INIPASTI.COM –Halo, pembaca setia inipasti.com! Kali ini, kami mengangkat isu penting yang tengah menjadi perhatian di dunia pendidikan tinggi Indonesia: pemangkasan anggaran pendidikan 2025 yang berdampak signifikan pada dana riset di perguruan tinggi. Dua universitas ternama, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Indonesia (UI), menjadi sorotan karena upaya mereka untuk tetap menjalankan riset di tengah tekanan finansial. Sementara itu, berbagai pihak mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini agar masa depan riset dan inovasi di Indonesia tidak terancam.
Pemangkasan Anggaran: Ancaman bagi Riset Perguruan Tinggi
Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun 2025. Kebijakan ini menargetkan penghematan anggaran sebesar Rp306,69 triliun, dengan pemangkasan belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp256,1 triliun, termasuk di sektor pendidikan. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) terkena dampak besar, dengan anggaran awal Rp56,6 triliun dipangkas sebesar Rp14,3 triliun. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga terkena pemotongan sebesar Rp2,07 triliun, yang langsung memengaruhi alokasi dana riset untuk perguruan tinggi.
Dampaknya sangat terasa di perguruan tinggi negeri (PTN) seperti IPB dan UI, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam riset dan inovasi. Dana riset yang sudah terbatas kini semakin menyusut, memaksa universitas untuk mencari cara agar kegiatan penelitian tetap berjalan. Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah, menyebut bahwa kebijakan ini berpotensi membuat kualitas pendidikan tinggi “semakin jauh terpuruk” karena melemahkan riset, yang merupakan salah satu pilar utama Tri Dharma Perguruan Tinggi.
IPB dan UI Berjuang di Tengah Krisis Anggaran
IPB, yang dikenal sebagai pusat riset pertanian dan lingkungan, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan proyek-proyek penelitian strategisnya. Salah satu langkah yang diambil IPB adalah memperluas kerja sama dengan industri swasta dan lembaga internasional untuk mendanai riset. Misalnya, IPB telah menjalin kemitraan dengan perusahaan agribisnis untuk mendukung penelitian inovasi benih unggul dan teknologi pertanian berkelanjutan. Selain itu, IPB juga mengoptimalkan dana abadi universitas untuk menutupi kekurangan anggaran operasional riset, meskipun langkah ini dinilai hanya solusi jangka pendek.
Sementara itu, UI mengambil langkah ekstrem dengan menerapkan penghematan ketat di lingkungan kampus. Berdasarkan Surat Edaran Rektor UI Nomor SE-551/UN2.R/KEU/2025, lampu penerangan kampus dimatikan total setelah pukul 17.00 WIB untuk menghemat biaya listrik. Ketua BEM UI, Defani Shafa Maharani, melalui akun Instagram resmi BEM UI, mengkritik keras kebijakan ini dengan judul “Indonesia Gelap, UI Pun Gelap”. Ia menyoroti bahwa penghematan ini juga berdampak pada pengurangan akses ke media pustaka, seperti database online, e-book, dan research tools, yang esensial bagi penelitian mahasiswa dan dosen. UI juga terpaksa membatasi pelaksanaan metode belajar hybrid dan menunda beberapa proyek riset yang tidak dianggap prioritas.
Namun, langkah penghematan ini menuai protes dari kalangan mahasiswa dan dosen. Ketua Umum Serikat Pekerja Kampus (SPK), Dhiya Al-Uyun, menolak kebijakan efisiensi anggaran yang dinilainya sepihak. Ia menyebut ada wacana pemecatan tenaga honorer di beberapa kampus, termasuk UI, serta pembatasan gaji tanpa mengurangi beban kerja. Pakar kebijakan publik dari UI, Lina Miftahul Jannah, bahkan memperingatkan potensi pemogokan dosen jika situasi ini berlanjut, yang dapat menghentikan proses pembelajaran.
Desakan untuk Tinjau Ulang Kebijakan
Berbagai pihak, termasuk akademisi dan organisasi masyarakat sipil, mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan pemangkasan anggaran ini. Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Agustina Kustulasari, menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan efektivitas riset dan inovasi. Ia mempertanyakan logika pemangkasan dengan menyatakan, “Jika anggaran riset yang sudah terbatas masih dipangkas lagi, bagaimana kita bisa bersaing di tingkat global?” Ia juga menyarankan agar perguruan tinggi terus mencari sumber pendanaan alternatif, meskipun peran negara tetap krusial dalam mendukung riset.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, juga meminta pemerintah untuk mempertahankan mandatory spending pendidikan minimal 20% dari APBN, sesuai amanat Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945. Ia menilai pemangkasan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat sumber daya manusia, sains, dan teknologi, sebagaimana tertuang dalam visi Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran. “Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. Jangan sampai pemangkasan anggaran ini menghancurkan mimpi generasi muda untuk berkontribusi melalui riset dan inovasi,” tegas Ubaid.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Prof. Dr. R. Agus Sartono, menambahkan bahwa pemangkasan anggaran di sektor pendidikan dapat memicu kontraksi ekonomi. Ia menjelaskan bahwa sektor pendidikan memiliki efek multiplikatif, seperti mendukung industri perhotelan melalui seminar dan FGD, yang kini terdampak akibat pengurangan anggaran. “Harus ada langkah antisipasi agar efisiensi ini tidak memperlambat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Dampak Jangka Panjang dan Solusi Alternatif
Pemangkasan anggaran ini tidak hanya berdampak pada operasional riset, tetapi juga pada daya saing SDM Indonesia di tengah bonus demografi. Dengan hanya 12% angkatan kerja Indonesia yang merupakan lulusan perguruan tinggi—jauh di bawah Korea Selatan yang mencapai 50%—pengurangan dana riset dapat memperparah ketertinggalan ini. Negara berisiko terjebak dalam middle income trap jika tidak segera mengoptimalkan potensi generasi muda melalui pendidikan dan inovasi.
Beberapa solusi alternatif telah diusulkan untuk meredam dampak kebijakan ini. Pertama, pemerintah dapat mengalihkan fokus efisiensi pada belanja yang kurang produktif, seperti proyek seremonial, alih-alih memangkas anggaran pendidikan. Kedua, perguruan tinggi didorong untuk memperluas kerja sama dengan industri dan memanfaatkan dana abadi pendidikan, seperti yang telah dilakukan melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Ketiga, pemerintah perlu melibatkan pemangku kepentingan dalam perencanaan anggaran untuk menghindari kebijakan yang bersifat top-down dan memicu gejolak sosial.
Kesimpulan
Pemangkasan anggaran pendidikan 2025 telah menempatkan riset di perguruan tinggi, termasuk IPB dan UI, dalam posisi sulit. Meskipun kedua universitas ini berupaya keras untuk menjaga kelangsungan penelitian, tekanan finansial yang ada menunjukkan bahwa solusi jangka pendek tidak cukup. Pemerintah perlu segera meninjau ulang kebijakan ini agar tidak mengorbankan masa depan riset dan inovasi, yang menjadi kunci daya saing bangsa. Mari kita bersama-sama mengawal kebijakan pendidikan agar generasi muda Indonesia tetap memiliki ruang untuk berkarya dan berinovasi.
Tetap pantau inipasti.com untuk informasi terbaru seputar dunia pendidikan. Salam pendidikan!