UU Perampasan Aset, Hanya Janji?

2 days ago 7

Oleh: Linda F Saleh (Dosen Pembaharuan Hukum Pidana Unsultra)

SULTRAKINI.COM: Tahun 1986, dunia dikejutkan dengan jatuhnya Ferdinand Marcos, Presiden Filipina yang dituduh menjarah lebih dari USD 10 miliar dari kas negara. Bersama istrinya, Imelda Marcos, mereka hidup bergelimang harta, bahkan terkenal karena memiliki ribuan koleksi sepatu mewah. Di balik kemewahan itu, rakyat Filipina terjerat kemiskinan akibat praktik korupsi yang merajalela.

Setelah rezimnya tumbang, pemerintah Filipina membentuk Presidential Commission on Good Government (PCGG) untuk mengejar aset Marcos. Berkat mekanisme civil forfeiture (perampasan aset tanpa putusan pidana), sebagian aset Marcos, termasuk rekening bank di Swiss dan properti di Amerika Serikat, berhasil dikembalikan kepada negara.

Kasus penyitaan harta keluarga Ferdinand Marcos menjadi contoh nyata penerapan perampasan aset tanpa putusan pidana (non-conviction based forfeiture) di Asia. Dasar hukumnya adalah Republic Act No. 1379 Tahun 1955, yang memungkinkan negara menyita kekayaan pejabat publik yang nilainya jauh melampaui pendapatan sahnya. Prinsipnya bersifat in rem, perkara ditujukan pada aset, bukan orangnya.

Melalui mekanisme ini, Filipina diperkirakan berhasil mengembalikan lebih dari USD 3,6 miliar aset Marcos, termasuk rekening di Swiss dan properti di Amerika Serikat, sebagaimana ditegaskan Mahkamah Agung Filipina dalam putusan Republic of the Philippines v. Sandiganbayan and Arelma, Inc. (2012). Berdasarkan laporan resmi PCGG 2022, pendekatan ini terbukti efektif karena menempatkan perampasan aset sebagai bagian dari keadilan sosial dan pemulihan kekayaan publik.

Kisah ini menjadi simbol betapa pentingnya asset recovery atau perampasan aset. Tanpa mekanisme hukum yang kuat, kekayaan negara dapat lenyap begitu saja, sementara pelaku atau keluarganya tetap menikmati hasil kejahatan.

Memahami Perampasan Aset

Perampasan aset adalah proses negara mengambil alih harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, termasuk korupsi. Dalam hukum internasional, istilah yang digunakan beragam, tetapi maknanya serupa. Di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dikenal dengan asset forfeiture. Sementara itu, Prancis, Belanda, dan Jerman menggunakan istilah confiscation. Malaysia memakai istilah forfeiture of property, sedangkan Singapura menyebutnya confiscation of benefits. Semua istilah tersebut merujuk pada hal yang sama, yakni upaya untuk mengembalikan aset ilegal kepada negara atau kepada korban.

Di Indonesia, landasan hukum terkait sebenarnya sudah ada, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun demikian, Indonesia hingga kini belum memiliki undang-undang khusus mengenai perampasan aset. Kondisi ini membuat mekanisme perampasan aset di Indonesia masih terfragmentasi, tidak menyatu dalam satu regulasi, dan pelaksanaannya sangat bergantung pada adanya putusan pidana terlebih dahulu.

Pola ini menimbulkan berbagai kendala serius. Proses pidana yang panjang sering membuat penyitaan aset menjadi terlambat, sementara banyak harta hasil kejahatan sudah dialihkan, disembunyikan, atau bahkan dibawa lari ke luar negeri. Dalam beberapa kasus, pelaku meninggal dunia atau melarikan diri sebelum putusan dijatuhkan, sehingga aset yang diperoleh secara ilegal tidak tersentuh oleh hukum.

Ketiadaan undang-undang khusus mengenai perampasan aset membuat negara kehilangan momentum untuk mengembalikan kekayaan publik. Kondisi ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum, sekaligus memberi ruang bagi para koruptor untuk tetap merasa aman.

Mengapa UU Perampasan Aset Tertunda?

Harapan publik terhadap lahirnya Undang-Undang Perampasan Aset kembali tertunda. Padahal, wacana pembentukannya sudah muncul sejak lebih dari satu dekade lalu. Gagasan utama rancangan ini adalah untuk memungkinkan perampasan aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (non-conviction based asset forfeiture).

RUU Perampasan Aset digagas dan diusulkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam perjalanannya, RUU tersebut melewati tiga periode kepresidenan tanpa ada pembahasan berarti di DPR bersama pemerintah.

Akar Permasalahan

Selama ini Indonesia hanya mengenal mekanisme perampasan aset berbasis putusan pengadilan (conviction-based confiscation). Artinya, aset hasil tindak pidana baru bisa disita setelah pelaku terbukti bersalah di pengadilan dan putusannya inkrah.

Sistem ini dinilai terlalu sempit dan sering tidak efektif, terutama dalam kasus-kasus besar seperti korupsi, narkotika, atau pencucian uang—di mana pelaku sudah melarikan diri, meninggal, atau sulit dibuktikan keterlibatannya secara langsung.

RUU Perampasan Aset hadir untuk menutup celah itu. Namun justru di situlah muncul perdebatan. Sejumlah fraksi di DPR menilai konsep pembalikan beban pembuktian dan perampasan tanpa putusan pidana berpotensi menabrak asas praduga tak bersalah. Kekhawatiran lain muncul soal perlindungan hak pihak ketiga (misalnya keluarga atau ahli waris) serta potensi penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum.

Faktor Politik dan Teknis

Komisi III DPR baru-baru ini mengakui bahwa minimnya dukungan antarfraksi menjadi penyebab utama tertundanya pembahasan. Beberapa partai belum satu suara dalam melihat urgensi dan implikasi hukum RUU ini.

Selain itu, ada pandangan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset sebaiknya menunggu rampungnya RUU KUHAP agar tidak terjadi tumpang tindih norma antara dua instrumen hukum. Akibatnya, meskipun RUU Perampasan Aset sempat masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025, pembahasannya belum dimulai secara intensif.

Partisipasi Bermakna

Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset tidak boleh hanya berlangsung di ruang DPR. Dalam konteks ini, partisipasi bermakna menjadi ruh utama. Ia bukan hanya soal hadir dalam rapat dengar pendapat, tetapi tentang memastikan suara masyarakat benar-benar didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan kembali secara transparan.

Tiga prinsip partisipasi bermakna seharusnya menjadi panduan:
Pertama, right to be heard, hak masyarakat untuk menyampaikan pandangan, kritik, dan aspirasi atas rancangan undang-undang.
Kedua, right to be considered, hak agar pendapat publik tidak hanya dicatat, tetapi benar-benar dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan.
Ketiga, right to be explained, hak untuk mendapatkan penjelasan mengapa masukan diterima atau ditolak.

Prinsip ini bukan sekadar idealisme demokrasi, tetapi fondasi legitimasi hukum. Filipina pernah mempraktikkannya melalui PCGG saat merampas aset keluarga Marcos. Prosesnya panjang, namun keterlibatan masyarakat sipil, akademisi, dan media menjadikan kebijakan itu sah dan dipercaya publik.

Indonesia perlu menempuh jalan serupa. Tanpa partisipasi bermakna, RUU Perampasan Aset berisiko kehilangan rohnya—sekadar menjadi instrumen administratif tanpa keberpihakan moral.

Filipina, Nigeria, dan Swiss

Selain Filipina, Nigeria juga memberi pelajaran berharga lewat kasus Abacha Loot. Melalui kerja sama internasional, pemerintah Nigeria mampu mengembalikan lebih dari satu miliar dolar Amerika Serikat yang sebelumnya dijarah oleh diktator Sani Abacha. Keberhasilan ini menunjukkan betapa pentingnya kolaborasi lintas negara dalam menelusuri dan memulangkan aset korupsi.

Sementara itu, Swiss yang dulu dikenal sebagai “surga” aset gelap, kini bertransformasi menjadi salah satu pionir dalam agenda pengembalian aset korupsi. Melalui keterlibatannya dalam program Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) bersama PBB dan Bank Dunia, Swiss berperan aktif dalam membantu berbagai negara memulihkan aset hasil kejahatan keuangan.

Dari contoh tersebut, pelajaran penting yang dapat dipetik adalah bahwa mekanisme non-conviction based asset forfeiture serta kerja sama lintas negara menjadi kunci utama keberhasilan dalam mengembalikan kekayaan publik yang dirampas oleh korupsi.

Rekomendasi untuk Indonesia

Untuk menutup celah hukum sekaligus memperkuat upaya pemberantasan korupsi, ada beberapa langkah penting yang perlu segera ditempuh. Pertama, Indonesia perlu segera memiliki Undang-Undang Perampasan Aset yang mengatur mekanisme non-conviction based asset forfeiture. Dengan mekanisme ini, aset hasil kejahatan dapat langsung dirampas tanpa harus menunggu putusan pidana yang panjang dan berbelit.

Selain itu, kerja sama internasional juga harus diperkuat melalui instrumen mutual legal assistance. Hal ini penting agar negara dapat mengejar aset yang disembunyikan di luar negeri, mengingat banyak pelaku korupsi memilih memindahkan hasil kejahatannya ke yurisdiksi asing.

Tak kalah penting, setiap hasil perampasan aset wajib dikelola secara transparan. Aset yang berhasil dikembalikan harus jelas peruntukannya dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, misalnya dalam pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur. Transparansi ini akan menjaga kepercayaan publik sekaligus memastikan bahwa keadilan benar-benar hadir dalam bentuk manfaat nyata bagi masyarakat.

Urgensi dan Harapan

Pemerintah menegaskan bahwa semangat RUU Perampasan Aset bukan untuk memangkas hak warga negara, tetapi memulihkan aset negara yang hilang akibat kejahatan. RUU ini diharapkan menjadi landmark legislation dalam pemberantasan kejahatan ekonomi dan korupsi, memperkuat rezim follow the money ketimbang sekadar follow the suspect.

Keterlambatan pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan bahwa reformasi hukum tidak hanya soal rancangan norma, tetapi juga soal keberanian politik.

Dalam konteks pembangunan hukum nasional, regulasi ini akan menjadi ujian nyata: apakah negara serius menutup celah kejahatan ekonomi, atau justru nyaman dengan sistem lama yang lambat dan penuh kompromi.***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|