Agrokompleks, Tumpang Tindih Lahan, dan Implikasinya

15 hours ago 5

Oleh: Yunita Simatupang (Mahasiswa Doktoral Universitas Halu Oleo)

SULTRAKINI.COM: Sudah menjadi pemahaman yang umum bila petani kerap terjebak dalam posisi yang kurang menguntungkan. Mulai dari akses pasar yang terisolasi, rendahnya kemampuan dan kepemilikan teknologi pertanian, hingga tidak memadainya ketersediaan modal. Kondisi tersebut memicu tingginya biaya transaksi, rendahnya nilai tambah produk, dan terbatasnya daya saing pertanian. Ini sebuah ironi mengingat pertanian merupakan salah satu sektor yang memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Masalah dalam Solusi

Agrokompleks adalah satu dari sekian banyak solusi yang ditawarkan untuk mengurai sengkarut masalah tersebut. Melalui konsentrasi geografis dan integrasi fungsional, agrokompleks dipercaya mampu menurunkan biaya logistik, meningkatkan efisiensi produksi, mempercepat adopsi teknologi, serta membuka peluang diversifikasi usaha. Urgensi ini semakin kuat mengingat kebutuhan untuk memodernisasi pertanian agar mampu menyerap tenaga kerja produktif dan menghadapi persaingan global.

Secara sederhana, agrokompleks dapat digambarkan sebagai suatu kawasan pengembangan pertanian terpadu yang mengintegrasikan seluruh mata rantai sistem agribisnis dalam satu wilayah geografis tertentu. Konsep ini mencakup keterpaduan antara kegiatan hulu (seperti penyediaan sarana produksi), budidaya, pengolahan, hingga pemasaran hasil pertanian. Agrokompleks tidak sekadar mengelompokkan aktivitas pertanian secara fisik, melainkan membangun ekosistem yang saling mendukung melalui integrasi vertikal dan horizontal dari berbagai subsistem agribisnis.

Secara ekonomi, agrokompleks meningkatkan produktivitas, menciptakan nilai tambah melalui agroindustri, serta membuka lapangan kerja di sepanjang rantai nilai. Integrasi vertikal yang terbangun mengurangi eksploitasi tengkulak dan memastikan distribusi keuntungan yang lebih adil kepada petani. Dari aspek sosial, agrokompleks memperkuat kelembagaan petani, mendorong transfer pengetahuan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan.

Kontribusinya terhadap lingkungan juga signifikan melalui penerapan praktik pertanian berkelanjutan, efisiensi penggunaan sumber daya, dan pengurangan jejak karbon akibat optimalisasi logistik. Ditambah lagi, agrokompleks berperan strategis dalam pemerataan pembangunan dengan menggerakkan perekonomian daerah, mengurangi urbanisasi berlebihan, serta memperkuat konektivitas desa-kota melalui sistem agribisnis yang terintegrasi.

Di atas kertas, ide tersebut tampak merupakan sebuah solusi ideal karena memberi pendekatan praktis atas masalah-masalah yang kerap membelit petani. Batasan spasialnya ditentukan oleh karakteristik agroekologi, potensi komoditas unggulan, serta ketersediaan infrastruktur pendukung yang memungkinkan terjadinya sinergi antar komponen sistem. Namun di sisi lain, ada konsekuensi yang menyatu dengan solusi tersebut yaitu terkait tumpang tindih lahan.

Tumpang Tindih Lahan

Salah satu isu yang sedang mengemuka adalah tumpang tindih area perkebunan dan pertambangan. Sengkarut ini tidak hanya menciptakan konflik sektoral, tetapi juga menghasilkan ketidakpastian hukum. Studi Amri dkk (2024) menemukan tumpang tindih antara areal Perkebunan dengan Izin Usaha Pertambangan, yang mereka temukan pada tiga titik di Provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggara. Luasnya mencapai 1.200 hektar.

Menurut Widodo & Pratiwi (2023), ketidakjelasan regulasi dan lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah turut berkontribusi pada munculnya tumpang tindih perizinan. Sebagai contoh, ketentuan kewenangan penataan ruang dalam Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 (UUCK), merubah ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang (UUPR).

Pada Pasal 9 UUPR, penyelenggaraan penataan ruang awalnya dilakukan oleh menteri dan ketentuan. Adapun mengenai kewenangan provinsi dalam penataan ruang, sangat dibebaskan khususnya terkait kawasan strategis provinsi. Namun pada UUCK, ketentuan ini dihapuskan karena kewenangannya beralih kepada pemerintah pusat (Masayu, 2021).

Ini hanyalah sebuah ilustrasi tentang betapa rentannya wilayah perkebunan beralih fungsi menjadi area pertambangan. Sektor perkebunan dan kehutanan merupakan contoh sektor agrokompleks yang sering mengalami tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah. Tentu masalah tadi tidak merepresentasikan agrokompleks secara keseluruhan, namun cukup untuk menunjukkan bahwa masih terdapat peluang ketidakselarasan antara kebijakan sektoral dan kebijakan tata ruang di daerah. Selain itu, perbedaan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan juga seringkali menimbulkan permasalahan.

Implikasi

Ketika agrokompleks tidak berjalan, jarak antara petani dan konsumen akan tetap panjang dan berliku. Rantai distribusi yang panjang ini menyebabkan banyak hasil panen membusuk di perjalanan karena tidak ada fasilitas penyimpanan dingin atau pengolahan yang memadai. Pada akhirnya, konsumen membayar mahal untuk produk yang kualitasnya sudah menurun, sedangkan petani tetap merugi.

Jika petani merugi, mereka akan terus terperangkap dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus. Petani tetap bekerja sendiri-sendiri di lahan sempit dan terbatas, tanpa akses ke teknologi modern atau modal usaha. Mereka sangat mungkin harus menjual gabahnya dengan harga murah ke tengkulak karena tak ada pilihan lain. Anak-anaknya yang bersekolah di kota akhirnya memilih tidak pulang kampung karena melihat orang tua mereka bekerja keras dari pagi hingga malam, tapi tetap miskin.

Kondisi ini akan terus berulang dari generasi ke generasi, menciptakan jurang kesenjangan yang semakin lebar antara petani desa dengan pekerja kota. Ketika para tenaga kerja usia produktif tidak ingin kembali ke desa, berarti kita akan kehilangan jutaan peluang kerja di sektor agroindustri, pengolahan, dan logistik pertanian. Negara kehilangan bonus demografi karena angkatan kerja produktif tidak terserap di sektor yang seharusnya bisa menjadi tulang punggung ekonomi nasional.

Untuk jangka panjang, tidak berjalannya agrokompleks menyebabkan lahan pertanian subur mudah berubah menjadi perumahan, pabrik, atau bahkan lahan terlantar. Para petani tergoda menjual tanahnya karena tidak ada jaminan bahwa bertani akan memberikan masa depan lebih baik. Tanpa kepastian hukum dan rencana tata ruang yang melindungi kawasan pertanian strategis, dalam sepuluh tahun ke depan kita bisa kehilangan jutaan hektare lahan produktif.

Tanpa sistem produksi pertanian yang terorganisir seperti agrokompleks, Indonesia akan semakin bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Beras, jagung, kedelai, hingga buah-buahan datang dari negara lain dengan harga yang dikontrol pasar global. Kedaulatan pangan kita terancam, dan setiap kali terjadi gejolak politik atau ekonomi dunia. Generasi mendatang mungkin akan menjemput “Indonesia Emas” dengan cemas.***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|