61 Tahun Sultra: Antara Harapan dan Kenyataan

1 week ago 18

Oleh: Nasir Andi Baso (Pengamat Kebijakan Publik, mantan Kepala Bappeda Sultra)

SULTRAKINI.COM: Perayaan 61 tahun Provinsi Sulawesi Tenggara telah usai. Namun yang tersisa bukan hanya euforia seremonial, melainkan juga rentetan harapan yang membentang panjang di antara bayang-bayang impian dan kenyataan. Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, Andi Sumangerukka (ASR) dan Hugua (HUG), kini resmi memimpin kapal besar Sulawesi Tenggara dengan visi dan misi besar yang telah mereka canangkan. Sebagai masyarakat Sultra, adalah hal wajar bila kita menanti terobosan-terobosan nyata, bukan sekadar janji yang terdengar spektakuler.

Untuk mewujudkan visi tersebut, kepala daerah memerlukan mesin birokrasi yang gesit, tangguh, dan profesional. Sayangnya, birokrasi kita masih kerap terjebak dalam stigma klasik: lamban, kaku, dan enggan berubah. Semua kembali pada kualitas kepemimpinan dalam menggerakkan sistem. Sebaik apa pun perencanaan, tanpa eksekusi yang efektif, hanya akan menjadi slogan kosong.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa aparatur sipil negara (ASN) kerap berada dalam dilema setiap kali Pilkada berlangsung. ASN yang seharusnya netral dan profesional justru seringkali bertransformasi menjadi aktor “hibrida”, memainkan peran ganda sebagai pelayan publik sekaligus pemain politik terselubung. Tahun politik menjadikan posisi ASN sangat rentan terhadap spekulasi. Jika calon yang didukung menang, ada harapan akan promosi jabatan sebagai bentuk “balas jasa”; sebaliknya, jika kalah, bayang-bayang nonjob hingga pensiun dini menjadi ancaman. Bahkan memilih untuk netral pun bisa menimbulkan fitnah. Inilah potret dilematis birokrasi kita hari ini.

Salah satu isu krusial yang mendesak untuk segera dibenahi adalah struktur birokrasi, terutama terkait banyaknya pejabat pelaksana tugas (Plt) kepala OPD yang menjabat terlalu lama. Secara psikologis, posisi Plt cenderung bermain aman dan enggan mengambil kebijakan strategis, yang pada akhirnya melemahkan kinerja birokrasi. Ditambah lagi dengan kebijakan efisiensi anggaran daerah yang terlalu ketat, membuat daya serap anggaran menurun, memperlambat perputaran uang, dan berdampak langsung pada perekonomian masyarakat.

Perencanaan pembangunan pun kerap berbenturan dengan dinamika waktu dan tekanan politik, khususnya ketika kontrak politik dibingkai dalam dokumen RPJMD. Situasi ini membutuhkan sinergi yang harmonis, seperti orkestra pemerintahan yang seluruh komponennya saling melengkapi.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah terbatasnya ruang fiskal dalam APBD serta adanya beban utang daerah, sementara sebagian kewenangan strategis telah ditarik kembali ke pusat. Otonomi daerah nyaris menjadi simbol semata. Padahal, Sulawesi Tenggara sering dielu-elukan sebagai “gadis cantik” yang kaya sumber daya alam, namun miskin dalam hal pengelolaan.

Kondisi ini melahirkan sebuah paradoks: pertumbuhan ekonomi Sultra tercatat sebesar 5,4 persen, namun angka kemiskinan masih bertahan di angka 11,24 persen. Infrastruktur jalan provinsi mengalami kerusakan parah dan membutuhkan pembiayaan besar. Di sisi lain, eksploitasi nikel dan emas yang diklaim sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi justru membawa dampak ekologis serius: banjir, bencana alam, dan kerusakan sistemik. Lemahnya tata ruang membuat daerah ini tidak mampu menahan laju perubahan lahan dan degradasi lingkungan. Lagi-lagi, semuanya dikorbankan atas nama pertumbuhan yang tidak berpihak pada kemakmuran masyarakat lokal.

Upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga menuntut kecermatan di lapangan, bukan sekadar teori di atas kertas. Ketergantungan pada Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat pun tidak dapat diandalkan tanpa adanya komitmen politik yang kuat. Maka untuk proyek besar seperti Jembatan Buton-Muna, dibutuhkan strategi yang tidak biasa—pendekatan “out of the box”, bukan sekadar perencanaan yang rutin dan stagnan.

Optimisme dan pesimisme adalah dua sisi dari mata uang pemerintahan. Namun, apabila kita terus terjebak pada fatamorgana data spekulatif, hal itu bisa menjadi jebakan yang menyesatkan. Seperti kata John F. Kennedy, “Jangan tanya apa yang bisa negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negaramu.” Kutipan ini tetap relevan hingga hari ini, terutama bagi kita yang ingin melihat Sultra benar-benar tumbuh dan maju.***

Read Entire Article
Finance | Berita| Koran| Selebritis|