas visual, tetapi juga emosional dan naratif, yang mengakar pada kekhasan masyarakat lokal.

Simbol visual dan desain ruang kota memiliki kekuatan menyambung sejarah, emosi, dan kebanggaan kolektif. Maka, menata landmark adalah merancang ulang cara warga terlibat, cara generasi muda merayakan kotanya, dan cara dunia membaca watak sebuah kota. Perencanaan spasial yang sensitif terhadap keragaman budaya (Healey, 1997) telah menghasilkan kerangka kerja desain inklusif yang menekankan aksesibilitas dan dukungan terhadap kegiatan kebudayaan.

Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah bahwa ruang publik harus mencerminkan komunitas yang menggunakannya, baik dari sisi nilai maupun visualitas budaya mereka (Low, 2005; Sandercock, 2001). Ruang publik yang demikian tidak hanya menjadi tempat bertemu, tetapi juga media ekspresi dan representasi kolektif dari beragam kelompok sosial di kota.[1] Manuguid, J. A negotiation of identities (hal. 41)

Kekeliruan Penataan Visual di Kawasan MTQ Kendari

Pada masanya, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi memanfaatkan momentum MTQ XXI Tahun 2006 untuk membangun Tugu Persatuan sebagai penanda Titik Nol Kota Kendari. Semangatnya adalah mengenang kelahiran Provinsi Sulawesi Tenggara oleh empat pilar kabupaten: Konawe, Muna, Kolaka, dan Buton.

Namun, seiring waktu, kawasan ini meredup, kurang terurus, dan saat rezim berganti, identitasnya pun coba diubah menjadi Tugu Religi.[2] Menjelang akhir 2024, Pj. Wali Kota Kendari, Muhammad Yusuf, menghadirkan pembaruan visi tata ruang melalui penataan kawasan eks-MTQ. Meski harus menggusur pedagang, ia menghidupkan kembali ruang tersebut sebagai ruang publik yang inklusif, aktif, dan “berkarakter”—sebuah transformasi yang memulihkan fungsi landmark sebagai simpul sosial dan kultural kota. Sayangnya (menurut saya), sang Pj terbawa jauh oleh arus romantisme Jogja.

Dalam konteks Yogyakarta, Malioboro adalah jalur imajiner spiritual yang menghubungkan Keraton, Tugu, dan Merapi—nadinya hidup dalam budaya Mataram. Namun di Kendari, penerapan visual ini justru menghasilkan kekacauan simbolik. Kawasan yang seharusnya menampilkan watak khas Sulawesi Tenggara justru tampil generik, terlepas dari jiwanya. Saya ingin menyebut ini sebagai cultural misalignment—kira-kira maksudnya adalah ketidaksesuaian antara bentuk visual yang tampak dengan akar budaya lokal tempatnya digunakan.

“Oki no tekono butuano” … Ah, begitulah kira-kira dengan bahasa Tolaki saya yang kian terkikis.

Apa akibatnya? Ya, ruang publik kehilangan kekuatan simboliknya dan menjadi tiruan visual tanpa narasi lokal yang hidup di tengah kultur orang-orangnya.

Kenapa ini bisa terjadi…???

Gambar: Pedestrian Kiri Kota Kendari [3] dan Pedestrian Kanan Malioboro Jogja [4]

Relatif mudah menemukan kemiripan antara Malioboro dan pedestrian eks-MTQ. Revitalisasi kawasan eks-MTQ Kendari menunjukkan kemiripan signifikan dengan desain kawasan pedestrian Malioboro di Yogyakarta. Hal ini tampak jelas pada sejumlah elemen visual utama. Tiang lampu menggunakan warna hijau tua dengan ornamen sulur keemasan dan kepala lampu klasik, menyerupai bentuk dan detail besi tempa khas Malioboro. Demikian pula, tiang penunjuk jalan tampil ramping dengan palet hijau dan emas, mengikuti gaya signage Malioboro baik dari sisi warna maupun tipografi. Kursi taman yang ditempatkan di sepanjang jalur pejalan kaki juga mengadopsi desain vintage berbahan besi, dengan bentuk kaki dan sandaran yang hampir identik dengan kursi Malioboro. Ornamen sulur pada kepala tiang menguatkan kesan tradisional Jawa, bukan unsur lokal Kendari.

Rekonstruksi Visual dan Motif untuk Masa Depan Generasi Muda

Landmark MTQ memiliki potensi besar sebagai ruang bagi generasi muda untuk merayakan kebudayaannya, mengekspresikan kreativitas, dan menyatu dengan memori kolektif lokal. Pastinya bukan generasi muda saja, tua bahkan balita pun dapat menikmatinya. Karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi elemen visual dan pengembangan fungsional kawasan ini agar menjadi pusat budaya, ruang dialog, dan simpul peradaban Kota Kendari yang dinamis dan berkarakter.

Beberapa arah strategis antara lain:

• Reinterpretasi Motif Lokal

Sudah saatnya kita kembali menengok ke dalam—ke akar identitas kita sendiri. Motif-motif kita ada yang khas. Misalnya, kain tenun dari suku-suku di Sultra telah menggunakannya. Motif Sulawesi Tenggara bukan hanya indah secara visual, tapi juga menyimpan nilai, sejarah, dan kearifan kolektif. Motif-motif inilah yang sepatutnya tampil di ruang publik kawasan MTQ, baik dalam bentuk desain signage, street furniture, maupun lanskap taman. Karena di situlah letak perbedaan antara hiasan dan pernyataan: motif ini bukan sekadar ornamen, tapi bagian dari pengakuan akan siapa kita sebenarnya.

Penempatan kawasan MTQ yang secara administratif diapit oleh kantor lembaga-lembaga strategis terkait budaya, seharusnya menjadi alasan lebih kuat mengapa identitas lokal harus ditampilkan secara jujur dan berani. Dinas Pariwisata Sultra, Dinas Pendidikan Sultra, dan Kantor Museum Sultra berdiri mengelilingi landmark ini. Bahkan Lembaga Adat Tolaki (LAT), yang menjadi benteng pelestarian budaya lokal, hanya berjarak sekitar 200 meter dari situ.

Rasanya ada ironi yang tak bisa disembunyikan. Di balik jendela-jendela kantor yang setiap hari membahas penguatan, pengukuhan, dan pelestarian budaya daerah, justru di hadapannya terbentang ruang publik yang dipoles dengan visual impor mentah-mentah. Kita tentu bisa mengapresiasi keindahan Malioboro, tapi bukankah akan lebih bermakna jika ruang kota ini menampilkan wajah Sultra yang utuh—yang bisa dikenali, dipahami, dan dibanggakan oleh anak-anak daerah sendiri?

• Menata Ulang Kawasan MTQ

Bukan semata soal estetika, tapi soal keberanian untuk menjadikan budaya sendiri sebagai tuan rumah di halaman rumah kita sendiri.

• Zona Interaksi Terbuka dan Kreatif

Kawasan MTQ harus dibuka sebagai ruang kolaborasi kreatif bagi seniman, komunitas muda, pelajar, dan pelaku UMKM. Instalasi interaktif, panggung budaya, pameran visual, dan kelas terbuka bisa diintegrasikan secara reguler. Saya membayangkan anak muda bermain basket di sana, berseluncur dengan skateboard, atau melakukan aktivitas lain sekadar lepas dari gadget-nya.

• Simbol dan Identitas Visual Baru

Dibutuhkan penciptaan ikon visual baru—baik dalam bentuk maskot, patung, atau signage tematik—yang dirancang khusus untuk mencerminkan wajah baru Kendari yang terbuka, kreatif, dan berakar pada budayanya sendiri.

Akhir Kalam…

Tidak bermaksud mengurangi hormat kepada inisiatif pemimpin sebelumnya, kami berpandangan bahwa landmark kota semestinya bukan hanya tempat berfoto atau jogging berkacamata dengan pakaian nyaris serupa bikini pantai. Tetapi ruang hidup yang membentuk memori, makna, dan masa depan kota itu sendiri.

Kawasan MTQ Kendari sepatutnya ditata ulang, bukan sebagai tiruan tempat lain, tetapi sebagai pusat ekspresi budaya lokal, pusat kegiatan generasi muda, dan simpul interaksi sosial yang inklusif. Dengan desain yang menghormati sejarah, merangkul kreativitas, dan membuka ruang bagi warga untuk hidup bersama di dalamnya.

Kawasan ini adalah milik generasi kelak. Generasi yang akan bangga dengan karsa, rasa, dan cipta leluhurnya.

Tabe, Bang…

Biarmi Malioboro tetap ada di sana. Janganmi bawa di sini. Biar dia tetap di sudut rindu.

Seperti bait lagu Kla Project…

pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu… lalala… yeyeye…

Peace.***

Pustaka:

1. Julianne Manuguid (2024). A Negotiation of Identities: Multi-cultural public spaces to foster the search of self-identity (Master’s thesis, Victoria University of Wellington).

2. https://www.rri.co.id/sulawesi-tenggara/wisata/1176358/mengenang-kembali-sejarah-pendirian-tugu-persatuan-di-tengah-kota-kendari

3. https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fsultrainformasi.id

4. https://www.intipseleb.com/gaya-hidup/47137-jalan-malioboro

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|