Oleh : Ahmad Usman
Dosen Universitas Mbojo Bima (Alumni UNM dan UNHAS Makassar)
INIPASTI.COM, Rene Descartes (1596-1650), Filsuf Prancis terkenal dengan ungkapan “cogito ergo sum” (“aku berfikir maka aku ada”). Artikel ini penulis mengadaptasi ungkapan Rene Descartes menjadi “cribo ergo sum” (“aku menulis, maka aku ada”).
Melalui ungkapan yang bermakna “I think, therefore I exist” atau “I think, therefore I am” (Aku berpikir, maka aku ada) tersebut, kelihatannya Descartes ingin menekankan pentingnya aktivitas berpikir, karena kesadaran, pemahaman, dan pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui aktivitas berpikir. Bagi Descartes, hanya orang yang berpikir yang bisa menyadari bahwa dia ada (eksis). Sebaliknya, orang yang tidak berpikir tidak pernah sadar bahwa dia eksis.
“Saya merasa, karena itu saya ada!” (Andre Gide (1869-1951). Tak mau kalah, sebagai pamungkas, Albert Camus (1913-1960), setelah batuk-batuk sebentar, berkata “saya memberontak, karena itu saya ada”. Intinya, manusia harus terus mencari eksistensialitasnya guna menjadi (becoming), termasuk menjadi penulis.
Albert Camus, filosof dan sastrawan kelahiran Aljazair berkebangsaan Prancis namun lebih senang disebut esais, pernah mengalami paradoks kemiskinan, yang ia yakini sebagai ‘kekayaan’ yang tak tergantikan (Azizi, 2022).
Menulis, pinjam Albert Camus, boleh dimaknai sebagai aktivitas “pemberontakan.” Walaupun pemberontakan bagi Camus adalah cara untuk melepaskan diri dari jeratan absurditas yang dialaminya. “I rebel; therefore I exist” (Albert Camus, The Rebel, 1956). Artinya, aku memberontak, maka aku ada. Boleh jadi pemikiran Camus dipengaruhi eksistensialisme Rene Descartes, “aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum).
Sebab itu, Camus menafsir perilaku pemberontakan sebagai cara untuk menemukan eksistensi diri, agar kenyataan tidak lagi berjarak dengan pikiran. Pemberontakan menjadi suatu penjungkirbalikan yang utuh (Albert Camus, The Rebel, 1956).
Ilmuwan Perancis Georges Cuvier dulu mencoba meyakinkan khalayak bahwa orang Afrika-Amerika tidak secerdas orang Kaukasian dikarenakan bentuk dan ukuran tengkorak mereka. Muridnya, Friedrich Tiedemann, mempertanyakan teori ini dan menunjukkan bahwa tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung “kebenaran” yang umum dipercayai ini. Sebagian besar orang di abad ke-16 percaya kalau bumi itu datar. Pythagoras, orang yang membuktikan sebaliknya, kini dipuja dalam sains dan matematika.
KH. Zainal Arifin Thoha menulis bukunya “Aku Menulis Maka Aku Ada.” Dalam artikelnya “Aku Menulis, Maka Aku Ada” (Sudjarwo, 2021), seolah menyindir. Tidaklah salah jika semboyan atau motto “Aku Menulis, Maka Aku Ada” merupakan jiwa korsanya ilmuwan. Karena dengan tulisanlah mereka meninggalkan jejak jaman pada masanya, dan ini akan dibaca sepanjang masa oleh penerus generasi manusia. Maka anehlah jika yang menyatakan diri sebagai ilmuwan tidak pernah menulis pemikirannya, karena jika menulis itu tidak dia lakukan, berarti dia menafikan dirinya sendiri. Namun, kenyataannya banyak ilmuwan yang tersesat dalam menulis, sehingga hasil tulisan sebagai rekam jejak pikir, tidak menggambarkan sepenuhnya apa yang dipikirkan. Oleh karena itu, hasil buah pikirnya yang mungkin sangat cemerlang, hanya dapat dinikmatinya sendiri, kemudian dibawa mati. Ilmuwan serupa ini adalah ilmuwan yang ‘kurang piknik akademik’.
Stephen Hawking (2010) dalam bukunya ”The Grand Design” mengatakan bahwa ”Tiada konsep realitas yang independen dari gambaran atau teori yang ada dalam pikiran atau persepsi kita.” Pendapat senada disampaikan John Kehoe (2012) dalam bukunya ‘Mind Power’ bahwa pikiran menciptakan realitas.
Cribo ergo sum (“aku menulis, maka aku ada”), demikian pula sebaliknya lectum ergo sum, saya membaca maka saya ada. Maka pepatah bahasa Inggris yang berbunyi you are what you eat, dapat kita ubah jadi you are what you write/read.
Menarik penggalan puisi “Pada Suatu Hari Nanti”-nya Sapardi Djoko Damono. “pada suatu hari nanti / jasadku tak akan ada lagi / tapi dalam bait-bait sajak ini / kau tak kan kurelakan sendiri(“Pada Suatu Hari Nanti”, Sapardi Djoko Damono).
Dalam genre yang berbeda, Pramoedya Ananta Toer juga menyatakan hal serupa. Menurut Pram, menulis adalah kerja untuk keabadian. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Itulah sebabnya Pram menaruh respek khusus pada Kartini. Bahkan, suatu ketika Pram menulis begini untuk Kartini, “Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu tak ‘kan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Manfaat Menulis
Dalam era ini, profesi menjadi seorang penulis menjadi impian bagi banyak orang, dan bukan tanpa alasan. Menulis memiliki sejumlah manfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain. Selain itu, menulis juga membantu membangun pola pikir kritis dan sikap tegas dalam menyikapi informasi (An’ars et al., 2022).
Menurut Suyono (2014), menulis merupakan proses berpikir yang paling sempurna. Mengapa demikian? Sebab, melalui menulis, seseorang akan menyajikan informasi serta pemahamannya tentang sesuatu dengan selengkap-lengkapnya. Semua yang dibagikan itu pun tentu telah melewati proses ‘dipikirkan’ secara matang hingga diolah sebaik-baiknya. Karena itu, menulis membutuhkan waktu lebih lama ketimbang berbicara secara spontan.
Dengan perkembangan teknologi yang pesat, peluang untuk menjadi seorang penulis semakin terbuka lebar. Aktivitas menulis dapat dimulai melalui berbagai platform, blog, atau media sosial yang tersedia. Penerbit dan perusahaan penerbitan juga mulai mengubah pendekatan mereka dengan lebih aktif mencari penulis melalui platform media sosial. Banyak penulis sukses yang lahir dari platform-platform ini, dan karya mereka tidak hanya dibukukan tetapi juga diadaptasi menjadi format audio visual seperti film atau serial.
Ada beberapa manfaat dari menulis (Fitriani, 2023). Pertama, menginspirasi orang lain. Menjadi seorang penulis memberikan kesempatan untuk memberikan motivasi dan inspirasi kepada orang lain. Dengan tekad dan keyakinan, seorang penulis dapat menjadi pendorong perubahan positif dalam kehidupan orang lain atau bahkan dirinya sendiri. Berbagi pengalaman dan pemikiran melalui tulisan dapat menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang (Annisa, 2023). Kedua, sarana berdakwah.Bagi sebagian orang, menulis bukan hanya hobi atau mata pencaharian, tetapi juga sarana untuk berdakwah dan menyebarkan kebaikan. Niat tulus menjadi kunci utama dalam menjadikan menulis sebagai ibadah. Tulisan dapat menjadi medium dakwah yang efektif, membawa pesan positif tanpa harus berada di atas mimbar. Menulis memungkinkan penulis untuk memasukkan nilai-nilai dakwah ke dalam tulisan mereka secara terselubung, menciptakan dampak positif tanpa harus melakukan perjalanan fisik.
Ketiga, sumber pahala. Menulis dapat dianggap sebagai bentuk amal yang sering terabaikan sebagai sumber pahala. Setiap tulisan memiliki potensi besar untuk menyebarkan ilmu, menginspirasi, dan memberikan manfaat bagi pembaca. Dengan menulis dengan niat tulus untuk berbagi ilmu dan memberikan manfaat, setiap tulisan dapat menjadi amal yang terus mengalir pahalanya, terutama jika bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Keempat, memperluas pertemanan. Menulis tidak hanya aktifitas kreatif, tetapi juga cara efektif untuk memperluas pertemanan. Saat penulis menuangkan pemikiran, pengalaman, dan ide dalam tulisan, mereka memberikan peluang kepada orang lain untuk memahami lebih dalam tentang diri mereka. Tulisan menjadi jendela yang membuka kesempatan untuk menjalin hubungan dengan orang-orang baru, terutama di era digital yang terkoneksi erat. Menulis di berbagai platform, terutama media sosial, dapat menjadi cara efektif untuk bertukar pikiran, mendiskusikan topik yang disukai, dan menemukan komunitas dengan minat yang serupa.
Manfaat lain menulis menurut Diana Afifah (2021) di antaranya: tempat untuk untuk menuangkan ekspresi; tempat untuk meningkatkan kreatifvitas; untuk memperkuat daya ingat; menjadikan hidup lebih produktif; menjadi media belajar yang baik; meningkatkan kemampuan dalam berbahasa dengan baik; menjadi lebih teroganisir; menghibur; media komunikasi yang baik; mempengaruhi untuk mencapai tujuan; dan menghasilkan uang
James W. Pennebaker di Universitas Texas telah melakukan penelitian tentang aktivitas menulis selama bertahun-tahun, dari penelitiannya tersebut Pennebaker menyimpulkan bahwa orang-orang yang diberi kesempatan untuk menulis tentang gejolak emosionalnya, mereka cenderung jarang sakit dan mengalami perubahan fungsi kekebalan tubuh.
Menurut Karen Baikie, seorang psikolog di University of New South Wales, menuliskan kejadian-kejadian traumatik, penuh tekanan, serta penuh emosi bisa memperbaiki kesehatan fisik dan mental seseorang. Dalam studinya Baikie meminta partisipan menuliskan beberapa peristiwa hidup yang penuh tekanan selama 15-20 menit. Dari hasil studi tersebut, Baikie menemukan bahwa orang-orang yang menuliskan peristiwa penuh tekanan dalam hidupnya menunjukkan bahwa kesehatan fisik dan mentalnya meningkat secara signifikan daripada orang-orang yang menulis hal-hal yang netral dan umum (Fahriza, 2019).
Adam Grant dalam huffingtonpost.com (Fahriza, 2019), memaparkan bahwa menulis ekspresif dapat membuat peningkatan mood, kesejahteraan, dan tingkat stres yang berkurang. Laura King juga mengungkapkan hasil dari penelitiannya, bahwa menulis mengenai pencapaian tujuan dan impian masa depan dapat membuat seseorang lebih bahagia dan lebih sehat. Beberapa pakar menganggap bahwa menulis juga merupakan pengucapan syukur pada sang pencipta. Dimana saat seseorang menuliskan sesuatu dengan melibatkan hatinya yang tertuju pada pengharapan akan kasih sayang sang pencipta, hal tersebut memberikan dampak positif. Selain hati yang semakin lembut dan rendah hati, seseorang akan menjadi semakin kuat karena kepercayaannya terhadap sang pencipta.
Manfaat Bagi Siswa dan Aakademisi
Selain mengajak berpikir, ada beragam manfaat dari menulis untuk para siswa menurut Suyono (2014). Pertama, menulis menantang siswa untuk mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru. Sebagai pembelajar, seorang siswa pastinya telah memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Seberapapun kecilnya, pengetahuan itu sudah dapat menjadi modal untuk menulis. Ketika mereka ditantang untuk menulis, maka mereka ditantang untuk menggali lebih banyak tentang pengetahuan yang mereka miliki. Di sinilah terjadi aktivitas mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama. Kedua, menulis menantang siswa menyelidiki dan memahami sesuatu secara mendalam. Kegiatan menyelidiki ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya membaca, melakukan pengamatan, wawancara, penelitian, dan kegiatan lainnya. Ketiga, menulis menantang siswa mendemonstrasikan pemahamannya mengenai suatu hal. Pengalaman mendemonstrasikan ini sekaligus mengondisikan siswa untuk menata gagasan-gagasan dan bukti secara teratur. Keempat, Menulis menantang siswa lebih banyak membaca. Sebab, untuk membuat tulisan yang kaya, dibutuhkan banyak bahan yang diperoleh dari membaca. Selain dapat mengembangkan gagasan dan memiliki informasi yang banyak, dengan membaca pula, siswa akan terdorong untuk berpikir. Kelima, menulis menantang siswa belajar menjelaskan sesuatu secara runtut dan logis agar dapat dipahami pembaca.
Keenam, menulis melatih siswa merinci hal yang sedang dipelajari serta membandingkan gagasan atau data yang akan ditulis. Ketujuh, menulis dapat mendorong siswa menggali bahan-bahan yang relevan melalui berbagai sumber, misalnya hasil penelitian. Kebiasaan menggali dan menemukan bahan yang relevan tersebut, di masa depan akan sangat bermanfaat bagi siswa, misalnya untuk melanjutkan studi, memasuki dunia masyarakat, dan memasuki kehidupan bermasyarakat. Kedelapan, menulis dapat mengondisikan siswa belajar mengemukakan gagasan serta merumuskan simpulan-simpulan. Kesembilan, menulis menuntut siswa belajar mengurutkan sesuatu secara logis dan mengklasifikasi hal-hal yang akan ditulis. Pengalaman ini bila terus dilakukan berulang-ulang, akan membuat siswa lebih cerdas dalam memahami sesuatu. Kesepuluh, menulis mendorong siswa melakukan analisis terhadap hal-hal yang akan ditulis serta aspek-aspek lain yang terkait. Tanpa melalui kegiatan analisis, tulisan tidak akan terwujud karena ide besar yang akan menjadi isi tulisan tidak terjabarkan.
Kesebelas, menulis mengondisikan siswa belajar menemukan masalah, merumuskan masalah, lalu memecahkannya. Keduabelas, menulis melatih siswa menguji gagasannya dan gagasan orang lain. Ketigabelas, menulis melatih siswa melakukan diagnosis terhadap masalah atau hal yang akan ditulis. Tentu saja, topik yang akan ditulis memang tidak akan selalu berisi hal-hal yang baik. Suatu topik, bisa saja mengandung masalah, yakni kesenjangan antara yang senyatanya dan yang seidealnya. Di sinilah siswa harus mampu mendiagnosis kemungkinan adanya masalah tersebut. Keempatbelas, menulis mendorong siswa memproduksi gagasan-gagasan baru secara kreatif. Kelima, menulis melatih siswa menyeleksi bahan atau data atau temuan yang paling relevan untuk dihadirkan.
Keenambelas, menulis melatih siswa mengabstraksikan kenyataan atau data konkret menjadi pernyataan-pernyataan ilmiah. Ketujuhbelas, menulis membiasakan siswa merekonstruksi temuan atau gagasan-gagasannya menjadi pemikiran yang lebih mudah dipahami. Kedelapan, menulis dapat memonitor pemahaman siswa mengani banyak hal serta menjadi modus belajar yang paling komprehensif karena siswa dituntut untuk mampu mengamati, mengumpuikan data, menganalisis, memprediksi kemungkinan, dan berspekulasi. Kesembilan belas, menulis membiasakan siswa menyimpan atau mendokumentasikan gagasannya. Sebab lewat tulisan, gagasan seseorang akan tersimpan ‘abadi’ dan menjadi jejak sejarah bagi penulisnya. Keduapuluh, menulis membiasakan siswa melakukan komunikasi ilmiah dengan pihak lain serta belajar memahami perbedaan pendapat.
Manfaat menulis bagi akademisi (deepublish, Mei 5, 2023). Manfaat menulis juga sangat kompleks untuk kalangan akademisi, baik dosen maupun mahasiswa. Khususnya bagi dosen, dimana dalam Tri Dharma aktivitas menulis menjadi sebuah kewajiban.
Di antara manfaat menulis bagi akademisi (deepublish, Mei 5, 2023). Pertama, mengasah keterampilan dosen. Bagi dosen sendiri, menulis membantu mengasah keterampilan. Apalagi dalam menjalankan tugas-tugas akademik, dosen memiliki kebutuhan untuk terus belajar. Khususnya hal-hal baru, ilmu baru, dan isu-isu baru. Menulis bisa membantu dosen mengetahui hal-hal baru tersebut karena penting untuk mencari referensi kredibel. Selanjutnya dipahami dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan.
Kedua, mendapat manfaat ekonomi. Dosen yang diketahui sebagai ahli di suatu bidang keilmuan memiliki kredibilitas tinggi menyusun karya tulis dan isinya dipercaya oleh publik. Menariknya, semua jenis tulisan dosen bisa memberi manfaat ekonomi baik dalam bentuk royalti dari buku, fee dari artikel opini yang ditayangkan koran, dan lain-lain.
Ketiga, mendorong pengembangan karir akademik. Manfaat personal berikutnya dari menulis yang dilakukan para dosen adalah membantu mengembangkan karir akademik. Pasalnya, publikasi tulisan dalam bentuk buku maupun jurnal memberi tambahan angka kredit. Angka kredit ini menjadi salah satu syarat untuk mengajukan kenaikan jabatan fungsional.
Keempat, mengembangkan perguruan tinggi. Menulis bagi dosen juga memberi manfaat bagi perguruan tinggi, salah satunya bisa berkontribusi mendorong pengembangannya. Sebab menulis dan publikasi ilmiah meningkatkan reputasi PT tempat dosen bernaung. Jumlah dan kualitas publikasi ilmiah baik dalam bentuk jurnal, buku, dan prosiding akan mempengaruhi reputasi. Seperti menjadi unsur penilaian dalam pemeringkatan lembaga, akreditasi dari BAn-PT, dan sebagainya.
Kelima, menyediakan media belajar bagi mahasiswa. Apa yang ditulis oleh dosen dan dipublikasikan adalah fakta dan keahlian dosen tersebut yang bisa dijadikan rujukan. Baik rujukan untuk menyusun KTI, melakukan penelitian, maupun media belajar. Sehingga tulisan dosen bermanfaat bagi mahasiswa untuk mendapatkan media belajar yang kredibel.
Keenam, mengembangkan pendidikan nasional. Manfaat menulis yang dilakukan dosen juga turut dirasakan oleh dunia pendidikan nasional di Indonesia. Pasalnya, apa yang ditulis dosen merupakan ilmu pengetahuan, temuan hasil penelitian, dan sebagainya. Publikasi terhadap tulisan ini kemudian ikut serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau IPTEK. Sehingga pendidikan di Indonesia dikenal publik luas sudah maju dan menghasilkan banyak temuan.
Manfaat Bercorak Nilai
Menurut Mohamad Yunus dan Suparno (2009), 4 manfaat dalam menulis, yaitu: meningkatkan kecerdasan; mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas; menumbuhkan keberanian; dan mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.
Adapun manfaat yang bercorak nilai (Wayan Kerti, 2019), seperti berikut ini. 1) Semakin banyak membaca dan belajar maka tulisan yang dihasilkan semakin berkembang, dan ilmu semakin bertambah. 2) Melatih untuk berpikir logis dan sistematis, baik pada tulisan kategori fiksi maupun nonfiksi. 3) Menuliskan hasil bacaan adalah cara kita untuk menangkap makna. Makna yang kita tangkap dari bacaan akan lebih kuat/terikat maknanya jika kita tuliskan. 4 Sarana chatarsis, yang mana seseorang akan merasa lega hatinya jika dapat menuangkan unek-uneknya ke dalam bentuk tulisan. 5) Sarana dakwah, bahwa tulisan seperti ini terkait dengan tujuan ideologis. Melalui tulisan tentu sangat banyak materi dakwah yang bisa penulisnya sampaikan, juga kepada banyak orang dari berbagai kalangan secara luas. 6) Sarana mengedukasi tentang hal-hal yang bermanfaat. 7) Sarana kepuasan mental, spiritual, dan intelektual yang tidak ternilai dan tidak tergantikan.
Tujuan Menulis
Ada beberapa tujuan dari menulis (Wayan Kerti, 2019), seperti tersaji berikut. Pertama, tujuan ideologis. Diperuntukkan bagi penulis yang berkeyakinan untuk mempengaruhi orang lain. Penulis yang bertujuan ideologis tidak peduli apakah tulisannya dibayar atau tidak, di-like atau tidak. Baginya, yang dipentingkan adalah mampu menyalurkan ideologinya melalui tulisan untuk mempengaruhi orang lain yang membaca tulisannya. Kedua, tujuan akademis. Penulis yang memiliki tujuan seperti ini adalah mereka yang terikat oleh kegiatan dan aturan yang bersifat akademis. Misalnya; dosen, guru, mahasiswa yang menulis di jurnal, membuat bahan ajar, buku, dan sebaginya, berkaitan dengan karier atau kepangkatan. Ketiga, tujuan ekonomis. Yaitu tulisan yang bertujuan untuk mendapatkan nilai ekonomis. Penulis seperti ini menjadikan kegiatan tulis-menulis sebagai sebuah profesi. Keempat, tujuan chatarsis. Yitu kegiatan tulis-menulis yang bertujuan untuk menyalurkan emosi diri penulisnya. Penulis akan merasakan kegembiraan jika kesedihan, kebahagiaan, atau kesenangannya diketahui oleh orang lain melalui tulisannya. Kelima, tujuan politik. Penulis yang memiliki tujuan politis akan menjadikan tulisannya terkait event politik praktis atau sekadar pendidikan politik bagi masyarakat pembacanya. Keenam, tujuan pedagogis. Yaitu bertujuan untuk mendidik, mengedukasi orang lain. Misalnya; tentang gaya hidup, tips kesehatan, dsb. Ketujuh, tujuan medis. Yaitu bahwa kegiatan menulis diyakini mampu menjadikan sebagai terapi untuk kesehatan. Melalui kegiatan menulis, diyakini tidak hanya penyakit psikis tetapi juga berbagai penyakit fisik bisa disembuhkan. Kedelapan, tujuan pragmatis. Yaitu kegiatan tulis-menulis yang dilakukan agar penulis menjadi orang yang terkenal, atau karena tuntutan tugas yang menghendakinya harus menulis.
Aktualisasi Diri
Kembali pada penyataan Rene Descartes “cogito ergo sum” (“saya berpikir, maka saya ada”). Manusia adalah makhluk yang selalu menunjukkan eksistensinya di manapun ia berada. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan tertinggi manusia adalah aktualisasi diri.
Menulis merupakan salah satu sarana untuk menunjukkan aktualisasi seseorang, baik di bidang pendidikan, maupun bidang yang lain. Bagi para pakar pendidikan, dengan menulis mereka dapat menunjukkan hasil-hasil penelitian yang bermanfaat bagi generasi penerusnya dan dapat dirasakan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Beberapa riset tentang pelatihan menulis juga telah banyak dilakukan oleh banyak pakar, mengingat bahwa menulis sangat penting bagi kehidupan manusia (Irfan Fahriza, 2019).
Aktualisasi dalam menulis adalah seseorang harus terus beraktual. Artinya bahwa ia dengan segala kemampuan atas potensi, kapasitas-kapasitas dan bakat yang ada pada diri, untuk berusaha sekuat tenaga dengan segala macam metode dan berbagai macam sudut pandang harus mampu, menjadikan segalanya tersebut sebagai bentuk kegiatan berfikir dan bertindak menjadi sebuah kesadaran. Sehingga kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai level tertinggi manusia dalam keberadaannya. Abraham Maslow memandang aktualisasi diri sebagai kebutuhan paling puncak.
Pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi dalam menuliskan sesuatu baik memori (catatan perjalanan pribadi), atau sebuah gagasan yang berkenaan dengan persoalan-persoalan sosial, politik, budaya, dan lain sebagainya. Menulis merupakan sebuah kegiatan yang aktif. Menulis tidak lain sebagai ungkapan kegelisahan yang nyata, lebih obyektif, tidak mengandung beberapa arti yang dapat merubah makna dan subtansi yang sesungguhnya. Ini mungkin menjadi alasan mengapa harus menulis.
Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization) ini adalah puncak tertinggi pencapaian manusia setelah kebutuhan-kebutuhan di atas telah terpenuhi. Pencapaian aktualisasi diri ini berdampak pada kondisi psikologis yang meninggi juga, seperti perubahan persepsi dan motivasi untuk selalu bertumbung dan berkembang (Feist, 2006).
Berdasarkan kelima hierarki kebutuhan itulah yang kemudian dijadikan sebagai struktur kunci Maslow dalam mendeskripsikan manusia. Konsep yang mendasari digagasnya teori Maslow adalah manusia dimotivasikan oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama, tidak berubah, dan berasal dari sumber genetis atau naluriah.
Pandangan Maslow mengenai aktualisasi diri (self-actualization) merepresentasikan tingkatan tertinggi perkembangan manusia. Konsep self-actualization ini muncul ketika Maslow melihat dua gurunya, Wertheimer dan Benedict yang menurutnya sangat hebat dan istimewa serta disebutnya ”manusia unggul”. Menurut Chaplin, self-actualization dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan seseorang (Chaplin, 2008). Jika dilihat dari rumusan karakteristik manusia yang telah mencapai tingkatan aktuaslisasi diri (self-actualization), dapat dikatakan bahwa pemahaman tersebut terlalu umum.
Menurut Maslow, terdapat beberapa karakteristik manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri (self-actualization), yaitu; pertama, bergerak maju melewati hierarki kebutuhan (hierarchy of needs); kedua, memegang erat nilai-nilai B (B-velues) atau meta-motivation; ketiga, bebas dari merapatologi (metapathology); keempat, memenuhi kebutuhan untuk bertumbuh dan berkembang (Feist, 2006).
Selain keempat karakteristik di atas, Maslow selanjutnya kembali menambahkan karakteristik manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri (self-actualization), yaitu: pertama, penerimaan diri, orang lain, dan lingkungannya: manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri mampu menerima kekurangan diri sendiri, kelemahan orang lain dan pertentangan hidup; kedua, spontanitas: manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri tidak dapat dilarang, tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain, aktif dan terlibat; ketiga, orientasi tugas: manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri memiliki misi, tugas, tujuan atau masalah di luar diri pribadi yang harus diselesaikan; keempat, otonomi: manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri relatif bebas dari ikatan budaya dan tidak bergantung pada orang lain atau pada otoritas luar; kelima, selalu menghargai kehidupan: manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri selalu berupaya untuk terus memperbaharui rasa penghargaannya terhadap anugerah kehidupan; keenam, hubungan interpersonal yang dalam: manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri memiliki ikatan-ikatan yang dalam dan mencintai orang-orang tertentu; ketujuh, pengalaman puncak (mistis atau eseanik): terjadi secara berkala; dan kedelapan, keterikatan dengan kemanusiaan: manusia yang telah mencapai tingkatan aktulisasi diri mengidentifikasi secara dalam dengan kondisi manusia dan orang lain secara umum (Maslow dalam Annajih, dkk., 2023).
Maslow merepresentasikan aktualisasi diri (self-actualization) sebagai tingkatan tertinggi perkembangan manusia. Untuk mencapai self-actualization, manusia harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (hierarchy of needs) sebagaimana yang telah diilustrasikan pada sebuah piramida, diantaranya (1) kebutuhan fisiologis (physiological needs); (2) kebutuhan rasa aman (safety needs); (3) kebutuhan memiliki-kasih sayang (social needs); (4) kebutuhan penghargaan (esteem needs); dan (5) pada puncaknya akan mencapai pada tahap kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization).
Psikologi sufitik memandang self-actualization bukanlah pengalaman puncak yang absolut, karena manusia bukanlah sekedar makhluk fisik yang mekanis. Manusia terdiri dari dimensi jasad (al-Jism), jiwa (al-Nafs), dan ruh (al-Ruh) (Annajih, dkk., 2023).
Ibnu ’Arabi memandang bahwa manusia akan mencapai pengalaman puncak (peak experience) apabila ia telah menanggalkan dirinya untuk menyatu dengan Tuhan (fana’), tanpa mengesampingkan tugasnya sebagai khalifah. Untuk mencapai pengalaman puncak (peak experience), maka manusia harus mengalami empat tingkatan, yaitu; syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Selain itu, al-Ghazali juga membagi tingkat kebutuhan manusia untuk mampu mencapai pengalaman puncak (peak experience) ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan keniscayaan (level of necessity), yaitu kebutuhan primer (daruri) yang bertujuan untuk mencapai lima hal paling mendasar, yaitu pelestarian agama (hifdzuddin), pelestarian jiwa (hifdzunnafs), pelestarian harta (hifdzulmal), peletarian akal (hifdzul aql), dan pelestarian keturunan (hifdzunnasl). Kedua, sekunder (hajiyat), dan Ketiga, tersier (tahsiniyat). Pengalaman puncaknya (peak experience) al-Ghazali lebih menekankan kepada mashlahah al-’amm. Kemaslahatan tersebut dapat dicapai melalui dua cara, yaitu mewujudkan manfaat (pemenuhan kebutuhan manusia) dapat dicapai dengan kebaikan dan kesenangan manusia dan menghindari kerusakan atau mudharat (Annajih, dkk., 2023).
Ada banyak karakteristik yang menunjukkan bahwa seseorang telah mampu melakukan aktualisasi diri. Mengutip dari laman Healthline, sejumlah karakteristik aktualisasi diri, yang umum disepakati para ahli psikologi sebagai berikut (Syafira Aulia Arsani, 2022). Pertama, kemandirian (autonomy). Kehidupan seseorang yang mengaktualisasikan diri tidak lagi bergantung pada lingkungan sosial. Karena itu, pendapat dari orang lain tidak akan berpengaruh. Kepuasan akan apresiasi sudah bisa lahir dari dalam diri sendiri, berkat pemanfaatan potensi secara maksimal. Kedua, kreatifitas (creativity). Kreativitas tidak hanya mengacu pada kemampuan artisktik. Beberapa orang yang bisa melakukan aktualisasi diri memiliki bakat menghadapi masalah dengan cara yang baru atau berpikir dengan sudut pandang yang berbeda dari orang lain. Sifat-sifat yang dikaitkan dengan kreativitas pada orang yang meng-aktualisasi diri ialah fleksibel, spontanitas, berani mengambil resiko, berani mencoba segala hal, terbuka, dan rendah hati.
Ketiga, rasa keadilan (sense of justice). Seseorang yang meng-aktualisasi diri memiliki rasa belas kasih dan kepedulian terhadap orang lain. Mereka juga mudah terdorong untuk mencegah dan menentang ketidakadilan atau perilaku tidak etis. Sikap itu akan ditunjukkan kepada semua orang tanpa memperhatikan kelas sosial, pendidikan, golongan, agama, ras, atau warna kulit. Pelaku aktualisasi diri terbiasa menghormati dan belajar kepada siapa pun. Keempat, penerimaan diri (self acceptance). Orang yang meng-aktualisasi diri cenderung akan menerima dirinya sendiri tanpa adanya keluhan dan kesusahan. Sekalipun orang yang sehat ternyata memiliki kelemahan atau cacat, mereka tidak akan malu dan merasa bersalah dengan adanya kekurangan tersebut. Individu pengaktualisasi diri juga menerima orang lain apa adanya dan tidak memiliki kebutuhan kompulsif untuk memerintah, mengatur, atau mengubah orang lain. Hal itu karena mereka yang telah mengaktualisasikan diri memiliki sikap pemaaf, keramahan, rasa toleransi yang tinggi, dan tidak pernah merasa terancam oleh kehadiran orang lain.
Kelima, spontanitas (spontaneity). Individu pengaktualisasi diri suka hidup lebih mengalir dan sederhana, dan tidak dengan cara yang kaku. Orang seperti itu lebih suka mengikuti alur kehidupan tanpa terikat dengan rutinitas. Mungkin memang terasa aman dan mudah untuk tetap hidup dengan rutinitas. Akan tetapi, orang yang meng-aktualisasikan diri akan melawan keinginan itu dan mengambil kesempatan mencoba hal-hal baru. Perilaku spotanitas itu bisa seperti mengambil rute pulang yang berbeda atau mencoba makanan yang belum pernah dirasakan, atau bahkan dipikirkan.
Keenam, pengalaman puncak (the peak experience). Pengalaman puncak menggambarkan momen euforia, keajaiban dan kegembiraan yang membuat pengaktualisasi diri tidak memiliki rasa takut, cemas, dan dendam. Keberhasilan mencapai level aktualisasi diri membuat seseorang penuh dengan rasa kasih sayang, reseptif, dan spontan. Pengalaman ini bisa didapat ketika seseorang yang mengaktulisasikan diri meraih penghargaan, atau sekadar melakukan hobi yang menyenangkan seperti mendengarkan musik dan membaca buku.
Ketujuh, perasaan sosial (gemeinschaftsgefȕhl). Kata “Gemeinschaftsgefȕhl” dicetuskan oleh Alfred Adler. Kata tersebut menggambarkan minat dan kepedulian sosial serta simpati terhadap kesuksesan orang lain. Individu pengaktualisasi diri sering kali akan memberi perhatian dan dukungan kepada orang lain, sekalipun kepada orang asing yang tidak dikenalnya.
Di sisi lain, sebenarnya mereka juga bisa marah dan muak kepada orang lain. Hanya saja, mereka tetap bisa mempertahankan rasa kasih sayang terhadap sesamanya.
Seuntai Harapan
Ada sebuah cara untuk menemukan identitas kita sebagai manusia. Salah satu di antaranya ialah menulis. Ikatlah ilmu dengan menulis (Ali bin Abi Thalib). Nurhuda (2018), aktivitas menulis bukan hanya sekadar menghadirkan pikiran atau perasaan, melainkan kegiatan menuangkan ide, pengetahuan, ilmu dan gagasan dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, untuk tulisan yang baik tentunya harus dilakukan berkali-kali dengan cara latihan. Selain itu, Dalman (2015) menjelaskan bahwa menulis adalah sebuah proses kreatif dalam menuangkan gagasan berbentuk bahasa tulis dengan tujuan untuk memberitahu, meyakinkan, dan menghibur orang lain.
Menulis juga merupakan suatu cara untuk menyentuh seseorang dalam dimensi yang tiada batas (Eli & Fajari, 2020). Meskipun banyak yang mengganggap bahwa menulis adalah pekerjaan yang mudah dan cepat, namun belum tentu tulisan itu sudah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Seseorang dapat mengupgrade diri dan menjadi bagian dalam kemajuan zaman melalui karya tulis (Eriyanto, 2015).
Semoga !!!