Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo (Alumni UNM dan Unhas Makassar)
INIPASTI.COM, [OPINI]– Unjuk rasa, demonstrasi, unjuk keprihatinan, atau apapun istilah yang seidentik dengannya, ia menjadi sebuah fenomena trendy beberapa dekade terakhir ini dan terbukti sangat efektif mempengaruhi policy pemerintah.Dan juga, unjuk rasa dianggap strategi ampuh, jitu, efektif, dan efisien untuk menghentikan kesewenang-wenang dan ‘kelaliman’ rezim.
Unjuk rasa lumrah dan sah-sah saja, asal “jangan ada dusta di antara kita !”. Artinya, yang unjuk rasa adalah pihak yang fitrah, yang steril dari cacat, noda dan dosa. Tidak ada yang menunggangi. Tidak ada manipulasi. Tidak ada tendensi khusus, kecuali untuk kemashlahatan rakyat, yang sering diatasnamakan dalam tema-tema unjuk rasa. Berangkat dari nawaitu. Demi dan atas nama rakyat. Bukan untuk kepentingan kelompok (interest group). Tidak ada dendam-kesumat. Bukan lantaran sakit hati.
Unjuk rasa, mestinya dilakonkan dengan damai, sejuk, nyaman, santun, humanis. Bukan anarkis, brutal, barbar. Demo mubah dan sah-sah saja, bukan barang haram. Tidak jentelmen, kalau menjadi provokator.
Merebaknya fenomena unjuk rasa akhir-akhir ini, penulis tiba-tiba ‘diingatkan’ kembali dengan seorang tokoh yang bernama T.R. Gurr (1971) dengan “Teori Frustrasi Agressif”-nya. Gurr mengungkapkan begini, “tingkah laku agresif akan timbul sebagai salah satu reaksi terhadap adanya deprivasi relatif (perasaan kecewa) karena harapan-harapan (value expectation) berbeda jauh dari kenyataan yang bisa diperoleh (value capabilities). Demikian halnya, teori klasik dari Gustav Le Bon (Lindzey dan Aronson, 1968), bahwa tingkah laku massa dikuasai oleh jiwa bersama (colective mind) dari kelompok yang bersangkutan. Sementara N.J. Smelser (Evan, 1970), melihat, ada 4 (empat) macam tingkah laku massa yang berorientasi pada nilai-nilai, berorientasi pada norma-norma, merupakan penyaluran kebencian dan tingkah laku panik.
Secara teori psikososial, siklus kekerasan berawal dengan fenomena crowd (kerumunan). Ketika intensitas crowd bertambah, gejala itu bisa berkembang menjadi mob (gerombolan yang semakin besar), gerakan konvoi (rallies), huru-hara (riots), dan akhirnya berbentuk aksi kekerasan (strikes).
Perilaku kerumunan (crowh behavior), para ahli psikologi telah berpendapat bahwa keanggotaan dalam kelompok besar menyebabkan individu-individu di dalamnya berperilaku lebih agresif dan lebih anti sosial dibandingkan ketika ia seorang diri. Kondisi yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, di antaranya : 1. Structural conduciveness: beberapa struktur sosial yang memungkinkan munculnya perilaku kolektif, seperti: pasar, tempat umum, tempat peribadatan, mall, dan seterusnya. 2. Structural strain: yaitu munculnya ketegangan dalam masyarakat yang muncul secara terstruktur. Misalnya: antar pendukung kontestan Pilkada. 3. Generalized beliefs : share interpretation of event 4. Precipitating factors: ada kejadian pemicu (triggering incidence). Misalnya ada pencurian, ada kecelakaan, ada kebakaran. 5. Mobilization for actions: adanya mobilisasi massa. Misalnya: aksi buruh, rapat umum suatu ormas, dan seterusnya. 6. Failure of Social Control: akibat agen yang ditugaskan melakukan kontrol sosial tidak berjalan dengan baik (Suryanto, 2018).
Pemicu Unjuk Rasa
Dewasa ini setiap kali kita membuka koran atau majalah, mata kita tertarik oleh headlines tentang unjuk rasa yang digerakkan oleh rasa tidak puas dan kekecewaan atas terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, budaya dan hukum (Badaruddin, 2020).
Dalam perspektif sosiologi, unjuk rasa merupakan bagian yang lumrah dari dinamika masyarakat yang sedang berubah (changing society). Dari catatan sejarah di Indonesia, khususnya pada masyarakat Jawa, telah ditunjukkan bahwa pada masyarakat kerajaan dan feodal, seperti dijumpai pada jaman kerajaan Demak hingga Mataram (abad 16-18), telah dikenal “ekpresi unjuk rasa” antara lain berupa “tapa pepe.” Semakin maju suatu masyarakat “ekpresi unjuk rasa” akan semakin beragam; dari (misalnya) mogok makan hingga melakukan pemboman atau pengrusakkan tempat umum. Dapat dikatakan bahwa “aksi unjuk rasa” merupakan instrumen atau cara (”means”) anggota atau sekelompok masyarakat untuk menunjukkan atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap suatu pandangan, pemikiran, sikap atau tindakan tertentu anggota atau kelompok masyarakat lain. Aksi unjuk rasa juga merupakan instrumen penting bagi masyarakat dalam menyalurkan kepeduliannya terhadap penyelenggaraan pembangunan nasional, terutama pada saat hasil dan proses pembangunan dinilai tidak sejalan dengan amanat konstitusi (Pranadji, 2008).
Aksi unjuk rasa tidak begitu saja terjadi tanpa sebab, ada banyak faktor yang melatarbelakanginya dari kebebasan berpendapat yang dilindungi undang-undang, mengkritik pemerintah, hingga pelawanan atas ketidakadilan. Menurut Abdul Jalil (2000), ada banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya aksi unjuk rasa. Di antaranya adalah : pertama, kekecewaan ataupun ketidakpuasan terhadap kesenjangan maupun ketidakadilan dalam lingkup sosial, politik, maupun ekonomi. Demonstrasi karena hal ini adalah yang paling sering terjadi dan dalam skala massa yang cukup besar. Kedua, ketidakpedulian pemerintah atas masalah yang terjadi di kalangan rakyat, seperti ekonomi, agama, sosial, dsb. Ketiga, terjadinya ketimpangan hukum yang dinilai tumpul ke atas, tajam ke bawah. Penguasa dinilai punya kendali penuh akan hukum, sehingga merusak tatanan politik dalam negara yang menganut sistem Trias Politica (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif). Keempat, kebanyakan demonstrasi atau unjuk rasa dilakukan oleh organisasi maupun perkumpulan mahasiswa untuk menjalankan perannya sebagai agent of change dalam masyarakat, maupun para buruh yang menuntut kebijakan perusahaan.
“Strong and Clean Goverment”
Unjuk rasa selalu mempunyai landasan yang baik, yakni mewujudkan penguatan nilai civil society yang harusnya menjadi lembaga yuridis terkuat, juga sebuah proses menjauhkan pemerintahan dari tindak abusement of power (penyalahgunaan kekuasaan) demi terciptanya good governance (pemerintahan yang baik).
Salah satu missi suci unjuk rasa dan yang dominan yaitu terciptanya “strong and clean goverment”—pemerintah yang kuat dan bersih. Ini terbukti dengan maraknya tuntutan penghapusan KKNF (Kolusi Korupsi Nepotisme dan Familiisme), dan telah mengarah ke “menggugat” eksistensi pejabat, termasuk kekayaan pejabat.
Dan harus diamini, tuntutan pengunjuk rasa, selama masih murni dan berjalan di atas rel—koridor yang konstitusional, siapapun akan mendukungnya. Namun, apabila kemurnian tersebut mulai ternoda dan ditunggangi pihak-pihak yang tidak bertangungjawab (kelompok sakit hati, misal), apalagi dengan maksud memecah belah kerukunan bermasyarakat, lalu memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan”—praktek penjarahan, misal oleh sekelompok preman, ini harus dihentikan. Sebab, tindakan penjarahan, kerusuhan, brutal, sporadis, anarkis, yang merupakan praktek “pemboncengan” dari gerakan mahasiswa, membawa kerugian yang tidak kecil dari rakyat. Karenanya, “reformasi dan apapun namanya yes !”, “penghapusan KKNF, yes !”, “penurunan harga sembako, BBM, listrik yes !”, tapi “praktek pemboncengan, no !”, “praktek penjarahan, brutal, sporadis, anarkis, semuanya, no !”. No Way !
Sekali lagi, unjuk rasa tidak diharamkan. Ia “mubah” dan sah-sah saja. Hanya saja, apakah unjuk rasa satu-satunya alternatif atau “the best”-nya alternatif ? Mengapa tidak dikembangkan budaya dialog ? Atau, adakah pengunjuk rasa “bosan” dengan sikapnya yang euphemistis—terlalu halus dan santun ? Atau, apakah tidak lebih bijak, arif, dan demokratif, bila pengunjuk rasa “mengiterupsi” lewat media massa, seminar, diskusi ilmiah, sarasehan, debat ilmiah dan semacamnya ? Mestikah, turun jalan ? Lalu, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertangung jawab (preman, misal) untuk bertindak menjarah, merampok, memperkosa, dan tindakan-tindakan brutal lainnya ? Di sisi lain, dengan suasana ‘baru’—budaya dialog, misal, pemerintah harus terbuka, dan tidak boleh bersikap masa bodoh, cuek, ogah, dalam menanggapi setiap “interupsi” pengunjuk rasa.
Tujuan demonstrasi di Indonesia, merupakan perwujudan dari penerapan ideologi Pancasila dengan sila kelima yang berbunyi―keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak sekali tujuan dari adanya pelaksanaan praktik unjuk rasa, namun jika dilihat dari beberapa faktor yang telah disebutkan di atas dapat diketahui tujuan dari pelaksanaan unjuk rasa tersebut yakni di antaranya adalah mengekspresikan wujud dari adanya suatu perasaan kecewa terhadap suatu pemerintah, perusahaan, maupun institusi terkait suatu kebijakan berupa ketidakadilan dan ketimpangan baik dibidang sosial, politik, maupun ekonomi yang merugikan masyarakat, karyawan, maupun mahasiswa.
Tujuan demonstrasi sangat luas dan bergantung pada konteks spesifik di mana ia dilakukan. Berdasarkan definisi dasar, demonstrasi bertujuan untuk menyatakan pendapat, menolak kebijakan, atau meningkatkan kesadaran masyarakat tentang suatu masalah. Dalam ilmu politik, demonstrasi adalah aksi sekelompok orang yang secara kolektif menunjukkan dukungan atau protes untuk menyatakan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan (Maulina, 2024).
Demonstrasi memberikan platform bagi masyarakat untuk mengkritik, mereformasi, atau menolak kebijakan yang dianggap tidak adil atau merugikan. Dengan demikian, demonstrasi mempromosikan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam proses keputusan pemerintah.
Manfaat demonstrasi sangat luas dan kompleks. Beberapa manfaat utama ((Maulina, 2024), yakni : pertama, promosi transparansi dan akuntabilitas. Demonstrasi meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah karena menyediakan platform bagi masyarakat untuk mengkritik dan memantau kebijakan pemerintah. Kedua, partisipasi masyarakat. Demonstrasi mempromosikan partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik dan sosial. Hal ini penting untuk memastikan bahwa suara masyarakat didengar dan dijadikan acuan dalam membuat keputusan publik. Ketiga, peneguhan hak konstitusional. Demonstrasi merupakan ekspresi hak asasi manusia seperti hak untuk berkumpul, berekspresi, dan menyuarakan pendapat. Oleh karena itu, demonstrasi penting untuk melestarikan demokratisasi dan perlindungan hak-hak individu. Keempat, stimulus reformasi politik dan sosial. Demonstrasi sering kali menjadi stimulus reformasi politis dan sosialis. Contohnya, demonstrasi mahasiswa tahun 1998 berhasil merobek rezim Orde Baru dan membawa Indonesia menuju era reformasi. Kelima, media komunikasi massal. Demonstrasi sendiri dapat menjadi sarana komunikasi efektif antara masyarakat dan pihak berwenang. Media massa sering kali mereportasi demo-demonstrasi, sehingga informasi tentang isu-isu penting lebih mudah tersebar.
Demonstrasi bukan hanya sebagai bentuk protes tetapi juga sebagai instrumen penting dalam sistem demokratis modern. Namun, penting untuk mempertahankan ketepatan dan damai demi menghindari konflik dan kerugian nyata bagi pihak mana pun.
Mahasiswa sebagai Hero !
Suatu realitas yang susah dibantah, bahwa unjuk rasa di kota-kota besar termasuk yang terakhir ini, sering bahkan selalu dimotori oleh mahasiswa. Apa yang mahasiswa lakukan merupakan wujud dan sebagai sikap “martyrdom”—hero !, membela rakyat banyak, rakyat yang miskin, yang tidak terdidik dan yang tidak berdaya, yang tertindas.
Rupanya, reformasi merupakan suatu hukum alam. Rush dan Althoff (1977), pernah mengomentari, usaha mencegah kelompok oposan—tokoh vokal berbicara dan melarang acara tertentu yang mencoba mengubah kesadaran massa tidaklah bakal bisa efektif membendung beredarnya arus informasi dan meningkatnya partisipasi (sikap kritis) masyarakat.
Dan kita tidak boleh menganggap sepele atau “sekadar angin lalu” akan aksi unjuk rasa, demonstrasi atau aksi keprihatinan mahasiswa. Sebab, bagi negara berkembang seperti Indonesia, gerakan protes mahasiswa memiliki peran politik mengesankan. Althbach (1988) ’mengingatkan’, sering merupakan penyebab efektif yang merangsang perubahan sosial. Karena itu, mahasiswa merupakan bagian dari persamaan politik yang konsisten, penting, bahkan absah. Sebab : (a) Sering kekurangan lembaga dan struktur politik yang mapan, sehinga lebih mudah berdampak langsung atas politik. (b) Mahasiswa terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan diakui bagian dari proses politik. (c) Mahasiswa adalah elite baru istimewa. (d) Banyak perguruan tinggi di ibukota negara memberi perasaan, mahasiswa mempunyai asset ke pusat kekuasaan. (e) Sedikitnya efektivitas pelaksanaan sistem politik yang demokratis. Akibatnya, mahasiswa dianggap penyuara “hati nurani” masyarakatnya. (f) Rata-rata mahasiswa berasal dari latar sosio-ekonomi tinggi, melalui keluarganya punya akses langsung kepada segmen masyarakat yang kuat.
Demonstrasi biasanya kental dengan mahasiswa karena seperti yang khalayak umum ketahui, sebagian besar dari demonstrasi yang terjadi tokoh utamanya ialah mahasiswa (Qadafi, 2010). Namun tidak semua demonstrasi dipelopori oleh mahasiswa, banyak juga demonstrasi yang dipelopori oleh organisasi kemasyarakatan (ormas).
Dalam konteks penyampaian aspirasi atau unjuk rasa tersebutlah biasanya mahasiswa sebagai tokoh utama yang paling percaya diri untuk berpendapat di muka umum, karena mahasiswa dianggap sebagai strata tertinggi dari tonggak pendidikan Indonesia dan dipercaya sebagai agen perubahan negeri (Apriyani, 2019).
Mahasiswa di negara Indonesia identik dengan perpanjangan tangan dari masyarakat yang tidak sanggup untuk menyuarakan aspirasi kepada pihak pemerintahan yang dianggap tidak mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Hafid, 2019). Mereka yang turun ke jalan untuk melangsungkan demonstrasi biasanya dipelopori oleh para aktivis mahasiswa dan kaum-kaum intelektual yang menjadi orator utama penggerak perubahan serta kaum yang mengontrol jalannya pemerintahan beriringan dengan kebijakannya yang di atas namakan rakyat.
Mahasiswa diidentikkan sebagai kelompok penekan atau perpanjangan tangan dari rakyat untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah atas kondisi mayarakat yang jauh dari konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa memandang siapa dan dari kalangan mana, pergerakan demonstrasi yang dimotori oleh aktivis mahasiswa, LSM, ormas, organ taktis, khususnya mahasiswa yaitu sebagai kaum intelektual, agent of change atau penggerak perubahan, dan agent of control yang bertanggung jawab mengontrol pemerintah, mengimbangi kebijakannya atas nama rakyat yang berdaulat (Cahyadi, 2022).
Kerelaan Untuk Berkoban
Semua gerakan massa apakah itu demonstrasi atau unjuk rasa, tak peduli apa sifatnya (agamawi, rasial, sosial, nasionalis atau ekonomis), tak peduli juga apa misinya, memiliki sekelompok ciri tertentu yang sama, semuanya mampu membangkitkan pada diri anggotanya kerelaan untuk berkoban, kecenderungan untuk bereksi secara kompak, fanatisme, harapan berapi-api, kebencian dan intoleransi, kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal (Hoffer, 1998). Semua gerakan tersebut, betapapun berbeda dalam doktrin dan aspirasinya, menarik pengikut-pengikutnya, yakni manusia-manusia yang kecewa dan tidak puas atau frustasi. Orang-orang frustasi menurut Hoffer, sedang mengalami kekecewaan karena kegagalan-kegagalan, merasa hidupnya tersia-sia, rusak, tak tertolong, tidak ada harapan lagi. Tipe orang-orang inilah yang merupakan panen pertama dari gerakan tersebut yang mampu di satu pihak membangkitkan pada jiwa dari gerakan tersebut suatu arti hidup yang baru, dengan cara mengetuk dan melempar jauh masa kini yang sudah borbrok dan busuk itu. Di lain pihak dengan memberi gambaran dan janji-janji akan hari depan yang gemilang penuh kepuasan.
Yap Thiam Hiem mengatakan bahwa jika kita bertolak dari kenyataan bahwa para demonstran dan pengunjuk rasa terutama terdiri dari orang yang kecewa dan tidak puas dan bahwa mereka terlibat atas kemauan sendiri, maka di sini diandaikan : (1) bahwa rasa kecewa dan tidak puas itu sendiri dapat, tanpa dorongan dari luar, melahirkan sifat-sifat khas, (2) bahwa teknik paling ampuh untuk mempengaruhi orang pada dasarnya adalah menanamkan sampai kuat berakar semua bibit tingkah laku dan berbagai reaksi yang sudah ada dalam jiwa orang yang kecewa dan tidak puas itu (Hoffer dalam Badaruddin, 2020).
“Cognitive Disonance Theory”-nya Festinger
Jelang bagian akhir tulisan ini, penulis ingin menawarkan satu rumus teori, yang menjanjikan tindakan antisipatif terhadap terjadinya unjuk rasa. Dalam “cognitive disonance theory”-nya Leon Festinger (1957) terungkap begini : “1. Bila seorang dipaksa mengikuti sesuatu cara, cara mana bertentangan dengan sikapnya, ia akan mengalami disonansi (ketidakselarasan); 2. Bila kekuatan-kekuatan dari luar yang memaksa seseorang terlalu kuat bertentangan dengan sikapnya, disonansi akan lebih lemah; jika paksaan itu lemah, disonansi menjadi semakin kuat; 3. Salah satu cara mengurangi disonansi seseorang ialah dengan merubah sikapnya menjadi tindakan yang berhubungan dengan tindakannya. Apabila tekanan untuk mengurangi disonansi itu merupakan fungsi perluasan disonansi, perubahan sikap menjadi besar (luas) bila kekuatan itu menyebabkan tingkah laku menjadi kecil.
Dasar dari “cognitive disonance theory” ini adalah jika seseorang memiliki dua ide dan pikiran yang bersifat simultan dan saling berkontradiksi, maka orang tersebut akan mengalami disonansi kognitif. Disonansi kognitif yaitu perasaan yang dimiliki oleh orang ketika mereka menemukan diri mereka dalam sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
Festinger menyatakan bahwa teori disonansi kognitif memiliki implikasi penting dalam banyak situasi spesifik (Shaw & Contazo dalam Joni dan Hadi Sutarmanto, 2017). Festinger menjelaskan implikasi dalam keputusan (decision), paksaan nilai (forced compliance), pencarian informasi (exposure to information), dan dukungan sosial (social support). Melalui situasi tersebut dapat diketahui besarnya kekuatan disonansi.
Festinger (Sarwono, 2010), disonansi dapat terjadi dari beberapa sumber, yaitu: 1) inkonsistensi logika/logical inconsistency (ketidakkonsistenan pada logika berpikir satu dengan logika berpikir lainnya), 2) nilai budaya/cultural mores (kebudayaan sering kali menentukan apa yang disonan dan konsonan), 3) pendapat umum/opinion generality (disonansi mungkin terjadi karena suatu pendapat yang dianut orang banyak dipaksakan pada pendapat individu), dan 4) pengalaman masa lalu/past experience (kognisi individu tidak konsisten dengan pengalaman masa lalunya).
Disonansi dapat menyebabkan ketegangan psikologis yang mendorong seseorang untuk mengurangi disonansi tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut cara untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi, yaitu : pertama, merubah perilaku. Perilaku yang tidak cocok (disonansi) dengan apa yang diketahui atau kepercayaan, maka dapat ditempuh dengan jalan mengubah perilaku sesuai dengan apa yang diketahui atau sesuai dengan kepercayaan. Kedua, mengubah lingkungan. Seseorang yang berhasil mengurangi disonansinya, maka diharapkan dapat juga mengubah lingkungannya. Ketiga, menambah elemen baru. Mencari elemen baru untuk mengurangi disonansi yang terjadi atau mengimbangi.
Terjemahan “cognitive disonance theory”-nya Festinger mungkin (?) begini : dengarkan dan analisa terlebih dahulu baik-baik apa yang diinginkan pengunjuk rasa, lalu jawab sesuai dengan tuntutan mereka. Hanya saja, ini berlaku jika saluran dialog dikembangkan. Tapi, apa yang ditempuh pimpinan negara, dengan menjawab berbagai isu-isu (malah ada yang rumor !) pada berbagai kesempatan (rapat, pertemuan, audiensi, dan lain-lain kesempatan), sudah merupakan salah cara yang representatif dan proporsional.
Sebab, tidak semua materi yang dijadikan bahan unjuk rasa adalah benar. Tidak jarang, tidak lebih dari isu. Isu atau istilah yang lebih tepat adalah rumor (rumours) secara harfiah berarti : menyebarkan berita atau kabar yang tidak benar sama sekali ke masyarakat tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga terkesan benar serta tidak bisa dilacak sumber penyebarnya. Rumor biasanya dikaitkan pula dengan kegiatan perang urat syaraf (psywar) yang terutama bertujuan untuk menimbulkan kepanikan atau salah pengertian di kalangan lawan. Dampak perang tanpa mempergunakan senjata fisik ini kadang-kadang lebih efektif daripada kerusakan nyata yang diakibatkan pemboman atau peluru meriam. Biasanya lebih terasa efektif dampaknya di negara atau masyarakat yang sistemnya tertutup atau tidak transparan, yang lembaga komunikasinya tidak lancar atau tidak dipercaya kebenarannya (Suara Pembaruan, 14/12/1997).
Minimal, untuk meredam riak-riak dan gejolak yang terjadi. Kembangkan cara model itu.
Budayakan Dialog
Tafsiran lain dari “Cognitive Disonance Theory”-nya Festinger ini, perlu budayakan dialog. Dalam menangapi setiap persoalan, mestinya diandalkan otak (dialog), bukan keperkasaan otot. Dalam “complicated”-nya persoalan bangsa, dan dalam kondisi “sakit parah”, seperti budaya “instant”—yang semuanya serba cepat, serba serentak, atau simultan, seperti yang dituntut pengunjuk rasa dalam berbagai aksi, perlu direnungkan secara matang. Sebab, proses kerja yag matang, akan memberikan hasil optimum. Dan sebaliknya, justru proses kerja yang tidak matang, akan menetaskan keputusan yang “amburadul”, serampangan dan bukan mustahil keadaannya lebih jelek dan bobrok, ketimbang kondisi yang kita paksakan—direformasi. Kita tidak boleh menganut faham—isme, dengan prinsip “survival of the fittest” yang berpangkal dari individualisme, yaitu siapa yang kuat, dia yang menang. Atau yang kuat “menelan” yang lemah, Padahal, dalam kondisi yang serba tak menentu seperti sekarang, perlu dikembangkan prinsip kebersamaan dan kekeluargaan dengan menekankan “symbiosis mutualis”, atau saling menghidupi satu sam lain.
Salah satu strategi untuk meminimalisir bentrokan adalah hubungan yang baik antara pihak petugas (Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja) dengan massa atau demonstran melalui jalinan dialog (komunikasi). Dialog (komunikasi) yang disampaikan tentunya memiliki strategi khusus agar unjuk rasa dapat berlangsung secara terkendali, contohnya seperti himbauan-himbauan persuasif secara verbal kepada demonstran selama berlangsungnya unjuk rasa. Tidak semudah yang dibayangkan, tentunya menyampaikan komunikasi kepada demonstran memiliki kendala-kendalanya tersendiri. Tidak semua demonstran dapat diajak bekerja sama untuk melaksanakan unjuk rasa damai, maka dari itu hambatan-hambatan komunikasi banyak ditemui dalam menangani aksi unjuk rasa. Pastinya Polri dan Satpolpp juga telah menyiapkan strategi dialog (komunikasi) pengamanan aksi unjuk rasa secara terstruktur dan terencana. Strategi komunikasi yang disiapkan meliputi perencanaan untuk mekanisme pelasksanaannya di lapangan. Seturut dengan UU No. 2 Tahun 2002 Bab 3 Pasal 13 mengenai Tugas dan Wewenang Kepolisian, sudah tertera dengan jelas bahwasannya tugas pokok Polri adalah : (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Maka dari itu Polri memiliki peran yang cukup besar untuk menjaga ketertiban masyarakat, kelancaran mobilitas masyarakat, serta menjaga stabilitas aktivitas sosial agar tetap berjalan secara kondusif.
Siapapun berharap, aksi yang digelar pengunjuk rasa, semoga demi sebuah “public interest” (kepentingan masyarakat banyak), bukan “private interest” (kepentingan pribadi atau kelompok).
Sekali lagi, perlu kita kembangkan budaya “dialog”, bukan kekuatan “otot”; bukan unjuk kekuatan dengan “turun jalan”, lalu seolah “pemilik satu-satunya jalan raya”, sehingga dengan seenaknya menggunakan jalan raya, tanpa peduli pencari nafkah yang juga pemilik jalan raya, yang juga rajin bayar pajak.
“Cognitive disonance theory”-Nya Festinger dapat menjadi alternatif tindakan antisipatif dan pengamanan unjuk rasa.
Semoga !!!