Oleh: Dr. Sumadi Dilla, S.Sos., M.Si (Dosen pada Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Halu Oleo)
Akhir-akhir ini, peristiwa percobaan dan kasus bunuh diri yang terjadi di ruang publik semakin sering viral di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Kota Kendari. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas, 2025) Polri mencatat bahwa dari Januari hingga Oktober 2024, terdapat 1.023 kasus bunuh diri. Sementara itu, menurut Databoks (2025), sebanyak 600 kasus tercatat hingga akhir Mei 2025. Data ini mengindikasikan tren peningkatan kasus bunuh diri secara signifikan.
Tak heran, konten di media massa maupun media sosial kerap memperlihatkan aksi-aksi menyakiti diri sendiri—kisah-kisah pilu yang mengiris hati dan menggugah nurani kemanusiaan.
Berbagai pihak menanggapi fenomena ini sebagai tragedi moral kemanusiaan yang dilakukan secara sadar dan sepihak di ruang terbuka. Sulit dipahami dan sangat menyedihkan: mengapa ada orang yang memilih jalan pintas yang begitu mengerikan? Ada apa sebenarnya dengan masyarakat kita saat ini? Mengapa ada yang begitu nekat mengakhiri hidup secara tragis?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab secara serius: Apakah ada yang salah dalam pola asuh di keluarga? Apakah nilai-nilai sosial dan etika dalam masyarakat tidak lagi berfungsi normal? Ini semua menuntut solusi konkret terhadap meningkatnya aksi bunuh diri.
Menurut laporan WHO dalam peringatan Hari Kesehatan Dunia 2021, bunuh diri atau perilaku menyakiti diri sendiri menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian global, terutama akibat gangguan mental akut. Gangguan ini kerap dipicu oleh stres berkepanjangan, baik secara verbal maupun fisik, dalam interaksi sosial yang berujung pada depresi. WHO juga mencatat bahwa kelompok usia 15–29 tahun adalah yang paling rentan.
Umumnya, mereka mengalami kondisi “diremehkan dan diabaikan” dalam komunikasi sosial, sehingga mencoba melawan stigma tersebut dengan mengeksploitasi diri secara ekstrem. Dalam situasi ini, tindakan impulsif dan destruktif sering terjadi.
Orang yang sedang mengalami tekanan, baik dari dalam diri, lingkungan keluarga, maupun masyarakat, berupaya melampiaskan rasa sakit melalui tanda-tanda verbal dan nonverbal. Ini menjadi bentuk perlawanan terhadap konstruksi sosial: antara “orang berani vs. orang takut” atau “orang sukses vs. tidak sukses”. Akibatnya, mereka bisa bertindak di luar akal sehat. Banyak yang akhirnya lebih takut disebut “gila” daripada benar-benar kehilangan akal sehatnya.
Dengan begitu, di balik fakta aksi bunuh diri di ruang publik, tersimpan narasi, pesan, bahkan “drama” dalam bentuk simbol-simbol komunikasi verbal dan nonverbal yang ditinggalkan.
Beberapa contoh kasus seperti: pegawai bank yang melompat dari gedung di Jakarta, seorang pria yang melompat dari jembatan di Palangkaraya, serta tiga orang generasi Z (mahasiswa dan karyawan) yang melompat dari Jembatan Teluk Kendari pada Mei–Juni 2025, menunjukkan ritualisasi perilaku masyarakat urban melalui konstruksi tanda dan simbol.
Fenomena ini, dalam kajian sosiologi komunikasi, disebut sebagai anomie, keadaan ketika seseorang merasa terasing dan kehilangan pegangan dalam kehidupan sosialnya. Dalam kondisi seperti itu, ruang publik menjadi panggung untuk menampilkan simbol dan pesan terakhir. Semakin kuat seseorang bermain dengan simbol, semakin dalam makna yang ditampilkan di hadapan publik.
Sosiolog seperti Erving Goffman (1959) dan Clifford Geertz telah membahas hal ini dalam kerangka interaksi simbolik. Bagi Goffman, kehidupan sosial adalah “panggung pertunjukan”, dan individu bertindak sebagai aktor yang menyusun kesan. Dalam konteks ini, peristiwa bunuh diri menjadi bagian dari pertunjukan simbolik otoritatif—meskipun dangkal—yang tak mempertimbangkan hakikat kekuasaan hidup yang mutlak dimiliki Tuhan. Pemilihan tempat (jembatan, gedung tinggi) menjadi “stage” untuk menciptakan kesan dramatik. Pesan terakhir, baik melalui catatan atau chat, menjadi bagian dari “puzzle” pertunjukan yang ingin ditinggalkan.
Geertz menyebut ini sebagai model abstrak dari dominasi simbol dan identitas diri: “kekuasaan melayani kemegahan, bukan kemahiran kekuatan” sebuah bentuk “seni bertahan hidup” yang tragis.
Solusi yang Diperlukan
Sudah saatnya sekolah dan kampus di kota-kota besar mengarusutamakan pendidikan emotional healing (penyembuhan emosional) dalam kurikulum konseling. Pendidikan ini mencakup proses mengakui, menerima, dan memproses emosi yang menyakitkan serta pengalaman hidup yang traumatis. Ini adalah langkah untuk berdamai dengan masa lalu, mengatasi stres emosional, dan menemukan cara solutif untuk melanjutkan hidup.
Metode ini telah diterapkan di berbagai negara maju yang menghadapi tingginya tingkat penghakiman diri. Salah satu pelopornya adalah Yale University. Jika kreatif, program studi komunikasi pun bisa menyisipkan materi emotional healing ke dalam mata kuliah Psikologi Komunikasi.
Mari kita jadikan fenomena ini sebagai pelajaran berharga, khususnya bagi generasi milenial dan Gen-Z, untuk lebih cerdas dalam mengelola masalah hidup. Hidup harus terus berjalan. Allah adalah pemilik kehidupan. Jangan memaksakan akhir yang tidak wajar.
Semoga para korban mendapatkan husnul khatimah. Aamiin.
Referensi:
- Geertz, Clifford (1980). Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton University Press.
- Geertz, C. (2025). After The Fact.
- Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life.
- Databoks, 2025.
- Jurnal WHO, 2021. Memperingati Hari Kesehatan Dunia.
- Pusiknas Polri, 2025