
SULTRAKINI.COM: WAKATOBI — Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan zaman, masyarakat adat di Kabupaten Wakatobi tetap teguh menjaga warisan budaya leluhur. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Karia’a—sebuah prosesi adat yang sarat makna keagamaan dan budaya dalam perjalanan hidup anak-anak menuju kedewasaan.
Karia’a merupakan upacara adat yang menandai peralihan status seorang anak—baik laki-laki (Karia Moane) maupun perempuan (Karia Wowone)—menuju usia remaja. Dalam prosesi ini, para peserta dirias dengan busana adat berwarna cerah, mahkota emas, serta perhiasan khas Buton yang mencerminkan kehormatan dan kesiapan memasuki fase kehidupan yang lebih matang.
Prosesi Karia’a berpusat di Sombonga, sebuah rumah utama tempat dimulainya seluruh rangkaian acara. Sombonga menjadi ruang pembinaan awal bagi peserta sebelum mengikuti tahapan adat selanjutnya.
Sebelum pelaksanaan dimulai, peserta Karia’a wajib melapor kepada tokoh adat (Sara), tokoh agama, dan pemerintah desa setempat. Setelah itu, diadakan musyawarah bersama untuk membicarakan tahapan dan kebutuhan yang akan dijalani selama proses adat.
Para peserta kemudian dikumpulkan di Sombonga untuk menerima wejangan yang mencakup nilai-nilai keagamaan, adat istiadat, sopan santun, dan etika hidup. Ini bertujuan agar generasi muda tumbuh menjadi pribadi yang beradab, bertanggung jawab, serta tidak tercerabut dari akar budaya mereka.
Menjelang puncak acara, dilangsungkan prosesi Hoporuku, yakni ritual penyucian diri melalui mandi adat yang dilakukan pada sore hari dan subuh keesokan harinya. Proses ini menjadi simbol pembersihan diri sebelum mengikuti acara puncak yang disebut Lemba’a—arak-arakan keliling kampung.
Sebelum Lemba’a dimulai, imam desa membacakan doa keselamatan. Prosesi kemudian dipimpin oleh para tokoh adat dan pemerintah desa sebagai simbol bimbingan dan perlindungan terhadap generasi muda.
Dalam prosesi arak-arakan, Karia Moane berjalan kaki, menunjukkan ketangkasan dan kegagahan sebagai lambang kesiapan menjadi pelindung keluarga dan masyarakat. Sementara itu, Karia Wowone ditandu di atas Kansoda’a—kendaraan adat yang dipikul oleh dua hingga empat pria, diiringi sorakan penuh sukacita. Ini melambangkan penghormatan dan komitmen laki-laki untuk menjaga serta memuliakan perempuan.
Setelah arak-arakan selesai, seluruh peserta kembali ke Sombonga untuk menggelar doa syukur atas kelancaran acara. Tradisi kemudian ditutup dengan penyerahan simbol penghormatan kepada tokoh yang memasangkan pakaian adat.
Karia Moane memberikan Boti, miniatur perahu berisi makanan khas sebagai simbol jati diri Wakatobi sebagai daerah maritim, serta harapan agar generasi muda berani mengarungi samudra kehidupan demi kebahagiaan dan kemajuan negeri.
Sementara Karia Wowone menyerahkan Kamali, miniatur rumah tradisional berisi makanan khas sebagai simbol peran perempuan sebagai penjaga rumah tangga dan tatanan kehidupan sosial.
Tradisi Karia’a bukanlah hal baru. Warisan ini telah berlangsung sejak masa Kesultanan Buton dan tetap lestari hingga kini. Ia menjadi cermin peradaban luhur masyarakat Wakatobi yang tak henti menanamkan nilai adat, agama, dan moral kepada generasi penerus.
Dalam pelaksanaan Karia’a oleh keluarga besar Hamiruddin yang digelar di Kelurahan Pongo, Kecamatan Wangi-Wangi, tercatat lebih dari 30 Kansoda’a serta sekitar 100 peserta Karia’a turut ambil bagian. Sebuah perayaan adat yang membuktikan bahwa di tengah kemajuan zaman, jati diri dan budaya tetap hidup dan bermakna.
Laporan: Amran Mustar Ode