Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima
INIPASTI.COM, [OPINI]– Profesi pengawas sekolah selama ini dianggap sebagai profesi “afkiran”. Anggapan seperti itu muncul karena disebabkan oleh beberapa hal (Masyhud, 2014). Pertama, tidak adanya pendidikan prajabatan yang jelas bagi calon pengawas. Selama ini tidak ada persyaratan pendidikan prajabatan yang jelas untuk calon pengawas. Pengangkatan jabatan pengawas selama ini tidak mempersyatkan latar belakang pendidikan tertentu, bahkan banyak pengawas yang memiliki latar belakang pendidikan non kependidikan, serta tidak memiliki pengalaman sebagai guru (tidak berasal dari guru). Hal demikian ini menyebabkan nilai jabatan pengawas dianggap rendah. Sebab siapa saja bisa menjadi pengawas asalkan diangkat oleh atasannya. Kedua, sistem rekruitmen tenaga pengawasa sekolah selama ini kurang baik. Pengawas banyak direkrut dari para kepala sekolah/guru yang dianggap tidak bisa dikembangkan lagi atau dianggap tidak layak lagi sebagai guru atau kepala sekolah. Bahkan di beberapa tempat banyak para pejabat struktural yang karena menjelang usia pensiun, dialihkan ke profesi pengawas agar usia pensiunnya dapat diperpanjang. Kenyataan yang demikian ini juga dapat merendahkan nilai jabatan pengawas sekolah. Sebab jabatan pengawas dianggap sebagai jabatan yang mudah. Harusnya jabatan pengawas merupakan jabatan karir yang dirintis dari jabatan guru.
Ketiga, tidak ada kewenangan yang jelas bagi seorang pengawas sekolah. Tidak adanya kewenangan yang jelas bagi jabatan pengawas dalam urusan kepegawaian merupakan salah satu sebab dari lemahnya jabatan ini. Para guru dan/atau kepala sekolah sering kurang menghiraukan eksistensi pengawas, sebab pengawas tidak memiliki kewenangan yang berkaitan dengan urusan kepegawaian. Kewenangan jabatan pengawas selama ini lebih bersifat normatif. Karena kewenangan yang tidak jelas tersebut, maka sering kali seseorang yangtelah diangkat menjadi pengawas sekolah akan mengalami kebingungan, mereka harus berbuat apa. Keempat, selama ini tidak ada penjenjangan karir yang jelas untuk menduduki jabatan pengawas sekolah. Tidak jelasnya jenjang karir pengawas sekolah selama ini (sebelum ada Permendiknas No. 12/2007) menyebabkan kesemrawutan jabatan tersebut. Bahkan setelah diterapkan kebijakan otonomi daerah dan kepala daerah (Bupati/Walikota) memiliki otonomi yang luas, jabatan pengawas ini terkesan sebagai jabatan “semau gue” dari para pejabat penuasa. Maksudnya, jika pejabat penguasa menghendaki seseorang jadi pengawas, maka “jadilah’ ia seorang pengawas meskipun pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pendidikan dan pengajaran, serta kepengawasan sangat minim. Karena minimnya pengetahuan dan pengalaman mereka tersebut, maka ketika dia menjalankan tugas sebagai pengawas sekolah mereka tidak dapat menjalankan dengan baik, dan bahkan terkesan tidak tahu apa yang harus merejka perbuat. Hal demikian inilah di antaranya yang menyebabkan penilaian publik terhadap jabatan pengawas menjadi kurang baik.
Kelima, selama ini jabatan pengawas nyaris kurang tersentuh pembaharuan. Setelah mereka diangkat dalam profesi pengawas sekolah, mereka hampir tidak pernah tersentuh pelatihan atau pembinaan untuk pengembangan keprofesionalannya, pada hal mereka diangkat sebagai pengawas sekolah dengan tugas utama untuk membina guru dan kepala sekolah dalam kaitan dengan peningkatan mutu pendidikan dan pembelajaran. Di lain pihak ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang dengan pesat dan mengakibatkan tuntutan terhadap peningkatan kualitas pendidikan juga terus meningkat. Dalam keadaan demikian itu, jika pengawas tidak memiliki bekal ilmu yang memadai dan aktual, maka pembinaan yang dilakukan akan tidak sesuai dengan tuntutan terhadap dunia pendidikan. Pembinaan yang mereka berikan terhadap guru dan kepala sekolah akan terkesan “out of date”. Jika hal demikian itu berlangsung terus-menerus, maka pembinaan yang diberikan oleh pengawas akan dilecehkan oleh guru dan kepala sekolah yang dibinanya. Hal demikian ini juga merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya nilai jabatan pengawas. Di sini terkesan bahwa jabatan pengawas sekolah adalah merupakan jabatan “penunggu masa pension.”
Inti Tupoksi
Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian danpembinaan dari segiteknis pendidikan danadministrasi pada satuan pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah (Alvionita, dkk., 2024).
Inti tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah adalah menilai dan membina. Subjek yang dinilai adalah teknis pendidikan dan administrasi pendidikan. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Penilaian adalah penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolok ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah (Alamdhani dan Nunuk Hariyati, 2020).
Terkait dengan tugas menilai, seorang pengawas sekolah melakukan pengumpulan informasi tentang subjek dan objek kerjanya (teknik pendidikan dan administrasi). Informasi itu kemudian diolah sedemikian rupa. Hasil olahan informasi itu digunakan untuk mengukur atau menentukan derajat kualitas subjek. Hasil penilaian tersebut akan menginformasikan kepada pengawas sekolah bahwa teknik pendidikan di satuan pendidikan tertentu telah memenuhi tolok ukur (standar) yang ditetapkan atau sebaliknya. Begitu pula halnya dengan teknik administrasi (Addini, dkk., 2022).
Pembinaan adalah memberi arahan, bimbingan, contoh, dan saran dalam pelaksanaan pendidikan sekolah. Memberikan arahan adalah upaya pengawas sekolah agar guru dan tenaga lain di sekolah yang diawasi dalam melaksanakan tugasnya lebih terarah dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Memberikan bimbingan adalah upaya pengawas sekolah agar guru dan tenaga lain di sekolah yang diawasi mengetahui secara lebih rinci kegiatan yang harus dilaksanakan dan cara melaksanakannya. Memberikan contoh adalah upaya pengawas sekolah yang dilaksanakan dengan cara yang bersangkutan bertindak sebagai guru yang melaksanakan proses belajar mengajar/bimbingan untuk materi tertentu di depan kelas/ruangan bimbingan dan kenseling dengan tujuan agar guru yang diawasi dapat mempraktikkan model mengajar/membimbing yang baik. Memberikan saran adalah upaya pengawas sekolah agar sesuatu proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah lebih baik dari pada hasil yang dicapai sebelumnya atau berupa saran kepada pimpinan untuk menindaklanjuti pembinaan yang tidak dapat dilaksanakan sendiri (Priansa dan Somad, 2018).
Kiprah Pengawas
Kiprah pengawas pendidikan menjadi bagian integral dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah sebagai hakikat pengawasan. Menurut Sudjana, et al. (Wardani, dkk., 2022) bahwa hakikat pengawasan memiliki empat dimensi: 1) support, 2) trust, 3) challenge; dan 4) networking and collaboration. Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi support. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor dalam mendukung (support) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri dalam kondisi yang sebenarnya. Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan, kelemahan dan peluang serta ancaman bagi sekolah dalam peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang.
Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi trust. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor dalam memberi kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan menggambarkan profil dinamika sekolah masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi challenge. Dimensi tersebut menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor dalam memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistis mungkin agar mampu dicapai oleh pihak sekolah, berdasarkan situasi dan kondisi sekolah pada saat ini. Dengan demikian stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan mutu sekolah.
Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi networking and collaboration. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor di mana supervisor itu sendiri harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antarstakeholder pendidikan serta seluruh komponen pendidikan lainnya dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah.
Pengawas sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggungjawabnya. Tugas pokok pengawas sekolah/satuan pendidikan adalah melakukan penilaian dan pembinaan dengan melaksanakan fungsi-fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial (Getteng, 2017). Tugas pokok yang pertama merujuk pada supervisi atau pengawasan manajerial sedangkan tugas pokok yang kedua merujuk pada supervisi atau pengawasan akademik. Pengawasan manajerial pada dasarnya memberikan pembinaan, penilaian dan bantuan/bimbingan mulai dari rencana program, proses, sampai dengan hasil. Bimbingan dan bantuan diberikan kepada kepala sekolah dan seluruh staf sekolah dalam pengelolaan sekolah atau penyelenggaraan pendidikan di sekolah untuk meningkatkan kinerja sekolah. Pengawasan akademik berkaitan dengan membina dan membantu guru dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran/bimbingan dan kualitas hasil belajar siswa (Nasution, 2021).
Pemicu Lahirnya Stigma
Ada beberapa permasalahan yang menjadi pemicu berkinerja atau tidaknya pengawas sekolah. Permasalahan inilah yang menjadi stigma yang akhirnya memunculkan citra tidak kondusif terhadap eksistensi pengawas sekolah (Sagala, 2018).
Pertama, sistem rekruitmen. Sistem rekruitmen pengawas kurang memerhatikan kompetensi, komitmen visi-misi, aspek komunikatif, dan kreativitas. Terindikasi bahwa sebagian pengawas sekolah merupakan kumpulan kepala sekolah dan guru bermasalah, termasuk mereka yang akan memasuki masa purnabakti. Stigma yang muncul, pengawas sekolah adalah kumpulan “orang buangan”. Stigma ini tentu saja merugikan keberadaan pengawas sekolah dalam melaksanakan tupoksinya dalam ranah mutu pendidikan.
Kedua, pengawas sekolah tidak dipilih berdasarkan sistem spesialisasi mata pelajaran. Hal ini memunculkan stigma bahwa pengawas sekolah tidak sesuai dengan tupoksinya dalam membantu dan membimbing guru, terutama ketika memanajemen kelas. Ketiga, dari segi kompetensi, terjadi kesenjangan antara pengawas sekolah dan guru. Kesenjangan ini terjadi, terutama pada aspek teoretis dan praktis kurikulum. Terjadinya kesenjangan ini sebagai akibat dari kurangnya pemaduan dalam sistem pelatihan kurikulum antara guru dan pengawas sekolah.
Keempat, dari aspek psikologis dan interaksi, masih banyak pengawas sekolah yang emosional, pemarah, atau gemar menyalahkan guru. Stigma ini tentu saja bisa memunculkan kesan negatif terhadap hubungan kinerja yang diharapkan. Karena itu, stigma ini bisa dihapus dengan cara sistem rekrutmen yang benar, berorientasi spesialisasi mata pelajaran, kesetaraan pelatihan, dan pembinaan aspek psikologis dan interaksi dalam tupoksinya.
Pengawas dan Lemahnya Kinerja Guru
Tidak semua pengawas mampu melaksanakan tugas dengan baik termasuk dalam upaya meningkatkan kinerja guru (Mulyasa, 2019). Seharusnya, seorang pengawas pendidikan harus mengetahui secara rinci persoalan yang dihadapi oleh para guru yang ada di wilayah kerjanya. Secara umum terdapat tujuh indikator yang menunjukkan lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas mengajar, antara lain : 1) kurang terampil mengolah strategi pembelajaran; 2) kurang mahir mengelola kelas; 3) kemampuan dalam penelitian tindakan kelas masih kurang; 4) rendahnya motivasi terhadap prestasi kerja; 5) kurangnya kedisiplinan; 6) rendahnya komitmen dalam profesi; dan 7) kemampuan manajemen waktu yang belum baik.
Kinerja pengawas sekolah yang baik adalah jika setiap pengawas sekolah mengacu kepada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya, yang meliputi: 1) menyusun program pengawasan, 2) melaksanaan program pengawasan, 3) mengevaluasi hasil pelaksanaan program pengawasan, 4) membimbing dan melatih profesional guru dan/ atau kepala sekolah.
Terdapat tantangan yang sering dihadapi pengawas sekolah dalam menjalankan perannya. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan waktu yang dimiliki pengawas untuk melakukan supervisi di berbagai sekolah (Ngindana, et al., 2022). Dalam penelitian Zulkarnaen dan Rohmat (2021), ditemukan bahwa pengawas sering kali tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan supervisi mendalam di setiap sekolah yang menjadi tanggung jawab mereka. Akibatnya, supervisi sering kali dilakukan secara formalitas, tanpa memberikan dampak signifikan terhadap mutu sekolah.
Pengawas sekolah tidak hanya memantau pelaksanaan tugas kepala sekolah, tetapi juga memberikan bimbingan dan arahan dalam perencanaan dan evaluasi program-program sekolah. Selain itu, pengawas sekolah juga berperan dalam evaluasi kinerja sekolah secara keseluruhan (Fatimah dan Soemantri, 2021).
Sebuah Dosa Besar
Dosa besar kalau ada pengawas sekolah menganggap bahwa dirinya merupakan orang yang serba tahu. Tidak layak menjadi pengawas sekolah kalau masih beranggapan remeh terhadap guru-guru atau sekolah. Bukan tidak mungkin pengawas sekolah justru belajar dari para guru atau siswa. Hal ini harus disadari bahwa sumber belajar itu tidak mengenal batas ruang, orang, dan waktu (Agussalim, 2013)
Masih banyak pengawas sekolah lebih mengutamakan aspek administratif (teroretis) daripada pembelajaran di kelas (praktik). Kehadiran mereka di sekolah masih mementingkan pemeriksaan kelengkapan perangkat pembelajaran guru. Dalam pemeriksaan kelengkapan pembelajaran tersebut, sering pula terjadi interaksi negatif dengan guru mata pelajaran. Interaksi negatif ini terjadi dikarenakan latar belakang mata pelajaran yang berbeda.
Sejumlah stigma tentang pengawas sekolah sebagaimana dipaparkan di atas bisa dihapus dengan cara sistem rekrutmen yang benar, berorientasi spesialisasi mata pelajaran, kesetaraan pelatihan, dan pembinaan aspek psikologis dan interaksi dalam tupoksinya (Ismail, 2012).
Stigma-stigma harus segera dilenyapkan. Tujuannya untuk membangun pengawas sekolah yang profesional. Pelenyapan stigma tersebut tidak terlalu sulit jika instansi pembuat kebijakan melaksanakan peranannya sesuai dengan kriteria pengawas sekolah yang bermutu. Jika persoalan stigma ini tidak berubah, entah sampai kapan kontrol mutu bisa terwujud (Ismail, 2012).
Semoga !!!