“Kritik bisa terbentuk tanpa konsep, tapi konsep tidak bisa terbentuk tanpa kritik.”
SULTRAKINI.COM: Kritik Adalah Budaya Peradaban Manusia – Pada dasarnya, manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dengan berbagai perbedaan, baik dari segi fisik maupun cara berpikir. Perbedaan-perbedaan ini bukanlah suatu kutukan, melainkan rahmat bagi alam semesta untuk saling melengkapi serta sebagai bentuk kerja sama dalam mencapai tujuan yang agung.
Salah satu cara manusia mensyukuri perbedaan tersebut adalah dengan saling mengkritik. Kritik merupakan upaya untuk saling mengoreksi atau menguji suatu teori, pendapat, kebenaran, dan keyakinan. Misalnya, agama Islam tidak akan diketahui kebenarannya jika tidak pernah diuji (dikritik). Oleh karena itu, beberapa tokoh menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dapat diuji tidak akan bisa diyakini kebenarannya.
Fenomena saling mengkritik dalam dunia pengetahuan bukanlah sesuatu yang baru, justru merupakan budaya para pemikir dan ilmuwan. Salah satu contohnya adalah Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, yang harus menerima kritik, bukan hanya dari pihak luar, tetapi juga dari murid-muridnya sendiri. Hasilnya, ilmu psikologi semakin berkembang.
Menurut beberapa ahli, kritik terjadi karena adanya beberapa faktor yang memengaruhinya, salah satunya adalah latar belakang manusia, pengetahuan, atau cara pandangnya. Perbedaan inilah yang mendorong manusia untuk saling mengevaluasi dan menguji guna menjadikan sesuatu mendekati kesempurnaan. Buktinya adalah perubahan peradaban manusia dari zaman batu hingga zaman modern.
Wujud Para Wabah Anti Kritik
Dalam perjalanan perkembangan manusia yang Bhinneka Tunggal Ika, terdapat beberapa individu yang anti kritik. Mereka adalah orang-orang yang menyukai keseragaman dan mengutuk perbedaan. Selain itu, mereka cenderung menggunakan dogma untuk menghindari pertanyaan yang menggugat atau mengkritik kebenaran yang mereka yakini.
Pada awalnya, orang-orang anti kritik berada di luar dunia ilmu pengetahuan. Mereka lebih banyak ditemukan di ruang-ruang pemerintahan dan keagamaan. Ruang-ruang inilah yang diyakini dapat memperluas dogma mereka serta mempermudah eliminasi terhadap orang-orang yang mencoba mengkritik. Bahkan, mereka tidak segan-segan menghilangkan nyawa seseorang.
Banyak bukti menunjukkan bahwa orang-orang yang mengkritik kesalahan yang telah dinormalisasi hingga dianggap sebagai kebenaran dan fakta, justru berakhir dengan hukuman, bahkan kematian. Socrates—seorang bapak filsafat Barat—dihukum mati dengan cara meminum racun karena pemikirannya dianggap merusak tatanan pemahaman pada zamannya.
Di Mesir pada abad pertengahan tahun 415, seorang filsuf perempuan yang juga ahli matematika dan astronomi bernama Hypatia dibunuh dengan cara dikuliti, organ tubuhnya dikeluarkan, dan jasadnya dibakar. Penyebabnya adalah karena ilmu pengetahuannya bertentangan dengan keyakinan otoritas keagamaan di masanya.
Giordano Bruno—seorang biarawan, filsuf, matematikawan, penyair, ahli teori kosmologi, dan okultis Hermetik asal Italia—dihukum mati dengan dibakar hidup-hidup. Sekali lagi, alasannya adalah karena pemikirannya tidak sejalan dengan otoritas gereja pada saat itu. Bahkan, Imam Asy-Syafi’i—pendiri salah satu dari empat mazhab dalam Islam Sunni—pernah merasakan hukuman penjara karena dituduh sebagai pendukung Syi’ah oleh para pendengkinya. Inilah perkataan Imam Asy-Syafi’i yang terkenal:
“Jika Rafidhah itu adalah cinta kepada keluarga Nabi, maka saksikanlah bahwa aku adalah seorang Rafidhi.”
Mulainya Wabah Anti Kritik Masuk ke Dunia Ilmu Pengetahuan
Dari sepenggal sejarah tentang para pemikir dan ilmuwan yang dihukum, tergambar adanya upaya untuk menghentikan perkembangan manusia sebagai makhluk berpikir dan pencari kebenaran. Hal ini menunjukkan adanya usaha untuk memaksakan keseragaman dalam kebenaran, meskipun kebenaran tersebut tidak pernah diuji. Namun, upaya-upaya tersebut tidak bisa menghentikan fitrah manusia. Sebab, setiap kali seorang manusia kritis dibunuh, maka semakin banyak manusia kritis yang lahir di dunia ini.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, cara pandang manusia pun berubah, di mana pendidikan semakin dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Di Indonesia, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula status yang diperolehnya. Selain itu, kebutuhan akan pendidikan dalam dunia kerja juga semakin diperhitungkan.
Maka, mau tidak mau, orang yang malas berpikir pun harus mencicipi dan belajar ilmu pengetahuan. Di sana, mereka akan diperkenalkan dengan berbagai budaya akademik, seperti indahnya perbedaan cara berpikir, asyiknya diskusi, pentingnya kritik, serta manfaat perdebatan. Namun, karena sifat dasarnya adalah wabah, karakter aslinya tetap muncul ke permukaan. Tujuan mereka masuk ke dunia pendidikan bukanlah untuk mendalami ilmu dan budaya akademik, melainkan untuk mencari kekuasaan, kenyamanan, status, dan materi. Akibatnya, ketika mereka mendapatkan kekuasaan, orang-orang yang berpikir kritis akan dilemahkan hingga dihilangkan satu per satu.
Tidak bisa dimungkiri, wabah-wabah anti kritik ini sudah ada di sekitar kita—baik di kampus, pemerintahan, komunitas, lingkungan sekitar, bahkan dalam keluarga kita sendiri. Wujud mereka bisa beragam, mulai dari individu berambut pendek, berpakaian rapi atau mewah, bergelar akademik tinggi, mengenakan atribut keagamaan, rajin beribadah, memiliki kekayaan melimpah, hingga berstatus sosial tinggi. Namun, semua itu mereka jadikan alat untuk mendoktrin serta secara perlahan mengeliminasi budaya ilmu pengetahuan.
Fenomena inilah yang membuat kerinduan kepada Imam Zaman semakin kuat.
“Assâlamualayka ajjalallâhu laka mâ wa`adaka minan nashri wa zhuhûril amri. Wa huwa yawmukal mutawaqqa’u fîhi zhuhûruka, wal-faraju fîhi lil-mu’minîna ‘alâ yadayka.”
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammadin wa âli Muhammad.