SULTRAKINI.COM: KOLAKA – Pernikahan dini di Indonesia tetap menjadi masalah kompleks yang dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Berikut analisis mendalam tentang situasi terkini:
Prevalensi: Indonesia menempati peringkat ke-8 dunia untuk angka pernikahan dini tertinggi (UNICEF, 2021).
Data KemenPPPA: Setiap tahun sekitar 1,2 juta anak menikah di bawah umur, dengan 75% berupa perempuan.
Tren Regional: Angka tertinggi ditemukan di Sulawesi Barat (21,2%), Kalimantan Selatan (16,5%), dan Jawa Barat (15,3%) (BPS, 2023).
Pernikahan dini di Indonesia adalah darurat tersembunyi yang mengancam masa depan generasi. Butuh aksi kolektif dari pemerintah, tokoh agama, hingga masyarakat untuk memutus mata rantainya.
Sebagai bagian dari masyarakat yang berkewajiban memutus mata rantai darurat pernikahan dini, Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Sembilanbelas November Kolaka (USN Kolaka) mengambil andil bersama pemerintah Kelurahan Silea dengan menggelar kegiatan sosialisasi bertema “Dampak Pernikahan Dini” di Aula Kelurahan Silea, Kecamatan Wundulako, Sabtu (26/7/2025).
Sosialisasi ini dihadiri oleh Lurah Silea, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Wundulako, bidan Puskesmas Wundulako, dosen Hukum Perdata USN Kolaka Faisal Herisetiawan Jaffar selaku pemateri, serta mahasiswa KKN USN Kolaka.
Dosen Hukum Perdata USN Kolaka, Faisal Herisetiawan Jaffar, menyampaikan isi undang-undang tentang perkawinan, serta menjelaskan faktor, dampak, dan cara pencegahan pernikahan dini. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh kedua pasangan yang usianya di bawah 19 tahun. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun. Namun setelah diperbarui oleh UU No. 16 Tahun 2019, batas usia perempuan dan laki-laki disamakan menjadi 19 tahun.
Dirinya memaparkan faktor penyebab dari pernikahan dini, antara lain:
1. Faktor Ekonomi: Pernikahan sering kali dianggap jalan keluar dari kemiskinan. Orang tua yang ingin mengurangi beban ekonomi biasanya menikahkan anak perempuan dengan harapan hidupnya dijamin oleh suami.
2. Faktor Pendidikan: Pendidikan yang rendah menyebabkan anak tidak mempunyai pilihan lain selain menikah. Kurangnya pengetahuan tentang reproduksi dan seksualitas juga menjadi pemicu.
3. Faktor Keluarga: Ketika terjadi kehamilan di luar nikah, anak akan mendapatkan tekanan dari keluarga untuk segera dinikahkan, tanpa mempertimbangkan dampak psikologis dan kesiapan mental anak.
4. Faktor Media Massa: Anak muda yang mudah mengakses konten seksual dan menyerap informasi dari media secara mentah berisiko besar terpengaruh.
Lebih lanjut, dirinya memaparkan dampak dari pernikahan dini, antara lain:
1. Dampak Kesehatan: Terbagi menjadi dua, yaitu kehamilan berisiko tinggi dan terganggunya kesehatan mental.
2. Dampak Pendidikan: Putus sekolah dan terbatasnya pengembangan diri.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi: Kemiskinan berlanjut dan ketergantungan ekonomi.
4. Dampak Hukum: Pelanggaran hak anak dan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
5. Dampak Psikologis dan Emosional: Kurangnya kesiapan mental dan hilangnya masa kanak-kanak serta remaja.
Cara pencegahan pernikahan dini dapat dilakukan dengan:
1. Menyediakan Pendidikan Formal yang Memadai: Memberikan pendidikan minimal hingga SMA.
2. Sosialisasi Pendidikan Seks dan Reproduksi: Edukasi tentang hak dan kesehatan reproduksi sangat penting untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan serta menghindari seks bebas.
3. Pemberdayaan Masyarakat: Edukasi kepada orang tua dan masyarakat tentang dampak negatif pernikahan dini, serta ajakan untuk membela hak anak dan tidak memaksakan pernikahan usia muda.
4. Meningkatkan Peran Pemerintah: Pemerintah harus aktif menyosialisasikan UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014), pengetatan pencatatan akta kelahiran dan pernikahan.
5. Mendorong Kesetaraan Gender: Menghapus stereotip bahwa perempuan hanya cocok di ranah domestik, serta memperjuangkan hak perempuan dan laki-laki untuk menikah secara setara, termasuk hak perempuan untuk melanjutkan pendidikan dan berkarya tanpa tekanan sosial.
Kepala KUA Wundulako, Arsyad Daud, menekankan pentingnya kesiapan mental, emosional, dan ekonomi dalam membangun rumah tangga. Sementara itu, bidan Puskesmas menyoroti dampak kesehatan pada remaja yang hamil di usia dini, mulai dari risiko komplikasi kehamilan hingga tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Ketua adat, Muh. Yunus, turut mengingatkan pentingnya menjaga nilai-nilai budaya yang tidak membahayakan masa depan generasi muda. “Mencegah pernikahan dini bukan sekadar mengubah angka, tapi membangun peradaban yang menghargai hak dasar manusia,” terangnya.
“Pemerintah kelurahan sangat mendukung upaya edukasi seperti ini agar masyarakat semakin sadar dan bijak dalam mengambil keputusan, khususnya terkait pernikahan usia dini,” jelas Lurah Silea, Rusman Sabona.
Panitia PDD Mahasiswa KKN USN Kolaka, Rifka Yuliah, mengatakan bahwa dengan adanya kegiatan ini, diharapkan masyarakat lebih memahami bahwa pernikahan bukan hanya soal usia, tetapi juga soal kesiapan dan tanggung jawab besar di baliknya.
“Kami memilih tema dampak pernikahan dini dan mensosialisasikannya karena masih menjadi persoalan serius, terutama di beberapa daerah di Indonesia. Edukasi ini penting karena remaja butuh pemahaman yang benar. Banyak remaja belum mendapatkan edukasi yang cukup tentang kesehatan reproduksi, perencanaan masa depan, dan risiko pernikahan dini.
Dampak pernikahan dini menyangkut masa depan remaja secara fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Edukasi mengenai hal ini tidak hanya relevan tetapi juga sangat mendesak agar remaja memiliki wawasan, keberanian, dan keterampilan untuk menolak pernikahan dini dan merencanakan masa depan yang lebih baik. Meningkatkan kesadaran masyarakat antara lain menurunkan angka pernikahan anak, mendorong remaja menyelesaikan pendidikan, melindungi hak dan masa depan anak, serta mewujudkan generasi yang siap dan berkualitas,” jelasnya.
Dosen pembimbing mahasiswa KKN USN Kolaka di Kelurahan Silea, Kecamatan Wundulako, La Ode Awal Sakti, mengatakan bahwa dengan adanya edukasi pernikahan dini yang dikombinasikan dengan peningkatan kesadaran hukum, diharapkan tercipta perubahan sistemik yang melindungi hak anak dan membangun masa depan yang lebih baik. Berikut harapan konkretnya:
1. Masyarakat Paham Batas Usia Pernikahan & Sanksi Hukum
Pengetahuan UU No. 16/2019: Semua lapisan masyarakat (termasuk orang tua, tokoh adat, dan remaja) paham bahwa batas minimal nikah adalah 19 tahun untuk kedua gender.
Tersosialisasinya sanksi bagi pelaku pemaksaan pernikahan anak, termasuk pihak yang mengurus dispensasi nikah tanpa alasan kuat.
Transparansi Dispensasi:
Proses dispensasi pengadilan diawasi ketat dengan persyaratan jelas (asesmen psikologis, bukti kemandirian ekonomi, dll.).
2. Penurunan Drastis Angka Pernikahan Dini
Berkurangnya permohonan dispensasi: Pengadilan lebih selektif mengabulkan dispensasi, hanya untuk alasan sangat mendesak (bukan sekadar tradisi atau tekanan ekonomi).
Laporan masyarakat meningkat: Warga berani melaporkan praktik pernikahan anak ke aparat hukum karena paham ini bukan urusan privat, tetapi pelanggaran HAM.
3. Penegakan Hukum yang Nyata
Hukuman tegas untuk pelanggar:
Orang tua/tokoh yang memaksa nikah dini dikenai sanksi pidana (sesuai Pasal 81 UU Perlindungan Anak).
Pejabat/penduduk yang mencatatkan nikah siri anak diproses hukum.
Pembinaan bagi pelaku: Pelaku pemaksaan nikah anak wajib mengikuti program edukasi tentang hak anak dan dampak pernikahan dini.
4. Perlindungan Korban yang Komprehensif
Mekanisme perlindungan:
Korban pernikahan dini mendapat akses pemutusan nikah, pendampingan hukum, dan rehabilitasi psikologis.
Negara menjamin hak pendidikan dan kesehatan mantan pengantin anak.
Rumah aman: Tersedia shelter bagi anak yang terancam dipaksa menikah.
5. Perubahan Norma Sosial Berbasis Hukum
Tokoh agama dan adat jadi pelopor: Ceramah keagamaan dan musyawarah adat menyisipkan pesan tentang kepatuhan pada UU perkawinan.
Kampanye kreatif: Sosialisasi melalui drama hukum, podcast, atau konten media sosial yang menunjukkan contoh nyata sanksi bagi pelaku pernikahan anak.
6. Kolaborasi Lintas Sektor
Sekolah dan aparat hukum bersinergi:
Guru dilatih mendeteksi siswa berisiko dinikahkan, lalu berkoordinasi dengan DP3A atau kepolisian.
Data terintegrasi seperti catatan sipil, sekolah, dan puskesmas terhubung untuk memantau anak rentan pernikahan dini.
7. Generasi Muda yang Berdaya Hukum
Remaja melek hak: Anak-anak paham mereka berhak menolak pernikahan paksa dan tahu cara melapor (ke SAPA 129, P2TP2A, atau polisi).
Advokasi oleh anak muda: Terbentuk komunitas remaja peduli pencegahan pernikahan dini yang gencar menyuarakan isu ini di media.
Dengan kombinasi edukasi dan penegakan hukum, diharapkan:
Anak-anak bisa menikmati masa kecil dan pendidikannya tanpa ancaman pernikahan dini.
Hukum tidak hanya ada di atas kertas, tetapi benar-benar melindungi yang lemah.
Indonesia mencapai target SDGs (Tujuan 5.3: Menghapuskan pernikahan anak di bawah 15 tahun dan mengurangi yang di bawah 18 tahun).
“Edukasi pernikahan dini bukan sekadar kampanye, tetapi investasi untuk membangun generasi unggul yang siap menghadapi tantangan zaman. Dengan pemahaman yang tepat, diharapkan setiap anak Indonesia bisa menikmati haknya untuk tumbuh, belajar, dan meraih mimpi sebelum memutuskan berkeluarga,” jelasnya.
Laporan: Anti