
SULTRAKINI.COM: BOMBANA – Para pekerja jasa konstruksi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara kini diliputi kegusaran. Pasalnya, almanak 2025 tak sampai dua bulan lagi ditutup, tapi masih banyak pekerjaan konstruksi yang anggarannya bersumber dari APBD belum tuntas. Penyebabnya, kebutuhan material bangunan baik itu batu, timbunan, dan pasir sulit diperoleh. Pun jika ada, harus dipasok dari luar Bombana dengan harga sangat tinggi, melebihi pagu yang tersedia.
Gara-gara ini, pihak ketiga atau kontraktor yang memiliki pekerjaan di daerah itu dan sudah meneken kontrak dengan Pemda dibuat kelimpungan. Mereka tak bisa menuntaskan komitmen pekerjaan akibat tidak adanya perusahaan pertambangan batu resmi atau legal yang beroperasi di Bombana.
“Kami berharap agar masalah ini benar-benar jadi perhatian kita bersama. Kami dihadapkan pada situasi yang simalakama,” kata Asrin Sarewo, Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo) Kabupaten Bombana kepada Lenterasultra.com. Asrin mengaku tambang batu yang di Bombana kini diributkan karena beroperasi tidak resmi alias ilegal hingga memantik kegaduhan.
Asrin tidak memungkiri hal itu. Karena sepengetahuannya, memang hanya satu perusahaan tambang batu resmi yang ada di Bombana, yakni PT Bombana Maju Makmur (BMM). Sayangnya, izin BMM hanya untuk melayani kebutuhan internal di Jhonlin Grup, bukan untuk dikomersialkan. Pun bila dibolehkan untuk dijual keluar, tetap saja tidak bisa memenuhi semua permintaan batu bagi masyarakat dan pihak rekanan di Bombana.
Asrin mengaku aktivitas pertambangan batu ilegal tidak hanya terjadi di Kabupaten Bombana. Sejumlah daerah di Sultra dipastikan menggunakan material batu dari pertambangan tidak resmi. Namun begitu, sampai sejauh ini pembangunan di beberapa kabupaten itu terus berlanjut dan menghasilkan pendapatan asli daerah. Uniknya, di Bombana seperti jadi sesuatu yang tabu.
Olehnya itu, mengingat tahun anggaran 2025 ini dua bulan lagi akan segera berakhir, Ketua Aspekindo Bombana ini meminta pengertian dari semua pihak, termasuk Forkopimda di Bombana, untuk memberikan kebijaksanaan kepada pihak rekanan guna menyelesaikan pembangunan yang sudah berkontrak, termasuk kepada masyarakat yang membutuhkan batu dan pasir untuk membangun rumahnya.
“Kalau dilarang karena mengambil batu di tempat yang belum berizin, kami bisa memastikan tidak akan ada satu pun pembangunan di Bombana yang jalan, termasuk dari pihak rekanan atau kontraktor. Padahal kontraktor ini sudah berkontrak. Sekarang waktu tak sampai dua bulan sudah harus selesai. Olehnya itu, kami minta kebijaksanaan semua pihak, termasuk kepada oknum yang meributkan aktivitas tambang batu di Bombana,” katanya.
Asrin mengaku, jika pembangunan di Kabupaten Bombana tetap dipaksakan mengambil batu di tempat resmi, ia memastikan tidak ada proyek di Bombana yang akan tuntas di tahun 2025. Semua pekerjaan yang sudah berkontrak dipastikan gagal. Beberapa alternatif pengambilan batu resmi seperti di Tinanggea dan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan, akan sulit dipenuhi oleh pihak rekanan.
“Jaraknya jauh, biayanya sangat tinggi, di luar pagu anggaran yang tersedia,” jelasnya. Asrin menyebut, ada koleganya yang karena mengejar target selesai, terpaksa mengambil batu di Tinanggea. Ternyata harganya Rp1,3 juta untuk satu ret, sementara harga terkontrak HPS Pemda Bombana hanya Rp800 ribuan. Jika ini tetap dipaksakan, tidak ada kontraktor yang bisa menyanggupi, dan itu berarti PAD hilang.
Olehnya itu, Asrin kembali menyarankan kepada semua pihak untuk bijaksana menyikapi berbagai pembangunan hingga akhir tahun 2025 ini. Jika di tahun 2026 mau diperketat, Asrin memberikan ruang kepada seluruh pihak. “Izinkan kami menyelesaikan pekerjaan yang sudah berkontrak ini. Memang kami akui salah, tetapi karena keadaan yang menuntut kami merampungkan kegiatan. Andai ada tambang batuan resmi di Bombana, lalu kami tetap cari yang tak berizin, itu wajar kami disalahkan,” tukasnya. (adv)