”Virus-Virus” Penyebab Budaya Baca Guru yang Rendah

1 day ago 8

(Dibalik Surat Edaran tentang Hari Belajar Guru)

Oleh : Ahmad Usman

Dosen Unkiversitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)


INIPASTI.COM,  Apa makna yang tersirat bahkan tersurat dari Surat Edaran Nomor 5684/MDM.B1/HK.04.00/2025 tentang Hari Belajar Guru. Surat edaran tersebut ditandatangani oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Prof Nunuk Suryani pada 26 Maret 2025. Penulis yakin bahwa surat edaran diterbitkan karena sudah ada tanda-tanda terdegradasi atau malaise-nya budaya belajar guru. Malaise merupakan istilah dalam bidang kedokteran yang sering digunakan untuk menggambarkan kondisi lemah, letih, dan lesu. Tubuh seperti kekurangan energi untuk beraktivitas atau melakukan interaksi.

Bijak nan arif mengingatkan “Leisure without study is deat”—waktu luang tanpa belajar adalah kematian. Apa kita mendambakan yang demikian ? Tentu tidak, bukan ?

            Membaca adalah wujud “life long education” atau “life long learning” dan “learning society”, yang kulminasinya melahirkan “active mayority”—masyarakat gemar bekerja; dan bukan sebaliknya “silent mayority”—masyarakat fakum, pasif.

            Kristalisasi dari keranjingan membaca akan menetaskan individu-individu kreatif. Bukankah ini “asset” ? Prototype individu-individu kreatif terangkum sifat-sifat terpuji dan amat dibutuhkan dalam meladeni era industrialisasi yang penuh kompetitif, misalnya sifat: kehausan ingin tahu yang amat besar; terbukanya pikiran dan perasaan terhadap pengalaman baru; kesediaan mengambil risiko; satu kecenderungan untuk berpikir dalam citra imager; satu dorongan yang kuat sekali untuk berpijak pada bidang yang belum ditempuh manusia lain, dan melanggar apa yang dinamakan “conventional wisdom” ? (Sayidiman Suryohadiprojo dalam Usman, 2024).

Malas membaca buku berarti ada suatu masalah serius yang harus diselesaikan. Apalagi yang malas membaca buku adalah orang yang berprofesi sebagai guru. Tentu itu adalah masalah serius.

“Tidak apa-apa jika saya dipenjara selama kapanpun, asal saya bersama buku”. Mungkin itulah inti dari apa yang pernah disampaikan oleh Bung Hatta. Seorang pemikir sekaligus salah satu pahlawan nasional bangsa Indonesia.

Apa benar budaya belajar guru “tervirus”?

Indikator Minat Baca

Ada beberapa fakta terkait minat baca masyarakat Indonesia, salah satunya dari ajang World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (2016), yang menyatakan bahwa jika dilihat dari segi penilaian infrastruktur pendukung untuk membaca, peringkat Indonesia di atas negara-negara Eropa (Muhammad, 2023). Namun jika dilihat dari hasil PISA terbaru 2023, Indonesia memang mengalami kenaikan dibandingkan dengan hasil PISA 2018 akan tetapi Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga Asia Tenggara lainnya seperti Brunei Darussalam dan Malaysia. Brunei Darussalam berada di posisi ke-44 dan Malaysia di posisi ke-60. Sedangkan Indonesia berada diposisi 71 (Teknologi, 2018). Selain itu UNESCO 2016 juga menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dengan angka 0,001%. Artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang konsisten membaca (Putri & Setyadi, 2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa hanya sekitar 17,66 persen yang menyukai membaca surat kabar, buku atau majalah. Konsumsi satu surat kabar di Indonesia dengan pembacanya mempunyai rasio satu berbanding 45 orang (1:45). Rasio tersebut sangat jauh dibanding negara ASEAN lainnya seperti Filipina yang perbandingannya mencapai (1:30) (Anifah & Manalu, 2019). Banyaknya jenis hiburan seperti permainan (game) elektronik, berselancar (surfing) di internet mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku (Wahyuni, 2010). Hal ini menyatakan bahwa faktor pendorong rendahnya minat baca Indonesia bukan hanya masalah infrastruktur saja namun sangat kompleks. Fakta lain adalah adanya 212.9 juta pengguna internet di Indonesia dan ada 167.0 juta pengguna aktif media sosial Indonesia per Januari 2023 (Digital 2024, 2024). Data itu berarti 77.0% dari total populasi adalah pengguna internet pada awal 2023 dan 78.5% pengguna internet di Indonesia menggunakan setidaknya satu platform media sosial pada bulan Januari 2023. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cukup literat dari sisi pengguna internet dan media sosial.

Untuk mengetahui seberapa besar minat baca seseorang, ternyata cukup mudah. Sebab sejumlah ahli memaparkan indikator yang menjadi penentunya.

Pertama adalah yang dikemukakan oleh Sudarsana dan Bastiano (2010). Dijelaskan bahwa ada setidaknya empat aspek yang menjadi indikator minat baca seseorang. Pertama,  kesenangan membaca. Indikator yang pertama adalah dari kesenangan membaca. Artinya, semakin senang dan menyukai kegiatan membaca. Maka semakin menunjukan jika minat baca seseorang cukup tinggi. Kedua, kesadaran akan manfaat membaca. Indikator kedua adalah kesadaran mengenai adanya manfaat membaca. Seseorang yang menyadari betul manfaat besar dari kebiasaan membaca menunjukan minat baca yang dimiliki juga besar. Ketiga, frekuensi membaca. Indikator minat baca ketiga menurut Sudarsana dan Bastiano adalah frekuensi membaca. Semakin sering seseorang membaca, semakin tinggi minat baca yang dimiliki. Dan keempat, kuantitas bacaan. Terakhir adalah kuantitas bacaan. Artinya, ketika seseorang membaca berbagai jenis bacaan dari berbagai sumber. Maka menunjukan minat bacanya yang tinggi, karena secara alami memiliki ketertarikan atau minat untuk membaca lebih banyak bacaan. 

Guru sebagai Makhluk Pembelajar

Seorang berilmu kemudian bekerja dengan ilmunya dialah dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari memberi cahaya orang lain sedang ia sendiripun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain iapun sendiri harum (Imam Ghozali).

Ada ungkapan: “Guru yang berhenti belajar, berhentilah mengajar!” Sebagai pihak yang bertanggung jawab membantu generasi muda bangsa keluar dari pekatnya kegelapan (kebodohan) sekaligus menjadi pribadi yang layak diteladani, maka seorang guru haruslah seorang makhluk pembelajar.

Kalau kita menyimak dan memperhatikan perjalanan sejarah umat manusia, kita dapat menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar (man of learner). Buktinya, dalam banyak hal dan banyak bidang, pemahaman, pengertian dan penguasaan manusia tentang sesuatu obyek semakin baik dan sempurna. Itu artinya, seorang manusia atau sekelompok manusia dapat belajar dari generasi ke generasi, menerima transfer pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, tetapi kemudian sekaligus mampu mengoreksi dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang baru.

Manusia secara mental merupakan mahkluk pembelajar artinya di dalam dirinya selalu terjadi perubahan dinamis dalam pemahaman terhadap suatu masalah. Arah perubahan yang akan terjadi sangat tergantung dari pemahaman pengetahuan sebelumnya. Selanjutnya bila proses perubahan telah terjadi, maka akan menjadi suatu pengalaman. Dan pengalaman tersebut berpotensi menjadi pengetahuan yang akan mengarahkan perubahan ke depan selanjutnya.

Manusia pembelajar merupakan mereka yang memahami akan arti dan hakikat hidupnya. Mengapa? Karena ini adalah dasar dari segalanya, sebelum ia mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya bahkan pribadinya sendiri, maka pemahaman akan hakikat hidup manusia menjadi sebuah kebutuhan sejati, karena mereka menjadi lebih tahu serta memiliki objektifitas dalam mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk menjadi pribadi yang ideal.

Andrias Harefa (2000) mendefenisikan makhluk pembelajar sebagai setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni: pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya dengan selalu mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti: Siapakah aku? Darimanakah aku datang? Kemanakah aku akan pergi? Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini? Dan kepada siapakah aku percaya? Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang bukan dirinya.

Guru yang pembelajar adalah guru yang tak letih untuk memberi suatu ilmu kepada peserta didiknya dan selalu belajar dan mengembangkan metode juga praktek pembelajaran yang efektif bagi peserta didik. Mendidik peserta didiknya dan mempersiapkan generasi demi generasi untuk menjadi manusia yang mampu menjaga rahmat alam dan kehidupan demi masa depan yang lebih baik. Dan guru pembelajar mampu mengubah dunia ditangannya.

Guru pembelajar juga merupakan sosok guru yang dapat mengembangkan dirinya melalui profesinya dan tak malu dan canggung untuk selalu belajar secara total dan berusaha melakukan hal yang terbaik dari waktu ke waktu atau dengan kata lain adalah kemauan seorang guru untuk terus melakukan pembelajaran dirinya dalam setiap melakukan aktifitas tersebut.

Guru sebagai manusia pembelajar juga merupakan seseorang yang senantiasa melakukan self assessment untuk mengetahui kekurangan diri, menentukan aspek yang perlu dikembangkan, melakukan upaya (belajar) berkelanjutan untuk mencapai pengembangan yang diinginkan.

Manusia pembelajar adalah manusia yang menjadikan belajar sebagai bagian dari hidupnya. Sebagaimana Danim (2003) menyatakan: “Manusia pembelajar adalah orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar (proses mengubah tingkah laku menuju kondisi hidup yang lebih baik) sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan hidupnya.”

Sebagai pembe1ajar, guru pasti harus secara terus-menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.

Dengan demikian, seorang guru harus selalu bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensialnya: Siapakah aku sebagai guru? Mengapa aku menjadi guru? Apakah tanggung jawabku sebagai guru? Apakah aku cukup setia mendampingi murid-muridku dalam ziarah mereka mencari ilmu? Apakah aku selalu berusaha mengaktualisasikan setiap potensi yang aku miliki untuk menolong anak didikku keluar dari cengkeraman kebodohan? Apakah aku menyisihkan waktu untuk membaca setiap hari? Atau berbagai pertanyaan lain.

Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial di atas, laku hidup seorang guru harus menunjukkan bahwa ia layak diteladani. Laku hidup yang layak diteladani menuntut guru untuk mau berubah setiap hari. Namun, perlu disadari bahwa mengubah diri sendiri bukanlah pekerjaan membalik telapak tangan. Lebih mudah mengubah seorang siswa dengan kemampuan pas-pasan menjadi lebih pintar dan kompeten karena untuk mengubah pihak lain kita hanya perlu melakukan pendekatan persuasif sehingga mereka percaya dan menciptakan perubahan. Sementara untuk mengubah diri sendiri membutuhkan keberanian, jiwa besar dan kesabaran (Koesoema, 2009).

Guru Pembelajar Sepanjang Hayat

Guru adalah pembelajar sepanjang hayat. Pembelajar sepanjang hayat adalah sebuah gagasan tentang seseorang yang terus  belajar seiring dengan fase pertumbuhan dan perkembang dirinya, proses ini  berkelanjutan hingga akhir hayat (Sudrajat dan Hariati, 2021). Menurut Komar (Isa dan Napu, 2020) dalam modul pembelajaran  sepanjang hayat, pembelajar sepanjang hayat adalah upaya untuk terus menerus  membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan kesiapan diri untuk terus mengisi kesempatan yang ada dengan belajar dari berbagai sumber yang ada.

Belajar sepanjang hayat adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk terus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan seiring dengan fase pertumbuhannya.

Seorang guru diharapkan menjadi pembelajar seumur hidup yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, mengembangkan keterampilannya, dan menginspirasi generasi berikutnya untuk belajar lagi.

Mengapa menjadi guru sepanjang hayat itu penting? Pertama, adaptasi terhadap perubahan; kedua, meningkatkan kualitas pengajaran; ketiga, menginspirasi siswa; keempat, mengembangkan kompetensi profesional; dan kelima, menjawab tantangan pendidikan masa depan.

Untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat, ada beberapa teknik atau cara yang dapat dilakukan, antara lain (Safii, 2019) : jadilah aktif dalam proses pembelajaran; selalu berpikir kritis; membaca buku; mengikuti kursus atau pelatihan; bergabung dengan kelompok belajar; menerapkan ilmu yang dipelajari; dan evaluasi diri sendiri.

Guru harus berpacu, baik berpacu dengan siswa, orang tua, dan pastinya berpacu dengan teknologi yang semakin laju. Guru tidak bisa lagi menganggap dirinya sebagai seseorang yang “maha tahu” (knowing everything).

Guru zaman now dituntut menjadi seorang pemikir/intelektual. Itu berarti guru tidak boleh puas dengan pengetahuannya, tetapi terus mengembangkannya. Guru tidak berhenti untuk membaca, belajar.

Guru harus belajar kritis dengan situasi dan gagasan yang ada. Sebagai seorang intelektual, guru akan mengembangkan “angan-angan” untuk suatu yang lebih maju. Guru dengan senang hati menantang dan merangsang siswa untuk mempunyai  angan-angan kedepan yang lebih tinggi. Guru selalu bertanya dan mencari yang baru. Guru pertama-tama perlu mengenal siswa dengan baik.

Guru Enggan Membaca (!?)

Telah menjadi rahasia umum bahwa budaya baca masyarakat Indonesia termasuk yang paling rendah di Asia. Jangankan masyarakat, guru dan dosen sekalipun, meski secara individual adalah pendidik yang dekat dengan dunia baca-membaca, pada kenyataannya juga rendah minat dalam membaca. Tidak jarang didapati di sekolah-sekolah bahwa kebiasaan guru dalam membaca kurang dari 1 jam per hari (Ahmad Baedowi, 2010).

Menggugah tulisan Pepi Nuroniah (2014) tentang ilustrasi keengganan atau keogahan guru membaca dengan judul tulisan “Murid Satu Guru Sepuluh.” Idealnya, apabila murid membaca satu buku, seorang guru seharusnya membaca minimal sepuluh buku. Ketika buku yang dibaca guru dan murid itu satu, pengetahuan mereka akan sama. Perbedaannya mungkin hanya dalam hal guru membaca lebih awal dibandingkan muridnya. Namun, tidak sedikit siswa yang rajin biasanya akan mempelajari materi yang belum dipelajarinya sebelum guru mengajarkannya.

Membaca buku bagi guru tidak hanya untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan saja, tetapi juga dapat mewujudkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap (disingkat WPKNS). Dengan terwujudnya WPKNS ini sekaligus memupuk subur kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik. Membaca dapat membantu memahami proses terjadinya kata secara lebih detail, proses pembentukan kalimat, untuk menangkap konsep dan untuk memahami apa yang berada di balik tulisan. Bagaimana bisa seorang guru menguasai seluruh materi secara utuh jika ia merasa cukup membaca materi pokok saja?

Guru saat ini tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan zaman. Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk dapat menjawab pertanyaan yang sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu merancang, memilih bahan pelajaran dan strategi pembelajaran (atau silabus) yang sesuai dengan anak dengan latar belakang yang berbeda, serta mengelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi. Semua tuntutan terhadap kompetensi guru profesional ini hanya dapat dipenuhi oleh guru yang gemar menimba ilmu dengan membaca.

Begitu besarnya peran guru sebagai agen perubahan, maka tidak ada alasan bagi guru untuk tidak membaca. Dengan membaca, jendela informasi akan terbuka. Tidak membaca bisa jadi biasa bagi orang lain, tetapi itu akan menjadi luar biasa bagi guru yang enggan membaca banyak buku. Kecerdasan seorang guru akan terlihat ketika dia menyampaikan materi ajarnya sehingga guru tersebut memiliki wibawa di hadapan para muridnya. Kewibawaan ini termasuk katagori pilar pembelajaran yang memiliki unsur-unsur seperti pengakuan dan penerimaan, kasih sayang dan kelembutan, penguatan, tindakan tegas yang mendidik, pengarahan dan keteladan (Priyatno, 2009).

Kewibawaan tidak secara otomatis terdapat pada setiap guru. Kewibawaan haruslah dibangun dalam pribadi guru tersebut. Perlu diketahui bahwa siswa lebih menyukai guru yang wawasannya luas dibandingkan seorang guru yang hanya datang serta memberikan tugas. Bila memang guru tersebut pantas untuk digugu dan ditiru atau bahkan memberikan inspirasi terhadap siswa, penghormatan itu akan muncul dengan sendirinya dari para siswa. Demikianlah, membaca bagi guru merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilannya dalam mengajar serta mendidik.

Menonton televisi seharian? Oh, selalu kuat. Membaca novel detektif, roman percintaan, atau cerita silat? Tentu bisa betah berjam-jam. Tapi membaca buku-buku ilmiah? Sedikit orang yang sanggup melakukannya.

Mengapa menjadi enggan? Karena biasanya tidak sabar, keder melihat buku, salah baca, bahasanya terlalu berat, tidak ada provokator, sibuk baca yang tidak berguna, lemah semangat, suka yang sia-sia, tidak memenej waktu, dan harga buku mahal.

Faktor penyebab keengganan guru membaca berasal dari pertama faktor internal meliputi (1) guru tidak memiliki budaya membaca, (2) guru lebih memilih aktivitas lain yang ada di sekolah bersama teman-teman guru daripada menghabiskan waktu luang dengan membaca. Faktor kedua yang menyebabkan keenganan guru membaca adalah faktor ekternal. Faktor ini didorong oleh (1) tugas-tugas yang diberikan tidak menuntut mereka banyak membaca karena semua tugas selesai dengan cara copy paste dan tidak pernah ada tindakan apa-apa dari akibat perbuatan tersebut. (2) Koleksi perpustakaan tidak memadai sehingga guru merasa enggan masuk perpustakaan karena tidak memperoleh referensi yang diperlukan. (3) Olok-olok dari teman-teman guru kepada mereka yang berusaha memanfaatkan waktu luang untuk membaca menyebabkan lingkungan menjadi tidak kondusif dan mereka menjadi rendah diri. Akibatnya mereka menjadi enggan membaca. (Anonymous dalam Usman, 2024).

Secara personality, orang enggan berubah dan menyesuaikan diri dengan tuntutan jaman menurut Hari Santoso (2012) disebabkan hal-hal berikut. Pertama, mengingkari.Berbagai pelatihan biasanya untuk meningkatkan knowledge, know how and mental attitude pesertanya…mulai sekadar membangun kesadaran, sampai diharapkan dapat diterapkan, lengkap dengan data, fakta dan hasil yang bisa diharapkan. Para peserta tahu akan manfaat konsep yang telah diajarkan. Namun dengan berbagai dalih mereka sengaja memilih mengikarinya, persis seperti orang tahu  konsekuensi pelanggaran atau pahala yang didapat dari Tuhannya, namun manusia memilih mengingkarinya. Penyakit INGKAR adalah penyakit kronis pada manusia termasuk para guru kita.

Kedua, malas belajar.Adalah sebuah ironi jika guru sebagai teladan utama dalam membangun semangat belajar siswa justru orang yang paling malas dalam belajar, terutama belajar guna peningkatan mutu pengetahuan serta kualitas dirinya. Mulai  malas membaca, malas menyusun RPP sesuai kebutuhan belajar siswa, malas membuat PTK sampai malas mengajar itu sendiri sekali lagi dengan berbagai dalih.

Ketiga, mau enaknya saja.Pengingkaran terhadap kenyataan bahwa dunia pendidikan sudah berubah lengkap dengan segala tantangan dan tuntutannya disebabkan karena para guru memilih mau enaknya ogah menanggung resikonya. Ambil contoh ketika guru harus mengajar tidak sekadar berceramah tetapi sudah memanfaatkan sumber dan media belajar mereka memilih mau enaknya, kasih tugas siswa dan ditinggal duduk atau sibuk urusannya sendiri dan kecenderungan mereka malas berubah lantaran sudah terlalu keenakan dengan pola lama.

Keempat, merasa paling  benar sendiri.Dikarenakan oleh pengalaman, senioritas atau jabatan yang dimiliki kecenderungan orang untuk merasa dirinya paling tahu, paling benar atau bidang yang dikuasainya. Sehingga bagi orang lain yang memberikan masukan perbaikan dianggap sebagai serangan yang perlu ditangkis dan beranggapan saran orang lain itu tidak penting…merasa tidak ada orang lain yang lebih benar selain dirinya. Lebih parahnya mereka membanggakan kompetensi yang dimilikinya yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan jaman. Akibatnya berdampak pada kinerjanya dalam KBM.

Kelima, menganggap dirinya serba tahu.Hobi paling menonjol orang yang menganggap dirinya serba tahu adalah komentator, mengomentari segala perilaku yang dilakukan rekan kerja atau siswa dengan argumen yang tidak jarang tidak berdasar dengan  landasan  keilmuan. Dengan menganggap dirinya serba tahu orang seperti ini dengan mudah menyalahkan, mengomentari atau bahkan merasa harus dilibatkan dalam setiap kegiatan. Padahal ketika tugas itu diserahkan kerap hasil tidak memuaskan.

Bagi seorang guru pantang untuk melakukan pengingkaran dengan berupaya berdaptasi dan meningkatkan kemauan belajar menggali  mutu ilmu pengetahuan  terkini.

Mengubah keengganan menjadi suka atau doyan pada kegiatan membaca, maka ada beberapa strategi atau kiat-kiatnya (Tedi Cahyono, 2007), sebagai berikut. Pertama, kenali kehebatan ilmu. Setelah kenal baru bisa disayang, demikian ungkapan yang sering kita dengar. Salah satu cara mendongkrak semangat dan keinginan untuk membaca buku adalah dengan mengenal keutamaan ilmu dan ahli ilmu. Termasuk juga mengenal kedudukan kitab-kitab ilmu syar’i dan keberkahannya. Begitu seseorang telah mulai mengenal, maka ia pun akan berusaha untuk menyayangi dan mencintai buku sebagai sarana mentransfer ilmu. Nah, di antara manfaat membaca adalah: (1) mempelajari ilmu syar’i –yang terdapat pada buku- merupakan langkah untuk memperbaiki amalan, menghilangkan kejahilan yang merupakan sebab celaan dan terjatuhnya seseorang pada hal-hal yang diharamkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan kegelapan. (2) Lebih dekat dengan firman Allah Subhaanahu wa ta’ala dan sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alayhi wa Sallam serta perkataan para ulama. (3) Mengenal hikmah dan nilai hukum-hukum syariat sehingga menyebabkan kita mantap dalam beragama. (4) Menjaga waktu dan memenuhinya dengan hal yang bermanfaat. (5) Kesibukan kita membaca akan menghalangi diri kita dari bergaul dengan teman yang buruk.

Setelah tahu keutamaannya, kita juga harus berjuang keras melawan segala sesuatu yang menghalangi kita dari membaca; baik itu berupa tontonan, bacaan yang sia-sia, godaan teman yang buruk, dan perasaan tidak mau bersabar.

Kedua, ada penyemangatnya. Membaca buku Islam belum menjadi budaya masyarakat kita. Agar semangat membaca bisa terdongkrak, perlu diberikan penyemangat dan disediakan sarana-sarana yang mubah. Kita bisa ikut berperan di dalamnya. Caranya banyak, di antaranya dengan menyelenggarakan pameran buku Islam. Kini, acara semacam itu sudah mulai marak dilaksanakan di beberapa kota besar di Indonesia. Butuh biaya besar, ’kan? Sebenarnya, kegiatan pameran ini tak harus diselenggarakan secara besar-besaran. Namun, bisa juga dibuat dalam skala kecil, seperti di satu sekolahan, satu fakultas, pondok pesantren, atau bahkan di kampung. Cara yang lain adalah dengan menyediakan perpustakaan buku-buku Islam di tempat-tempat tertentu, misalnya di masjid, sekretariat rohis, dan lain-lainnya. Atau secara pribadi, kita pun bisa membuka perpusatakaan pribadi untuk dipinjamkan teman-teman sekitar rumah.

Ketiga, mahal? dicicil saja. Buku mahal sehingga tidak mau baca buku? Bukan alasan. Mahalnya harga buku bisa diatasi degan menabung, menyisihkan uang yang kita miliki. Atau kita bisa meminjam buku di perpustakaan yang ada. Sah-sah pula kita meminjam buku kepada teman yang punya koleksi buku cukup banyak. Nah, tidak sulit, ’kan? Hal penting yang perlu diingat agar kita tetap mampu membaca buku adalah kita mesti memenej waktu dengan baik. Sesibuk apapun pekerjaan dan aktivitas kita, berikan jadwal tersendiri yang memadai untuk belajar dan membaca buku keagamaan. Jadikan kegiatan membaca buku keislaman sama pentingnya seperti aktivitas yang lain. Sehingga kita akan selalu merasa butuh untuk membaca buku.

”Virus-virus” Penyebab Budaya Baca Guru yang Rendah

Mestinya, membaca menjadi need for life and habit dalam kehidupan sehari-hari guru demi terwujudnya masyarakat belajar (learning society) hingga mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat madani (civil society), baldhatun tayyibatun wa rabbun ghafuur.

Budaya baca rendah para guru di Indonesia memang memprihatinkan. Bahkan menjadi “virus” berbahaya yang menggerogoti kualitas guru-guru di Indonesia. “Virus” ini begitu melekat membuat guru tidak bisa menjalankan profesinya secara profesional (Suyanto, 2012).

Budaya baca guru di Indonesia relatif rendah, yang sebenarnya adalah budaya atau kultur masyarakat Indonesia pada umumnya yakni lebih cenderung budaya nonbaca daripada budaya baca.

Guru-guru kita lebih banyak baca Short Message Service (SMS) di ponselnya. Termasuk saat Ujian Nasional (UN) siswanya berlangsung, SMS berseliweran (Suyanto, 2012). “Virus” lain yang melekat pada guru-guru di Indonesia adalah banyak guru yang kurang Percaya Diri (PD). Guru adalah orang yang paling suka menilai, memuji, dan mengevaluasi. Namun saat tiba gilirannya diuji atau dievaluasi, guru bersangkutan kelabakan karena rasa tidak percaya diri itu (Suyanto, 2012). Banyak guru yang merasa tertekan saat ikuti ujian atau evaluasi seperti kasus di satu daerah, seorang guru tiba-tiba meninggal saat hadapi ujian Pendidikan Profesi Guru.

“Virus” lain adalah erosi idealisme. Pikiran guru dulu dan saat ini sangat berbeda. Idealisme guru saat ini rendah karena guru tidak lagi memiliki wewenang yang banyak dalam mendidik untuk ikut membangun negara ini (Suyanto, 2012).

Guru malas, guru terpola pada kehidupan rutinitas, juga adalah “virus”. Banyak guru di Indonesia malam mengeksplorasi kemampuan profesinya jadi sebenarnya mereka ini tidak bodoh tapi malas saja. Demikian juga dengan guru yang terus terikat pola rutinitas mulai rumah, sekolah, sinetron, lalu kasur. Kegiatan itu saja yang terus berputar.

Dan satu lagi “virus” yang menggerogoti adalah guru lemah dalam menulis. Pernah ada seorang guru dari Yogyakarta yang mengaku pada dirinya. “Katanya sudah enam tahun menjadi guru Bahasa Indonesia tapi tidak tahu menulis. Kalau begini, apa yang mau diajarkan ke murid atau siswanya sementara gurunya sendiri tidak tahu menulis,” ujarnya.

“Virus-virus” inilah, yang membuat guru-guru kita, meskipun dinilai sebagai tenaga profesional dan orang-orang terpilih untuk membangun bangsa namun tidak banyak dihargai (Suyanto, 2012).

Menggugah Minat Baca Guru

Hakikat seorang guru adalah belajar. Jika dahulu kala, Rene Descartes mengatakan, saya berpikir maka saya ada, maka seorang guru mesti mengatakan pada dirinya, saya belajar maka saya ada. Karena itu apabila guru sudah berhenti belajar, maka sebenarnya ia sudah tidak ada (mati).

Ada berbagai faktor yang menyebabkan seorang guru berhenti belajar. Dalam bukunya ”Pendidik Karakter di Zaman Keblinger” (Koesoema, 2009) membeberkan enam faktor yang menghambat seorang guru untuk belajar. Pertama, jebakan rutinitas yang menuntut guru bekerja dalam keteraturan dan ritme yang jelas. Guru mesti mengikuti jadwal sekolah yang telah tersusun rapi seperti jadwal harian, kalender semester dan tahunan, ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester, pertemuan dengan siswa, orang tua, rapat dewan guru dan berbagai aktivitas rutin lainnya. Dinamika seperti ini berlangsung setiap tahun selama kurun waktu layanan sebagai guru. Sarason (Usman, 2024) mengatakan bahwa rutinitas dan kejenuhan membuat guru jarang menemukan a sense of personal growth (pertumbuhan diri sebagai pribadi) dan terjebak dalam kemandekan sense of intellectual growth (pertumbuhan intelektual). Kedua, kelelahan fisik yang terjadi akibat tuntutan minimal beban yang mengharuskan guru mengajar 24 jam per minggu. Belum lagi guru harus membawa pekerjaannya ke rumah demi memenuhi standar pelayanan yang baik sebab di sekolah guru sudah tidak memiliki waktu tambahan untuk mengoreksi pekerjaan siswa. Dinamika seperti ini menguras tenaga guru dan membuat mereka tidak dapat lagi bergerak lincah dan kreatif. Kesehatan fisiknya menurun pelan-pelan sehingga layanannya juga bergerak menuju titik nadir. Ketiga, tugas yang menggunung selain mengajar. Selain tugas utama yang terkait dengan kegiatan mengajar seperti hadir dalam berbagai rapat kenaikan kelas, kelulusan, pertemuan perwalian, komunikasi dengan orang tua siswa, membuat soal-soal ulangan, mengoreksi hasil kerja dan portofolio siswa, mempersiapkan materi ajar, guru masih memiliki tanggung jawab lain di luar jam mengajar seperti mendampingi kegiatan ekstra kurikuler, moderator OSIS, pendamping kelompok penelitian remaja, kesenian, olahraga, musik, seni, teater, pencinta alam, majalah dinding, panitia penerimaan siswa baru, dan banyak kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Tuntutan kerja sedemikian jelas mengurangi waktu guru untuk belajar dan mengembangkan diri.

Keempat, selalu memberi tanpa menerima. Memberi tanpa pamrih adalah hakikat guru. Saranson (Usman, 2024) memandang bahwa sikap mulia guru yang hanya memberi ini akan menguras tenaga dan energi guru secara perlahan. Kegiatan pemberian diri ini menuntut tenaga, energi, waktu dan konsentrasi pemikiran yang tidak sedikit dan serentak mengurangi kesempatan untuk membekali diri dengan aktivitas-aktivitas belajar yang memperkaya pengetahuan dan keterampilan. Kelima, tiada sosok manusia. Tugas sebagai guru yang menuntut terlalu banyak akan menghambat guru bertumbuh menjadi seorang manusia yang dewasa. Menurut Waller (Koesoema, 2009), hambatan pertumbuhan guru ini terjadi karena hakikat pekerjaan guru itu sendiri berpotensi melanggengkan pemikiran infantilisme dalam diri mereka. Kontak intensif dengan anak-anak yang merupakan tuntutan profesinya membuat guru harus beradaptasi dan cenderung berpikir sebagai anak-anak agar dapat memahami anak-anaknya dengan lebih baik. Ia mesti menghayati dan memahami anak-anak dengan lebih baik. Guru adalah manusia dewasa yang terikat dengan dunia anak-anak karena pola pikir, nilai-nilai dan perilaku anak-anak adalah bagian dari kesehariannya.

Keenam, burn-out. Rutinitas yang membelenggu kreativitas, tumpukan kerja yang menggunung, ancaman kesehatan fisik dan psikologis, kekuatiran proses penuaan serta karier yang macet bisa membuat guru paceklik semangat sehingga lelah dan letih secara fisik dan psikologis (burn out). Kondisi sedemikian terjadi karena guru dipaksa untuk memberikan diri secara berlebihan di satu pihak sementara reward sebagai imbalan atas kinerjanya tidak setara. Akibatnya muncul perubahan yang lebih bersifat negatif. Guru kehilangan konsentrasi, mengajar asal-asalan dan bersikap sangat mekanistik. Guru juga bisa terjebak dalam pola pikir negatif, curiga, anti pembaruan, mudah marah dan cenderung mengambinghitamkan sistem dan orang dalam berbagai persoalan yang terjadi. Otomatis kondisi sedemikian tidak ideal untuk belajar.

Berarti, seorang guru harus senantiasa belajar. Guru yang berhenti belajar sebenarnya tidak layak lagi menjadi guru. Bila seorang guru berhenti belajar, maka sejak saat itu pula ia memutuskan hubungannya dengan seluruh proses pendidikan. Jadi, guru sebagai pemimpin harus senantiasa belajar menimba pengetahuan-pengetahuan baru, terutama untuk memperkaya kepribadiannya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baru. Ilmu pengetahuan itu senantiasa berkembang dan sekali berhenti belajar, maka akan ketinggalan dalam begitu banyak hal.

Tidak sedikit guru yang tidak menyadari bahwa ia juga memiliki peran sebagai pelajar, sebagai seorang murid. Ketidaksadaran ini disebabkan karena selama ini ia lebih bertindak sebagai orang yang berwibawa, yang “serba tahu”, yang memiliki pengetahuan lebih daripada murid-muridnya. Pemikiran seperti ini seringkali menyebabkan seorang guru tidak bersedia dikategorikan sebagai seorang pelajar. Padahal tidak dapat disangkal bahwa setiap kali membuat persiapan pelajaran, mau tidak mau dia juga harus belajar.

Guru yang menyadari bahwa dirinya juga seorang pelajar akan sangat mendorong anak didiknya untuk lebih giat lagi belajar. Sikap guru yang tetap selalu giat mencari dan menambah pengetahuannya akan mudah dirasakan dan ditiru oleh anak didik. Usaha guru untuk mencari pengetahuan terus-menerus akan meyakinkan anak didiknya bahwa ketidaktahuan bisa digunakan sebagai alasan untuk berkembang daripada menjadi suatu halangan.

Sidi (Mustafa (2005) mengemukakan berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%).  

Cara yang kita bisa tempuh dalam peningkatan mutu literasi guru dalam menghadapi tantangan zaman now atau abad 21 adalah: (1) kesadaran diri dalam belajar untuk guru yang mau maju dan berkembang. Belajar mencakup kemampuan dalam membaca dan menulis. Dengan kemampuan membaca dan menulis, maka terjalin cakupan-cakupan bidang studi yang lain seperti kemampuan literasi sains, matematika, ekonomi, sosial, lingkungan dan moral literasi. (2) Dengan memfasilitasi para guru dengan mengikuti beberapa seminar/workshop di daerah masing-masing. Seminar yang mencakup literasi membuat para guru semakin paham mengenai arti literasi dan bentuk pengaplikasiannya terhadap peserta didik di dalam sekolah dasar. Jadi peningkatan gerakan literasi itu tentunya diterapkan dan dilakukan oleh gurunya sendiri kemudian barulah diaplikasikan oleh peserta didik dengan berbagai strategi dan pendekatan dalam peningkatan gerakan literasi di dalam sekolah. Jangan sampai kita mau melaksanakan gerakan literasi sedangkan gurunya sendiri tidak tahu mengenai hal ini.

Gerakan literasi yang dilakukan oleh guru dapat berupa literasi membaca. Mengapa membaca? Karena dengan literasi membaca merupakan pokok utama atau inti utama dalam memahami dan mengaitkan seluruh aspek mata pelajaran yang lain dan menambah ilmu dan wawasan dalam perpektif pengetahuan. Dengan membaca kita sudah mampu mengelola misalnya pembelajaran matematika tentu adanya pola membaca yag baik dalam memecahkan suatu masalah di dalam soal matematika, pembelajaran sains diperlukan tatanan membaca yang baik untuk mengetahui keadaan/gejala alam di bumi. Begitu besar peranan membaca dalam mendapatkan berbagai ragam pengetahuan apa yang kita baca dalam buku tersebut.

Indikator Rendahnya Minat Baca Guru

Hasil penelitian rendahnya minat baca guru berikut ini sesungguhnya telah kadaluarsa. Tetapi minimal sebagai pelajaran dan bukti ilmiah, bahwa minat belajar atau baca guru tergolong rendah.

Berdasarkan beberapa kajian literatur dan artikel yang diakses dari internet, ada beberapa indikator yang dapat diidentifikan sebagai faktor yang mempengaruhi minat baca masyarakat Indonesia (Hari Karyono, 2012) termasuk guru (penulis) sebagai berikut.

Pertama, dari berbagai sumber informasi yang dapat dipercaya, menunjukkan ada indikasi bahwa minat baca  masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2006 yang menunjukkan bahwa masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih banyak tertarik dan memilih untuk menonton TV (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) (www.bps.go.id, diakses tanggal 24 Desember 2007).

Kedua, fakta tersebut di atas juga didukung oleh berbagai penelitian tentang yang telah dilakukan di Indonesia. Internasional Education Achiecment (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada pada urutan 38 dari 39 negara peserta studi. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempatkan urutan ke-38 dari 39 negara. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak sekolah dasar.

Ketiga, di samping itu, menurut Third International Mathematis and Science Study (TIMMS), kemampuan matematika para siswa SLTP kita berada pada urutan 34 dari 38 negara dan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 negara. Dalam laporannya, Human Development Report 2003, UNDP menempatkan Indoensia pada peringkat 112 dari 175 negara dalam hal pencapaian Human development Indeks (HDI) atau sumber daya manusia. Berdasarkan Education for All Global Monitoring Report tahun 2005, Indonesia merupakan negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia, yakni sekitar 18,4 juta orang buta hurup di Indonesia (Kompas, 20/6/2006). Terkait dengan masalah membaca, fakta yang lain adalah laporan tingkat keterbacaan halaman buku di Indonesia yang tidak mencapai satu halaman perhari perorang. Jumlah judul buku yang terbitpun tidak mencapai angka yang diharapkan jika dibanding dengan negara-negara lain.

Keempat, hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to Recovery“ tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita  hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang memperoleh nilai 75.5.

Kelima, rendahnya kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and Science Study (TIMSS)  dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan  nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasional 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika  yang memperoleh nilai 508  di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya.

Keenam, United Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index – HDI) bangsa itu. Berdasarkan laporan dalam Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan oleh United Nations Development Programme (UNDP), yang menempatkan Indonesia berada pada urutan ke-110 dari 177 negara-negara di dunia (Human Development Report 2005). Sedangkan Vietnam menempati urutan ke 109, padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar. Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.

Ketujuh, indikator lainnya tentang masih rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, ditunjukkan dengan konsumsi satu surat kabar untuk 45 orang (1:45). Apalagi di Jawa Barat, jumlah masyarakat yang buta huruf mencapai 1,8 juta orang dan Provinsi Banten 1,4 juta dari 8 juta warganya. Ratio antara konsumsi satu surat kabar dengan jumlah pembaca, di Indonesia sudah tertinggal jauh dengan negara-negara lain, bahkan negara tetangga seperti Srilangka sudah 1:38 dan Filipina 1:30. Idealnya satu surat kabar dibaca oleh 10 orang atau dengan ratio  1:10.

Kedelapan, ditinjau dari sisi yang lain, jam bermain anak-anak Indonesia masih tinggi, yakni lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton acara TV. Di AS, jumlah jam bermain anak-anak antara 3-4 jam per hari. Bahkan di Korea dan Vietnam, jam bermain anak-anak sehari hanya satu jam. Selebihnya anak-anak menghabiskan waktu untuk belajar atau membaca buku, sehingga tidak heran budaya baca sudah demikian tinggi (Pikiran Rakyat, 8-3-2004). 

Kesembilan, hasil studi TIMSS-R-1999 menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia memang kurang menggembirakan dibandingkan dengan negara-negara lain. Dalam bidang matematika, misalnya Indonesia memang kurang menggembirakan dibandingkan dengan negara-negara lain. Dalam bidang matematika, misalnya Indonesia berada pada urutan ke-34 dari 38 negara peserta. Dalam bidang IPA, Indonesia menempati posisi ke-32 dari 38 negara peserta. Lima urutan teratas diduduki oleh Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Belgia. Empat Negara yang di bawah Indonesia adalah Cile, Filipina, Maroko, dan Afrika Selatan. 

Kesepuluh, melihat beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development Programme (UNDP), maka dapat diambil kesimpulan (hipotesis) bahwa “kekurangmampuan anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta  tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Oleh sebab itu membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut Tilaar (1999), maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “political will pemerintah dan masyarakat. Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun

Tiada Hari Tanpa Membaca

            Menarik hasil temuan Jeanne Chall dan Emily Marston, kaitan: mengapa orang membaca? Dalam tulisannya “The Reluctant Reader: Suggestion From Research and Practice” (Aprilia Purba, Kompas, 4/1/1997), menjabarkan hasil penelitian tentang tiga determinan kuat yang membuat orang membaca. Ketiga determinan tersebut saling terkait. Determinan pertama adalah ketersediaan buku (accessibility of materials)… Determinan kedua adalah kemampuan membaca… Determinan ketiga adalah minat baca.

Guru adalah manusia yang tidak akan berhenti belajar–membaca. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar–membaca sebab mereka sadar bahwa profesi guru tidak boleh berhenti belajar (Chatib, 2011). Keilmuan guru akan terus di up to date sesuai perkembangan zaman. Guru akan memperbaiki pola mengajar seperti metode, model dan strategi pembelajaran sehingga proses belajar lebih bermakna bagi kehidupan peserta didik. Guru tidak akan berhenti mencari sumber belajar yang tepat dan mampu mengembangkan keilmuannya. Belajar dari guru lain juga bisa dilakukan terutama belajar tentang pola mengajar yang menarik, kreatif, efektif, inovatif dan berkarakter.

            Mengakhiri tulisan ini, penulis mengajukan beberapa untaian saran dan harapan, dalam mewujudkan ‘obsesi’ (!?) masyarakat (guru !) gemar membaca.

            Pertama, intensifkan bursa dan pameran buku, termasuk kalau bisa, model pemilihan putri dan pangeran buku. Demikian halnya, lomba bedah buku, dan semacamnya.

            Kedua, ciptakan keluarga sadar membaca, termasuk di sini adalah pengadaan Taman Bacaan Keluarga. Bukankah, keluarga merupakan wahana pendidikan yang pertama dan utama?

            Ketiga, intensifkan program buku murah, sehingga dapat dijangkau oleh berbagai golongan dan termasuk stratifikasi masyarakat yang paling rendah sekalipun.

            Keempat, intensifkan kegiatan penerjemahan buku. Bukankah, model seperti ini yang pernah ditempuh Jepang? Nah, bagaimana kondisi SDM Jepang sekarang? Brilliant, bukan?

            Kelima, antisipasi kian tren pembajakan buku.

            Keenam, intensifkan lomba menulis. Bukankah seorang penulis, sebelum menulis mesti diawali dengan membedah dan membaca buku?

            Kulminasi dari upaya pemacuan masyarakat gemar membaca merupakan upaya peningkatan “human investment” atau lahirnya sumber daya manusia (SDM) Plus—berkualitas yang dapat mengantisipasi berbagai peluang dan tantangan millenium ketiga. Buku merupakan medium menuju masyarakat gemar membaca. Mari kita bersemboyan “Tiada Hari Tanpa membaca.”

Absennya budaya membaca dan menulis di kalangan kaum pendidik (guru dan juga dosen) telah membuat mereka demam dengan budaya rekayasa, dan budaya yang hanya gemar mengejar manfaat sesaat. Sejak kebijakan sertifikasi diluncurkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memotivasi peningkatan kualitas pendidikan. Namun kaum pendidik (guru dan juga dosen) termotivasi hanya untuk mengejar selembar tiket yang bernama ijazah dari perguruan tinggi. Usaha yang mereka lakukan, tentu saja bagi semua orang, adalah dengan cara ”mencontek atau mencari joki” agar bisa lulus ujian semester dan kemudian menyusun strategi baru untuk membeli atau memesan proposal, makalah, skripsi atau tesis setelah itu.

Pendorong bagi bangkitnya minat baca ialah kemampuan membaca, dan pendorong bagi berseminya budaya baca adalah kebiasaan membaca, sedangkan kebiasaan membaca terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai, baik jenis, jumlah, maupun mutunya. Inilah formula secara ringkas untuk pengembangan minat baca dan budaya baca.

Guru yang rajin membaca, otaknya ibarat mesin pencari google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar.

Beberapa tips sederhana bagi guru agar bisa lebih giat dalam membaca : mulai membaca buku favorit; membiasakan diri menulis atau mencatat; rajin mengikuti seminar dan lomba menulis; luangkan waktu 30 menit sehari untuk membaca; dan akrabkan diri dengan perpustakaan.

Semoga !!!

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|