Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
INIPASTI.COM, Dalam psikologi, terdapat sebuah teori yang bernama “Ketidakberdayaan Yang Dipelajari” (learned helplessness). Teori ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh Martin Seligman dan Steven F. Maier, ketika mereka mengamati perilaku tidak berdaya pada anjing yang mendapatkan stimulus permusuhan secara berulang kali sehingga tidak bisa melarikan diri dan berhenti berusaha untuk menghindari stimulus seolah-olah tidak berdaya. Meskipun teori ini awalnya dipelajari pada hewan, namun efek yang ditimbulkan ternyata juga tampak pada diri manusia. Sebagai persamaan adalah ketika seorang yang berulang kali gagal pada tes mengemudi akan merasa bahwa usaha yang ia lakukan kedepannya akan sia-sia dan tidak berpengaruh pada hasil tes mengemudinya, sehingga akan timbul perasaan tidak berdaya ketika ia berhubungan dengan semua hal yang mengandung unsur tes mengemudi (Ramadhani, 2023).
Learned helplessness atau ketakberdayaan yang dipelajari terjadi ketika seorang individu terus-menerus menghadapi situasi negatif yang tidak terkendali dan berhenti berusaha untuk mengubah keadaan mereka, bahkan ketika mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya. Studi yang dilansir dari Very Well Mind, ketidakberdayaan juga telah dikaitkan dengan beberapa gangguan psikologis yang berbeda, seperti depresi, kecemasan, fobia, rasa malu, dan kesepian. Misalnya, seorang perokok mungkin berulang kali mencoba dan gagal untuk berhenti. Dia mungkin menjadi frustasi dan percaya bahwa yang ia lakukan tidak membantu usahanya sama sekali dan karena itu dia berhenti mencoba sepenuhnya (Pratiwi, 2022).
Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dapat mengembangkan perasaan tidak berdaya. Hal tersebut timbul karena perempuan gagal dalam usaha mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasi kekerasan yang dialami. Kegagalan ini memunculkan perasaan tidak berdaya dan menumbuhkan keyakinan bahwa ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengubah keadaannya saat ini. Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus, maka perasaan tidak berdaya (learned helplessness) pada dirinya akan semakin kronis (Walker dalam Syafitri, 2011).
Teori learned helplessness menyatakan bahwa individu yang teraniaya umumnya berpendapat bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan perbuatan penyiksanya, dan akhirnya cenderung untuk menghentikan segala usaha untuk meninggalkan atau merubah kondisi kekerasan tersebut (Bell dan Naugle dalam Zakariyya, 2013).
Berbagai Riset
Price (Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017), wanita tuna susila seringkali dihadapkan pada hal-hal yang sulit dan berat untuk dijalani, termasuk label-label tidak menyenangkan yang melekat, perbedaan tingkatan sosial, hingga kekerasan yang didapatkan dari orang-orang sekitar lingkungan. Wanita tuna susila mengaku tidak berdaya apa-apa untuk menolak realitas tersebut. Segala rasa tidak berdaya dan tidak adanya bantuan ini menunjukkan helplessness dari para wanita tuna susila.
Mahasiswa yang memiliki daya juang rendah maka akan merasakan adanya keputusasaan yang berupa ketidakberdayaan yang dipelajari. Peristiwa seperti ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Prayogo dan Rehulina (2014) terlihat adanya hubungan negatif antara daya juang dengan ketidakberdayaan yang dipelajari. Pengujian yang sudah dilaksanakan pada dimensi control, origin and ownership, reach, serta endurance, dimana terlihat adanya hubungan yang negatif antara daya juang dengan ketidakberdayaan yang dipelajari.
Widyastuti (2015) bahwa learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari) berhubungan dengan tingkat depresi pada pengguna narkoba atau sebaliknya tingkat depresi pengguna narkoba berhubungan dengan learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari) yang dimilikinya. Menurut Weiner (Davidson, 2006) individu yang dengan learned helplessness tinggi termasuk dalam kategori tipe pesimistik, atau dengan kata lain memandang tidak ada kunci untuk penyelesaian masalah yang dihadapi dan menggenalisir permasalahan yang dimilikinya. Pengguna narkoba yang memiliki learned helplessness tinggi cenderung merasa lebih pesimis dan merasa tidak berdaya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memilih untuk menggunakan narkoba sebagai bentuk pelarian dari masalahnya.
Byanca dan Naomi Soetikno (2024) meneliti tentang hubungan efikasi diri dengan learned helplessness pada debitur gagal bayar pinjaman online. Fenomena pinjaman online juga diiringi dengan kasus gagal bayar. Salah satu kondisi psikologis yang muncul dari gagal bayar pinjaman online yaitu learned helplessness. Learned helplessness atau ketidakberdayaan yang dipelajari merupakan suatu kondisi di mana seseorang cenderung pasif dan merasa tidak mampu melakukan apa-apa.
Penelitian di Australia mencatat beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh debitur yang terjerat utang, seperti gangguan kecemasan atau anxiety, perasaan malu, ketidakberdayaan atau helplessness, mengisolasi diri, insomnia, penyakit lainnya akibat kondisi mental (psikosomatis), hingga niat untuk mengakhiri hidup (Waliyuddin dalam Wong, et al., 2024). Salah satu masalah psikologis yang muncul tersebut yaitu learned helplessness. Penelitian lainnya menyatakan mahasiswa yang berutang menunjukkan tingkat helplessness yang lebih tinggi daripada dengan mahasiswa yang tidak berutang (Dryden, et al., 2023). Penelitian serupa menjelaskan bahwa individu dengan utang kartu kredit yang menumpuk melaporkan adanya masalah fungsi fisik dan kesehatan yang lebih buruk, serta tingkat helplessness yang lebih tinggi (Martin dalam Turunen & Hiilamo, 2014).
Perokok yang pernah berhenti merokok mengungkapkan bahwa mendapatkan manfaat dari proses berhenti, tetapi kembali memutuskan untuk merokok lagi, karena ketidakberdayaan melawan rasa kecanduan yang disebabkan oleh rokok (Cahyo dan Shaluhiyah, 2012). Penelitian yang dilakukan Rosemary (2013) juga mengungkap bahwa perokok berkeinginan kuat dalam berhenti merokok, hanya saja individu tidak bisa melakukannya. Menurut Quirkle (2021) perokok mengalami learned helplessness karena perokok yang sudah paham resiko dari rokok yang mengancam kesehatan, tapi masih merokok dan menyerah serta percaya bahwa mencoba untuk berubah adalah hal yang sia-sia. Learned helplessness dirasakan oleh seorang perokok karena menurut perokok, merokok sudah menjadi bagian bagi diri sendiri (Matherly, 2019).
Kegagalan yang terus-menerus pada diri seseorang dapat menyebabkan seseorang seringkali merasa menyerah dan merasa bahwa semua yang dilakukan tidak akan membawa perubahan. Perasaan menyerah dengan cepat yang disebabkan kegagalan yang dialami sebelumnya ini sering disebut dengan istilah learned helplessness (Marhaeni, 2007). Kegagalan tersebut membuat orang yang mengalami learned helplessness selalu berfikir akan selalu gagal, sehingga mereka cepat menyerah dengan tantangan yang datang padanya (Marhaeni, 2007).
Menurut Stoltz (2000), ketidakberdayaan yang dipelajari dianggap teori terbesar abad ini oleh American Psychological Association (APA) dengan alasaan yang tepat. Penelitian dari teori ini menjelaskan bahwa mengapa masih banyak individu yang menyerah dan gagal saat dihadapkan pada kesulitan serta masalah hidup. Berdasarkan hal tersebut teori ketidakberdayaan yang dipelajari merupakan salah satu unsur penting untuk pembentukan dari daya juang. Individu saat menderita ketidakberdayaan yang dipelajari tidak mungkin diberdayakan, dan orang yang merasa sudah mampu mempunyai daya juang tidak akan merasakan derita dari ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan yang dipelajari merupakan hambatan definitif bagi pemberdayaan, yang akan berakibat pada tujuan.
Arti Ketidakberdayaan
Kondisi ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) menurut Abramson (Sitompul, 2009), yaitu perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkan pada atribusi diri yang kuat bahwa dia tidak memiliki kemampuan. Menurut peneliti dari Grundtvig Partnership (2010) mengemukakan definisi ketidakberdayaan yang dipelajarai sebagai persepsi atau perasaan tidak mampu untuk merubah arah hidup seseorang, sebagai sebuah pembelajaran dari kegagalan sebelumnya. Penyebab dari ketidakberdayaan yang dipelajari dapat dikaitkan secara internal, eksternal atau keduanya, untuk individu atau kelompok sosial. Hal ini dapat mengakibatkan bentuk baru pengucilan yang mencegah perkembangan pribadi yang positif.
Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) merupakan keyakinan seseorang bahwa ia tidak mampu melakukan apaun untuk keluar dari situasi yang buruk kemudian digeneralisasikan ke situasi yang lain (Hergenhahn & Olson, 2008). Ketidakberdayaan yang dipelajari disebabkan oleh anggapan bahwa dirinya tidak mampu untuk menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan. Individu yang belajar bahwa ia tidak mampu mengontrol emosi akan menjadi pasif dan demikian ia merasa tidak berdaya dan perasaan-perasaan ketidakberdayaan ini akan menyebabkan depresi.
Istilah learned helplessness diciptakan berdasarkan penelitian Martin Seligman dengan hewan yang terlihat lelah dan akhirnya mempelajari bahwa hewan tersebut tidak berdaya dalam menghindari kejut yang tidak dapat dihindari. Abramson menjelaskan bahwa helplessness tergantung pada pemikiran bahwa ia tidak mungkin menghadapai masa depan, yang menurut Wortman dan Brehm disebabkan kegagalan dari usaha mengontrol kejadian (Carver & Scheier dalam Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017). Seligman, Overmier, dan Maier (Hoeksema, 2007) mengemukakan learned helplessness “when people come to believe they are helpless to control important outcomes in their environment” (Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017). Learned helplessness terjadi saat individu merasakan bahwa dirinya tidak berdaya untuk mengontrol lingkungannya. Abramson, Peterson, dan Seligman (Semium, 2006) mengemukakan learned helplessness sebagai “pembelajaran individu secara tepat bahwa ia tidak dapat mengontrol aspek-aspek negatif dari kehidupan; dan dengan demikian, ia merasa tidak berdaya, dan perasaan-perasan ketidakberdayaan ini akan menyebabkan depresi” (Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017).
Pemicu Terjadinya
Learned helplessness merupakan keyakinan individu atas ketidakmampuan dirinya dalam menangani, mengontrol, ataupun mengubah keadaan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya yang dianggap sebagai stimulus yang tidak menyenangkan dan terjadi berulang-ulang, sehingga dapat menimbulkan perasaan menyerah dan pasif yang dikarenakan kegagalan yang terjadi secara terus-menerus dari usaha yang dilakukan (Sari dan Kartasasmita, 2017). Penyebab dari learned helplessness ini muncul menurut Seligman (Lubis, 2018) dikarenakan reaksi individu terhadap suatu permasalahan yang tidak mungkin dapat ditemukan jalan keluarnya, serta berbagai kegagalan yang diterima dari setiap usaha-usaha yang dilakukannya. Penyebab dari learned helplessness adalah rasa ketidakberdayaan dan rasa terperangkap dalam permasalahan yang tidak dapat ia selesaikan (Sarafino & Smith, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Grundtvig Learning Partnership (Prayogo & Rehulina, 2014), bahwa ketidakberdayaan yang dipelajari ialah sebagai pandangan atau perasaan ketidakmampuan individu dalam mengubah tujuan hidup individu, untuk pembelajaran dari sebuah kegagalan di masa lalu. Ketidakberdayaan yang dipelajari disebabkan oleh faktor internal, eksternal, maupun keduanya, bagi kelompok masyarakat atau individu. Keadaan seperti ini akan berakibat pada sikap baru seperti pengucilan yang akan menyebabkan kurangnya perkembangan pribadi yang baik.
Seligman (Price dalam Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017) mengemukakan bahwa learned helplessness timbul sebagai reaksi saat individu menemukan bahwa tidak ada jalan untuk menghindari atau menyangkal kejadian-kejadian yang dianggap tidak menyenangkan, dan adanya kegagalan dari segala tindakan dan usaha yang dimaksudkan untuk mengubah keadaan yang menekan tersebut. Seligman (Price dalam Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017) juga menambahkan bahwa learned helplessness semakin berkembang setelah individu mempelajari bahwa dari saat ini individu tidak dapat memperkirakan kejadian yang selanjutnya akan datang disebabkan oleh ketidakmampuan individu mengontrol keadaan sehingga individu merasa semakin tidak berdaya.
Learned helplessness muncul disebabkan oleh rasa tidak berdaya dan rasa terperangkap seseorang yang tidak dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan (Sarafino & Smith, 2012). Rasa putus asa semakin berkembang ketika individu membangun penilaian pesimis bagi diri sendiri dalam menghadapi kejadian dalam hidupnya dan merasa tidak memiliki cara untuk menghadapi peristiwa dalam hidupnya tersebut (Abramson dalam Hoeksema, 2007).
Adapun learned helplesness merupakan perilaku tidak berdaya yang ditandai oleh penilaian diri yang negatif, interaksi negatif dengan lingkungan atau berasal dari blokade dan
hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih besar (Solomon dalam Suharto, 2002). Pertama, penilaian diri yang negatif. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negatif yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negatif dari orang lain. Kedua, interaksi negatif dengan orang lain ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negatif dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan sistem di luar mereka yang menindas. Ketiga, hambatan yang berasal dari lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi learned helplessness menurut Stuart dan Laraia (2005), antara lain faktor perkembangan yang terjadi pada individu sepanjang hidup, penilaian negatif terhadap diri sendiri, akumulasi pengalaman kegagalan, dan faktor sosial, berupa dukungan orang terdekat di sekitar. Self efficacy menurut Bandura (Saputra dan Muhammad Hidayat, 2022) adalah suatu keyakinan bahwa individu memiliki kompetensi untuk mencapai tujuan atau tugas tertentu dan menghasilkan perubahan positif dalam hidupnya. Aspek self efficacy menurut Bandura (Saputra dan Muhammad Hidayat, 2022)) yaitu meliputi, tingkat kesulitan tugas (level/magnitude), luas bidang perilaku (generality), dan kemantapan keyakinan (strenght). Social support menurut Sarafino dan Smith (2011) yaitu merujuk kepada kenyamanan yang dirasakan, perhatian yang diberikan, penghargaan, atau membantu seseorang menerima dari orang atau kelompok lain. Aspek social support menurut Sarafino dan Smith (2011) yaitu dukungan emosional (emotional support), dukungan penghargaan (esteem support). dukungan informasi (informational support), dukungan instrumental atau fisik (tangible or instrumental support), dukungan persahabatan atau berkelompok (companionship support).
Learned helplessness yang muncul pada diri individu dapat dijelaskan dari sudut pandang teori atribusi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa individu yang mengalami learned helplessness memiliki atribusi yang tidak adaptif (Gill & Martin, 2008). Apabila atribusi terhadap keberhasilan diklasifikasikan ke dalam empat jenis, yaitu usaha, kemampuan, kesulitan tugas dan keberuntungan (Slavin, 2006), maka individu yang mengembangkan atribusi selain atribusi usaha berpotensi mengalami learned helplessness (Sunawan, 2005). Tugas yang dipersepsi terlalu sulit membuat individu tidak berdaya untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang rendah membuat individu merasa tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki kegagalannya karena mereka telah memastikan tidak punya potensi atau kemampuan untuk berusaha.
Karakteristik Individu Helplessness
Gejala ketidakberdayaan yaitu menghindari hukuman, bersikap pasif, menarik diri, takut, depresi, dan kepasrahan untuk menerima apapun yang terjadi. Seligman (Hergenhahn & Olson, 2008) menunjukkan bahwa learned helplessness pada manusia mungkin dialami sebagai depresi yang menyebabkan putus asa dan akhirnya menyerah begitu saja.
Perilaku yang ditunjukkan dari learned helplessness mirip dengan orang yang depresi, individu menunjukkan perilaku ini dalam menanggapi pengalaman sebelumnya di mana individu merasa tidak berdaya untuk mengendalikan nasibnya (Seligman dalam Halgin & Whitbourne, 2003). Pertama, sulit melihat peluang bantuan (Price dalam Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017). Kedua, sikap yang pasif (Hoeksema, 2007). Ketiga, perilaku rendahnya harapan akan keberhasilan. Individu yang helpless juga memiliki harapan yang rendah akan keberhasilan disebabkan oleh kegagalan yang selama ini dialami secara berulang-ulang, sehingga menyimpulkan bahwa dirinya ‘bodoh’ maka tidak akan berhasil hingga seterusnya (Papalia, et al., 2009). Keempat, menganggap dirinya tidak memiliki kemampuan (Berk dalam Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017). Kelima, berkurangnya usaha individu karena mempelajari bahwa usaha apapun yang dilakukan pada akhirnya akan berujung pada kegagalan, ditambah tidak ada kemampuan, maka tidak perlu melakukan usaha apalagi mengulang usaha yang sudah jelas gagal (Berk dalam Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017). Keenam, ada kecenderungan untuk bunuh diri. Segala kepasifan, percaya bahwa dirinya tidak mampu mengubah kegagalan menimbulkan perilaku kecenderungan bunuh diri bagi para individu yang helpless, karena tidak percaya bahwa akan ada bantuan yang mengeluarkan dirinya dari situasi penuh tekanan (Alloy dalam Sari dan Sandi Kartasasmita, 2017).
Untuk menjelaskan fenomena learned helplessness yang kemunculannya pada manusia bervariasi (bisa, spesifik untuk kondisi tertentu atau bisa jadi umum untuk berbagai kondisi). Weiner (Davidson, 2006) mengeluarkan attribution theory. Attribution theory menyatakan kemunculan keadaan tidak berdaya tergantung pada tipe masing-masing orang (Widyastuti, 2015). Pertama, tipe optimistis. Memandang ada kunci untuk penyelesaian masalah (walaupun awalnya kunci pemecahan masalah belum bisa ditemukan) dan tidak menggeneralisir permasalahan. Lebih bisa mencegah belajar tidak berdaya. Kedua, tipe pesimistik. Memandang tidak ada kunci untuk penyelesaian masalah dan menggenalisir permasalahan. Lebih rentan belajar tidak berdaya.
Seligman (Widyastuti, 2015) dalam risetnya, menemukan ada beberapa kesamaan terhadap cara pandang terhadap pengalaman masa lalu orang-orang yang mengalami learned helplesness. Cara pandang tersebut terdiri dari tiga komponen utama. Pertama, permanence. Permanence merupakan belief yang salah yang menganggap kejadian masa lalu adalah permanen atau tidak bisa berubah. Karena belief salah ini orang tersebut cenderung berhenti berusaha karena merasa tidak ada gunanya. Kedua, personalization. Seseorang dengan learned helplesness memiliki kecenderungan untuk selalu menyalahkan dirinya sendiri untuk segalanya. Ini mengindikasikan rasa rendah diri. Ketiga, pervasiveness. Kecenderungan untuk menggeneralisasi sebuah hal negatif ke dalam setiap hal.
Karakteristik yang paling jelas tampak pada invidu yang mengalami learned-helplessness adalah hilangnya kesediaan untuk bertahan menghadapi hal yang secara realistis dapat dikuasai yang pada akhirnya individu memiliki kebiasaan untuk tidak mau “mencoba”, sebagai efek dari kegagalan beruntun yang dialami sebelumnya. Perilaku mencoba dianggap sebagai membuang waktu karena mereka meyakini bahwa mereka akan mengalami kegagalan (Luchow, et al., 1985). Seorang anak yang sering mengalami kegagalan pada masa lalu akan cenderung mengaitkan kegagalan dengan kemampuan rendah (Cullen, 1985).
Selain itu, terdapat beberapa karakteristik individu dengan learned helplessness. Pertama, sulit melihat peluang bantuan, walaupun terdapat peluang bantuan yang mungkin akan diterimanya. Individu dengan learned helplessness dengan kepasrahan akan merasa bahwa tidak akan ada orang yang bisa membantunya. 2) Menunjukkan sikap pasif. Individu dengan learned helplessness cenderung tidak akan melakukan tindakan apapun (pasif) karena merasa bahwa sekuat apapun usaha yang akan dilakukannya tidak akan merubah keadaan. 3) Rendahnya harapan akan keberhasilan. Orang yang helpless juga memiliki harapan yang rendah akan keberhasilan, hal tersebut disebabkan oleh kegagalan yang dialami secara berulang-ulang, sehingga dengan mudahnya akan menyimpulkan bahwa dirinya adalah orang yang bodoh maka setiap apa yang dilakukanya pasti akan mengalami kegagalan. 4) Menganggap tidak memiliki kemampuan. Individu dengan helplessness lebih berfokus terhadap apa yang menjadi kekurangannya daripada kelebihannya sehingga ia akan merasa bahwa dalam dirinya tidak ada hal yang patut dibanggakan. 5) Ada kecenderungan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Segala kepasifan dan kepercayaan bahwa dirinya tidak mampu mengubah suatu kegagalan menimbulkan kecenderungan perilaku bunuh diri karena tidak percaya bahwa akan ada bantuan yang akan mengeluarkan dirinya dari masalah yang penuh dengan tekanan (Lubis, 2018).
Kriteria dan Dimensi
Seligman (Miller, 2006), ketidakberdayaan yang dipelajari ialah keinginan untuk menganggap peristiwa menjadi : pertama, personalisasi internal. Menjelaskan bahwa segala peristiwa yang tidak baik/buruk yang dialami dikarenakan oleh lingkungan yang menyebabkan ketidakberdayaan pada diri sendiri. Kedua, menurut keutuhan pervasif. Menjelaskan mengenai keyakinan pada kegagalan dapat mempengaruhi keseluruhan dimensi kehidupan individu dan tidak terlepas pada kondisi yang spesifik seperti ketidakberdayaan yang dipelajari. Ketiga, permanen/tetap. Menjelaskan mengenai sesuatu berarti mempunyai rentang waktu serta tidak dapat berubah yang menyebabkan ketidakberdayaan yang dipelajari menjadi kronik.
Ada empat dimensi dari ketidakberdayaan yang dipelajari (Putri, 2019). Pertama, inability (ketidakmampuan). Persepsi atau perasaan tidak mampu pada individu mengenai permasalahan yang dihadapinya. Individu akan merasa bahwa permasalahan yang dia hadapi merupakan permasalahan yang cukup sulit hingga individu tersebut merasa bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Kedua, personal features (fitur personal). Kondisi personal pada individu dirasa akan menghambat seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dimilikinya. Individu berpandangan bahwa tipe kepribadian, kondisi fisik, postur tubuh, serta masa lalu yang dia alami merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian permasalahan yang dialami oleh individu.
Ketiga, social features (fitur sosial). Kondisi fitur sosial pada individu dirasa akan menghambat seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dimilikinya. Individu berpandangan bahwa latar belakang budaya, kurangnya pendidikan, serta kondisi lingkungan masyarakat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian permasalahan yang ada. Keempat, change enables conditions (kondisi untuk berubah). Individu merasa perubahan dalam dirinya adalah hal yang tidak mungkin. Individu mempersepsikan diri bahwa keadaan yang individu hadapi merupakan keadaan yang mustahil untuk dipecahkan karena individu merasa tidak ada jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Kesempatan yang mungkin ada dipersepsikan sebagai sesuatu yang berisiko tinggi sehingga indiviu tersebut enggan untuk mengambil kesempatan yang ada yang mana didasarkan dari kegagalan yang pernah individu alami sebelumnya. Hal ini yang kemudian membuat individu enggan untuk mengambil kesempatan yang ada.
Seligman, dkk. (Sarafino & Smith, 2012) menerapkan tiga proses kognitif pada teori learned helplessness yakni, (a) pertama adalah dimensi internal-eksternal, individu akan menilai apakah ketikdakmampuan dalam mengontrol situasi yang menyakitkan berasal dari dalam diri atau luar diri. Contohnya orang yang cenderung menyalahkan diri sendiri akan merasa bahwa setiap kegagalan berasal dari dalam dirinya (internal) di mana orang yang cenderung sering meyalahkan diri sendiri akan memiliki kecenderungan learned helplessness tinggi karena selalu menganggap dirinya negatif dan tidak mampu untuk melawan situasi yang penuh dengan tekanan; (b) kedua, dimensi stabil tidak stabil merupakan penilaian apakah situasi penuh tekanan ini akan berlangsung lama (stabil) atau sementara (tidak stabil). Jika individu merasa bahwa situasi yang menyakitkan ini berlangsung cukup lama maka ia akan berpikir selalu terjebak, tidak pernah berhasil dan selalu gagal; (c) ketiga, global- spesifik yakni penggeneralisasian efek kegagalan yang dialami sehingga akan memunculkan pikiran bahwa peristiwa negatif yang bersifat menyakitkan dan tidak diinginkan akan selalu terjadi dalam hidunya dan segala usaha yang dilakukan semua akan berujung kegagalan.
Aspek Ketidakberdayaan
Carpenito (Niman dan Mustikasari, 2014) menyebutkan bahwa ketidakberdayaan dibagi menjadi dua jenis, yaitu ketidakberdayaan mayor dan ketidakberdayaan minor. Pertama, ketidakberdayaan mayor, meliputi perbuatan yang menunjukkan amarah, apatis, ketidakmampuan mengontrol situasi (co : penyakit, pekerjaan, perawatan) dan ekspresi ketidakpuasan yang mengganggu tujuan serta gaya hidup. Kedua, ketidakberdayaan Minor, meliputi kurangnya perilaku mencari informasi, apatis, anxiety, depresi, kegelisahan, pasif dan perilaku menarik diri dari lingkungan.
Ada beberapa aspek ketidakberdayaan yang dipelajari (learnded helplessness) menurut Seligman (Firdiani dan Furqan, 2018). Pertama, penurunan motivasi (motivation deficit). Penurunan motivasi muncul saat terdapat kejadian yang tidak dapat dikontrol yang menurunkan motivasi seseorang untuk merespons dan mengontrol kejadian. Simptom-simptom penurunan motivasi yaitu mengalami penurunan dalam merespons tindakan, tekanan suara menurun, tidak mampu membuat keputusan, mengalami penolakan, menjadi pasif, mengalami isolasi, menunda-nunda suatu pekerjaan (proskatinasi), dan melakukan sedikit usaha untuk keluar dari situasi yang berbahaya. Kedua, penurunan kemampuan kognitif (cognitive deficit). Penurunan kemampuan kognitif ditandai dengan kesulitan dalam memperlajari respons. Individu percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan adalah dua hal yang terpisah. Terjadinya kejadian yang tidak terkontrol menimbulkan keyakinan (belief) bahwa individu tidak dapat keluar dari situasi yang tidak terkontrol tersebut. Simptom-simptom penurunan kemampuan kognitif yaitu adanya pemikiran-pemikiran negatif dimana masalah kecil akan dibesar-besarkan dan keyakinan bahwa tidak mampu menyelesaikan masalah, kesulitan memperlajari respons yang sukses/berhasil, dan kontrol persepsi yang lambat. Ketiga, penurunan emosional (emotional deficit). Penurunan emosional ditandai dengan ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol situasi yang tidak menyenangkan. Peristiwa traumatik menyebabkan tingkat emosional individu tinggi atau mengalami ketakutan (fear). Simptom-simptom penurunan emosional yaitu tingkat agresi menurun, keinginan untuk bersain menurunan, dominasi seseorang akan berkurang, kehilangan nafsu makan, penurunan dalam hal seksualitas, dan penurunan dalam interaksi sosial.
Dampak Learned Helplessness
Learned helplessness merupakan mentalitas tak berdaya yang terbentuk secara bertahap (Wu & Tu, 2019). Mereka telah belajar bahwa apapun yang mereka lakukan adalah sia-sia, sehingga dapat sangat merusak pada awal kehidupan, karena rasa penguasaan atas lingkungan seseorang merupakan fondasi penting untuk perkembangan emosional di masa depan (Townsend, 2015). Individu menjadi tidak berdaya jika mereka “memutuskan” atau “berpikir” bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi kejadian menyulitkan dalam hidup mereka, bahkan jika bagi orang lain tampaknya ada sesuatu yang dapat mereka lakukan (Barlow dan Durand, 2015).
Seligman (Lubis, 2009) mengemukakan bahwa learned helplessness mengakibatkan gangguan emosional seperti depresi ringan atau sedang, meningkatkan kecemasan, perasaan tertekan, penurunan motivasi yakni merasa diri tidak memiliki kemampuan, usaha apapun akan berujung kegagalan sehingga memunculkan rasa menyerah, serta penurunan kognitif yaitu gagalnya individu dalam mempelajari respon-respon baru yang dapat membantu individu keluar dari permasalahan atau keadaan yang membuat individu tertekan. Keyakinan individu bahwa dirinya adalah ‘bodoh’ dan ‘tidak mampu’ menyebabkan tidak adanya usaha individu untuk mengembangkan kognitif dalam melihat jalan keluar ataupun peluang untuk dapat menangani atau mengontrol keadaan yang terjadi (Papalia, dkk., 2009). Hal ini menyebabkan individu yang helpless tidak mengembangkan kognitifnya dalam mencari jalan keluar dari permasalahannya (Slavin, 2009).
Ada tiga hal sebagai akibat learned helplessness. Pertama, jika seseorang sering mengalami kejadian-kejadian yang tidak dapat dikontrolnya, hal ini akan berakibat pada penurunan motivasi individu untuk bertingkah laku dengan cara tertentu yang sebenarnya dalam situasi tertentu dapat merubah hasil akhir dari suatu kejadian. Kedua, pengalaman masa lalu dengan kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengurangi kemampuan individu untuk belajar bahwa kejadian-kejadian tertentu dapat diubah dengan tingkah laku tertentu pula. Ketiga, pengalaman yang berulang-ulang dengan kejadian-kejadian yang tidak dapat dikontrol akan mengarah pada perasaan tidak berdaya (Seligman dalam Sitompul, 2009). Individu-individu akan mengatribusikan ketidakberdayaan pada diri mereka sendiri atau pada kejadian-kejadian khusus dan orang-orang di lingkungan sekitarnya.
Selain itu, learned helplessness bisa berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, termasuk : pertama, kesehatan mental. Kondisi ini sering dikaitkan dengan depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Orang yang merasa tidak berdaya cenderung lebih mudah mengalami gangguan mental. Kedua, kinerja dan produktivitas. Orang yang mengalami learned helplessness cenderung kurang termotivasi untuk berusaha atau mencoba hal-hal baru. Ini bisa berdampak pada kinerja mereka di sekolah, tempat kerja, atau bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, hubungan sosial. Sikap pasrah dan kurangnya inisiatif bisa mempengaruhi hubungan sosial. Mereka mungkin menarik diri atau tidak berusaha memperbaiki hubungan yang bermasalah (Pirayati, 2024).
Fungsional/Manfaat
Secara sosiologis, tidak selamanya hal-hal yang menyimpang termasuk learned helplesness dis-fungsional atau tidak bermanfaat. Learned helplesness fungsional atau bermanfaat juga. Manfaat learned helplesness adalah untuk mengetahui bahwa : pertama, kegagalan untuk memulai tindakan berarti bahwa seseorang yang memiliki pengalaman learned helplesness cenderung untuk tidak mencoba mempelajari materi baru. Kedua, kegagalan dalam belajar misal, berarti bahwa walaupun arah baru diberikan kepada seseorang tersebut, mereka tidak mempelajari apapun dari hal itu. Ketiga, masalah emosional sepertinya menyertai learned helplesness. Frustasi, depresi dan rasa tidak kompeten muncul secara berkala (Widyastuti, 2015).
Learned helplessness merupakan kondisi yang dapat dialami semua kategori usia, termasuk anak-anak. Beberapa tanda learned helplessness antara lain: pasif; rendah motivasi; mudah menyerah; kurangnya usaha; menunda-nunda pekerjaan; rendah harapan untuk sukses; kurangnya ketekunan dalam melakukan tugas; pasrah dan tidak meminta bantuan orang lain ketika kesulitan; frustrasi; kurangnya usaha; dan tingkat percaya diri yang rendah (Anonymous dalam Usman, 2025).
Martin Seligman (Davidson, dkk, 2006) mengembangkan teori positive psychology. Dikatakan dalam teori tersebut bahwa penting bagi individu untuk memiliki pemikiran positif dan mempertimbangkan banyak sudut pandang dalam menilai suatu situasi yang dialami, agar tidak memiliki penyimpangan kognitif seperti penilaian diri yang negatif. Penyimpangan kognitif merupakan bagian dari skema terbentuknya learned helplessness.
Solusi Alternatif
Guna membantu individu yang mengalami learned helplessness, tampaknya cukup tepat dengan mengaplikasikan pendekatan konseling realita (reality therapy). Jika ditinjau dari perspektif teori atribusi, tampaknya learned helplessness dikarenakan individu merasa tidak punya harapan. Individu dengan atribusi kemampuan merasa bahwa mereka tidak punya harapan untuk berhasil karena kemampuan yang kurang; individu dengan atribusi keberuntungan merasa kurang punya harapan karena keberhasilan atau kegagalan karena kurang mampu mengontrol realita; demikian seterusnya. Relevan dengan kondisi tersebut, konseling realita mendorong individu untuk kontrol perilaku, menekankan pilihan dan mendorong individu agar senantiasa memiliki harapan (Corey, 2009).
Pendekatan konseling realita, dalam membantu individu yang mengalami learned helplessness, mendorong mereka merasa memiliki harapan. Individu yang mengalami learned helplessness diajak melakukan evaluasi diri. Selama proses evaluasi diri, individu diajak untuk mencermati bahwa mereka memiliki pilihan dan kapasitas untuk mengontrol perilakunya (Wubbolding, 2007). Hasil yang diharapkan adalah tumbuhnya kesadaran pada diri individu bahwa mereka memiliki pilihan; menjadikan diri mengalami learned helplessness pada dasarnya merupakan hasil dari sebuah pilihan dan itu bukan satu-satunya, masih ada pilihan yang lain. Tumbuhnya kesadaran ada pilihan diharapkan menumbuhkan keyakinan bahwa selalu ada harapan ketika berusaha. Melalui proses ini diharapkan individu dengan learned helplessness diharapkan mereka meyakini kembali bahwa dirinya dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkannya (Mulawarman, 2012).
Mengatasi learned helplessness bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Berikut beberapa langkah yang bisa membantu (Pirayati, 2024). Pertama, sadari pola pikir negatif. Langkah pertama adalah menyadari pola pikir negatif yang muncul. Cobalah untuk mengenali kapan kita merasa tidak berdaya dan apa yang memicu perasaan tersebut. Kedua, ubah narasi diri. Gantikan pikiran negatif dengan pernyataan positif dan realistis. Misalnya, daripada berpikir “Saya pasti gagal,” coba ubah menjadi “Saya akan berusaha sebaik mungkin dan belajar dari pengalaman ini.” Ketiga, fokus pada solusi. Alihkan fokus dari masalah ke solusi yang mungkin. Cobalah untuk mencari cara-cara konkret untuk mengatasi tantangan yang dihadapi. Keempat, belajar dari kegagalan. Lihat kegagalan sebagai peluang untuk belajar, bukan sebagai tanda ketidakberdayaan. Setiap kegagalan bisa memberikan pelajaran berharga yang membantu kita menjadi lebih baik di masa depan. Kelima, dukungan sosial. Cari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional jika perlu. Dukungan dari orang lain bisa memberikan motivasi dan perspektif baru yang membantu kita mengatasi perasaan tidak berdaya.
Sesungguhnya, apabila mengalami learned helplessness, tidak perlu khawatir berlebih-lebihan karena kondisi ini dapat ditangani. Tindakan penanganan yang umum digunakan untuk mengatasinya adalah terapi perilaku kognitif. Melalui terapi ini, kita akan diajak untuk mengubah cara berpikir dan berperilaku menjadi lebih rasional. Beberapa manfaat yang bisa didapatkan melalui terapi perilaku kognitif, antara lain: pertama, mengidentifikasi pikiran negatif yang memicu munculnya learned helplessness; kedua, mengidentifikasi perilaku negatif yang memicu berkembangnya learned helplessness; ketiga, mengembangkan cara untuk mengurangi perasaan ketidakberdayaan saat menghadapi trauma; keempat, mengubah pola pikir dan perilaku negatif menjadi lebih positif dan bermanfaat; kelima, meningkatkan harga diri; keenam, menantang emosi negatif yang muncul akibat learned helplessness; ketujuh, mengatasi luka yang muncul akibat trauma; kedelapan, menetapkan tanggung jawab dan tujuan bagi diri sendiri. Selain terapi, menerapkan pola hidup sehat juga dapat berdampak baik bagi kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Pola hidup sehat seperti konsumsi makanan bernutrisi, rutin berolahraga, dan mengelola stres terbukti dapat mengurangi sekaligus mencegah kecemasan, depresi, maupun masalah kesehatan lainnya (Anonymous dalam Usman, 2025).
Semoga !!!