Menyingkap Kematian Autoerotik

2 days ago 7

Oleh: Linda F Saleh (Kabid Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum)

Apa jadinya jika keingintahuan terhadap kenikmatan justru berujung kematian?

David Carradine, aktor yang dikenal lewat perannya sebagai Bill dalam film Kill Bill karya Quentin Tarantino, ditemukan tewas di kamar hotel di Bangkok pada Juni 2009. Tubuhnya berada dalam posisi setengah tergantung di dalam lemari, dengan tali melilit leher dan bagian tubuh lainnya. Peristiwa ini menjadi salah satu kisah tragis tentang eksperimen seksual yang tak sempat diselamatkan.

Awalnya publik menduga ia bunuh diri. Namun investigasi lanjutan, termasuk pemeriksaan forensik dan keterangan saksi, menyimpulkan bahwa Carradine meninggal secara tidak sengaja saat melakukan praktik seksual sendirian yang dikenal sebagai autoerotic asphyxiation atau asfiksia erotis.

Namun istrinya, aktris Marina Anderson, dalam bukunya David Carradine: The Eye of My Tornado, menyatakan bahwa Carradine “tidak pernah melakukannya sendirian” dan menganggap hasil autopsi tersebut tidak sesuai. Dalam wawancara dengan ABC News, ia berkata:

“David never flew solo when we were together. That didn’t fit the scenario. David liked participation.”

Menurut Marina, Carradine memiliki ketertarikan pada praktik BDSM (Bondage & Discipline, Dominance & Submission, Sadism & Masochism) ekstrem. Ia tidak menampik kecenderungan itu, tetapi meyakini bahwa Carradine tidak pernah melakukannya tanpa kehadiran orang lain. Itulah sebabnya ia menduga ada pihak lain yang terlibat, namun tidak terungkap.

Mengenal Asfiksia Erotis

Dalam dunia medis forensik, asfiksia erotis bukan fenomena asing. Ini adalah praktik seksual ekstrem yang dilakukan dengan membatasi aliran oksigen ke otak demi meningkatkan intensitas sensasi seksual atau orgasme. Namun, praktik ini sangat berisiko dan bisa berakibat fatal.

Metodenya bisa beragam: menjerat leher dengan tali, menghalangi napas menggunakan bantal, atau meminta pasangan melakukan pencekikan. Bagi sebagian orang, ini dianggap menambah “ketegangan erotis”. Masalahnya, kehilangan kesadaran bisa terjadi dalam hitungan detik. Jika tidak segera disadarkan, korban bisa meninggal karena kekurangan oksigen.

Yang membuat praktik ini sangat berbahaya adalah karena sering dilakukan sendirian dan tanpa pengawasan. Korban tidak bermaksud bunuh diri, tetapi tubuhnya tidak sempat memberi sinyal bahaya saat suplai oksigen habis. Kematian terjadi dalam sunyi, akibat eksperimen sesaat yang tak terkendali.

Kematian autoerotik merupakan salah satu fenomena paling kompleks dalam dunia kedokteran forensik. Ini adalah jenis kematian yang terjadi secara tidak sengaja selama aktivitas seksual yang dilakukan secara soliter, dengan tujuan meningkatkan kenikmatan melalui pembatasan oksigen ke otak. Namun sering kali, eksperimen yang tampaknya ‘terkontrol’ ini berakhir tragis.

Forensik dan Stigma

Di Indonesia, kasus semacam ini jarang dilaporkan secara terbuka. Bukan karena tidak terjadi, tetapi karena menyangkut seksualitas, rasa malu keluarga, dan minimnya pemahaman masyarakat.

Banyak kematian akibat asfiksia erotis dikira sebagai bunuh diri atau pembunuhan, sehingga berujung pada kesimpulan hukum yang keliru. Padahal, bagi ahli forensik, ada tanda-tanda khas yang bisa dikenali: posisi tubuh, tidak adanya motif bunuh diri, serta keberadaan benda-benda yang tidak biasa.

Sayangnya, tidak semua aparat penegak hukum dan petugas forensik memiliki pelatihan untuk mengenali pola ini. Akibatnya, keluarga bisa dicurigai, pasangan bisa dipidana, atau korban tidak mendapatkan kejelasan penyebab kematian yang layak.

Perspektif Hukum Pidana

Dalam hukum pidana Indonesia, asfiksia erotis memunculkan dilema. Sebab tidak semua kematian dalam konteks ini bisa langsung dikategorikan sebagai tindak pidana.

Jika korban melakukannya sendiri dan meninggal, tidak ada pihak yang dapat dijerat hukum. Namun, jika praktik ini melibatkan pasangan dan berujung kematian, maka bisa dikenakan Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.”

Dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), ketentuan ini tercantum dalam Pasal 474 ayat (3) dan mulai berlaku pada 2026. Dalam kasus tertentu, pelaku bahkan bisa dijerat sebagai penganiayaan yang menyebabkan kematian.

Namun, bagaimana jika pasangan tidak tahu bahwa tindakan tersebut bisa mematikan? Atau sudah mencoba menolong tapi terlambat? Inilah perlunya pendekatan hukum yang tidak semata menghukum, tapi juga memahami konteks peristiwa.

Edukasi, Bukan Justifikasi

Masyarakat kita masih gagap membicarakan seksualitas, apalagi jika berkaitan dengan perilaku ekstrem. Namun, ketidaktahuan sering lebih berbahaya daripada keberanian untuk memahami.

Edukasi publik tentang risiko perilaku seksual berisiko perlu digalakkan. Tujuannya bukan untuk menghakimi atau menormalkan, melainkan untuk melindungi nyawa. Perlindungan yang berbasis pemahaman lebih efektif dibandingkan prasangka dan tabu.

Aparat penegak hukum pun perlu mendapat pelatihan untuk mengenali pola-pola kematian tidak wajar yang tampak seperti gantung diri biasa, namun sebenarnya menyimpan motif seksual yang berbahaya.

Ruang untuk Memahami

Kasus asfiksia erotis atau kematian ekstrem lainnya sering kali bukan sekadar soal tindakan sesaat. Ada jejak psikologis dan sosial yang menyertainya. Profiling kepribadian korban sebelum kematian penting dilakukan, untuk memahami konteks hidupnya, apakah ia menghadapi tekanan, kesepian, atau melibatkan diri dalam eksperimen seksual tanpa menyadari risikonya.

Seorang ahli forensik bisa saja melihat luka atau posisi tubuh. Tapi kebenaran kadang tersembunyi dalam rutinitas korban sehari-hari. Maka penting bagi penyidik untuk menyusun berbagai hipotesis: apakah ini kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan terselubung?

Lebih dari sekadar mencari pelaku, yang tak kalah penting adalah mencegah agar kematian serupa tidak terjadi lagi. Kepekaan sosial dan empati terhadap orang-orang di sekitar kita bisa menjadi penyelamat di tengah keterasingan yang membunuh secara perlahan.

Asfiksia erotis adalah contoh nyata bagaimana batas antara kenikmatan dan kematian bisa sangat tipis. Ia mengajarkan bahwa di balik setiap kematian yang “tak wajar”, ada potensi kisah manusia yang kompleks, penuh tekanan, dan kadang sunyi.

Masyarakat perlu memahami bahwa edukasi seksual bukan untuk mempromosikan gaya hidup tertentu, melainkan untuk menyelamatkan nyawa. Karena keadilan tidak hanya ditulis dalam pasal hukum, tapi juga tumbuh dari keberanian kita untuk memahami yang tak kasatmata. ***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|