
SULTRAKINI.COM: Sebuah buku bertajuk “Hak Restitusi Korban Human Trafficking” resmi diterbitkan oleh Rudy, seorang praktisi hukum dan penulis yang juga berprofesi sebagai jaksa. Buku ini diluncurkan sebagai bentuk komitmen untuk memperkuat perlindungan hukum bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), khususnya dalam hal pemenuhan hak restitusi.
Peluncuran ini mendapat dukungan dari berbagai tokoh penting di bidang hukum dan HAM. Hak restitusi dalam konteks TPPO merupakan hak korban untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian material dan immaterial yang mereka alami.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa kerugian korban tidak hanya bersifat finansial, seperti hilangnya harta benda atau biaya pengobatan, tetapi juga mencakup penderitaan psikologis, trauma, dan kehilangan kesempatan hidup yang layak. Tujuan dari restitusi adalah untuk memberikan keadilan, memulihkan kondisi korban, serta menghapus stigma yang melekat akibat kejahatan perdagangan orang.
Dalam sambutannya, Plt. Wakil Jaksa Agung RI Prof. Dr. Asep N. Mulyana, S.H., M.Hum., menyatakan bahwa meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, kasus perdagangan orang justru semakin kompleks dan melibatkan sindikat lintas negara. Ia menekankan bahwa penegakan hukum terhadap TPPO memerlukan pendekatan baru dan langkah luar biasa, termasuk mengubah posisi korban dari sekadar alat bukti menjadi subjek utama yang berhak atas perlindungan dan pemulihan melalui restitusi.
Ketua Komnas HAM RI, Dr. Atnike Nova Sigiro, M.Sc., dalam kata pengantar buku tersebut, menyoroti hambatan implementasi hak restitusi, mulai dari kendala perhitungan kerugian hingga kelemahan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Ia mengajak semua pihak untuk memperkuat kebijakan dan praktik hukum yang lebih berpihak kepada korban, serta mendorong reformasi regulasi guna menutup celah hukum yang masih ada.
Sementara itu, Anggota DPR RI periode 2024–2029, Ali Mazi, S.H., menegaskan bahwa kejaksaan memiliki peran strategis dalam membantu korban mengakses hak restitusi. Selain memberi petunjuk kepada penyidik untuk melengkapi permohonan restitusi, jaksa juga berwenang menyita aset tersangka sebagai jaminan pembayaran ganti rugi. Ia mengusulkan dua langkah penting: kajian mendalam terkait pelaksanaan restitusi dan revisi atas UU TPPO serta UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sebagai penulis, Rudy menyuarakan pentingnya rekonstruksi regulasi agar restitusi lebih mudah diterapkan secara efektif. Ia menyoroti celah hukum berupa pilihan hukuman kurungan pengganti maksimal satu tahun, yang sering kali dimanfaatkan terpidana untuk menghindari pembayaran restitusi.
Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi strategis bagi pembuat kebijakan, praktisi hukum, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan siapa pun yang peduli terhadap isu perdagangan orang. Melalui buku ini, Rudy mengajak semua pihak menapaki jalan restitusi sebagai langkah nyata menuju keadilan dan pemulihan menyeluruh bagi korban.
Laporan: Frirac