Scientifico Syndromatica, Sebuah Ancaman Generasi Alpha

2 days ago 7

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan Unhas Makassar)

INIPASTI.COM,  [ANALISIS]–Sejak munculnya Generation Theory (Teori Generasi) hingga saat ini dikenal beberapa generasi dengan istilah Baby Boomers, Generasi X, Generasi Y, dan Generasi Z. Generasi-generasi tersebut menjadi saksi perubahan zaman dan hal yang utama tentang generasi adalah bahwa mereka merupakan salah satu kekuatan pendorong kemajuan yang penting (Mannheim dan Paul Kecskemeti dalam Zakkiyah, 2022).

Menurut Strauss dan Howe dalam bukunya, “Generations: The History of America’s Future, 1584 to 2069”(1991),perubahan generasi terjadi dalam masyarakat sekitar setiap 20 tahun. Sebagian dari kita mungkin sudah mengenal Generasi X, Generasi Y atau milenial, dan Generasi Z. Kini, ada istilah baru untuk menyebut generasi selanjutnya, yaitu Generasi Alpha atau Alfa.

Alpha sendiri merupakan verifikasi bahwa itu adalah huruf pertama alphabet dari bahasa Yunani, yang memiliki arti sebagai yang pertama dari serangkaian item atau kategori (Hidayat, 2021)

Generasi Alpha atau Alfa adalah anak dari generasi millenials dan adik dari generasi Z. Kelompok yang masuk ke dalam generasi ini adalah mereka yang lahir di tahun 2010 sampai 2025. Sebutan Generasi Alfa muncul pada tahun 2005. Nama ini ditentukan dari hasil survey yang diadakan oleh Mark McCrindle, seorang analis sosial dan demografi.

Mengingat generasi sebelumnya sudah menggunakan huruf terakhir dari abjad Romawi, akhirnya penamaan diputuskan dengan mengikuti pola abjad Yunani yang diawali dengan ‘alfa’. Sebuah generasi tidak hanya dibentuk berdasarkan orang-orang yang lahir dalam periode waktu yang sama.

Pembeda dengan Generasi Alpha

Setiap generasi memiliki pembeda atau ciri khas tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sosial, dan budaya pada masanya.

Ada pembeda antara generasi sebelumnya dengan Generasi Alpha. Dalam riset Elizabeth Santosa (2015) yang berjudul Raising Children In Digital Era. Generasi Alpha memiliki beberapa karakteristik yaitu: memiliki ambisi yang besar untuk sukses, cenderung praktis dan berprilaku instan, cinta kebebasan, percaya diri, dan cenderung menyukai hal yang detail.

Berkowitz (2017) dalam artikelnya yang berjudul 13 Things To Know About The Alpha Generation memaparkan sejumlah pembeda atau karakteristik generasi Alpha yakni mereka memiliki ownership yang tinggi terhadap properti yang dimilikinya, mobilitas yang tinggi ditandai dengan budaya traveling yang makin populer, tidak begitu memberikan perhatian terhadap privasi, tidak patuh terhadap aturan, mereka adalah pendobrak tradisi, mereka dikenal menjadi generasi yang tidak terlalu religius, mereka berubah setiap saat.

Dikutip dari jurnal Al Hikmah Proc Islamic Ear Child Educ berjudul Pengasuhan Digital untuk Anak Generasi Alpha, berikut adalah karakteristik generasi alpha (Fani Ramadhani dan Ni Kadek Trisna Cintya Dewi, 2025). Pertama, teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka. Teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan anak Alpha. Sejak bayi, mereka sudah terpapar pada penggunaan smartphone dan tidak melihatnya hanya sebagai alat, melainkan sebagai bagian dari keseharian mereka. Mereka lebih suka menggunakan smartphone dibandingkan laptop dan lebih tertarik pada aplikasi visual yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kedua, kemampuan berkomunikasi secara langsung menurun. Meskipun teknologi memberikan akses besar terhadap informasi, dampak negatifnya juga perlu diperhatikan.  Anak Alpha cenderung menghabiskan lebih sedikit waktu untuk berinteraksi langsung dengan orang lain karena mereka lebih sibuk dengan perangkat digital mereka. Akibatnya, kemampuan mereka untuk berempati dan berkomunikasi secara langsung dan efektif bisa berkurang. Ketiga, suka mengatur dan dominan. Anak-anak generasi Alpha cenderung memiliki sifat dominan dan suka mengatur. Mereka merasa nyaman dalam peran sebagai pemimpin dan berusaha menunjukkan kekuasaan dengan memanfaatkan kelemahan orang lain. Hal ini sering kali menjadi cara mereka untuk menjadi yang terdepan, terbaik, atau dikenal. Namun, ini tidak berarti mereka suka melakukan perundungan. Keempat, kesulitan dalam berbagi. Anak-anak Alpha lebih memilih untuk mempertahankan kepemilikan pribadi dan cenderung enggan berbagi. Mereka seringkali kesulitan untuk mengatakan, “Ini untuk kamu,” dan lebih suka mengatakan, “Ini milikku! Semua milikku!” Kelima, cenderung melanggar aturan. Anak Alpha sering kali melanggar aturan. Sebagai contoh, saat diminta untuk mewarnai dengan rapi, mereka bisa saja merusak alat mewarnai mereka. Mereka menemukan cara untuk menghindari peraturan, seperti menolak untuk duduk di kursi makan.

Zakkiyah (2022) menyimpulkan beberapa pendapat ahli tentang karakteristik generasi Alpha. Pertama, situasi ketergantungan teknologi pada generasi Alpha membuat mereka menjadi paling transformatif di bandingkan generasi lain. Mampu beradaptasi cepat dengan perubahan dilingkungan, generasi ini cenderung memiliki sifat kerja yang kolaboratif. Pengakuan dari sosial merupakan yang terpenting untuk dijadikan sebuah masukan atau nasihat bagi generasi Alpha. Kedua,  generasi Alpha lebih cerdas dibandingkan generasi sebelumnya, karena informasi menjadi teman yang akan memfasilitasi. Ketiga, generasi Alpha memiliki potensi untuk membawa pembaruan bagi kehidupan sosial dan memajukan masyarakat, memiliki pikiran dan opini yang kuat, tidak suka dibatasi dengan aturan, senang berinovasi, mereka tidak takut untuk mencari sesuatu yang baru dan tanpa ragu akan beralih pada hal tersebut. Keempat, generasi Alpha cenderung bersikap lebih pragmatis materialistik, karena dibesarkan di era kemajuan teknologi. Merekajuga berpikir dengan sangat praktis, kurang memerhatikan nilai-nilai, dan secara umum lebih egois di banding generasi-generasi sebelumnya. Kemajuan teknologi yang pesat ini pun ke depannya pasti akan memengaruhi mereka mulai dari gaya belajar, materi yang dipelajari di sekolah, sampai dengan pergaulan mereka sehari-hari. Dari semua yang mereka dapatkan tadi, akan membuat generasi Alpha ini menjadi lebih cerdas dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Seperti yang diungkapkan professor of demography and director of the Australian demographic and social research institute, Peter Mcdonald. Kelima, generasi Alpha cenderung praktis dan berprilaku instan, cinta kebebasan dan perilaku bermain yang berubah, percaya diri yang tinggi, memiliki keinginan besar untuk mendapatkan pengakuan, mudah beradaptasi dengan hal baru, terbiasa dengan digital dan teknologi informasi, memiliki mobilitas tinggi, kreatif dan luwes.

Generasi Alpha dan Tantangannya

Generation Alpha akan bermain, belajar dan berinteraksi dengan cara-cara baru. Mereka lahir dengan mengenal perangkat cerdas, semuanya terhubung dengan lingkungan nyata dan digital bergabung menjadi satu. Ketika mereka tumbuh dewasa, saat teknologi baru muncul akan menjadi bagian normal dari kehidupan mereka, dan akan membentuk pengalaman, sikap dan harapan dunia (Turk, 2017).

Bennett, Maton & Lisa (Zakkiyah, 2022) memberikan istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan generasi ini adalah “digital native.” Mereka menganggap para digital native sebagai generasi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dengan teknologi informasi canggih, yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Penamaan ini didasarkan pada istilah yang disematkan oleh Prensky (2001), yang melihat siswa tidak hanya dinamai dengan sebutan Gen-N (Net/jaringan Internet) atau Gen-D (digital), tetapi mereka juga disebut sebagai digital native atau penduduk pribumi yang sepenuhnya tenggelam dalam teknologi dan mahir dalam bahasa digital komputer, video game, dan Internet. Senada dengan itu, Jonhson (2009) menyebutnya generasi internet addiction, generasi kecanduan internet.58 Generasi Alpha atau mereka yang lahir di tahun 2010 keatas telah menerima teknologi sejak di usia belia, maka tidak dipungkiri lagi generasi ini diyakini sebagai generasi hebat di masa mendatang (Yuliandari, 2020). Generasi Alpha yang lahir dari generasi millenial tumbuh dan berinteraksi dengan ragam teknologi Artificial Intelligence (kecerdasan buatan/mesin) dan robot yang layaknya manusia. Mereka akan bermain dengan mainan yang terhubung yang akan merespon perintah dan juga mampu menunjukkan kecerdasan emosional (Theko, 2008).

Generasi ini memiliki potensi besar untuk sukses di industri digital dengan pengaruh yang signifikan terhadap inovasi dan dinamika global.  Namun, tantangan besar juga muncul, seperti risiko kesehatan mental akibat tekanan untuk selalu progresif serta kecenderungan kecanduan gadget.

Tantangan yang cukup serius bagi generasi ini adalah kerentanan terhadap masalah psikososial dan perkembangan karena pengaruh teknologi yang menyeluruh dan menentukan
di setiap aspek kehidupan mereka, kurangnya SDM yang berkualitas menjadi tantangan yang benar-benar harus dipersiapkan. Dalam kumpulan informasi, yang paling mengkhawatirkan dari generasi ini adalah krisis kesehatan mental dan kejahatan digital, informasi bisa didapat dengan satu klik saja. Tantangan terbesar pendidik adalah saat tidak dapat menyediakan informasi yang cukup untuk anak. Sehingga anak lebih suka mencari jawaban melalui internet daripada melalui orangtuanya. Tantangan selanjutnya adalah saat anak belum siap secara mental untuk menerima informasi yang tidak sesuai dengan usianya. Seperti melihat konten pornografi pada usia dini (Ratuliu, 2018). Oleh karena itu, orang tua perlu terus mengupgrade diri. Orang tua perlu mengetahui informasi terkini dalam era digital juga mengenai tren anak sekarang. Pergeseran dalam pendidikan juga terjadi pada generasi Alpha, dari pembelajaran struktural dan pendengaran menjadi pembelajaran yang menarik, visual, multimodal, dan langsung mendidik generasi baru ini. Karena orang tua mereka akan memanjakan mereka dalam pendidikan yang lebih formal dan pada usia yang lebih dini, generasi Alpha akan memiliki akses kelebih banyak informasi daripada generasi sebelumnya. Pendidikan formal mereka tidak pernah menyamai dalam sejarah dunia (Yasin dalam Zakkiyah, 2022)

Virus “Scientifico-Syndromatica

Tantangan paling hebat generasi Alpha, terjangkit virus “Scientifico-Syndromatica. Wujud virus ini menurut Ayip Bakar, yaitu “Dia modern, tapi jahil. Dia rasional, tapi tidak manusiawi. Dia punya intelegensi tinggi, tapi budinya busuk. Penyakit ini ialah berupa keangkuhan ilmu … “(Panji Masyarakat, Nomor 29 Tahun 1990).

Siapapun orangnya, tidak menginginkan virus “scientifico-syndromatica” melanda generasi–anak didik alfa (alpha) kita. Karenanya, bagaimana mempersiapkan Generasi–anak didik alfa (alpha) yang siap diri untuk menghadapi gilasan hasil iptek, termasuk benteng religi. Perlu generasi–anak didik alfa (alpha) beriman, berilmu dan sekaligus dapat mengamalkan ilmunya. Generasi–anak didik alfa (alpha) yang dapat menyelarasakan dan menciptakan keseimbangan antara ilmu dan agama. Einstein—si jenius kawakan itu pernah membuat satu statemen menarik kaitan ilmu dan agama : “science without religion is blind, religion without science is lame”–(ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah pincang). Dan kita mendambakan lahirnya generasi–anak didik alfa (alpha) yang mempunyai “religius  attitude.” Kita membutuhkan generasi–anak didik alfa (alpha) yang mampu bersemboyan “tangan kanan memegang kita suci Al qur’an, tangan kiri memegang ilmu. Dengan keduanya kami melangkah, menentukan jalan hidup dan mengembangkan ilmu pengetahuan.”

Karena itu, generasi–anak didik alfa (alpha) perlu mempunyai kualitas otak, otot, dan watak yang handal, jempolan, dan brilliant. Jika tidak, dapat terjadi apa yang diungkapkan dalam pepatah Belanda “hoe groter gesst, hoe groter besst”. Artinya, lebih tinggi pengetahuan seseorang, lebih tinggi pula tingkat kejahatannya. Atau, sebagaimana dikatakan Betrand Russel (1993), sepanjang sejarah, meningkatnya peradaban berkaitan dengan berkurangnya kesalehan.

Khalifatul Ard

Pinjam pendapat Alhmarhum Halide (1988), anak didik abad XXI harus bercirikan : “khalifatul ard” yang mampu menciptakan “Rahmatan lil alamin”; memiliki “akhlakul qarimah”; “uswatun hasanah”; dan  “khaerah ummatin ukhrijat linnas”, the best karena senang melaksanakan “amar ma’ruf nahi mungkar”, dan “tu’minuna billah.”

Siapapun tidak menginginkan generasi–anak didik kita akan menjadi generasi “medioker” (bermutu sembarangan), atau menjadi “the silent generation” (generasi fakum dan berpangku tangan saja); apalagi generasi–anak didik yang merasa alergi bila menyebut asma Sang Pencipta. “Mentang-mentang otak pernah diasah dengan disiplin Berkeley, Harvard, Coernel atau Sorbone, lantas begitu mudah kita memandang rendah dan remeh mereka yang masih sering menyebut nama Tuhan”, demikian pernah disindir Ayip Bakar (Panji Masyarakat, Nomor : 290/1980).

Demikian halnya, siapapun tidak mengharapkan lahirnya generasi uber-mensch model Hittler; atau manusia robot seperti Franskensten. Atau manusia ramalan Hobbes, generasi politikus Machiavelli; atau generasi korupsi kekuasaan misal Lord Acton. Apalagi tipologi tiran bagai Fir’aun. Generasi macam ini boleh saja muncul, bila kita tidak menempatkan manusia sebagai makhluk agamis.

Kita tidak akan pernah memimpikan lahirnya generasi–anak didik alfa (alpha) ini menjadi generasi–anak didik alfa (alpha) yang mencampakkan agama dari kehidupan—kemiskinan religi. Apalagi generasi–anak didik alfa (alpha) yang menganggap “agama adalah candu rakyat; manusialah yang menciptakan Tuhan serupa dengan manusia !”, seperti anggapan Lenin. Atau seperti yang ditulis Karl Marx dalam “Zur-Kritik Der Hegellsshen Rechtphilosophie (Einleiting)”, di mana “agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas; agama adalah jiwa dari keadaan yang tidak bersemangat; agama adalah candu bagi rakyat.” Naudzubillah min dzaliq ! Apalagi, menganggap “Tuhan telah Mati” (Gott ist tot), seperti Filosof G.W.F. Nietzsche, dan para pengikutnya seperti Jean Paul Sartre, Franz Kafka, Arbert K., Samuel B., Arthur A. Secara eksplisit aliran filsafat Nihilisme mengatakan bahwa “Tuhan telah mati.” Dengan demikian kehidupan menjadi tidak memiliki arti apa-apa. Hidup penuh dengan kehampaan, bunuh diri, lari dari tanggung jawab hidup, dan memandang hidup ini sebagai canda-gurau belaka yang tidak memiliki arti apa-apa. Dan juga penulis Heinrich Heine yang menjadi idola dan inspirator Nietzsche.

Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan harus dapat menaburkan benih-benih keimanan dan ketaqwaan kepada generasi–anak didik alfa (alpha) melalui mata-pelajaran-mata pelajaran yang ditawarkan di sekolah termasuk melalui matap pelajaran umum. Di samping itu, bagaimana menyelaraskan konsep ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan; dan menanamkan kesadaran dan keyakinan kepada anak didik alfa (alpha), bahwa Allah SWT telah menetapkan prinsip-prinsip keteraturan alam semesta (sunnatullah/hukum alam).

Perlu menjadi sebuah catatan peringatan bagi siapa saja, bahwa, “scientifico syndromatica”, merupakan sebuah ancaman yang amat nyata bagi generasi—anak didik alfa (alpha). Karenanya, taburkan pernik-pernik mutiara religi sejak dini terhadap generasi—anak didik alfa (alpha) kita.

Generasi yang Individualistis

Generasi Alpha dikenal tidak terpisahkan dari penggunaan dan perkembangan teknologi, sosial media, gadget, serta internet. Sebanyak 2,5 juta generasi Alpha dilahirkan di dunia setiap minggunya (Ishak, dkk., 2019). Mereka yang lahir tahun 2011 dan anak dari generasi milenial menjadi generasi terbesar yang kita pernah lihat, mereka tumbuh dikelilingi oleh teknologi yang dapat mereka sentuh dan berbicara (MarkMccrindle, 2018).

Kemajuan teknologi yang sedang terjadi menyebabkan generasi Alpha tumbuh secara individualistis atau antisosial. Maka dibutuhkannya kerjasama, percobaan, literasi dan sosialisasi yang disajikan dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dipraktikkan sejak usia dini dalam membentuk kebiasaan generasi Alpha untuk berfikir dan bersikap ilmiah.

Individualisme menurut Forsyth (2006) adalah tradisi, ideologi, atau pandangan pribadi yang menekankan superioritas individu beserta hak-haknya, kemandirian, dan hubungannya dengan individu lain. Intinya, ia menyatakan bahwa individualisme menentukan bahwa individu adalah unit utama realitas dan standar nilai tertinggi. Individualisme menekankan pada spontanitas individu, kemandirian, ekspresi pribadi, bahkan privasi. Individualisme ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: globalisasi dan perkembangan zaman.

Benar, individualisme tidak selalu berdampak negatif. Steinkirchner (2014) dalam artikelnya yang berjudul “Your Start-Up: Go With Partners Or Go It Alone?” menyampaikan beberapa hal yang membuat individualisme baik adalah mereka dapat mengikuti visi atau tujuan pribadi mereka. Hal ini karena mereka tidak ingin dikekang, sehingga mereka menentukan sesuai keinginan sendiri target atau goals dari pencapaian mereka. Dalam artikel ini juga dikatakan bahwa individualisme akan meningkatkan produktivitas kerja. Mereka akan berusaha bekerja secara efektif sehingga dapat mencapai hasil sesuai standar yang sudah ditentukan. Selain itu, bekerja sendiri juga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dalam bekerja. Hal ini karena mereka yang bekerja sendiri telah menetapkan tujuan sesuai keinginan sendiri, sehingga akan memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap pekerjaan mereka.

Generasi Alpha adalah generasi yang sangat percaya akan dirinya sendiri serta memiliki sikap yang sangat kompetitif. Orang yang sangat percaya diri dan kompetitif tidak jarang menimbulkan sikap yang ambisius. Tentu sikap ambisius merupakan tanda dari adanya rasa ingin selalu memberikan yang terbaik, akan tetapi ambisius tetap memiliki sisi gelapnya. Premuzic (2017) dalam artikelnya yang berjudul “A Psychologist Finally Explains Why You Hate Teamwork so Much” mengatakan bahwa mereka yang ambisius justru akan meninggalkan perannya dalam kelompok bahkan menelantarkan kelompok tersebut demi untuk mencapai tujuan dan standar pribadinya.

Semoga !

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|